Purnama benar-benar kesal dengan ulah suaminya. Ia mengusap perutnya perlahan sambil berbisik, "Jangan kamu tiru kelakuan ayahmu!"
Ia berharap anaknya hanya mewarisi hal-hal baik dari kedua orang tuanya.
Purnama membereskan rumah, menyapu dan mengepelnya. Begitu sampai di bagian dapur ia melihat persediaan berasnya menipis. Ia juga teringat dengan saldo ATM-nya yang nyaris 0 rupiah.
Aku harus berbuat sesuatu!
Selesai membersihkan rumahnya, Purnama menyalakan laptopnya. Ia berselancar di dunia maya mencari lowongan pekerjaan. Beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya dan berlokasi tidak jauh dari rumahnya ia simpan.
Purnama mulai membuat surat lamaran pekerjaan dan mengirimkannya.
Bismillah, semoga keterima. Aamiin.
***
Selama berhari-hari Purnama menunggu jawaban dari lamaran yang ia kirimkan namun tiap kali mengecek email tidak ada jawaban yang ia harapkan. Sementara itu persediaan beras makin menipis, isi kulkasnya pun hanya tinggal air putih dan telur 2 butir. Isi dompet Purnama hanya tinggal selembar uang berwarna hijau. Sangat tidak memadai untuk belanja esok hari.
Hubungannya dengan Bintang pun semakin renggang. Bintang tak lagi mengajaknya bicara, keberadaannya di rumah hanya untuk tidur dan makan saja.
Purnama tidak bisa tinggal diam, mau tidak mau ia harus bicara pada Bintang karena seharusnya Bintanglah yang menafkahinya. Ia tidak akan membiarkan bayi dalam kandungannya kelaparan.
Menjelang malam Bintang pulang. Seperti biasa Purnama menyiapkan kopi untuk Bintang.
Bintang duduk dan menyeruput kopinya. "Puah," Bintang melepeh kopinya, "ini kok pahit?"
"Gula habis, Mas."
"Beli lah."
"Beras juga habis."
"Beli!"
"Minyak goreng juga."
"Ya kalo itu semua habis, kamu beli, belanja!"
"Uangnya gak ada, Mas."
"Kalo gak ada uang, ya kerja dong! Gitu aja repot."
"Tapi yang wajib menafkahi aku ‘kan Mas Bintang."
"Selama ini aku udah menafkahi kamu. Makanya jangan
boros!"
"200 ribu yang Mas kasih tiap bulan ke aku itu sama sekali gak cukup."
"Kamu kan kerja bisa menuhin kebutuhan sendiri jadi aku gak perlu ngasih banyak-banyak."
"Sekarang aku udah gak kerja, Mas."
"Kalo gitu ya cari kerja!"
"Sudah, aku sudah kirim lamaran ke banyak tempat tapi belum ada jawaban."
"Sabar klo gitu,"
"Beras sudah habis, aku minta paling tidak Mas beliin beras atau berikan uang belanja biar aku yang beli."
"Aku lagi gak pegang duit."
"Tapi ini tanggung jawab Mas sebagai seorang suami."
"Ck. Ceramah lagi, mending aku ke rumah Firman." Bintang berdiri dan beranjak keluar.
"Mas!"
"Nanti kalo aku udah punya duit baru pulang." Bintang berkata tanpa menoleh ke arah Purnama.
Purnama mengelus dada, kelakuan suaminya benar- benar menguji kesabarannya.
Ya Allah sadarkan suamiku!
Purnama merasa ia tidak bisa hanya menunggu uang dari Bintang. Ia harus berbuat sesuatu untuk mendapatkan uang dengan cepat.
Dibukanya lemari, ia memiliki beberapa tas yang masih bagus lalu difoto satu persatu. Hasil foto ia unggah di status Whats App-nya dengan judul preloved dan cantuman harga yang menurutnya sesuai.
Tas-tas miliknya bukanlah tas berharga selangit dengan merk luar negeri, tas milik Purnama semuanya merk lokal. Sehingga ia tidak berharap mendapat uang yang banyak dari hasil menjual tasnya hanya minimal kebutuhan sampai akhir bulan bisa terpenuhi.
Status Whats App-nya sudah diunggah Purnama. Namun, sampai pagi tiba belum ada satu pun tanggapan dari teman-temannya.
Purnama menatap kasurnya yang kosong, Bintang semalam tidak pulang. Perutnya berbunyi, ia lapar. Purnama pergi ke dapur, mengambil segelas air dan meminumnya.
Apa aku harus minta ke mami atau papi? Pertanyaan itu mengusik benak Purnama. Perutnya kembali berbunyi, ia menguatkan hati untuk datang ke rumah mertuanya.
Begitu pintu dibuka, Awan sang adik ipar berdiri di hadapannya.
"Ini, Kak." Awan memberikan satu keresek berwarna hitam dan sebuah amplop.
"Ini apa?"
"Beras 5 liter sama ada uang sedikit, semalem Awan denger ribu-ribut kakak berdua. Kak Bintang emang suka kelewatan."
Purnama terharu menerima pemberian dari Awan. "Makasih ya, kamu baek banget!"
"Iya, Kak sama-sama. Awan berangkat dulu." Mahasiswa semester 3 itu pun pergi meninggalkan Purnama.
Purnama bersyukur pertolongan Allah datang tak diduga.
***
Purnama menatap gawainya, berkali-kali ia membaca email yang baru saja diterimanya. Besok ia akan melakukan wawancara kerja.
Gawainya berbunyi, sebuah notifikasi pesan masuk. Seorang teman mengirim pesan bahwa ia tertarik dengan tas preloved milik Purnama.
Purnama senang sekali, 2 rejeki datang pada saat yang bersamaan. Ia sangat bersyukur.
Pagi hari Purnama telah siap dengan pakaian kerjanya. Hari ini ia akan melakukan wawancara pekerjaan.
"Mau ke mana?" Bintang bertanya sambil meregangkan tubuhnya, ia baru saja bangun.
"Wawancara kerja,"
"Dapet panggilan?"
"Iya."
"Di mana?"
"Ruko Garuda, Mas."
"Aku anter."
Jarak ruko ke rumah tidak terlalu jauh sebenarnya, namun niat Bintang yang ingin mengantar membuat hati Purnama senang. Hanya mencuci muka sebentar, Bintang menyalakan mobilnya siap mengantar Purnama.
Mereka memang sempat bertengkar tetapi Purnama bukanlah tipe perempuan yang menyimpan dendam, setelah beberapa hari ia selalu memaafkan suaminya. Dan Bintang tahu benar sifat istrinya.
"Nanti uang kamu aku kembaliin," ucap Bintang memecah keheningan saat mereka dalam perjalanan.
"Heum."
"Kok cuma heum?"
"Iya, makasih kamu mau ngembaliin."
Sampai di ruko yang dituju, Purnama turun dari mobil.
Bismillah
***
Purnama kini telah bekerja di sebuah firma hukum. Setelah melalui tahapan wawancara dan psikotes ia diterima.
Kandungan yang semakin membesar membuat Purnama cepat lelah. Demi buah hatinya Purnama mengurangi pekerjaan di rumah, ia hanya membersihkan rumah dan membuat sarapan. Pakaian kotornya ia cuci di laundry kiloan dan untuk makan malam ia membeli lauk.
Hubungan dengan Bintang pun datar-datar saja. Tidak ada kehangatan dan tidak juga terjadi pertengkaran.
"Besok ikut aku, ada reuni!" ucap Bintang saat mereka akan tidur.
"Reuni?"
"Iya, reuni SMA. Kamu libur kan besok?"
"Iya."
"Yaudah ikut. Jam 9 kita berangkat,"
"Iya."
Pagi hari setelah membersihkan rumah dan sarapan, Purnama menyiapkan diri. Ia sudah memakai pakaian terbaiknya dan berkaca. Perutnya sudah membesar, pipinya pun tampak tembem, ia tidak lagi selangsing dulu sebelum hamil. Rambutnya pun dipotong pendek.
Bintang keluar dari kamar mandi lalu memakai kemeja dan jas miliknya. Bintang terlihat tampan pagi itu.
"Mas, aku udah cantik belum?"
"Tumben nanya,"
"Kan mau ke reuni SMA-nya Mas, aku pengen kelihatan cantik."
"Cantik tapi gendut." jawab Bintang datar.
"Ya jelas gendut, kan lagi hamil."
"Udah gak usah ribet sama kecantikan, ayo berangkat!"
Di sebuah aula yang cukup besar, Bintang bertemu dengan teman-teman SMAnya. Mereka semua lebih tua dari Purnama karena Bintang dan Purnama memang terpaut 5 tahun.
Purnama tidak kenal siapa pun di ruangan itu, ia terus saja di samping Bintang.
"Bin!" Seorang perempuan berambut lurus sebahu yang ditata rapi memanggil Bintang.
Bintang menyambutnya dengan senyum lalu mereka saling bersalaman.
"Siapa nih, Bin?"
"Bini gue,"
"Kenalin, gue Alice. Mantannya Bintang. Mantan terindah," ucap Alice seraya tersenyum menggoda.
"Purnama."
Purnama melihat tampilan Alice yang sangat modis, gaun selutut tanpa lengan berwarna peach sangat cocok untuk kulitnya dan riasan wajah natural menambah kecantikannya.
Bintang dan Alice asik berbicara bahkan terkadang mereka tertawa, Purnama merasa tidak dianggap. Ia kemudian sedikit mundur dan duduk di kursi tak jauh dari Bintang.
Purnama merasa tak nyaman melihat interaksi suaminya dengan sang mantan. Ia memutuskan mendekati Bintang.
"Mas, aku cape." "Terus?"
"Aku pengen pulang," ucap Purnama sambil mengelus perut buncitnya.
"Bini loe mau pulang tuh, capek kali dia namanya juga orang hamil." Alice bicara.
"Ck ... acara belum selesai."
"Tapi aku cape, Mas."
"Yaudah, ayo!"
Bintang menarik tangan Purnama keluar dari aula.
Sampai di luar aula, Bintang mengeluarkan gawainya. "Aku pesenin ojek online buat kamu,"
"Loh, kamu gak ikut pulang?" Purnama merubah posisinya hingga saling berhadapan dengan Bintang.
"Aku pengen tetep di sini sampe acara berakhir."
"Kamu tega banget, aku dibiarin pulang sendiri."
"Kamu yang gak sabar nunggu acara ini selesai."
Purnama memutuskan untuk jujur, "Aku gak suka liat kamu sama mantanmu,"
"Owh, jadi itu alesannya pengen pulang cepet."
"Iya."
"Kamu cemburu,"
"Wajar dong aku cemburu, aku istri kamu. Liat suami ketawa-ketawa sama perempuan lain,"
"Alice cantik, ya gue seneng ketemu dia, wajar."
"Apanya yang wajar? Kamu sudah beristri dan aku ada di samping kamu tadi."
"Cowok mana yang gak suka liat perempuan cantik, langsing dan penampilannya menarik? Semua cowok mau udah nikah atau belum pasti suka."
"Kamu gak nganggap aku?"
"Ck ... kalo dibandingin antara kamu dan Alice pasti semua laki-laki milih Alice."
"Keterlaluan kamu, Mas!" Emosi Purnama benar-benar naik, ingin rasanya ia menampar Bintang namun ini di tempat umum. Suara mereka yang cukup keras sudah menarik perhatian orang yang lewat.
Purnama meninggalkan Bintang begitu saja, dan Bintang tidak terlalu peduli. Ia kembali masuk ke dalam aula.
Hati Purnama benar-benar sakit, ia pulang menggunakan taksi yang lewat di sekitar aula tersebut.Sebisa mungkin ia menahan air matanya selama di perjalanan namun hal itu terasa amat sulit. Air mata Purnama akhirnya menetes. Sang supir memperhatikan Purnama dari kaca."Apa pun masalah yang Ibu hadapi, Allah berikan itu agar Ibu kuat. Penderitaan dan rasa sakit akan menguatkan mental kita."Purnama tidak menjawab ucapan sang supir yang usianya mungkin sekitar usia ayahnya. Ucapan sang supir cukup mengena di hati Purnama, ia harus kuat demi dirinya dan demi calon buah hatinya.Sampai di rumah, Purnama segera masuk ke dalam kamarnya. Ia lelah lahir dan batin.Gawai Purnama berbunyi saat ia baru saja membersihkan diri. Ia melihat nama yang tertera di gawainya. Hatinya bersorak melihat nama sang ibu."Assalamualaikum,""Waalaikum salam,""Ibu, Nama kangen." ucap Purnama begitu mendengar suara ibunya. Di titik terendah, mende
Purnama mengingat betul perkataan ibunya, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Bintang atau pulang jika sudah tak sanggup lagi.Sampai di rumah waktu sudah hampir tengah malam. Ingin sekali ia berbicara serius dengan suaminya namun Bintang terlihat lelah dan masih kesal.Pagi hari setelah Bintang sarapan, Purnama sudah menyiapkan kata-kata untuk disampaikan pada suaminya.Segelas air putih ditaruh Purnama tepat di depan Bintang. "Mas, kita harus bicara serius.""Ada apa? Soal orang tua kamu?""Bukan, ini tentang rumah tangga kita.""Memangnya rumah tangga kita kenapa?" tanya Bintang tanpa rasa bersalah."Banyak hal yang harus kamu perbaiki, Mas, sebagai seorang suami.""Memangnya aku kenapa?" Bintang menatap Purnama.Ada kesal di hati Purnama, suaminya tidak merasa bersalah sedikit pun."Sebagai kepala rumah tangga seharusnya Mas lebih bertanggung jawab.""Owh, jadi maksud kamu aku gak bertanggung jawab
Purnama menahan tangisnya selama di dalam taksi. Ia sangat butuh dukungan saat ini. Diambilnya gawai di dalam tas. Ia menelpon sang ibu. Di dering pertama ibunya langsung menjawab."Assalamualaikum.""Waalaikum salam. Nama gimana kabar kamu?""Baik, Bu. Nama … mau lahiran, Bu.""Udah mules?" Suara ibu terdengar panik."Belum tapi mau diinduksi, Bu."“Kok induksi?”“Iya, udah lewat waktu,”"Sekarang udah di rumah sakit?""Masih di jalan, Bu.""Kasih ibu alamat rumah sakitnya nanti ibu sama ayah ke sana.""Iya, Bu."Setelah menelpon ibunya, Purnama merasa sedikit tenang. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil mengusap perut buncitnya.Sampai di rumah sakit, sang dokter langsung menangani dirinya. Memberi infus yang berisi obat induksi.Purnama berbaring di ranjang rumah sakit. Ia pasrah menyerahkan nasibnya pada Yang Maha Kuasa.Satu jam berla
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
Bintang menghabiskan baksonya dalam waktu singkat. Rupanya dia benar-benar lapar."Nama, aku mohon kamu pertimbangkan keinginanku. Aku tau kamu masih cinta, buktinya kamu belum menikah juga sampai sekarang."Purnama diam sejenak, memori saat menjalin rumah tangga bersama Bintang menyeruak. Luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit."Mas, kamu sudah menorehkan luka yang begitu dalam.""Aku sudah minta maaf, beri aku kesempatan kedua."Purnama berdiri lalu membayar pesanan bakso Bintang dan berlalu pergi. Ia malas melayani omongan Bintang."Nama, tunggu!" seru Bintang yang setengah berlari mengejar Purnama.Purnama tak peduli dengan teriakan Bintang. Yang penting saat ini Langit telah mendapatkan donor dan mulai membaik. Biarlah ia dianggap tidak tau terima kasih oleh Bintang.Grep!Bintang berhasil menarik tangan Purnama hingga Purnama menoleh ke arahnya dan berusaha melepaskan diri."Lepas!""Denge
Purnama menatap layar ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari Bintang sejak dia di dalam kamar mandi.[Nama, kita jalan yuk, berdua aja.][Aku pengen kita mengenang masa lalu, masa pacaran kita.][Mau ya?][Jawab dong pesan saya.]Baru saja Purnama menekan tombol untuk menjawab pesan Bintang, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dokter Surya begitu kata yang terpampang di layar."Assalamu'alaikum, Dok.""Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.""Ada apa, Dok?""Maaf mengganggu aktivitas sore kamu, saya mau mengajak Langit nonton film anak-anak yang baru tayang di bioskop ... sekalian sama kamu.""Nonton?""Iya, besok ba'da Zuhur saya jemput."Purnama terdiam sesaat, haruskah ia menerima ajakan Surya?"Diam berarti iya." Surya menyimpulkan sendiri lalu menutup panggilan.***Adzan Maghrib telah berkumandang beberapa saat yang lalu, Langit bersama ayah Purnama shalat berjamaah
Terdiam sejenak Purnama berpikir, apakah ia harus ikut bersama Bintang ke rumahnya dan bertemu dengan mantan mertuanya? Rumah itu penuh dengan kenangan buruk semasa ia menikah dengan Bintang."Ayolah, Nama. Cuma sebentar, kita gak akan lama kok.Langit setuju kan kalo mama ikut?" "Iya, Ma. Temenin Langit."Purnama bernapas berat lalu mengangguk."Terima kasih kamu mau ikut." ujar Bintang dengan mata berbinar.Setelah semua ice cream di meja mereka habis, ketiganya bergegas pergi ke parkiran. Lalu mendekati mobil Bintang."Naik," Bintang berkata pada Purnama sambil membuka pintu penumpang di bagian depan."Aku di belakang saja. Langit, kamu yang di depan!""Kenapa bukan kamu? Biar Langit di belakang." ujar Bintang."Aku pengen istirahat, jadi mending di belakang." Purnama beralasan, ia sebenarnya tak nyaman jika harus duduk berdekatan dengan Bintang."Ok lah kalau begitu. Langit, kamu yang di depan."
Langit sudah sembuh dari sakitnya dan mulai bersekolah. Hari pertama setelah sembuh dari sakit, Purnama mengantarkannya ke sekolah. "Mama mau ke bagian administrasi, Langit belajar di kelas ya! Nanti waktunya pulang, kakek yang jemput." "Iya, Ma." Purnama mencium pipi Langit dan Langit membalasnya lalu mencium punggung tangan Purnama lalu masuk ke kelas. Purnama ingat ia belum membayar administrasi sekolah bulan ini. Sebenarnya bisa dilakukan secara online tetapi mumpung ia berada di sekolah tidak ada salahnya ia membayar secara langsung. "Selamat pagi, Miss." sapa Purnama pada gadis muda yang bertugas di bagian administrasi sekolah. "Pagi, Mom." "Saya mau bayar SPP atas nama Langit," Gadis itu mengetik sesuatu di komputer lalu mengernyitkan dahinya. "SPP atas
Dokter Surya melakukan kunjungan ke kamar Langit pagi itu. Ia tahu sebentar lagi Langit dan Purnama akan pulang."Assalamualaikum. Selamat pagi,""Waalaikumsalam. Pagi, Dok." jawab Purnama yang menghentikan sejenak kegiatannya berbenah pakaian Langit."Bagaimana Langit, sudah mau pulang ya?" tanya Surya melihat Purnama yang berbenah. Ia mendekat ke ranjang pasien tempat Langit yang sedang duduk."Iya, Dok. Tadi dokter Andra sudah mengizinkan kami untuk pulang.Surya menganggukkan kepala, Andra adalah dokter spesialis anak yang bertanggung jawab menangani Langit."Dokter, Langit suka mobilannya, terima kasih." ucap Langit."Alhamdulillah kamu suka. Kalo ice cream suka gak?" Dokter Surya mengusap kepala Langit."Suka, suka banget.""Suka rasa apa?""Rasa vanilla, Om Dokter suka rasa apa?""Rasa vanilla juga. Kita samaan, tos dulu."Su
Bintang menghabiskan baksonya dalam waktu singkat. Rupanya dia benar-benar lapar."Nama, aku mohon kamu pertimbangkan keinginanku. Aku tau kamu masih cinta, buktinya kamu belum menikah juga sampai sekarang."Purnama diam sejenak, memori saat menjalin rumah tangga bersama Bintang menyeruak. Luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit."Mas, kamu sudah menorehkan luka yang begitu dalam.""Aku sudah minta maaf, beri aku kesempatan kedua."Purnama berdiri lalu membayar pesanan bakso Bintang dan berlalu pergi. Ia malas melayani omongan Bintang."Nama, tunggu!" seru Bintang yang setengah berlari mengejar Purnama.Purnama tak peduli dengan teriakan Bintang. Yang penting saat ini Langit telah mendapatkan donor dan mulai membaik. Biarlah ia dianggap tidak tau terima kasih oleh Bintang.Grep!Bintang berhasil menarik tangan Purnama hingga Purnama menoleh ke arahnya dan berusaha melepaskan diri."Lepas!""Denge
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini