Hati Purnama benar-benar sakit, ia pulang menggunakan taksi yang lewat di sekitar aula tersebut.
Sebisa mungkin ia menahan air matanya selama di perjalanan namun hal itu terasa amat sulit. Air mata Purnama akhirnya menetes. Sang supir memperhatikan Purnama dari kaca.
"Apa pun masalah yang Ibu hadapi, Allah berikan itu agar Ibu kuat. Penderitaan dan rasa sakit akan menguatkan mental kita."
Purnama tidak menjawab ucapan sang supir yang usianya mungkin sekitar usia ayahnya. Ucapan sang supir cukup mengena di hati Purnama, ia harus kuat demi dirinya dan demi calon buah hatinya.
Sampai di rumah, Purnama segera masuk ke dalam kamarnya. Ia lelah lahir dan batin.
Gawai Purnama berbunyi saat ia baru saja membersihkan diri. Ia melihat nama yang tertera di gawainya. Hatinya bersorak melihat nama sang ibu.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam,"
"Ibu, Nama kangen." ucap Purnama begitu mendengar suara ibunya. Di titik terendah, mendengar suara sang ibu seperti obat bagi Purnama.
"Kalo kangen, ke sini dong!"
"Iya, Bu. Purnama mau ke sana." Secara tiba-tiba Purnama memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia butuh untuk menenangkan diri.
"Ayah sama ibu pengen ngadain syukuran atas kehamilan kamu."
"Gak usah ngerepotin, Bu."
"Gak repot, ibu seneng mau punya cucu dari kamu."
"Nama pengen ketemu Ibu aja kok,"
"Mumpung kamu mau ke rumah, besok kita adakan pengajiannya ya?"
"Dadakan banget, Bu. Nama gak bisa bantu apa-apa."
"Gak apa-apa, tinggal pesan makanan terus undang ustadz sama tetangga-tetangga. Sederhana aja acaranya yang penting berkah."
"Iya, Bu."
"Jam berapa kamu berangkat?"
"Ini lagi siap-siap."
"Yaudah, ibu tunggu. Hati-hati di jalan."
"Iya, Bu."
Purnama mematikan gawainya lalu mengambil tas dan memasukkan baju dan perlengkapan menginap untuk 2 hari. Hanya dalam 15 menit ia telah selesai bersiap.
Purnama membawa tasnya menuju pintu depan. Tepat saat ia membuka pintu, Bintang sudah ada di teras.
"Mau kemana?"
"Pulang ke rumah ibu."
"Ngambek gara-gara Alice?"
"Ibu mau ngadain syukuran kehamilan aku."
"Alasan aja kamu, paling juga ngambek makanya kamu mau pergi."
"Terserah, Mas mau mikir apa tentang aku!" Purnama mendorong Bintang hingga ia leluasa lewat.
"Aku nggak izinin kamu pergi," larang Bintang.
"Aku gak perlu izin suami yang lebih memilih mantannya daripada istri sendiri!"
"Benar dugaan aku, kamu memang ngambek makanya mau pulang,"
"Terserah Mas mau anggap aku ngambek sekalipun, yang pasti aku butuh menenangkan diri atas kelakuan kamu!"
Purnama melangkah keluar rumahnya, sebuah taksi yang ia pesan telah menunggunya.
Selama perjalanan Purnama hanya terdiam dan sesekali mengusap perut buncitnya. Setelah hampir dua jam ia tiba di rumah orang tuanya.
"Loh kok sendirian, mana Bintang?"
"Mas Bintang lagi sibuk banget, Bu. Ada kerjaan." Purnama berbohong, ia tidak mau kedua orang tuanya tahu bahwa rumah tangganya bermasalah.
"Kan besok kita adakan syukuran kehamilan kamu, masa suamimu nggak ada?!" Ayah Purnama ikut bicara.
"Apa dia gak bisa meluangkan waktu sebentar saja ke sini?" Ibu menimpali.
"Nanti Nama hubungi Mas Bintang biar nyusul ke sini."
"Pastikan dia ke sini, acara ini ‘kan untuk anaknya juga."
"Iya, Yah."
Kedua orang tua Purnama menyadari keanehan putrinya. Sang menantu tidak ikut dan mata Purnama terlihat sembab. Namun mereka tidak ingin menginterogasi putrinya bagaimanapun Purnama telah memiliki rumah tangganya sendiri dan mereka tidak bisa ikut campur seenaknya.
Malam itu Purnama kembali tidur di kamar lamanya. Ingin sekali ia menceritakan masalah rumah tangganya namun ia tidak ingin membuat keduanya bersedih.
"Nak, kamu tumbuh yang sehat ya! Mama akan bertahan demi kamu." ucap Purnama sambil mengelus perutnya. Ia tidak ingin anaknya tumbuh tanpa kasih sayang yang utuh.
Pagi hari di rumah orang tua Purnama telah cukup sibuk. Sang ibu membuat sarapan untuk mereka santap.
"Nama!" panggil ayah.
"Ya, Ayah." Purnama menghampiri ayahnya.
"Telpon Bintang, kasi tau nanti sore ada syukuran dan dia harus datang."
"Iya." Purnama mengambil gawainya lalu menghubungi Bintang namun tidak juga ada jawaban.
"Gimana?"
"Gak diangkat, mungkin masih tidur."
"Jam segini masih tidur, " keluh ayah sambil melihat ke arah jam dinding yang menunjuk pada arah pukul 6.30.
"Nanti Nama telpon lagi."
"Heum."
Ayah menyesap kopinya dan Purnama kembali ke dapur. Hati Purnama tidak tenang, kalau Bintang tidak datang ayah dan ibunya akan mengetahui jika mereka bertengkar.
Sampai siang hari Purnama belum berhasil menghubungi suaminya. Tiap kali ia menelpon selalu ada nada sambung namun tak jua dijawab oleh Bintang.
***
Sore menjelang, rumah sudah dirapikan untuk menyambut para tetangga yang akan menghadiri pengajian. Purnama semakin tidak tenang menunggu Bintang yang tak jua datang.
"Nama, jam berapa Bintang datang?" Ayah Purnama bertanya lagi. Hari ini entah sudah berapa kali ayahnya bertanya.
"Hapenya belum bisa dihubungi, Yah."
Raut kecewa jelas terlihat di wajah ayah Purnama. Dan itu membuat hati Purnama makin tak nyaman.
Purnama sekali lagi berusaha menelepon suaminya namun hasilnya sama, tidak ada jawaban. Ia juga meninggalkan pesan Whats App. Pesan-pesan sebelumnya yang ia kirim telah dibaca suaminya terbukti dari centang dua berwarna biru di pesan tersebut. Namun Bintang tidak menjawab bahkan satu huruf sekalipun.
[Mas aku tahu kamu sudah baca pesan-pesanku. Tolong dijawab, Mas.]
Purnama melempar gawainya ke atas kasur setelah pesan itu terkirim.
Setelah shalat Isya, tetangga-tetangga orang tua Purnama berdatangan. Namun masih tidak ada kabar dari Bintang.
Pengajian pun dimulai. Doa-doa dipanjatkan. Sebuah Avanza parkir di depan rumah orang tua Purnama. Purnama merasa lega, suaminya datang.
Suasana rumah yang penuh dengan tamu tidak memungkinkan Bintang untuk masuk menemui istrinya. Ia kemudian duduk di antara para tamu.
Selesai acara pengajian, tetangga-tetangga pun pulang sambil membawa makanan yang disiapkan. Setelah semua bubar, sosok Bintang terlihat.
Bintang menghampiri mertuanya lalu mencium punggung tangan ayah mertuanya.
"Akhirnya datang juga." ucap ayah Purnama sambil menatap tak suka pada Bintang.
"Iya, Yah. Macet tadi," bohong Bintang. Jalanan sama sekali tidak macet sore itu, ia hanya mencari alasan untuk keterlambatannya.
"Kamu pasti masih cape, istirahat dulu di kamar Purnama!" Seru ibu pada Bintang.
Purnama tidak berkata apa pun, ia masih kesal pada Bintang. Saat Bintang melangkah menuju kamarnya ia mengikuti saja.
Bintang menutup pintu kamar saat mereka berdua sudah ada di dalam kamar.
"Kenapa ayah keliatannya gak suka banget aku dateng?" tanya Bintang dengan posisi berdiri.
"Salah kamu sendiri." Purnama duduk di ranjangnya.
"Aku salah apa?"
"Kamu dateng telat udah gitu liat tampilan kamu di cermin! Ini pengajian, Mas, bukan konser musik."
Bintang melihat bayangan dirinya sejenak di dalam kaca. Ia memakai kaos oblong hitam dengan celana jeans yang robek di bagian lutut.
"Ck ... aku abis jalan sama temen, wajar pake baju begini."
"Ini pengajian, Mas. Aku udah kasi tau ‘kan ada pengajian di sini."
"Pikiran ayah kolot."
"Mas aja yang gak bisa menyesuaikan pakaian dengan acara yang akan dihadiri."
"Salah kamu yang kirim pesan berkali-kali. Bikin aku gak sempet ganti baju!"
"Jadi salah aku?! Aku udah berusaha telpon kamu dari pagi tapi gak kamu angkat, ya aku kirim pesen. Dan aku udah bilang ya di pesen aku tadi pagi kalo malam ini ada pengajian!"
"Aku dateng ke sini salah, gak dateng juga salah! Mending aku pulang."
Mendengar suaminya akan pulang, Purnama merasa khawatir. Kalau suaminya malam ini pulang begitu saja kedua orang tuanya akan tahu mereka bertengkar. Dan Purnama tidak mau hal itu terjadi.
"Kalo Mas mau pulang, aku ikut."
"Mau apa ikut pulang? Bukannya kamu suka di sini?"
"Aku gak mau ayah tahu kondisi kita,"
"Terserah kamu."
Purnama segera merapikan tasnya, Bintang hanya diam berdiri melihat tindakan istrinya.
Setelah tasnya rapi, Purnama mengekori Bintang untuk pamit pada kedua orang tuanya.
"Loh kok udah bawa tas aja?" tanya Ibu yang sedang merapikan piring dan gelas sisa pengajian tadi.
"Mau pulang, Bu."
"Ayah, ini Purnama mau pulang!" panggil Ibu pada ayah yang ada di dalam kamar.
Mendengar suara ibu memanggil, ayah keluar dengan menggunakan sarung dan kaos oblongnya.
"Loh kok pulang?"
"Saya ada kerjaan besok pagi-pagi sekali." Bintang beralasan.
"Owh."
"Kami pamit,"
Bintang mencium punggung tangan kedua mertuanya diikuti Purnama. Ibu memeluk Purnama seraya berbisik, "Selesaikan masalah kamu dengan suamimu secara baik-baik, kalau kamu sudah tidak sanggup lebih baik kamu pulang ke sini." Purnama mengangguk mendengar ucapan ibunya.
Purnama mengingat betul perkataan ibunya, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Bintang atau pulang jika sudah tak sanggup lagi.Sampai di rumah waktu sudah hampir tengah malam. Ingin sekali ia berbicara serius dengan suaminya namun Bintang terlihat lelah dan masih kesal.Pagi hari setelah Bintang sarapan, Purnama sudah menyiapkan kata-kata untuk disampaikan pada suaminya.Segelas air putih ditaruh Purnama tepat di depan Bintang. "Mas, kita harus bicara serius.""Ada apa? Soal orang tua kamu?""Bukan, ini tentang rumah tangga kita.""Memangnya rumah tangga kita kenapa?" tanya Bintang tanpa rasa bersalah."Banyak hal yang harus kamu perbaiki, Mas, sebagai seorang suami.""Memangnya aku kenapa?" Bintang menatap Purnama.Ada kesal di hati Purnama, suaminya tidak merasa bersalah sedikit pun."Sebagai kepala rumah tangga seharusnya Mas lebih bertanggung jawab.""Owh, jadi maksud kamu aku gak bertanggung jawab
Purnama menahan tangisnya selama di dalam taksi. Ia sangat butuh dukungan saat ini. Diambilnya gawai di dalam tas. Ia menelpon sang ibu. Di dering pertama ibunya langsung menjawab."Assalamualaikum.""Waalaikum salam. Nama gimana kabar kamu?""Baik, Bu. Nama … mau lahiran, Bu.""Udah mules?" Suara ibu terdengar panik."Belum tapi mau diinduksi, Bu."“Kok induksi?”“Iya, udah lewat waktu,”"Sekarang udah di rumah sakit?""Masih di jalan, Bu.""Kasih ibu alamat rumah sakitnya nanti ibu sama ayah ke sana.""Iya, Bu."Setelah menelpon ibunya, Purnama merasa sedikit tenang. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil mengusap perut buncitnya.Sampai di rumah sakit, sang dokter langsung menangani dirinya. Memberi infus yang berisi obat induksi.Purnama berbaring di ranjang rumah sakit. Ia pasrah menyerahkan nasibnya pada Yang Maha Kuasa.Satu jam berla
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
Bintang menghabiskan baksonya dalam waktu singkat. Rupanya dia benar-benar lapar."Nama, aku mohon kamu pertimbangkan keinginanku. Aku tau kamu masih cinta, buktinya kamu belum menikah juga sampai sekarang."Purnama diam sejenak, memori saat menjalin rumah tangga bersama Bintang menyeruak. Luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit."Mas, kamu sudah menorehkan luka yang begitu dalam.""Aku sudah minta maaf, beri aku kesempatan kedua."Purnama berdiri lalu membayar pesanan bakso Bintang dan berlalu pergi. Ia malas melayani omongan Bintang."Nama, tunggu!" seru Bintang yang setengah berlari mengejar Purnama.Purnama tak peduli dengan teriakan Bintang. Yang penting saat ini Langit telah mendapatkan donor dan mulai membaik. Biarlah ia dianggap tidak tau terima kasih oleh Bintang.Grep!Bintang berhasil menarik tangan Purnama hingga Purnama menoleh ke arahnya dan berusaha melepaskan diri."Lepas!""Denge
Dokter Surya melakukan kunjungan ke kamar Langit pagi itu. Ia tahu sebentar lagi Langit dan Purnama akan pulang."Assalamualaikum. Selamat pagi,""Waalaikumsalam. Pagi, Dok." jawab Purnama yang menghentikan sejenak kegiatannya berbenah pakaian Langit."Bagaimana Langit, sudah mau pulang ya?" tanya Surya melihat Purnama yang berbenah. Ia mendekat ke ranjang pasien tempat Langit yang sedang duduk."Iya, Dok. Tadi dokter Andra sudah mengizinkan kami untuk pulang.Surya menganggukkan kepala, Andra adalah dokter spesialis anak yang bertanggung jawab menangani Langit."Dokter, Langit suka mobilannya, terima kasih." ucap Langit."Alhamdulillah kamu suka. Kalo ice cream suka gak?" Dokter Surya mengusap kepala Langit."Suka, suka banget.""Suka rasa apa?""Rasa vanilla, Om Dokter suka rasa apa?""Rasa vanilla juga. Kita samaan, tos dulu."Su
Purnama menatap layar ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari Bintang sejak dia di dalam kamar mandi.[Nama, kita jalan yuk, berdua aja.][Aku pengen kita mengenang masa lalu, masa pacaran kita.][Mau ya?][Jawab dong pesan saya.]Baru saja Purnama menekan tombol untuk menjawab pesan Bintang, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dokter Surya begitu kata yang terpampang di layar."Assalamu'alaikum, Dok.""Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.""Ada apa, Dok?""Maaf mengganggu aktivitas sore kamu, saya mau mengajak Langit nonton film anak-anak yang baru tayang di bioskop ... sekalian sama kamu.""Nonton?""Iya, besok ba'da Zuhur saya jemput."Purnama terdiam sesaat, haruskah ia menerima ajakan Surya?"Diam berarti iya." Surya menyimpulkan sendiri lalu menutup panggilan.***Adzan Maghrib telah berkumandang beberapa saat yang lalu, Langit bersama ayah Purnama shalat berjamaah
Terdiam sejenak Purnama berpikir, apakah ia harus ikut bersama Bintang ke rumahnya dan bertemu dengan mantan mertuanya? Rumah itu penuh dengan kenangan buruk semasa ia menikah dengan Bintang."Ayolah, Nama. Cuma sebentar, kita gak akan lama kok.Langit setuju kan kalo mama ikut?" "Iya, Ma. Temenin Langit."Purnama bernapas berat lalu mengangguk."Terima kasih kamu mau ikut." ujar Bintang dengan mata berbinar.Setelah semua ice cream di meja mereka habis, ketiganya bergegas pergi ke parkiran. Lalu mendekati mobil Bintang."Naik," Bintang berkata pada Purnama sambil membuka pintu penumpang di bagian depan."Aku di belakang saja. Langit, kamu yang di depan!""Kenapa bukan kamu? Biar Langit di belakang." ujar Bintang."Aku pengen istirahat, jadi mending di belakang." Purnama beralasan, ia sebenarnya tak nyaman jika harus duduk berdekatan dengan Bintang."Ok lah kalau begitu. Langit, kamu yang di depan."
Langit sudah sembuh dari sakitnya dan mulai bersekolah. Hari pertama setelah sembuh dari sakit, Purnama mengantarkannya ke sekolah. "Mama mau ke bagian administrasi, Langit belajar di kelas ya! Nanti waktunya pulang, kakek yang jemput." "Iya, Ma." Purnama mencium pipi Langit dan Langit membalasnya lalu mencium punggung tangan Purnama lalu masuk ke kelas. Purnama ingat ia belum membayar administrasi sekolah bulan ini. Sebenarnya bisa dilakukan secara online tetapi mumpung ia berada di sekolah tidak ada salahnya ia membayar secara langsung. "Selamat pagi, Miss." sapa Purnama pada gadis muda yang bertugas di bagian administrasi sekolah. "Pagi, Mom." "Saya mau bayar SPP atas nama Langit," Gadis itu mengetik sesuatu di komputer lalu mengernyitkan dahinya. "SPP atas
Dokter Surya melakukan kunjungan ke kamar Langit pagi itu. Ia tahu sebentar lagi Langit dan Purnama akan pulang."Assalamualaikum. Selamat pagi,""Waalaikumsalam. Pagi, Dok." jawab Purnama yang menghentikan sejenak kegiatannya berbenah pakaian Langit."Bagaimana Langit, sudah mau pulang ya?" tanya Surya melihat Purnama yang berbenah. Ia mendekat ke ranjang pasien tempat Langit yang sedang duduk."Iya, Dok. Tadi dokter Andra sudah mengizinkan kami untuk pulang.Surya menganggukkan kepala, Andra adalah dokter spesialis anak yang bertanggung jawab menangani Langit."Dokter, Langit suka mobilannya, terima kasih." ucap Langit."Alhamdulillah kamu suka. Kalo ice cream suka gak?" Dokter Surya mengusap kepala Langit."Suka, suka banget.""Suka rasa apa?""Rasa vanilla, Om Dokter suka rasa apa?""Rasa vanilla juga. Kita samaan, tos dulu."Su
Bintang menghabiskan baksonya dalam waktu singkat. Rupanya dia benar-benar lapar."Nama, aku mohon kamu pertimbangkan keinginanku. Aku tau kamu masih cinta, buktinya kamu belum menikah juga sampai sekarang."Purnama diam sejenak, memori saat menjalin rumah tangga bersama Bintang menyeruak. Luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit."Mas, kamu sudah menorehkan luka yang begitu dalam.""Aku sudah minta maaf, beri aku kesempatan kedua."Purnama berdiri lalu membayar pesanan bakso Bintang dan berlalu pergi. Ia malas melayani omongan Bintang."Nama, tunggu!" seru Bintang yang setengah berlari mengejar Purnama.Purnama tak peduli dengan teriakan Bintang. Yang penting saat ini Langit telah mendapatkan donor dan mulai membaik. Biarlah ia dianggap tidak tau terima kasih oleh Bintang.Grep!Bintang berhasil menarik tangan Purnama hingga Purnama menoleh ke arahnya dan berusaha melepaskan diri."Lepas!""Denge
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini