"Apa perlu ke dokter?" tanya Bintang sambil duduk di sebelah Purnama.
Purnama menoleh ke arah suaminya. Sejak tadi ia berbaring dan Bintang meninggalkannya entah untuk keperluan apa.
"Nggak usah, Mas. Ini biasa bagi orang hamil. Morning sicknes."
"Tapi kamu lemes gitu, dari tadi tiduran terus."
"Cuma pusing sedikit, nanti juga reda."
"Ada obat yang dikasi dokter?"
"Ada. Vitamin sama obat mual."
"Udah diminum?"
"Udah."
Bintang memperbaiki posisi selimut Purnama, lalu diusapnya kepala Purnama.
"Purnama!" seru kedua mertua Purnama, mereka berdiri di pintu kamar.
"Bintang bilang kamu hamil?" "Iya, Mi."
"Alhamdulillah ya, mudah-mudahan anaknya laki-laki."
"Papi juga pengen cucu laki-laki."
"Laki-laki atau perempuan yang penting sehat, Mi." jawab Purnama sambil mengelus perutnya yang masih rata.
"Orang hamil jangan suka males, biar bayinya juga gak males nantinya. Bergerak, jangan tiduran terus!" kritik sang ibu mertua.
"Iya, Mi, ini lagi pusing dikit jadi istirahat."
"Pusing gitu jangan diturutin, tuman!"
"Iya, Mi."
"Bintang, kamu juga jangan terlalu manjain istri. Anter mami ke pasar!"
"Biasanya gak ke pasar, Mi."
"Mami kan harus masak hari ini," sang ibu mertua menatap ke arah Purnama.
Mendapat tatapan demikian Purnama merasa tak nyaman, sehari-hari yang selalu memasak adalah dirinya. Kondisi dirinya yang kini terbaring memberatkan mertuanya. Ibu mertuanya jarang ada di rumah, ia lebih sering di ruko sehingga urusan memasak untuk Bintang, ayah mertua dan adik iparnya diserahkan pada Purnama.
"Mas, anter mami aja dulu! Aku gak pa-pa kok ditinggal."
"Yaudah kalo gitu aku siap-siap."
Bintang dan maminya keluar dari kamar. Purnama mengembuskan napas, menghadapi ibu mertuanya memang membutuhkan kesabaran ekstra. Namun hari ini Purnama merasa senang, Bintang amat peduli padanya.
Terima kasih ya Dek, kehadiran kamu bikin papa berubah. Mama sayang kamu.
Purnama baru saja akan memejamkan matanya saat gawainya berbunyi, ada panggilan masuk dari Pak Alex.
"Halo, Purnama,"
"Ya, Pak."
"Gimana kondisi kamu?"
"Baik. cuma morning sickness aja."
"Mual?"
"Iya."
"Take your time ya, istirahat yang cukup gak usah mikirin kerjaan kantor. Saya gak mau kamu dan calon baby kenapa- kenapa."
"Terima kasih, Pak, atas perhatiannya."
"Telepon dari siapa? Pak Alex ya?" suara Bintang tiba- tiba terdengar. Purnama langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Aku gak suka kamu berhubungan sama dia,"
"Dia kan atasan aku di kantor."
"Pokoknya aku gak suka."
Bintang mengambil jaketnya lalu pergi.
Mata Purnama menerawang langit-langit kamar, Bintang kini sudah begitu baik padanya dan menginginkan dirinya menjauhi Alex. Purnama bingung, bagaimana ia bisa menjauhi Alex jika tiap hari mereka berjumpa di kantor. Haruskah Purnama berhenti bekerja?
Kepala Purnama makin berdenyut memikirkan masalahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur, ia akan memikirkan hal itu setelah kepalanya tidak lagi pusing.
Matahari telah tinggi saat Purnama membuka matanya, kepalanya tidak lagi terasa pusing seperti tadi pagi. Ia bangkit dari kasur lalu membersihkan diri.
Purnama merasa lebih segar setelah mandi. Ia kini berada di dapur mengecek persediaan makananannya. Di kulkas hanya ada telur, di meja makan pun belum ada nasi.
Ceklek!
Bintang masuk sambil membawa nampan di tangannya.
Ada nasi, sayur dan lauk pauk di atas nampan.
"Ini dari mami," Bintang menaruh nampan di meja makan.
"Mami masak?" Purnama melihat makanan yang dibawa suaminya.
"Iya,"
"Alhamdulillah, baru aja aku mau masak."
"Kamu udah enakan?"
"Alhamdulillah udah gak terlalu pusing."
"Bagus deh, yuk kita makan!"
Purnama memgambil 2 piring kosong untuk mereka makan. Lalu menyendokkan nasi, sayur dan lauk untuk suaminya dan barulah untuk dirinya sendiri.
"Mas hari ini gak ke bengkel?" tanya Purnama sebelum menyuapkan nasinya.
"Enggak,"
"Biasanya jam segini udah di bengkel,"
"Bengkel tutup."
"Loh kok tutup?"
"Alatnya ada yang rusak." ucap Bintang sambil sibuk menyendokkan nasi ke mulutnya.
"Emang gak bisa diperbaiki?"
"Gak bias. Harus beli baru tapi mahal banget harganya."
"Ya beli aja, Mas,"
"Uang dari mana? Mahal gitu."
Purnama tertegun sesaat. Suaminya sedang kesulitan, kesulitan suami adalah kesulitan istri juga begitu ajaran ibunya. Purnama ingin sekali membantu.
"Aku punya sedikit tabungan, Mas."
"Berapa?" Pupil mata Bintang membesar.
"Gak banyak sih tapi ada 5 juta."
"Aku pake ya? Alat itu harus buru-buru dibeli biar bengkel bisa dibuka lagi."
"Mm ...."
"Ayolah, aku butuh banget. Anggep aja investasi, nanti tiap bulan kamu dapet bagian dari hasil bengkel."
"Mas butuhnya berapa?"
"Belum tau pastinya, soalnya aku belum cek harga."
Tanpa pikir panjang Purnama masuk ke kamar dan mengambil dompet lalu mengeluarkan kartu atmnya, "Ini atm aku, pinnya hari pernikahan kita. Mas pake aja berapa butuhnya."
"Wah makasih ya!" Wajah Bintang berbinar.
"Iya."
Purnama bahagia bisa meringankan beban suaminya. Ia merasa rumah tangganya akan membaik dengan perubahan sikap Bintang.
***
Purnama telah berfikir, demi keutuhan rumah tangganya ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ada rasa khawatir akan rizqi-Nya tetapi ia meyakinkan diri kalau niatnya baik insya Allah rizqi tetap akan mengalir.
Surat pengunduran diri telah ada di tangannya. Purnama mengetuk ruangan Alex.
"Masuk!" suara Alex terdengar cukup keras.
Dengan hati-hati Purnama melangkah ke dalam. Inginnya ia membiarkan pintu tetap terbuka agar tidak ada fitnah namun pintu ruang Alex otomatis tertutup jika tidak diberi penahan.
"Ada apa Purnama?" tanya Alex ramah begitu Purnama berdiri di hadapannya.
"Saya mau ngasih ini." Purnama menyerahkan surat yang terbungkus amplop berwarna coklat.
"Duduk dulu, bumil gak baik berdiri lama-lama."
Purnama mengikuti anjuran atasannya, ia duduk di kursi tepat di seberang Alex. "Makasih, Pak."
Alex membuka amplop itu lalu membaca isinya. "Pengunduran diri?"
"Iya, Pak."
"Kinerja kamu bagus dan gak ada masalah di kantor, kenapa harus ngundurin diri?"
"Morning sickness saya lumayan parah dan saya gak boleh kecapean."
"Kamu bisa istirahat sejenak kalo cape, saya juga gak akan nugasin kamu ke proyek. "
"Mencegah lebih baik daripada mengobati, saya jaga- jaga Pak. Sudah lama kami mengharapkan anak ini."
"Saya berharap kamu gak perlu mengundurkan diri, karyawan seperti kamu berharga bagi perusahaan."
"Keputusan saya sudah bulat, Pak."
Alex mengembuskan napas kasar. "Kalau kamu bersikeras saya tidak bisa menahan."
"Terima kasih atas pengertiannya, Pak."
***
"Kamu gak kerja?" Bintang bertanya sambil mengucek matanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi, Purnama yang sedang membersihkan sayuran menoleh pada Bintang.
"Aku resign, Mas." "Kenapa?"
"Kamu bilang ‘kan aku harus menjauh dari Pak Alex, satu-satunya cara ya resign."
"Heum." Bintang duduk di kursi makan lalu mulai menyuapkan nasi gorengnya.
Purnama melanjutkan kegiatannya tidak jauh dari Bintang. Bahan-bahan untuk membuat makan siang disiapkannya.
Ceklek!
Pintu rumah Purnama terbuka, seperti biasa bapak mertuanya datang untuk sarapan.
"Loh Purnama ada di rumah? Gak kerja?"
"Enggak, Pih. Saya resign."
"Loh kenapa?"
"Mual-mual mulu tiap pagi." Purnama beralasan, ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya pada sang mertua.
"Orang hamil kan biasa mual-mual. Tahan-tahan dikitlah." Sang mertua ikut mengambil nasi goreng dan duduk di sebelah Bintang.
"Kerjaan jadi gak bener, Pih."
"Ah payah, mau makan apa nanti kalo gak kerja?" Mendengar ucapan mertuanya, Purnama merasa kesal.
"Kan ada Mas Bintang yang punya kewajiban menafkahi saya." Selesai berkata, Purnama meninggalkan mertuanya menuju ke kamar. Bisa saja ia mendebat mertuanya tetapi Purnama tidak mau bertengkar dengan ayah dari suaminya hingga ia memilih menghindar.
***
Purnama terkejut melihat saldo di rekeningnya. Ia berniat belanja dan mampir terlebih dahulu ke sebuah mesin ATM untuk mengambil uang. Namun ternyata uangnya hanya tersisa Rp. 200.000 saja.
Tadi pagi Bintang mengembalikan kartu ATM-nya seraya berterima kasih dan mengecup keningnya.
Setidaknya uangku untuk mendukung usaha suami. Hibur Purnama pada dirinya sendiri.
Dengan sejumlah uang yang baru saja ditariknya dari mesin ATM, Purnama berbelanja kebutuhan dapur. Setelah itu ia pulang dengan mengendarai ojek.
Sampai di rumah, Purnama beristirahat. Kondisi hamil membuatnya cepat lelah apalagi ini hamil muda. Sejenak Purnama terlelap di kamarnya.
Sayup-sayup terdengar suara Bintang bercakap-cakap dengan seorang pria. Purnama terbangun dari tidurnya.
Dilihatnya sang suami sedang bersama sahabatnya duduk di teras rumah. Sebagai tuan rumah yang baik, Purnama membuatkan keduanya minum.
Dua gelas kopi diletakkan di atas nampan dan dibawa Purnama menuju teras.
"Gimana bengkel lu setelah dipasang penglaris?"
"Lumayan, jadi lebih banyak yang dateng."
"Hebat juga ya mbah Dogol, mantap."
"Harusnya bisa lebih laris kalo gue pake yang 10 juta."
"Emang lu pake yang berapa?"
"Yang 5 juta, itu juga duit bini gue."
"Tapi lumayan kan sekarang, nanti kalo ada duit pasang lagi aja yang 10 juta."
Purnama membeku sesaat mendengar pembicaraan suaminya.
Jadi uangku untuk masang penglaris bukan beli alat bengkel, astaghfirullah!
Purnama merasa dibohongi, hatinya sesak. Ia berjalan mendekati suaminya yang terdiam saat melihatnya.
Purnama lahir di keluarga yang agamis, ia paham betul dasar-dasar dalam agama Islam. Dan pergi ke dukun adalah syirik, sebuah dosa besar.
Ia menaruh dua gelas kopi di meja dekat suaminya lalu menatap Bintang dengan tatapan marah.
Teman Bintang merasa tak enak melihat wajah Purnama yang menyiratkan kemarahan. "Gue balik dulu, Bro, ada urusan."
Begitu teman Bintang pergi, Purnama mengungkapkan kekesalannya.
"Mas bohong sama aku!"
"Bohong apa?"
"Uang aku bukan buat beli alat tapi buat ke dukun kan?"
"Aku butuh penglaris biar bengkelku gak sepi,"
"Aku gak rela, Mas, kalo uangku buat bayar dukun!"
"Kalo bengkel itu laris, kan kamu juga yang untung."
"Tapi ke dukun itu dosa, Mas. Syirik!"
"Yang penting bengkel laris, dapet duit. Aku bakal balikin duit kamu, tenang aja!"
"Ini bukan masalah duit dikembaliin apa enggak, Mas udah bohong sama aku dan Mas melakukan dosa besar dengan pergi ke dukun."
"Sok suci kamu! Nanti kalo dapet duit juga kamu mau!"
"Aku bukan sok suci, aku cuma mengatakan yang sebenarnya,"
"Berisik!"
Bintang pergi sambil membawa kotak rokoknya.
Purnama benar-benar kesal dengan ulah suaminya. Ia mengusap perutnya perlahan sambil berbisik, "Jangan kamu tiru kelakuan ayahmu!"Ia berharap anaknya hanya mewarisi hal-hal baik dari kedua orang tuanya.Purnama membereskan rumah, menyapu dan mengepelnya. Begitu sampai di bagian dapur ia melihat persediaan berasnya menipis. Ia juga teringat dengan saldo ATM-nya yang nyaris 0 rupiah.Aku harus berbuat sesuatu!Selesai membersihkan rumahnya, Purnama menyalakan laptopnya. Ia berselancar di dunia maya mencari lowongan pekerjaan. Beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya dan berlokasi tidak jauh dari rumahnya ia simpan.Purnama mulai membuat surat lamaran pekerjaan dan mengirimkannya.Bismillah, semoga keterima. Aamiin.***Selama berhari-hari Purnama menunggu jawaban dari lamaran yang ia kirimkan namun tiap kali mengecek email tidak ada jawaban yang ia harapkan. Sementara itu persediaan beras ma
Hati Purnama benar-benar sakit, ia pulang menggunakan taksi yang lewat di sekitar aula tersebut.Sebisa mungkin ia menahan air matanya selama di perjalanan namun hal itu terasa amat sulit. Air mata Purnama akhirnya menetes. Sang supir memperhatikan Purnama dari kaca."Apa pun masalah yang Ibu hadapi, Allah berikan itu agar Ibu kuat. Penderitaan dan rasa sakit akan menguatkan mental kita."Purnama tidak menjawab ucapan sang supir yang usianya mungkin sekitar usia ayahnya. Ucapan sang supir cukup mengena di hati Purnama, ia harus kuat demi dirinya dan demi calon buah hatinya.Sampai di rumah, Purnama segera masuk ke dalam kamarnya. Ia lelah lahir dan batin.Gawai Purnama berbunyi saat ia baru saja membersihkan diri. Ia melihat nama yang tertera di gawainya. Hatinya bersorak melihat nama sang ibu."Assalamualaikum,""Waalaikum salam,""Ibu, Nama kangen." ucap Purnama begitu mendengar suara ibunya. Di titik terendah, mende
Purnama mengingat betul perkataan ibunya, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Bintang atau pulang jika sudah tak sanggup lagi.Sampai di rumah waktu sudah hampir tengah malam. Ingin sekali ia berbicara serius dengan suaminya namun Bintang terlihat lelah dan masih kesal.Pagi hari setelah Bintang sarapan, Purnama sudah menyiapkan kata-kata untuk disampaikan pada suaminya.Segelas air putih ditaruh Purnama tepat di depan Bintang. "Mas, kita harus bicara serius.""Ada apa? Soal orang tua kamu?""Bukan, ini tentang rumah tangga kita.""Memangnya rumah tangga kita kenapa?" tanya Bintang tanpa rasa bersalah."Banyak hal yang harus kamu perbaiki, Mas, sebagai seorang suami.""Memangnya aku kenapa?" Bintang menatap Purnama.Ada kesal di hati Purnama, suaminya tidak merasa bersalah sedikit pun."Sebagai kepala rumah tangga seharusnya Mas lebih bertanggung jawab.""Owh, jadi maksud kamu aku gak bertanggung jawab
Purnama menahan tangisnya selama di dalam taksi. Ia sangat butuh dukungan saat ini. Diambilnya gawai di dalam tas. Ia menelpon sang ibu. Di dering pertama ibunya langsung menjawab."Assalamualaikum.""Waalaikum salam. Nama gimana kabar kamu?""Baik, Bu. Nama … mau lahiran, Bu.""Udah mules?" Suara ibu terdengar panik."Belum tapi mau diinduksi, Bu."“Kok induksi?”“Iya, udah lewat waktu,”"Sekarang udah di rumah sakit?""Masih di jalan, Bu.""Kasih ibu alamat rumah sakitnya nanti ibu sama ayah ke sana.""Iya, Bu."Setelah menelpon ibunya, Purnama merasa sedikit tenang. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil mengusap perut buncitnya.Sampai di rumah sakit, sang dokter langsung menangani dirinya. Memberi infus yang berisi obat induksi.Purnama berbaring di ranjang rumah sakit. Ia pasrah menyerahkan nasibnya pada Yang Maha Kuasa.Satu jam berla
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
Purnama menatap layar ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari Bintang sejak dia di dalam kamar mandi.[Nama, kita jalan yuk, berdua aja.][Aku pengen kita mengenang masa lalu, masa pacaran kita.][Mau ya?][Jawab dong pesan saya.]Baru saja Purnama menekan tombol untuk menjawab pesan Bintang, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dokter Surya begitu kata yang terpampang di layar."Assalamu'alaikum, Dok.""Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.""Ada apa, Dok?""Maaf mengganggu aktivitas sore kamu, saya mau mengajak Langit nonton film anak-anak yang baru tayang di bioskop ... sekalian sama kamu.""Nonton?""Iya, besok ba'da Zuhur saya jemput."Purnama terdiam sesaat, haruskah ia menerima ajakan Surya?"Diam berarti iya." Surya menyimpulkan sendiri lalu menutup panggilan.***Adzan Maghrib telah berkumandang beberapa saat yang lalu, Langit bersama ayah Purnama shalat berjamaah
Terdiam sejenak Purnama berpikir, apakah ia harus ikut bersama Bintang ke rumahnya dan bertemu dengan mantan mertuanya? Rumah itu penuh dengan kenangan buruk semasa ia menikah dengan Bintang."Ayolah, Nama. Cuma sebentar, kita gak akan lama kok.Langit setuju kan kalo mama ikut?" "Iya, Ma. Temenin Langit."Purnama bernapas berat lalu mengangguk."Terima kasih kamu mau ikut." ujar Bintang dengan mata berbinar.Setelah semua ice cream di meja mereka habis, ketiganya bergegas pergi ke parkiran. Lalu mendekati mobil Bintang."Naik," Bintang berkata pada Purnama sambil membuka pintu penumpang di bagian depan."Aku di belakang saja. Langit, kamu yang di depan!""Kenapa bukan kamu? Biar Langit di belakang." ujar Bintang."Aku pengen istirahat, jadi mending di belakang." Purnama beralasan, ia sebenarnya tak nyaman jika harus duduk berdekatan dengan Bintang."Ok lah kalau begitu. Langit, kamu yang di depan."
Langit sudah sembuh dari sakitnya dan mulai bersekolah. Hari pertama setelah sembuh dari sakit, Purnama mengantarkannya ke sekolah. "Mama mau ke bagian administrasi, Langit belajar di kelas ya! Nanti waktunya pulang, kakek yang jemput." "Iya, Ma." Purnama mencium pipi Langit dan Langit membalasnya lalu mencium punggung tangan Purnama lalu masuk ke kelas. Purnama ingat ia belum membayar administrasi sekolah bulan ini. Sebenarnya bisa dilakukan secara online tetapi mumpung ia berada di sekolah tidak ada salahnya ia membayar secara langsung. "Selamat pagi, Miss." sapa Purnama pada gadis muda yang bertugas di bagian administrasi sekolah. "Pagi, Mom." "Saya mau bayar SPP atas nama Langit," Gadis itu mengetik sesuatu di komputer lalu mengernyitkan dahinya. "SPP atas
Dokter Surya melakukan kunjungan ke kamar Langit pagi itu. Ia tahu sebentar lagi Langit dan Purnama akan pulang."Assalamualaikum. Selamat pagi,""Waalaikumsalam. Pagi, Dok." jawab Purnama yang menghentikan sejenak kegiatannya berbenah pakaian Langit."Bagaimana Langit, sudah mau pulang ya?" tanya Surya melihat Purnama yang berbenah. Ia mendekat ke ranjang pasien tempat Langit yang sedang duduk."Iya, Dok. Tadi dokter Andra sudah mengizinkan kami untuk pulang.Surya menganggukkan kepala, Andra adalah dokter spesialis anak yang bertanggung jawab menangani Langit."Dokter, Langit suka mobilannya, terima kasih." ucap Langit."Alhamdulillah kamu suka. Kalo ice cream suka gak?" Dokter Surya mengusap kepala Langit."Suka, suka banget.""Suka rasa apa?""Rasa vanilla, Om Dokter suka rasa apa?""Rasa vanilla juga. Kita samaan, tos dulu."Su
Bintang menghabiskan baksonya dalam waktu singkat. Rupanya dia benar-benar lapar."Nama, aku mohon kamu pertimbangkan keinginanku. Aku tau kamu masih cinta, buktinya kamu belum menikah juga sampai sekarang."Purnama diam sejenak, memori saat menjalin rumah tangga bersama Bintang menyeruak. Luka yang sudah mengering itu kembali terasa sakit."Mas, kamu sudah menorehkan luka yang begitu dalam.""Aku sudah minta maaf, beri aku kesempatan kedua."Purnama berdiri lalu membayar pesanan bakso Bintang dan berlalu pergi. Ia malas melayani omongan Bintang."Nama, tunggu!" seru Bintang yang setengah berlari mengejar Purnama.Purnama tak peduli dengan teriakan Bintang. Yang penting saat ini Langit telah mendapatkan donor dan mulai membaik. Biarlah ia dianggap tidak tau terima kasih oleh Bintang.Grep!Bintang berhasil menarik tangan Purnama hingga Purnama menoleh ke arahnya dan berusaha melepaskan diri."Lepas!""Denge
Purnama merasakan anaknya (Langit) bergerak gelisah dalam tidurnya. Ia membuka mata lalu menyentuh tubuh langit.PanasKantuknya hilang seketika padahal baru saja ia terlelap. Segera Purnama mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Langit.38 derajat CelciusAnak lelaki berusia tujuh tahun itu gemetar karena demam. Purnama mengambil baskom dan waslap untuk mengompres putranya.Sampai pagi menjelang Purnama terus memantau keadaan putranya. Langit sudah tidak mengigil hanya suhu tubuhnya belum juga menurun.Matahari telah sepenggalan naik saat Purnama bersiap ke kantor. Melihat kondisi Langit ia ingin tetap di rumah namun janji dengan klien tak mungkin ia batalkan."Bu, aku titip Langit. Kalo ada apa-apa langsung telpon ya?""Iya, udah kamu kerja aja yang tenang. Langit biar ibu yang urus."Dengan hati tak tenang Purnama mengendarai mobilnya memecah jalanan kota. Menjadi single parent da
"Sial!” umpat Bintang di teras. Ia menendang kursi teras hingga kursi itu terjungkal.Suara berisik yang ditimbulkan aksi Bintang membuat ibunya yang tinggal di rumah sebelah datang menghampiri. “Kamu kenapa marah-marah begitu?”“Ini,” Bintang memberikan selembar kertas yang ada di tangannya.Mami membaca kertas itu yang berasal dari pengadilan agama, di kertas itu tertulis bahwa gugatan cerai Purnama telah dikabulkan dan resmi jatuh talak 1.“Mami bilang kalau aku gak datang ke pengadilan, Purnama yang akan disalahkan oleh pengadilan, tapi ini gugatannya justru dikabulkan!” Suara Bintang meninggi.“Ya bagus dong, akhirnya kalian bercerai, kamu bisa bebas cari istri lagi yang cantik dan kaya.”“Tapi aku dianggap gak menghormati pengadilan agama, Mam, makanya talak satu jatuh dalam 3 kali sidang. Orang- orang pasti akan mencemooh aku,”Bintang merasa harga dirinya terluk
"Aku mau ketemu anakku," ucap Bintang tegas."Baru sekarang kamu mau nemuin? Setelah sebulan lebih," Purnama menatap marah pada suaminya."Kamu pergi dari rumah sakit gak bilang-bilang, hape kamu juga gak aktif." tunjuk Bintang pada Purnama"Kamu kan bisa langsung datang ke sini,"Suara perdebatan Purnama dan Bintang terdengar ibunya."Nama, ajak suami kamu masuk! Bicara baik-baik di dalam, jangan berdebat di teras gini, malu sama tetangga."Pernama mengikuti kata ibunya, ia masuk lalu duduk di sofa. Sementara sang ibu masuk ke ruang tengah, ingin memberi privacy bagi Purnama.Bintang mengekori Purnama masuk ke rumah lalu duduk di seberang Purnama."Mana anakku?""Kamu gak malu dateng ke sini langsung nanya anak, waktu aku lahiran kamu kemana? Waktu aku hamil kamu juga gak peduli." ujar Purnama ketus."Aku pikir itu dulu bukan anak aku,""Jahat kamu Mas, gak sekalipun aku selingkuh tapi kamu perlak
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini