Desir darah ini terasa panas di tubuh, mengalir bebas, meninggalkan kecemasan. Saat mendengar pramugari mengatakan jika posisi pesawat sedang dalam bahaya.
"Para penumpang sekalian harap tenang, pakai sabuk pengaman, untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi.Suara wanita itu menggema di kabin pesawat, menimbulkan riuh seketika di dalam sana. Cemas dan takut sebagian orang alami, termasuk denganku. Bayang-bayang kematian pun menari-nari di benak."Astaghfirullah," sebut hampir semua penumpang yang beragama muslim. Begitu juga denganku. Saat merasakan hantaman besar, yang membuat tubuh kami terombang-ambing."Ya Allah, selamatkan hamba!!" seruan panik seseorang, terdengar sekali didera rasa takut yang luar biasa.Pun dengan diri ini, tak bisa lagi berpikiran positif. Yang ada hanyalah kepasrahan, tetap tidak rela. Jika nyawa ini melayang begitu saja. Kupejamkan mata sejenak, yang ada dalam khayal hanyalah sosok laki-laki yang menemaniku selama dua tahun pernikahan.Andai saja, dia ada di sampingku. Mungkin, dia akan menenangkan hati ini yang mulai gundah gulana, merasakan ketakutan yang luar biasa hebatnya di dalam sini. Akan tetapi, semuanya hanya bayangan. Saat kubuka mata, bukanlah dia yang ada di sampingku. Melainkan calon mayat, yang kemungkinan besar akan mati bersamaku.Lagi-lagi guncangan hebat menghebohkan tempat itu. Lebih dahsyat dibandingkan yang tadi. Sampai-sampai, beberapa orang terpental ke sebelah kiri. Gemuruh suara angin mulai masuk ke dalam, meninggalkan hawa dingin yang luar biasa. Yang tidak sanggup dirasakan oleh tubuh ini."Astaghfirullah, ya Allah lindungi hambamu ini. Selamatkan hamba dan keluarga hamba."Kalian itu yang sering kudengar, seiringnya tubuh ini terasa sakit yang luar biasa. Apalagi hantaman hebat itu semakin sering kami rasakan.Dalam ketakutan aku mengingat wajah kesayangan, yang saat ini menjadi semangat dalam hidupku. Untuk melewati peristiwa ini. "Sayang." Suara manjanya jika pagi hari membangunkan aku. Ah, rasanya aku ingin meminjam sayap burung merpati agar aku bisa terbebas dalam situasi ini.Tapi apalah daya, yang aku hanya lakukan saat ini adalah beristighfar, seraya memohon pertolongan-Nya.Suara pramugari kembali terdengar, kali ini wanita cantik berseragam orange itu hanya mengatakan agar banyak-banyak berdoa. Dengan suaranya yang gemetaran, aku tahu apa yang dirasakan oleh wanita itu."Ya Tuhan, jika engkau memang menakdirkan hidupku hanya sampai saat ini. Hamba mohon, matikan aku dalam keadaan Husnul khatimah. Juga, jasadku nanti bisa ditemukan oleh pihak keluarga."Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tubuh ini sudah menggigil hebat, merasakan sakit yang mendera sekujur tubuh. Apalagi saat kudengar suara ledakan, diiringi dentuman yang kuat. Membuat semua orang yang ada di tempat itu berteriak histeris. Tiba-tiba entah dari mana asalnya, air dalam jumlah yang banyak masuk ke dalam. Menenggelamkan kami. Satu persatu orang-orang yang berada di tempat itu, terbawa gelombang yang dahsyat. Begitu juga denganku. Sekujur tubuh ini tak bisa lagi merasakan apa-apa. Yang tertinggal hanyalah hawa dingin, membawa mata ini tertutup rapat. Setelahnya, aku tidak ingat apapun lagi.*******************Setelah entah berapa lama aku tidak merasakan apapun di dalam tubuhku. Tiba-tiba, aku merasakan tubuh ini seperti dijemur di bawah sinar matahari. Mengusik tidurku yang panjang, untuk membuka mata. Pelan tapi pasti aku bisa melihat di sekeliling tempat ini. Hamparan air dan biru, dan pasir putih mengapit diri ini.Sekujur tubuhku terasa remuk, sakit bukan main. "Sttttttt," desisku berusaha untuk menggerakkan tubuh ini. "Arghhhhhhhhh!" Aku mengerang hebat, saat memaksakan untuk duduk. "Apa aku masih hidup? Atau ini hanya mimpi?" Kalimat itu keluar dari bibir ini.Aku menepuk pipiku, untuk meyakinkan diri, kalau Tuhan masih memberi kesempatan untuk aku bernafas dan hidup di dunia ini. "Aku belum mati." Ku edarkan pandangan ke sekeliling tempat itu, sepi tidak ada siapapun di sana. "Aku ada di mana sekarang ini?""Tolong!!!" Aku berteriak, berharap akan ada orang di tempat ini yang bisa menolongku keluar dari sini.Aku mendesis, merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Rasa tak percaya pun hinggap, menjelma masuk ke dalam kalbu. Kecelakaan hebat itu, masih memberikan sebuah mukjizat untukku. Aku benar-benar tidak percaya, kalau aku masih hidup."Siapapun tolong aku!!"Tempat apa ini, dan di mana ini? Aku tidak tahu. Ya Tuhan, aku yakin Mas Andra saat ini sedang berduka, mendengar kabar kecelakaan pesawat yang membawaku. Dia adalah sosok suami idaman. Yang memberikan penuh cinta dan kasih untukku."Mas Andra, tolong aku," lirihku menangis, jika melihat wajah sedih Mas Andra sekarang ini.Tidak ada pilihan lain, aku harus berusaha berdiri. Agar bisa bergerak dari tempat ini, mencari bantuan di sekitar sini.Ku gerakkan kakiku, tangan menapak ke hamparan pasir putih untuk menopang tubuh ini agar bisa berdiri. Sekuat tenaga, aku mencoba, tetapi rasa sakit di tubuh ini terlalu banyak, sehingga tak mampu untuk kukendalikan.Apalagi yang bisa kulakukan selain pasrah, menunggu keajaiban datang. Akan ada orang yang menolongku di sini.**********Entah berapa lama aku tertidur di pulau itu. Saat kubuka mata ini, aku sudah berada di lain tempat. "Sepertinya ini rumah sakit."Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Sayup terdengar derap langkah kaki mendekat. "Pasien sudah siuman!" Seorang wanita memakai pakaian serba putih mendekatiku. "Buk, apa Ibu ingat sesuatu?" tanyanya, mungkin dia mengira aku lupa ingatan.Aku mengangguk. "Saya ingat semuanya, Sus. Saya adalah korban kecelakaan pesawat beberapa hari lalu."Wanita itu tersenyum. Tampak jelas kebahagiaan dalam dirinya. "Syukurlah kalau begitu. Tensi darah ibu normal, degup jantungnya juga normal. Hanya saja, ada cidera di kaki yang mengharuskan ibu dirawat lebih lama di rumah sakit ini," terangnya memberitahu."Terima kasih, Sus. Em, boleh saya minta tolong?""Minta tolong apa, Buk?""Pinjam hpnya, saya ingin menghubungi suami saya, Sus," pintaku, mengiba."Tentu saja, Buk. Silahkan pakai aja."Wanita yang bernama Erni itu memberikan handphonenya padaku. Segera kuketik nomor mas Andra, setelahnya kutekan tombol telpon. Dan sambung telponnya terhubung. Satu dua detik kemudian, tak ada jawaban dari Mas Andra."Kok gak diangkat ya?" gumamku, mulai cemas."Coba sekali lagi, Buk. Atau ibu telpon nomor lain, yang sekiranya gampang dihubungi."Aku lakukan sarannya, menghubungi nomor Mas Andra sekali lagi, tetap saja tidak ada yang menjawabnya. "Tetap gak diangkat, Sus," desisku kecewa."Ibu hubungi aja nomor rumah," sarannya, aku benarkan.Dan pada hitungan detik, nada tersambung dari seberang. Kudengar suara Bi Ayu, yang menerimanya."Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?""Assalamualaikum, Bik. Ini saya, Bik, Salwa."Hening, tak ada sahutan dari seberang sana. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh ARTku itu, sampai dia tidak percaya kalau aku yang menelponnya."Ibu," lirihnya, aku tersenyum."Iya, Bik. Ini saya Salwa.""Alhamdulillah, ibu masih hidup." Tampak kudengar dari nada suaranya, Bu Ayu sangat bahagia mendengar kabarku"Iya Bik, Alhamdulillah. Bapak mana, Bik?" tanyaku, mencari keberadaan Mas Andra."Bapak?" ulangnya, dengan nada bingung. "Itu, Bapak___"Bapak kenapa, Bik?" pungkasku penasaran."Bapak____Pergi? Pergi kemana Mas Andra. Aku sedikit tercengang mendengar jawaban dari Bi Ayu. Bahkan dari nada bicaranya saja, wanita paruh baya itu tampak ketakutan. Ada apa ini?Satu minggu berlalu, aku dirawat di rumah sakit. Dan hari ini, dokter mengatakan kalau aku sudah boleh dibawa pulang. Antara cemas dan takut, mendengar kabar itu. Seharusnya, aku bahagia karena bisa berkumpul lagi bersama Mas Andra. Tetapi, setelah mendengar kabar dari Bi Ayu, aku merasa ada sesuatu yang janggal di rumah.Petugas penanganan bencana dan Tim SAR yang bertugas mengantarku pulang ke rumah. Iya, rumahku. Ini adalah warisan dari kedua orang tuaku sebelum mereka meninggal. Kalaupun selama ini aku tidak aktif di perusahaan, dan menyerahkan semua urusan perusahaan pada Mas Andra. Namun, beliau sama sekali tidak pernah ikut andil di dalamnya.Rumah mewah dua lantai di hadapanku saat ini tampak sepi. Karena memang, selama berumah tangga dengan mas Andra aku belum dikaruniai anak. Li
Bayangan moment indah yang kami lewati bersama tiba-tiba datang. Betapa aku percaya pada Mas Andra, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya dan aku selalu mendukung apapun permintaanya, yang selalu ia katakan 'untuk kita'Ternyata semua itu cuma tameng untuk menutupi kebusukannya. Tak dapat kubendung lagi, air mata ini luruh seketika, mengalir seperti hilangnya kepercayaanku terhadap Mas Andra."Kamu tega, Mas." Tangisku pecah, membayangkan Mas Andra dan perempuan itu. Sakit, sekujur tubuh ini, apalagi seonggok daging yang menggumpal di dalam dada.Belum kering air mata ini, Bi Ayu datang bersama Nirwan. Assisten Mas Andra yang kupercayakan semuanya kepada laki-laki berkumis tipis di hadapanku kali ini."Buk, ada Pak Nirwan," ucap Bi Ayu memberitahu."Iya, Bik," sahutku dengan suara parau. "Bibik boleh keluar," pintaku, hancur sehancur-hancurnya.Nirwan menayapku penuh tanda tanya. Namun, yang aku lihat dari matanya, ada sirat k
Tatapannya menggambarkan pertanyaan besar, ditambah kerutan di keningnya, seolah ingin tahu siapa aku. Bahkan Mas Andra tampak ragu untuk menyambut uluran tangan dariku."Gak penting!!" sahut wanita yang di sebelahnya. Menarik lengannya agar menjauh dariku. "Aku capek, Mas. Ngapain kamu malah ngurusin nih orang, mending kamu tunjukan di mana kamar kita," omelnya terlihat jelas kekesalan dari raut wajahnya.Panas dada ini mendengar ucapan wanita itu. Yang menyebutkan kata 'kamar kita'. Aku ingin tahu, akan dibawa ke mana Seroja oleh Mas Andra. Kutarik tanganku dan pandangan ini ke sembarang. Aku takut tidak bisa mengontrol diri, jika bertatap muka dengan mereka."Saya permisi dulu Pak," pamit Bi Ayu meninggalkan kami. Wanita itu melirik sekilas ke arahku saat melintas, masuk ke dapur."Bik, tunggu!" sergah Mas Andra, Bi Ayu berbalik. "Tolong Bibik antar Seroja ke kamar tamu," pintanya, dengan nada memerintah."Lho, Mas." Wanita yang bernam
Sengaja aku bangun pagi, untuk memberikan kejutan buat Mas Andra. Hari ini adalah Anniversary pernikahan kami yang ke-tiga. Aku dan Mas Andra sudah membuat rencana, sebelum kecelakaan itu menimpaku. Kami sepakat akan berlibur ke Bali, sekaligus berbulan madu yang ke-dua.Dan momen ini akan kubuat, Mas Andra mengingatku. Mengingat kenangan yang tak akan pernah sirna, dalam ingatannya.Setiap tahun, Mas Andra selalu memberikan kejutan di hari pernikahan kami. Dia tidak pernah absen, memberikan kado yang membuat semua istri merasa bahagia. Merasa nyaman, dan tidak akan pernah berpikir suaminya selingkuh. Ternyata itu hanyalah tameng untuk menutupi keburukannya. Lihatlah Mas, hari ini kamu akan merasakan sakitnya."Tolong antar pagi ini juga, ya? Kalau bisa jangan lewat jam tujuh pagi," ucapku pada kurir, tempat aku memesan beberapa barang dan kue. "Oke, saya tunggu."Aku keluar kamar, dan mulai melangkahkan kaki ke lantai satu. Di sana sudah ada Bi Ayu yang sibuk member
"Saya yakin membutuhkannya, Pak," jawabku lelaki itu tak menjawabnya lagi. "Baiklah, secepatnya saya akan carikan asisten laki-laki yang masih muda, seperti pesanan ibu," jawabnya, bisa andalkan. Aku mengangguk puas, sembari menatap tajam ke arah laki-laki itu. Setelah ini apa yang akan aku lakukan, kupastikan akan membuat kamu resah Mas Andra. Tunggu balasan yang lebih kejam dariku. Selesai dengan urusan Pak Jhon, aku sudah tidak sabar melihat reaksi Mas Andra, satu kantor dengannya. Bahkan jabatan yang sekarang aku pegang, lebih tinggi dibandingkan dia. Sesusai yang aku perintahkan pada orang kepercayaanku tadi, Pak Jhon akan meminta Maa Andra dan Seroja, bersama dewan direksi lain untuk berkumpul di ruang rapat. Mengenalkan presidir yang baru. Lewat monitor yang menghubungkan ruangan sebelah, aku bisa melihat satu persatu mereka masuk. Yang membuatku ingin muntah ialah wajah Mas Andra dan Seroja yang seolah tidak saling kenal. Pad
Sepatu high heels yang kupakai tergelincir di keramik, membuat tubuh ini jatuh. Beruntungnya Mas Andra dekat, lelaki itu menarik tanganku, dan aku jatuh tepat di pangkuannya. Saking gugupnya, jantung ini berdebar-debar. Apalagi saat pandangan mata kami bertemu.Tatapan Mata Andra masih sama, saat kami menjalin kasih. Lembut dan penuh cinta. Bibirnya yang merah, membuatku sedikit terkesiap, melupakan semua dendamku padanya. Rasanya aku ingin dunia ini berhenti berputar. Hanya ada aku dan Mas Andra di dalamnya. Situasi ini sangat nyaman bagiku, menyandarkan tubuh ini ke bahunya.Bayangan dia bercumbu dengan wanita lain, membuat aku sadar. Kalau laki-laki yang sedang memangku ini bukan lah laki-laki yang baik. Bermuka dua, pengkhianat, dan seorang mafia. Aku yakin dia akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan aku."Ibu Maharani gak apa-apa kan, Buk?" tegur Pak Jhon, mengkhawatirkan aku.Gegas, kutarik bokong ini dari pangkuannya. "Terima kasih Pak Andra sudah
Wajah wanita yang mengakui dirinya sebagai aku itu terlihat pucat. Bahkan tak mau memandang ke arahku. Bingung, dan terjebak dalam pertanyaan itu."Apa jangan-jangan, ada orang lain yang mereka kira korban kecelakaan itu? Atau____Sesaat wanita itu mengalihkan pandangannya ke arahku, hanya sebentar, saat aku kembali menggantungkan ucapanku, ia kembali melihat ke samping. Dasar licik kamu, akan aku pastikan hidupmu tidak akan tenang, apalagi yang sedang kamu hadapi ini adalah seorang wanita kuat, yang sudah kebal dengan kata pengkhianatan."Ah, sudahlah, Mbak," sambungku, berangkat. Aku duduk di sebelahnya. "Yang penting Mbak Salwa sudah kembali dalam keadaan yang utuh, hehehe," kekehku memeluk tubuhnya. "Aku seneng banget kok, bisa ketemu Mbak lagi.""Mbak juga," sahutnya, tersenyum getir. "Oh iya, Mas Andra kok sampai sekarang belum pulang ya?" Pandangan matanya melolok ke arah pintu. Seolah tak sabar ingin bertemu dengan Mas Andra. Aku juga ingin tahu, seperti apa reaksi mereka sete
Wajah wanita yang mengakui dirinya sebagai aku itu terlihat pucat. Bahkan tak mau memandang ke arahku. Bingung, dan terjebak dalam pertanyaan itu."Apa jangan-jangan, ada orang lain yang mereka kira korban kecelakaan itu? Atau____Sesaat wanita itu mengalihkan pandangannya ke arahku, hanya sebentar, saat aku kembali menggantungkan ucapanku, ia kembali melihat ke samping. Dasar licik kamu, akan aku pastikan hidupmu tidak akan tenang, apalagi yang sedang kamu hadapi ini adalah seorang wanita kuat, yang sudah kebal dengan kata pengkhianatan."Ah, sudahlah, Mbak," sambungku, berangkat. Aku duduk di sebelahnya. "Yang penting Mbak Salwa sudah kembali dalam keadaan yang utuh, hehehe," kekehku memeluk tubuhnya. "Aku seneng banget kok, bisa ketemu Mbak lagi.""Mbak juga," sahutnya, tersenyum getir. "Oh iya, Mas Andra kok sampai sekarang belum pulang ya?" Pandangan matanya melolok ke arah pintu. Seolah tak sabar ingin bertemu dengan Mas Andra. Aku juga ingin tahu, seperti apa reaksi mereka sete
Sepatu high heels yang kupakai tergelincir di keramik, membuat tubuh ini jatuh. Beruntungnya Mas Andra dekat, lelaki itu menarik tanganku, dan aku jatuh tepat di pangkuannya. Saking gugupnya, jantung ini berdebar-debar. Apalagi saat pandangan mata kami bertemu.Tatapan Mata Andra masih sama, saat kami menjalin kasih. Lembut dan penuh cinta. Bibirnya yang merah, membuatku sedikit terkesiap, melupakan semua dendamku padanya. Rasanya aku ingin dunia ini berhenti berputar. Hanya ada aku dan Mas Andra di dalamnya. Situasi ini sangat nyaman bagiku, menyandarkan tubuh ini ke bahunya.Bayangan dia bercumbu dengan wanita lain, membuat aku sadar. Kalau laki-laki yang sedang memangku ini bukan lah laki-laki yang baik. Bermuka dua, pengkhianat, dan seorang mafia. Aku yakin dia akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan aku."Ibu Maharani gak apa-apa kan, Buk?" tegur Pak Jhon, mengkhawatirkan aku.Gegas, kutarik bokong ini dari pangkuannya. "Terima kasih Pak Andra sudah
"Saya yakin membutuhkannya, Pak," jawabku lelaki itu tak menjawabnya lagi. "Baiklah, secepatnya saya akan carikan asisten laki-laki yang masih muda, seperti pesanan ibu," jawabnya, bisa andalkan. Aku mengangguk puas, sembari menatap tajam ke arah laki-laki itu. Setelah ini apa yang akan aku lakukan, kupastikan akan membuat kamu resah Mas Andra. Tunggu balasan yang lebih kejam dariku. Selesai dengan urusan Pak Jhon, aku sudah tidak sabar melihat reaksi Mas Andra, satu kantor dengannya. Bahkan jabatan yang sekarang aku pegang, lebih tinggi dibandingkan dia. Sesusai yang aku perintahkan pada orang kepercayaanku tadi, Pak Jhon akan meminta Maa Andra dan Seroja, bersama dewan direksi lain untuk berkumpul di ruang rapat. Mengenalkan presidir yang baru. Lewat monitor yang menghubungkan ruangan sebelah, aku bisa melihat satu persatu mereka masuk. Yang membuatku ingin muntah ialah wajah Mas Andra dan Seroja yang seolah tidak saling kenal. Pad
Sengaja aku bangun pagi, untuk memberikan kejutan buat Mas Andra. Hari ini adalah Anniversary pernikahan kami yang ke-tiga. Aku dan Mas Andra sudah membuat rencana, sebelum kecelakaan itu menimpaku. Kami sepakat akan berlibur ke Bali, sekaligus berbulan madu yang ke-dua.Dan momen ini akan kubuat, Mas Andra mengingatku. Mengingat kenangan yang tak akan pernah sirna, dalam ingatannya.Setiap tahun, Mas Andra selalu memberikan kejutan di hari pernikahan kami. Dia tidak pernah absen, memberikan kado yang membuat semua istri merasa bahagia. Merasa nyaman, dan tidak akan pernah berpikir suaminya selingkuh. Ternyata itu hanyalah tameng untuk menutupi keburukannya. Lihatlah Mas, hari ini kamu akan merasakan sakitnya."Tolong antar pagi ini juga, ya? Kalau bisa jangan lewat jam tujuh pagi," ucapku pada kurir, tempat aku memesan beberapa barang dan kue. "Oke, saya tunggu."Aku keluar kamar, dan mulai melangkahkan kaki ke lantai satu. Di sana sudah ada Bi Ayu yang sibuk member
Tatapannya menggambarkan pertanyaan besar, ditambah kerutan di keningnya, seolah ingin tahu siapa aku. Bahkan Mas Andra tampak ragu untuk menyambut uluran tangan dariku."Gak penting!!" sahut wanita yang di sebelahnya. Menarik lengannya agar menjauh dariku. "Aku capek, Mas. Ngapain kamu malah ngurusin nih orang, mending kamu tunjukan di mana kamar kita," omelnya terlihat jelas kekesalan dari raut wajahnya.Panas dada ini mendengar ucapan wanita itu. Yang menyebutkan kata 'kamar kita'. Aku ingin tahu, akan dibawa ke mana Seroja oleh Mas Andra. Kutarik tanganku dan pandangan ini ke sembarang. Aku takut tidak bisa mengontrol diri, jika bertatap muka dengan mereka."Saya permisi dulu Pak," pamit Bi Ayu meninggalkan kami. Wanita itu melirik sekilas ke arahku saat melintas, masuk ke dapur."Bik, tunggu!" sergah Mas Andra, Bi Ayu berbalik. "Tolong Bibik antar Seroja ke kamar tamu," pintanya, dengan nada memerintah."Lho, Mas." Wanita yang bernam
Bayangan moment indah yang kami lewati bersama tiba-tiba datang. Betapa aku percaya pada Mas Andra, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya dan aku selalu mendukung apapun permintaanya, yang selalu ia katakan 'untuk kita'Ternyata semua itu cuma tameng untuk menutupi kebusukannya. Tak dapat kubendung lagi, air mata ini luruh seketika, mengalir seperti hilangnya kepercayaanku terhadap Mas Andra."Kamu tega, Mas." Tangisku pecah, membayangkan Mas Andra dan perempuan itu. Sakit, sekujur tubuh ini, apalagi seonggok daging yang menggumpal di dalam dada.Belum kering air mata ini, Bi Ayu datang bersama Nirwan. Assisten Mas Andra yang kupercayakan semuanya kepada laki-laki berkumis tipis di hadapanku kali ini."Buk, ada Pak Nirwan," ucap Bi Ayu memberitahu."Iya, Bik," sahutku dengan suara parau. "Bibik boleh keluar," pintaku, hancur sehancur-hancurnya.Nirwan menayapku penuh tanda tanya. Namun, yang aku lihat dari matanya, ada sirat k
Pergi? Pergi kemana Mas Andra. Aku sedikit tercengang mendengar jawaban dari Bi Ayu. Bahkan dari nada bicaranya saja, wanita paruh baya itu tampak ketakutan. Ada apa ini?Satu minggu berlalu, aku dirawat di rumah sakit. Dan hari ini, dokter mengatakan kalau aku sudah boleh dibawa pulang. Antara cemas dan takut, mendengar kabar itu. Seharusnya, aku bahagia karena bisa berkumpul lagi bersama Mas Andra. Tetapi, setelah mendengar kabar dari Bi Ayu, aku merasa ada sesuatu yang janggal di rumah.Petugas penanganan bencana dan Tim SAR yang bertugas mengantarku pulang ke rumah. Iya, rumahku. Ini adalah warisan dari kedua orang tuaku sebelum mereka meninggal. Kalaupun selama ini aku tidak aktif di perusahaan, dan menyerahkan semua urusan perusahaan pada Mas Andra. Namun, beliau sama sekali tidak pernah ikut andil di dalamnya.Rumah mewah dua lantai di hadapanku saat ini tampak sepi. Karena memang, selama berumah tangga dengan mas Andra aku belum dikaruniai anak. Li
Desir darah ini terasa panas di tubuh, mengalir bebas, meninggalkan kecemasan. Saat mendengar pramugari mengatakan jika posisi pesawat sedang dalam bahaya."Para penumpang sekalian harap tenang, pakai sabuk pengaman, untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi.Suara wanita itu menggema di kabin pesawat, menimbulkan riuh seketika di dalam sana. Cemas dan takut sebagian orang alami, termasuk denganku. Bayang-bayang kematian pun menari-nari di benak."Astaghfirullah," sebut hampir semua penumpang yang beragama muslim. Begitu juga denganku. Saat merasakan hantaman besar, yang membuat tubuh kami terombang-ambing."Ya Allah, selamatkan hamba!!" seruan panik seseorang, terdengar sekali didera rasa takut yang luar biasa.Pun dengan diri ini, tak bisa lagi berpikiran positif. Yang ada hanyalah kepasrahan, tetap tidak rela. Jika nyawa ini melayang begitu saja. Kupejamkan mata sejenak, yang ada dalam khayal hanyalah sosok laki-laki yang menemaniku s