Purnama ingin membuat masakan kesukaan suaminya begitu sampai di rumah, untunglah bahan-bahan telah tersedia di dalam kulkas. Ia ingin momen ketika suaminya tahu ia hamil menjadi amat spesial.
Ayam, tempe, sayuran dan bumbu-bumbu dikeluarkannya dari kulkas. Sejak kecil Purnama terbiasa membantu ibunya memasak hingga ia sudah mahir mengolah berbagai jenis masakan.
Ayam yang sudah dibersihkan lalu diungkep dengan bumbu racikannya. Tempe pun digoreng.
Sambil menunggu masakannya matang, Purnama mengabari suaminya.
[Mas aku sudah di rumah, ada kejutan loh ♥]
Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Purnama kembali memasak. Ayam goreng serundeng, tempe goreng, sambal dan lalapan disiapkan Purnama.
Masakan telah ditata di atas meja makan, Purnama bergegas mandi dan bersiap sebelum suaminya pulang.
Bintang masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Purnama mendengar pintu terbuka menghentikan kegiatan menyisirnya. Ia berdiri lalu berjalan keluar kamar.
Mas Bintang!" seru Purnama yang melihat suaminya berjalan ke arahnya.
Wajah Bintang terlihat kusut, bau oli dan rokok tercium oleh hidung Purnama.
"Mas capek ya? Aku siapin aer panas buat mandi ya?"
"Gak usah!"
Purnama menyadari sepertinya mood suaminya sedang buruk. Mungkin ada masalah di tempat kerja, pikirnya.
"Kalo gitu makan dulu aja gimana, aku udah masak makanan kesukaan Mas?"
"Gak laper!"
Bintang duduk di sofa, punggungnya ia sandarkan. Berusaha rileks namun tetap saja gelisah itu menghampiri. Ia menyulut rokoknya, menghisap dalam-dalam seakan asap beracun itu bisa menghilangkan gundahnya.
Purnama mengamati gerak gerik suaminya. Ia tidak berkata apa pun, mungkin Bintang butuh waktu sendiri, pikirnya.
Purnama membuat secangkir kopi untuk Bintang. Berharap hangatnya kopi bisa sedikit meredakan apa pun kegundahan hati suaminya.
Purnama menaruh secangkir kopi di hadapan Bintang. Ia lalu duduk tidak jauh dari suaminya.
"Mas, terima pesan WA aku’kan?"
"Hm." Bintang kemudian menyesap kopinya.
"Ada kejutan loh?"
"Apa?" tanya Bintang dingin.
"Ini!" Purnama menyerahkan hasil tesnya saat di klinik tadi. Bintang membacanya.
Wajah Bintang makin muram membaca hasil tes tersebut. Ia melempar kertas itu ke atas meja. Purnama bingung, seharusnya Bintang senang dengan kenyataan bahwa ia hamil tapi ini justeru malah terlihat marah.
"Mas, kenapa? Ada masalah?" "Iya."
"Cerita sama aku kalo ada masalah mungkin aku bisa bantu."
"Masalahnya itu kamu!" tunjuk Bintang dengan mata melotot.
"Maksud, Mas?"
"Kamu! Masalah aku itu kamu!" ucap Bintang dengan nada tinggi disertai muka memerah.
"Aku gak ngerti," "Gak usah pura-pura!"
"Mas, please jelasin ke aku salahku di mana?"
"Kamu pulang dianter siapa?"
"Tadinya mau naik ojek online, tapi Pak Alex maksa mau anter."
"Alex itu yang malem-malem itu anter kamu juga kan?"
"I ... iya, Mas."
"Yang mobilnya Fortuner?" "Iya."
"Kamu ada main sama dia?" "Enggak, Mas."
"Jangan bohong kamu!"
"Dia cuma atasanku di kantor. "
"Dia juga dulu naksir kamu, kamu pikir aku gak tau siapa Alex?"
Alex Dean Setiawan adalah teman kuliah Purnama, kakak tingkat lebih tepatnya. Mereka hanya berbeda satu tahun. Seringnya bekerja dalam satu organisasi kampus membuat Alex memiliki rasa pada Purnama namun tidak bagi Purnama. Mereka berpisah saat Alex lulus dan kembali ke kotanya. Namun saat Purnama diterima bekerja di tempatnya sekarang ternyata Alexlah yang menjadi manajernya.
"Dia cuma atasan aku, Mas. Gak lebih!"
"Jangan-jangan anak di perut kamu juga anak dia?" tuduh Bintang sambil menunjuk ke arah perut Purnama.
"Demi Allah, Mas, gak ada laki-laki lain yang pernah nyentuh aku kecuali kamu."
"Maling mana ada yang mau ngaku!" Bintang berdiri.
"Aku nggak serendah itu, Mas!" Purnama ikut berdiri.
"Pezina!"
Plak!
"Berani kamu nampar suami?!" "Ucapan Mas kelewatan!"
"Kalo kamu udah bosen sama saya, bilang! Saya akan ceraikan kamu saat ini juga!"
"Ini anak kamu, Mas. Dan tidak ada lelaki lain di hatiku selain kamu."
"Omong kosong!" Bintang berniat pergi namun Purnama menghalangi.
"Mas mau kemana?"
"Jangan halangi saya! Kemana saya pergi bukan urusan kamu!"
Bintang mendorong Purnama hingga terbuka jalan untuknya.
Purnama menatap kepergian Bintang sambil berurai air mata. Sebegitu buruknya tuduhan sang suami padanya, ia mengusap perutnya yang masih rata. Tempat dimana benih cintanya bersama Bintang tumbuh.
Nak tumbuhlah dengan baik, mama papa sayang kamu!
Hari hari berikutnya Bintang tidak banyak bicara, ia pun lebih sering pulang larut saat Purnama sudah tertidur dan masih tidur saat Purnama berangkat ke kantor.
Purnama menyadari perubahan sikap suaminya. Cemburu adalah penyebabnya. Ia ingat petuah ibunya saat menjelang pernikahan bahwa sebagai istri ia harus bisa meredam emosi suaminya.
Purnama merenung, mencari solusi dari permasalahannya.
"Dari tadi di depan komputer tapi gak ada yang dikerjain," tegur Lily teman kerja Purnama.
"Lagi mikir aja."
"Bumil jangan kebanyakan pikiran kasian baby-nya."
Purnama mengusap perutnya yang masih rata. "Iya."
Hanya itu jawaban Purnama. Ia tidak pernah menceritakan masalah rumah tangganya pada siapa pun. Aib, begitu yang ia pahami.
"Bentar ya gue mau ngasi berkas ke Pak Alex." Lily pamit pada Purnama.
Tidak berapa lama Lily telah kembali. Ia menghampiri Purnama, "Dipanggil Pak Alex,"
"Gue?"
"Iya, siapa lagi yang gue ajak ngomong?!"
"Yaudah, gue ke sana dulu."
Purnama mengetuk pintu ruangan Alex. "Masuk!" suara Alex terdengar jelas.
Purnama masuk ke ruangan itu, "Pak Alex panggil saya?"
"Iya, duduk!" "Makasih, Pak."
Purnama duduk di depan Alex. Ia bertanya-tanya alasan apa Alex memanggilnya.
"Saya lihat beberapa hari ini kamu kelihatan melamun, ada masalah?"
"Nggak ada masalah, bawaan bayi mungkin."
"Owh iya, kamu sedang hamil, gimana kondisi kalian, sehat?"
"Sehat."
"Good, kalau kamu merasa lelah atau tidak sehat izin pulang saja. Saya tahu wanita hamil tidak bisa terlalu lelah."
"Terima kasih, Pak atas perhatiannya. Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, saya permisi."
"Satu lagi, kalau ada masalah jangan ragu bicara sama saya."
"Mm ... iya, Pak." Hanya untuk masalah pekerjaan,
lanjut Purnama di dalam hati.
Purnama mengakhiri pembicaraan terlebih dahulu dan keluar dari ruangan itu. Ia khawatir perhatian Alex akan meluluhkan hatinya.
Cobaan dalam pernikahan bisa datang dari mana saja. Dari suami, teman atau bahkan diri sendiri. Purnama berusaha mencegah hal buruk terjadi. Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Semenjak pulang Purnama memikirkan sikap Alex padanya. Alex memang pernah menaruh hati dulu sewaktu mereka masih mahasiswa. Beberapa kejadian diingat Purnama, dan ia baru menyadari ternyata perlakuan Alex berbeda padanya jika dibandingkan dengan pegawai lainnya.
***
Morning sicknes dialami Purnama sebagaimana ibu yang sedang hamil muda. Biasanya hanya mual-mual yang mampu ia tahan namun pagi ini Purnama tak mampu bangun dari kasurnya. Kepalanya benar-benar terasa pusing.
"Tumben masih di kasur?" tanya Bintang sambil melihat sang istri yang masih berbaring di sebelahnya.
"Pusing, Mas." "Nggak ngantor?"
"Nggak kuat bangun." jawab Purnama dengan suara yang lemah.
"Hoek ...." Purnama menutup mulutnya, menahan muntah yang hampir saja keluar.
"Sebentar aku ambil keresek, jangan muntah dulu!" Bintang bergegas bangun mengambik plastik keresek bekas belanja yang dikumpulkan Purnama di dapur.
Begitu plastik sampai di tangan, Purnama muntah. Tak banyak yang dikeluarkan karena pagi ini belum ada apa pun yang masuk ke dalam perutnya.
Bintang berinisiatif mengambil minyak angin dan mengoleskannya pada leher, dada dan punggung Purnama. Walau masih ada rasa marah di hatinya, ia tetap tak tega melihat kondisi Purnama.
"Aku beliin bubur buat sarapan ya?" "Gak usah, Mas, nanti keluar lagi."
"Kamu harus makan, kasian bayi di perut kamu."
Ternyata Mas Bintang perhatian, batin Purnama bicara.
"Iya, Mas."
Ada secercah harapan di hati Purnama. Suaminya ternyata masih sayang padanya. Ia tidak boleh menyia-nyiakan hal ini. Ia akan berusaha sekuatnya untuk memiliki rumah tangga yang bahagia bersama Bintang.
Purnama mengambil gawainya yang ia taruh tak jauh dari ranjang. Ia harus mengabari kondisinya pada pihak kantor. Biasanya ia menghubungi Alex jika tidak bisa masuk kerja namun kali ini ia lebih memilih menghubungi Lily. Biarlah Lily yang menyampaikannya pada Alex.
Selesai menghubungi Lily, Purnama merebahkan tubuhnya lagi. Kepalanya benar-benar pusing. Berkali-kali gawainya berbunyi namun tidak ia hiraukan.
Bintang datang membawa semangkuk bubur ayam dan segelas air hangat.
"Ini makan dulu,"
Purnama memperbaiki posisinya, dari berbaring menjadi duduk bersandar di kepala ranjang.
Diterimanya mangkuk berisi bubur itu dan terdiam karena perutnya terasa bergolak kembali.
"Ayo dimakan!"
Mual kembali mendera, Purnama menyerahkan mangkuk yang berada di tangannya pada Bintang lalu mengambil plastik keresek yang telah tersedia di sampingnya.
"Hoek ... hoek ...,"
Bintang mengambil tisu dan duduk di dekat Purnama, disekanya sisa-sisa muntah yang ada di pinggir bibir istrinya.
"Aku suapin ya, tapi minum dulu?" tawar Bintang yang dijawab anggukan.
Purnama meneguk air hangat yang diberikan Bintang. "Nah sekarang makan. A ...." satu sendok bubur disodorkan Bintang.
Suapan Bintang diterima Purnama dengan senang hati. Ia menelan beberapa suap dan rasa mual itu tiba-tiba hilang.
Dek, papa sayang kita. Purnama mengelus perutnya.
"Apa perlu ke dokter?" tanya Bintang sambil duduk di sebelah Purnama.Purnama menoleh ke arah suaminya. Sejak tadi ia berbaring dan Bintang meninggalkannya entah untuk keperluan apa."Nggak usah, Mas. Ini biasa bagi orang hamil. Morning sicknes.""Tapi kamu lemes gitu, dari tadi tiduran terus.""Cuma pusing sedikit, nanti juga reda.""Ada obat yang dikasi dokter?""Ada. Vitamin sama obat mual.""Udah diminum?""Udah."Bintang memperbaiki posisi selimut Purnama, lalu diusapnya kepala Purnama."Purnama!" seru kedua mertua Purnama, mereka berdiri di pintu kamar."Bintang bilang kamu hamil?" "Iya, Mi.""Alhamdulillah ya, mudah-mudahan anaknya laki-laki.""Papi juga pengen cucu laki-laki.""Laki-laki atau perempuan yang penting sehat, Mi." jawab Purnama sambil mengelus perutnya yang masih rata."Orang hamil jangan suka males, biar bayinya j
Purnama benar-benar kesal dengan ulah suaminya. Ia mengusap perutnya perlahan sambil berbisik, "Jangan kamu tiru kelakuan ayahmu!"Ia berharap anaknya hanya mewarisi hal-hal baik dari kedua orang tuanya.Purnama membereskan rumah, menyapu dan mengepelnya. Begitu sampai di bagian dapur ia melihat persediaan berasnya menipis. Ia juga teringat dengan saldo ATM-nya yang nyaris 0 rupiah.Aku harus berbuat sesuatu!Selesai membersihkan rumahnya, Purnama menyalakan laptopnya. Ia berselancar di dunia maya mencari lowongan pekerjaan. Beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya dan berlokasi tidak jauh dari rumahnya ia simpan.Purnama mulai membuat surat lamaran pekerjaan dan mengirimkannya.Bismillah, semoga keterima. Aamiin.***Selama berhari-hari Purnama menunggu jawaban dari lamaran yang ia kirimkan namun tiap kali mengecek email tidak ada jawaban yang ia harapkan. Sementara itu persediaan beras ma
Hati Purnama benar-benar sakit, ia pulang menggunakan taksi yang lewat di sekitar aula tersebut.Sebisa mungkin ia menahan air matanya selama di perjalanan namun hal itu terasa amat sulit. Air mata Purnama akhirnya menetes. Sang supir memperhatikan Purnama dari kaca."Apa pun masalah yang Ibu hadapi, Allah berikan itu agar Ibu kuat. Penderitaan dan rasa sakit akan menguatkan mental kita."Purnama tidak menjawab ucapan sang supir yang usianya mungkin sekitar usia ayahnya. Ucapan sang supir cukup mengena di hati Purnama, ia harus kuat demi dirinya dan demi calon buah hatinya.Sampai di rumah, Purnama segera masuk ke dalam kamarnya. Ia lelah lahir dan batin.Gawai Purnama berbunyi saat ia baru saja membersihkan diri. Ia melihat nama yang tertera di gawainya. Hatinya bersorak melihat nama sang ibu."Assalamualaikum,""Waalaikum salam,""Ibu, Nama kangen." ucap Purnama begitu mendengar suara ibunya. Di titik terendah, mende
Purnama mengingat betul perkataan ibunya, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Bintang atau pulang jika sudah tak sanggup lagi.Sampai di rumah waktu sudah hampir tengah malam. Ingin sekali ia berbicara serius dengan suaminya namun Bintang terlihat lelah dan masih kesal.Pagi hari setelah Bintang sarapan, Purnama sudah menyiapkan kata-kata untuk disampaikan pada suaminya.Segelas air putih ditaruh Purnama tepat di depan Bintang. "Mas, kita harus bicara serius.""Ada apa? Soal orang tua kamu?""Bukan, ini tentang rumah tangga kita.""Memangnya rumah tangga kita kenapa?" tanya Bintang tanpa rasa bersalah."Banyak hal yang harus kamu perbaiki, Mas, sebagai seorang suami.""Memangnya aku kenapa?" Bintang menatap Purnama.Ada kesal di hati Purnama, suaminya tidak merasa bersalah sedikit pun."Sebagai kepala rumah tangga seharusnya Mas lebih bertanggung jawab.""Owh, jadi maksud kamu aku gak bertanggung jawab
Purnama menahan tangisnya selama di dalam taksi. Ia sangat butuh dukungan saat ini. Diambilnya gawai di dalam tas. Ia menelpon sang ibu. Di dering pertama ibunya langsung menjawab."Assalamualaikum.""Waalaikum salam. Nama gimana kabar kamu?""Baik, Bu. Nama … mau lahiran, Bu.""Udah mules?" Suara ibu terdengar panik."Belum tapi mau diinduksi, Bu."“Kok induksi?”“Iya, udah lewat waktu,”"Sekarang udah di rumah sakit?""Masih di jalan, Bu.""Kasih ibu alamat rumah sakitnya nanti ibu sama ayah ke sana.""Iya, Bu."Setelah menelpon ibunya, Purnama merasa sedikit tenang. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil mengusap perut buncitnya.Sampai di rumah sakit, sang dokter langsung menangani dirinya. Memberi infus yang berisi obat induksi.Purnama berbaring di ranjang rumah sakit. Ia pasrah menyerahkan nasibnya pada Yang Maha Kuasa.Satu jam berla
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
Purnama menatap layar ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari Bintang sejak dia di dalam kamar mandi.[Nama, kita jalan yuk, berdua aja.][Aku pengen kita mengenang masa lalu, masa pacaran kita.][Mau ya?][Jawab dong pesan saya.]Baru saja Purnama menekan tombol untuk menjawab pesan Bintang, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dokter Surya begitu kata yang terpampang di layar."Assalamu'alaikum, Dok.""Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.""Ada apa, Dok?""Maaf mengganggu aktivitas sore kamu, saya mau mengajak Langit nonton film anak-anak yang baru tayang di bioskop ... sekalian sama kamu.""Nonton?""Iya, besok ba'da Zuhur saya jemput."Purnama terdiam sesaat, haruskah ia menerima ajakan Surya?"Diam berarti iya." Surya menyimpulkan sendiri lalu menutup panggilan.***Adzan Maghrib telah berkumandang beberapa saat yang lalu, Langit bersama ayah Purnama shalat berjamaah
Terdiam sejenak Purnama berpikir, apakah ia harus ikut bersama Bintang ke rumahnya dan bertemu dengan mantan mertuanya? Rumah itu penuh dengan kenangan buruk semasa ia menikah dengan Bintang."Ayolah, Nama. Cuma sebentar, kita gak akan lama kok.Langit setuju kan kalo mama ikut?" "Iya, Ma. Temenin Langit."Purnama bernapas berat lalu mengangguk."Terima kasih kamu mau ikut." ujar Bintang dengan mata berbinar.Setelah semua ice cream di meja mereka habis, ketiganya bergegas pergi ke parkiran. Lalu mendekati mobil Bintang."Naik," Bintang berkata pada Purnama sambil membuka pintu penumpang di bagian depan."Aku di belakang saja. Langit, kamu yang di depan!""Kenapa bukan kamu? Biar Langit di belakang." ujar Bintang."Aku pengen istirahat, jadi mending di belakang." Purnama beralasan, ia sebenarnya tak nyaman jika harus duduk berdekatan dengan Bintang."Ok lah kalau begitu. Langit, kamu yang di depan."
Langit sudah sembuh dari sakitnya dan mulai bersekolah. Hari pertama setelah sembuh dari sakit, Purnama mengantarkannya ke sekolah. "Mama mau ke bagian administrasi, Langit belajar di kelas ya! Nanti waktunya pulang, kakek yang jemput." "Iya, Ma." Purnama mencium pipi Langit dan Langit membalasnya lalu mencium punggung tangan Purnama lalu masuk ke kelas. Purnama ingat ia belum membayar administrasi sekolah bulan ini. Sebenarnya bisa dilakukan secara online tetapi mumpung ia berada di sekolah tidak ada salahnya ia membayar secara langsung. "Selamat pagi, Miss." sapa Purnama pada gadis muda yang bertugas di bagian administrasi sekolah. "Pagi, Mom." "Saya mau bayar SPP atas nama Langit," Gadis itu mengetik sesuatu di komputer lalu mengernyitkan dahinya. "SPP atas
Dokter Surya melakukan kunjungan ke kamar Langit pagi itu. Ia tahu sebentar lagi Langit dan Purnama akan pulang."Assalamualaikum. Selamat pagi,""Waalaikumsalam. Pagi, Dok." jawab Purnama yang menghentikan sejenak kegiatannya berbenah pakaian Langit."Bagaimana Langit, sudah mau pulang ya?" tanya Surya melihat Purnama yang berbenah. Ia mendekat ke ranjang pasien tempat Langit yang sedang duduk."Iya, Dok. Tadi dokter Andra sudah mengizinkan kami untuk pulang.Surya menganggukkan kepala, Andra adalah dokter spesialis anak yang bertanggung jawab menangani Langit."Dokter, Langit suka mobilannya, terima kasih." ucap Langit."Alhamdulillah kamu suka. Kalo ice cream suka gak?" Dokter Surya mengusap kepala Langit."Suka, suka banget.""Suka rasa apa?""Rasa vanilla, Om Dokter suka rasa apa?""Rasa vanilla juga. Kita samaan, tos dulu."Su
Bintang menghabiskan baksonya dalam waktu singkat. Rupanya dia benar-benar lapar."Nama, aku mohon kamu pertimbangkan keinginanku. Aku tau kamu masih cinta, buktinya kamu belum menikah juga sampai sekarang."Purnama diam sejenak, memori saat menjalin rumah tangga bersama Bintang menyeruak. Luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit."Mas, kamu sudah menorehkan luka yang begitu dalam.""Aku sudah minta maaf, beri aku kesempatan kedua."Purnama berdiri lalu membayar pesanan bakso Bintang dan berlalu pergi. Ia malas melayani omongan Bintang."Nama, tunggu!" seru Bintang yang setengah berlari mengejar Purnama.Purnama tak peduli dengan teriakan Bintang. Yang penting saat ini Langit telah mendapatkan donor dan mulai membaik. Biarlah ia dianggap tidak tau terima kasih oleh Bintang.Grep!Bintang berhasil menarik tangan Purnama hingga Purnama menoleh ke arahnya dan berusaha melepaskan diri."Lepas!""Denge
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini