Dengan sekuat tenaga dan membendung perasaan yang tak menentu, Celine berlari di sepanjang lorong rumah sakit menuju IGD.
"Mbak" Teman kerja Arief menyongsong Celine yang wajahnya nampak kusut masai. "Dimana Mas Arief?" "dokter sedang menanganinya di IGD. Tolong mbak sabar dulu." Mendengar hal itu, Celine tetap tidak tenang, sebelum tahu kondisi suaminya. Jantungnya serasa berpacu dengan waktu, tak sabar ia menunggu kabar tentang belahan jiwanya, apakah masih hidup atau mati. Celine duduk hanya sebentar lalu berdiri, terkadang mondar-mandir. Sering juga sambil menggigit bibir, dengan perasaan gelisah Celine melongok ke dalam ruang IGD melalui jendela kaca kecil. ---*-*-*--- Empat jam berlalu. Detik demi detik seakan mempermainkan perasaan Celine, mengikis kekuatan yang ia kumpulkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ruang tunggu rumah sakit terasa sesak di mata Celine. Padahal saat itu sebenarnya tak terlalu ramai. Tak lama kemudian, dokter Pramono, yang berusia lima puluh tahunan, keluar dari ruang IGD, wajahnya nampak serius namun penuh empati. "Ibu Celine?" suara dokter Pramono memecah keheningan di ruangan itu. Celine, yang sedari tadi berdiri sambil mondar-mandir dalam kegelisahan, segera mendekati dokter itu. Tubuhnya terasa seolah tidak lagi mendukung beban kecemasannya. "Iya, saya dok." "Tolong ikut ke ruangan saya" Celine mengikuti dr. Pramono dengan sebuah harapan, tapi rupanya.... gagal. dr. Pramono mendekat, wajahnya terlihat tenang, namun kalimat yang hendak keluar dari mulutnya terasa bagai pedang bermata dua. "Suami Ibu mengalami cedera yang cukup parah pada tulang belakangnya. Kami sudah berusaha melakukan tindakan medis semaksimal mungkin, tapi... ada dampak yang tidak bisa kami hindari." Celine menatapnya, tidak siap untuk mendengar yang berikutnya. "Apa maksud dokter?" Suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi hatinya menjerit. dr. Pramono menarik napas panjang, mencoba menyampaikan kabar buruk dengan cara paling lembut yang ia bisa. "Suami Ibu mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah." Celine terbelalak, shock! "Lumpuh?" ucapnya, seolah kata itu saja tak bisa ia cerna. "Mas Arief... Maksudnya nggak bisa berjalan lagi?" dr. Pramono menunduk sedikit, sikapnya penuh empati. "Benar, Bu. maaf, selain itu, karena kondisi kelumpuhan ini, suami Ibu juga mengalami gangguan pada fungsi seksual. Suami Ibu..." Sejenak dokter menghela nafas. "mengalami impotensi." "Apa! Impoten?" Untuk sejenak, Celine merasa tak bisa bernapas. Seolah udara di ruangan itu menghilang. Air mata yang tadinya hanya berlinang, kini mengucur deras, tak mampu lagi Celine menahannya. "Tidak... tidak mungkin..." bisiknya pelan. "Mas Arief... dia..." dr. Pramono mendekat, tangannya menyentuh bahu Celine dengan lembut. "Kami mengerti ini sangat sulit, Bu. Tapi kami akan terus mendampingi Ibu dan suami dalam proses pemulihan. Yang penting saat ini, suami Ibu butuh kekuatan dan dukungan dari Anda." Celine berusaha tegar, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. "Suami saya nggak akan bisa menerima ini?" gumamnya, seolah berkata pada dirinya sendiri. dr. Pramono menatapnya penuh perhatian. "Kenyataan ini memang berat, Bu. Tetapi, dengan cinta dan kesabaran, Ibu bisa menjadi pilar yang kuat untuknya. Celine menunduk, air matanya jatuh makin deras lagi, tanpa bisa ia cegah. "Mas Arief..." bisiknya lirih, suara yang teredam oleh kesedihan. "Dia pasti akan hancur..." "Tidak, Bu," dr. Pramono menjawab dengan lembut namun tegas. "Saya yakin ia akan bertahan. Asalkan anda selalu setia mendampinginya dan berusaha membuat nya kuat, jauhkan suami ibu dari kesedihan akibat penyakitnya" Celine menatap kosong ke lantai. dr. Pramono mendekat, melihat keraguan yang masih tersirat di wajahnya. Celine berbisik hampir pada dirinya sendiri. “Mas Arief... dia tidak akan kuat menghadapi ini.” Ia menggenggam kedua tangannya yang gemetar, seolah berusaha mencari pegangan dari kenyataan yang baru diterimanya. dr. Pramono duduk di samping Celine, suaranya lembut namun tetap tenang. "Ibu, saya tahu ini sulit. Tidak hanya untuk suami, tapi juga untuk anda sendiri. Tapi banyak pasien yang mengalami hal serupa dan mereka berhasil melewati masa-masa terburuk. Tidak ada yang mustahil Bu, apalagi jika didasari dengan cinta, yakinlah.” Celine menatap dokter, matanya penuh kesedihan dan ketidakpastian. “Tapi apa itu cukup dok? Cinta saja... apakah cukup untuk menghapus rasa kehilangan yang sebesar ini? Saya tahu Mas Arief... apalagi bulan ini kami berencana untuk mempunyai buah hati. Dia sangat pasti merasa hidupnya sudah berakhir.” dr. Pramono menatap Celine dengan penuh rasa iba. ---*-*-*--- Dua minggu berlalu sejak kecelakaan itu. Hidup Celine bersama Arief tak ubahnya seperti melangkah di atas bara api. Jika salah ucapan atau sikap, maka bisa meletup dan menjadi pertikaian. Hari-hari yang seharusnya dipenuhi cinta dan kasih sayang, malah kian terasa hambar. Arief dan Celine bagaikan dua sosok orang asing, dalam satu atap tapi jarang bertegur sapa. Dulu, Arief memiliki fisik yang tegap dan gagah. Wajahnya yang rupawan selalu memancarkan aura percaya diri. Kata-katanya sering menunjukkan kebijaksanaan seorang suami. Namun sekarang, tubuhnya terlihat kurus dan lemah, wajahnya lebih mirip tengkorak yang tak punya aura sama sekali. Dia pun seperti hidup segan mati tak mau. “Dulu... dia begitu kuat. Sekarang... dia hanya bayangan saja bagiku. Ya Tuhan, Bagaimana aku bisa menghiburnya, kalau dia bahkan tidak mau melihatku?” Dalam hati Celine sedih, memandang Arief yang duduk di kursi roda, dengan sikap diam dan wajah muram. Tatapannya kosong. ---*-*-*--- Suatu siang, ponsel Arief berdering. Suara lembut dari lawan bicaranya terdengar samar, namun setiap kata yang keluar dari mulut suaminya terdengar seperti beban berat yang sedang dipikul. Ketika percakapan selesai, Arief hanya menutup telepon tanpa berkata apa pun dan beranjak pergi. Celine perlahan, mendekati Arief “Mas, siapa yang menelepon tadi, pak dokter ya? Apakah ada sesuatu yang penting? Mungkin aku bisa bantu." Arief terdiam sejenak, dengan murung ia lalu keluar ruangan tanpa menjawab. Tatapannya yang dingin, menyiratkan jarak yang semakin jauh antara mereka. Celine hanya bisa menatap punggung suaminya ketika pergi, hatinya terasa semakin hancur. Setiap kali ia mencoba mendekat, setiap itu pula Arief seakan menghindar lebih jauh lagi. ---*-*-*--- Malam harinya, Celine menguatkan diri. Ia tahu, keintiman mereka semakin berkurang sejak kecelakaan itu. Walau tak harus berujung pada ML, tapi ia kangen sentuhan suaminya, rindu kebersamaan yang dulu pernah mereka rasakan. Dengan lembut, ia mendekati Arief yang berbaring di tempat tidur, tubuhnya tampak begitu rapuh di bawah selimut. “Mas... mungkin kita bisa bicara? Aku hanya ingin kita bisa melalui ini bersama...” Celine berbisik penuh kasih. Tangannya yang lembut menyentuh bahu Arief, berharap bisa membangun jembatan komunikasi di antara mereka. Namun seketika itu Arief tersentak. Ia menepis tangan istrinya dengan kasar, membuat Celine terkejut. "Jangan sentuh aku, Lin! Aku tidak butuh belas kasihan!” Arief marah, nada suaranya meninggi. Celine mundur, hatinya tergores luka oleh kata-kata suaminya. “Mas, aku tidak bermaksud begitu... Aku hanya ingin...” Celine suara gemetar, hampir tidak terdengar. “Aku tahu apa yang kamu inginkan! Tapi aku sudah tidak sanggup memberikan itu lagi! Aku bukan laki-laki normal sekarang!” Arief berkata dengan suara tajam Kata-kata itu menghujam jantung Celine. Ia menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Setiap upayanya untuk mendekatkan diri kepada suaminya, selalu berakhir dengan kemarahan Arief dan penolakannya. -------*-*-*------- BersambungKeesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan.Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan."Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi.Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah.“Mas, aku hanya in
Empat hari kemudian, ketika Celine hendak menuju mobilnya untuk pergi ke supermarket, Evi, wanita berusia 36 tahun yang tinggal di seberang rumah Celine. tiba-tiba melambaikan tangan dan mendekatinya. Di belakangnya, tukang sayur keliling yang dikenal bernama Arman tengah membawa mobil gerobak sayurannya. Arman yang berusia 25 tahun, sebenarnya adalah mahasiswa fakultas ekonomi yang mencari uang lewat jualan sayur, untuk biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari."Bu, mau belanja ya? kalau cuma mau beli sayur dan lauk sih, kenapa harus jauh-jauh, disini saja lebih enak. Arman setiap hari selalu menyediakan sayuran segar, lho." Suaranya ceria, dengan senyum lebar, seolah sedang menawarkan kemudahan yang tak bisa ditolak."Oh, saya memang biasa belanja mingguan di supermarket, tapi terima kasih atas sarannya.""Coba aja dulu, siapa tahu suka, silahkan Bu, jangan malu-malu. Saya tinggal dulu ya, mau buru-buru masak. mari Bu.""Iya Bu, silahkan." "Jangan panggil ibu lah, panggil mbak saj
Celine masih terduduk di lantai. Ia masih terbayang akan semua kejadian ini. Semuanya terasa cepat, menikah, lalu berharap punya anak, sebagai pelengkap kebahagiaan. Tapi semua itu kini sirna. Celine juga terbayang ketika mengeluh di depan suaminya."Aku hanya... merasa ini terlalu cepat, Mas.""Kamu harus ingat Lin, terkadang, kesempatan datang bukan dari arah yang kita harapkan. Mungkin ini saatnya kamu percaya, dan biarkan hidup mengalir tanpa terlalu banyak pertanyaan."Kata-kata Arief terasa aneh di telinga Celine, seperti menyembunyikan sesuatu di balik nada lembutnya. Celine terdiam, merenungkan perubahan yang terjadi pada suaminya sejak mereka tinggal di tempat ini.Dengan lemas, Celine berusaha mengumpulkan sayuran dan lauk yang berantakan, ia menghela nafas mencoba menguatkan diri dan berusaha untuk kembali memasak. Ia tak sadar ada yang memperhatikannya dengan tatapan penuh nafsu yang menggelegak. Apalagi saat mengumpulkan lauk dan sayur yang berantakan itu, Celine melakuk
Di sebuah kafe mewah di Kuta, Bali, dengan suasana temaram dan alunan musik jazz lembut, si wanita cantik duduk di hadapan Bayu, tunangannya. Secangkir kopi espresso tergeletak di depannya, namun ia belum menyentuhnya.Bayu mengamati kekasihnya yang tampak gelisah, ia lalu menggenggam tangannya dan bertanya dengan suara rendah.“Sayang, kamu kenapa? Ada masalah serius?” tanya Bayu, sambil menyelidik wajah cantik itu dengan penuh perhatian.Si cantik memaksakan senyum, walau senyum itu tampak hambar dan pahit.Bayu tersenyum tipis, seolah memahami kekasihnya yang memang keras kepala dan berdarah panas. “Ini soal Arief, kan?” tebaknya.Si cantik mendengus, jelas-jelas wajahnya menampakkan kekesalan yang teramat sangat. Ia pun mengangguk tanpa berkata apa-apa.Bayu tertawa kecil tapi bijak. “Bukankah Arief itu mantan pacarmu, waktu kalian dulu kuliah di Bandung? Pasti kamu tahu sifatnya luar dalam kan?"Si cantik mendengus lagi, nadanya menyimpan rasa kesal yang tidak bisa disembunyikan.
Celine melenguh agak keras tubuhnya mengejang sambil memeluk suaminya erat-erat. Matanya terpejam meresapi kebahagiaan hidup bersama Arief, suami tercinta yang baru menikahinya setahun yang lalu. Arief tergolek di samping istrinya yang cantik dengan nafas terengah-engah. Sejenak mereka saling tatap, tapi tiba-tiba Celine memalingkan wajahnya karena tak ingin Arief mengetahui air matanya yang hendak jatuh. Dengan lembut Arief memegang dagu istrinya lalu menghadapkannya ke wajahnya sendiri. "Kenapa sayang? kok nangis?" "Maafkan aku mas." jawab Celine lirih. "Setiap habis berhubungan, aku selalu merasa bersalah." lanjut wanita itu lagi. "Aku tahu sayang." Arief membelai pipi Celine dengan lembut. "Sudah jangan bahas soal itu lagi. Sudah nggak relevan." Arief tersenyum menenangkan. "Tapi aku merasa hina di mata mas." "Ssttt.. Sudahlah sayang." Jari telunjuk Arief berada di bibir Celine. "Jaman sekarang sudah nggak relevan lagi, suami menuntut istrinya harus virgin, ketika di malam