Tatapannya menggambarkan pertanyaan besar, ditambah kerutan di keningnya, seolah ingin tahu siapa aku. Bahkan Mas Andra tampak ragu untuk menyambut uluran tangan dariku.
"Gak penting!!" sahut wanita yang di sebelahnya. Menarik lengannya agar menjauh dariku. "Aku capek, Mas. Ngapain kamu malah ngurusin nih orang, mending kamu tunjukan di mana kamar kita," omelnya terlihat jelas kekesalan dari raut wajahnya.Panas dada ini mendengar ucapan wanita itu. Yang menyebutkan kata 'kamar kita'. Aku ingin tahu, akan dibawa ke mana Seroja oleh Mas Andra. Kutarik tanganku dan pandangan ini ke sembarang. Aku takut tidak bisa mengontrol diri, jika bertatap muka dengan mereka."Saya permisi dulu Pak," pamit Bi Ayu meninggalkan kami. Wanita itu melirik sekilas ke arahku saat melintas, masuk ke dapur."Bik, tunggu!" sergah Mas Andra, Bi Ayu berbalik. "Tolong Bibik antar Seroja ke kamar tamu," pintanya, dengan nada memerintah."Lho, Mas." Wanita yang bernama Seroja itu protes dan tampak kebingungan. "Kok ke kamar tamu, sih!"Aku juga bertanya demikian. Bukankah mereka sudah menikah sirih, harusnya bebas melakukan apapun. Termasuk berhubungan layaknya suami istri. Seperti yang mereka lakukan di luar negeri. Kenapa Mas Andra memilih pisah kamar dari wanita itu?Mas Andra menarik lengan Seroja sedikit menjauh, lalu membisikkan sesuatu yang aku dan Bi Ayu tak dapat mendengarnya. Apalagi rencananya?"Antarkan Seroja ke kamar tamu, Bik," ulang Mas Andra begitu selesai bicara dengan wanita itu."Baik, Pak."Mereka berdua pergi, meninggalkan kami berdua dalam kecanggungan. Mas Andra memandangiku, lekat. Wajahnya masih sama, saat terakhir bersamaku. Tampan dan penuh karismatik. Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin saat ini kami sedang melepas rindu. Rindu yang sudah memupuk di hati. Semuanya telah hancur, setelah Seroja datang.Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan Mas Andra, kuputuskan untuk pergi juga dari tempat itu. Baru selangkah, aku berjalan, dia memanggil."Marni!" Dia mendekat. Sangat dekat, bahkan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya yang tampan. Wajah yang selalu kurindu, sebelum tahu kebusukan hatinya. "Kamu ini anaknya siapa? Kok saya baru tahu, kalau Salwa punya sepupu di Kalimantan?" tanyanya, seperti yang aku katakan tadi, dia curiga denganku."Em, saya itu sepupu jauh dari Mbak Salwa," jawabku, sedikit gugup. Takut salah menjawab. "Putrinya Bang Aswan.""Bang Aswan?" ulangnya tampak berpikir. Karena nama pamanku itu yang pernah aku ceritakan padanya. "Oh iya, saya ingat." Ia mengangguk-angguk. "Tapi, apa kamu sudah tahu kabar Mbakmu?""Sudah," jawabku sesak, tak ada sedikitpun kesedihan dari wakahnya. "Dari Bik Ayu.""Oh, Bi Ayu dah kasih tahu ke kamu?" Tatapan Mata Andra sulit ditebak. Apa mungkin dia curiga dengan penampilan baruku. Yang biasanya aku jarang sekali merias diri, dan membiarkan rambut ini terurai. Kali ini, aku benar-benar beda.Sebelum bertemu dengan Mas Andra, aku melakukan make over. Potongan rambut seleher, membuat wajah ini terlihat lebih muda. Ditambah make up yang sederhana, membuat siapa saja yang mengenaliku akan pangling. Sama seperti Mas Andra, yang tidak mengenaliku sama sekali. Tetapi aku harus hati-hati, yang aku hadapi kali adalah manusia licik. Bahkan dia bisa mengelabui aku dengan kelembutan sikapnya itu, yang membuat aku terbuai bahkan tidak pernah membayangkan ada orang ketiga dalam rumah tangga kami."Iya," jawabku tak berani memandang wajahnya lama. Matanya memang indah, membuat siapa saja akan terpana. Ditambah wajah tampannya itu. Ah, itu yang membuat aku bodoh diperdaya olehnya. "Saya duluan!" ucapku pamit, pergi dari tempat itu.Tiba-tiba Mas Andra menarik tanganku, sontak langkah ini terhenti, dan aku menoleh ke belakang. Disaat itu juga, dia sedang menatapku. Hingga pandangan kami bertemu. Debat dadaku terlalu kencang, aku takut dia mendengarnya. Kami sangat dekat, apalagi saat jemarinya menyentuh wajah ini. Aku nyaris melupakan semua, terbuai dalam sentuhannya yang kurindu."Pipi kamu kenapa?" tanyanya, suara Mas Andra terdengar lembut di telinga ini. Hembusan napasnya membangunkan bulu kudukku."Ehmmm, maaf!" Segera ku tepis tangannya, dan aku sedikit menjauh. "Saya gak kenapa-kenapa!" jawabku, buru-buru pergi dari sana. Aku gak mau lepas kontrol, bagaimana pun juga dia adalah suamiku. Orang yang pertama kali merenggut maduku. Aku tidak bisa begitu saja melupakan saat-saat itu. Dimana ia memberikan kenyamanan selama ini.Bodoh, aku memang bodoh. Aku gak mau semakin terluka, dan membiarkan dia jadi pemenangnya. Aku harus bisa mengurangi perasaan cinta ini, demi dendamku padamu, Mas.***********"Sayang, aku gak mau jauh dari kamu.""Aku juga gak mau, tapi harus gimana lagi. Untuk sementara ini, kita belum bisa bebas. Sebelum pengacara Salwa datang dan menyerahkan surat wasiatnya."Desir darah ini seolah mendidih mendengar perbincangan mereka di lantai satu. Aku tak sengaja terbangun, ingin pergi ke dapur untuk mengambil minum. Tapi apa yang aku lihat dan dengar, justru menyakitkan hati."Sampai kapan, Sayang!! Salwa udah mati dan membusuk di laut." Suara lantang Seroja semakin membuat hati ini memanas. Tapi aku harus tahan, dan tenang menghadapi mereka. "Tanpa perlu repot-repot menghabisi dia!"Tulang di tubuhku seolah runtuh mendengar apa yang baru saja keluar dari bibir wanita itu. "Apa, mereka punya niat membunuhku!"Pelupuk ini terasa sesak, hanya sekali kedipan saja cairan bening yang sudah menggenang di sana akan berjatuhan. "Atau mereka sudah pernah melakukannya.""Jaga mulut kamu, Roja!" sentak Mas Andra memperhatikan sekeliling tempat itu."Gak akan ada yang denger kok, Yang." Seroja mengalungkan tangannya di leher Mas Andra. Bibir wanita itu mulai menempel di bibir Mas Andra, peraduan ludah pun terjadi. Dengan penuh nafsu mereka menikmati permainan itu."Ya Allah," lirihku sakit, benar-benar sakit. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Otak ini tiba-tiba Blang, susah untuk diajak berpikir. Tetapi tidak dengan kakiku, yang mulai menapaki satu persatu anak tangga, hingga menginjak di lantai itu."Apa yang kalian lakukan?" Suara bergetar, tak sanggup menahan rasa peeih ini. Mereka berdua gelinjangan, dan saling melepaskan ciuman."Marni," lirih Mas Andra mendorong tubuh Seroja menjauh. Mas Andra mengusap bibirnya yang sudah basah dengan jemarinya. Setelah itu ia berdiri dan berjalan mendekatiku."Apa yang kamu lihat itu bukan seperti yang kamu kira." Dia mencoba mencari alasan untuk menyangkal perbuatan bejatnya itu. "Tadi itu, saya gak sengaja. Em, maksudnya kami gak sengaja melakukan itu.""Saya permisi ke dapur dulu!" Hanya itu yang keluar dari mulutku, menanggapi ucapan Mas Andra tadi."Marni tunggu!" teriak Mas Andra sepertinya mengikutiku ke dapur. "Marni, kamu percaya kan sama aku?" tanyanya ketakutan.Tapi aku heran, kenapa dia harus takut? Bukankah dia mengira aku sudah mati, dan tidak mungkin Marni akan menceritakan itu semua pada Salwa. Tapi entahlah, sepertinya dia takut kalau aku akan menceritakan hal ini pada pengacaraku."Kamu harus percaya, Marni!" ucapnya lagi, sudah berada di hadapanku. Terpaksa langkah ini terhenti."Saya gak perduli," jawabku, bersikap setensng mungkin. "Toh itu bukan urusan saya. Apa yang kakak takutkan?""Saya takut kamu salah paham dan menceritakan yang tadi itu sama___"Mbak Salwa," pangkasku, mampu membungkam mulutnya."Gak mungkin Salwa. Dia sudah pergi, meninggalkan aku, Marni."Aku mengangguk paham. "Tapi kalau seandainya Mbak Salwa itu masih hidup, gimana?"Sengaja aku bangun pagi, untuk memberikan kejutan buat Mas Andra. Hari ini adalah Anniversary pernikahan kami yang ke-tiga. Aku dan Mas Andra sudah membuat rencana, sebelum kecelakaan itu menimpaku. Kami sepakat akan berlibur ke Bali, sekaligus berbulan madu yang ke-dua.Dan momen ini akan kubuat, Mas Andra mengingatku. Mengingat kenangan yang tak akan pernah sirna, dalam ingatannya.Setiap tahun, Mas Andra selalu memberikan kejutan di hari pernikahan kami. Dia tidak pernah absen, memberikan kado yang membuat semua istri merasa bahagia. Merasa nyaman, dan tidak akan pernah berpikir suaminya selingkuh. Ternyata itu hanyalah tameng untuk menutupi keburukannya. Lihatlah Mas, hari ini kamu akan merasakan sakitnya."Tolong antar pagi ini juga, ya? Kalau bisa jangan lewat jam tujuh pagi," ucapku pada kurir, tempat aku memesan beberapa barang dan kue. "Oke, saya tunggu."Aku keluar kamar, dan mulai melangkahkan kaki ke lantai satu. Di sana sudah ada Bi Ayu yang sibuk member
"Saya yakin membutuhkannya, Pak," jawabku lelaki itu tak menjawabnya lagi. "Baiklah, secepatnya saya akan carikan asisten laki-laki yang masih muda, seperti pesanan ibu," jawabnya, bisa andalkan. Aku mengangguk puas, sembari menatap tajam ke arah laki-laki itu. Setelah ini apa yang akan aku lakukan, kupastikan akan membuat kamu resah Mas Andra. Tunggu balasan yang lebih kejam dariku. Selesai dengan urusan Pak Jhon, aku sudah tidak sabar melihat reaksi Mas Andra, satu kantor dengannya. Bahkan jabatan yang sekarang aku pegang, lebih tinggi dibandingkan dia. Sesusai yang aku perintahkan pada orang kepercayaanku tadi, Pak Jhon akan meminta Maa Andra dan Seroja, bersama dewan direksi lain untuk berkumpul di ruang rapat. Mengenalkan presidir yang baru. Lewat monitor yang menghubungkan ruangan sebelah, aku bisa melihat satu persatu mereka masuk. Yang membuatku ingin muntah ialah wajah Mas Andra dan Seroja yang seolah tidak saling kenal. Pad
Sepatu high heels yang kupakai tergelincir di keramik, membuat tubuh ini jatuh. Beruntungnya Mas Andra dekat, lelaki itu menarik tanganku, dan aku jatuh tepat di pangkuannya. Saking gugupnya, jantung ini berdebar-debar. Apalagi saat pandangan mata kami bertemu.Tatapan Mata Andra masih sama, saat kami menjalin kasih. Lembut dan penuh cinta. Bibirnya yang merah, membuatku sedikit terkesiap, melupakan semua dendamku padanya. Rasanya aku ingin dunia ini berhenti berputar. Hanya ada aku dan Mas Andra di dalamnya. Situasi ini sangat nyaman bagiku, menyandarkan tubuh ini ke bahunya.Bayangan dia bercumbu dengan wanita lain, membuat aku sadar. Kalau laki-laki yang sedang memangku ini bukan lah laki-laki yang baik. Bermuka dua, pengkhianat, dan seorang mafia. Aku yakin dia akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan aku."Ibu Maharani gak apa-apa kan, Buk?" tegur Pak Jhon, mengkhawatirkan aku.Gegas, kutarik bokong ini dari pangkuannya. "Terima kasih Pak Andra sudah
Wajah wanita yang mengakui dirinya sebagai aku itu terlihat pucat. Bahkan tak mau memandang ke arahku. Bingung, dan terjebak dalam pertanyaan itu."Apa jangan-jangan, ada orang lain yang mereka kira korban kecelakaan itu? Atau____Sesaat wanita itu mengalihkan pandangannya ke arahku, hanya sebentar, saat aku kembali menggantungkan ucapanku, ia kembali melihat ke samping. Dasar licik kamu, akan aku pastikan hidupmu tidak akan tenang, apalagi yang sedang kamu hadapi ini adalah seorang wanita kuat, yang sudah kebal dengan kata pengkhianatan."Ah, sudahlah, Mbak," sambungku, berangkat. Aku duduk di sebelahnya. "Yang penting Mbak Salwa sudah kembali dalam keadaan yang utuh, hehehe," kekehku memeluk tubuhnya. "Aku seneng banget kok, bisa ketemu Mbak lagi.""Mbak juga," sahutnya, tersenyum getir. "Oh iya, Mas Andra kok sampai sekarang belum pulang ya?" Pandangan matanya melolok ke arah pintu. Seolah tak sabar ingin bertemu dengan Mas Andra. Aku juga ingin tahu, seperti apa reaksi mereka sete
Desir darah ini terasa panas di tubuh, mengalir bebas, meninggalkan kecemasan. Saat mendengar pramugari mengatakan jika posisi pesawat sedang dalam bahaya."Para penumpang sekalian harap tenang, pakai sabuk pengaman, untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi.Suara wanita itu menggema di kabin pesawat, menimbulkan riuh seketika di dalam sana. Cemas dan takut sebagian orang alami, termasuk denganku. Bayang-bayang kematian pun menari-nari di benak."Astaghfirullah," sebut hampir semua penumpang yang beragama muslim. Begitu juga denganku. Saat merasakan hantaman besar, yang membuat tubuh kami terombang-ambing."Ya Allah, selamatkan hamba!!" seruan panik seseorang, terdengar sekali didera rasa takut yang luar biasa.Pun dengan diri ini, tak bisa lagi berpikiran positif. Yang ada hanyalah kepasrahan, tetap tidak rela. Jika nyawa ini melayang begitu saja. Kupejamkan mata sejenak, yang ada dalam khayal hanyalah sosok laki-laki yang menemaniku s
Pergi? Pergi kemana Mas Andra. Aku sedikit tercengang mendengar jawaban dari Bi Ayu. Bahkan dari nada bicaranya saja, wanita paruh baya itu tampak ketakutan. Ada apa ini?Satu minggu berlalu, aku dirawat di rumah sakit. Dan hari ini, dokter mengatakan kalau aku sudah boleh dibawa pulang. Antara cemas dan takut, mendengar kabar itu. Seharusnya, aku bahagia karena bisa berkumpul lagi bersama Mas Andra. Tetapi, setelah mendengar kabar dari Bi Ayu, aku merasa ada sesuatu yang janggal di rumah.Petugas penanganan bencana dan Tim SAR yang bertugas mengantarku pulang ke rumah. Iya, rumahku. Ini adalah warisan dari kedua orang tuaku sebelum mereka meninggal. Kalaupun selama ini aku tidak aktif di perusahaan, dan menyerahkan semua urusan perusahaan pada Mas Andra. Namun, beliau sama sekali tidak pernah ikut andil di dalamnya.Rumah mewah dua lantai di hadapanku saat ini tampak sepi. Karena memang, selama berumah tangga dengan mas Andra aku belum dikaruniai anak. Li
Bayangan moment indah yang kami lewati bersama tiba-tiba datang. Betapa aku percaya pada Mas Andra, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya dan aku selalu mendukung apapun permintaanya, yang selalu ia katakan 'untuk kita'Ternyata semua itu cuma tameng untuk menutupi kebusukannya. Tak dapat kubendung lagi, air mata ini luruh seketika, mengalir seperti hilangnya kepercayaanku terhadap Mas Andra."Kamu tega, Mas." Tangisku pecah, membayangkan Mas Andra dan perempuan itu. Sakit, sekujur tubuh ini, apalagi seonggok daging yang menggumpal di dalam dada.Belum kering air mata ini, Bi Ayu datang bersama Nirwan. Assisten Mas Andra yang kupercayakan semuanya kepada laki-laki berkumis tipis di hadapanku kali ini."Buk, ada Pak Nirwan," ucap Bi Ayu memberitahu."Iya, Bik," sahutku dengan suara parau. "Bibik boleh keluar," pintaku, hancur sehancur-hancurnya.Nirwan menayapku penuh tanda tanya. Namun, yang aku lihat dari matanya, ada sirat k
Wajah wanita yang mengakui dirinya sebagai aku itu terlihat pucat. Bahkan tak mau memandang ke arahku. Bingung, dan terjebak dalam pertanyaan itu."Apa jangan-jangan, ada orang lain yang mereka kira korban kecelakaan itu? Atau____Sesaat wanita itu mengalihkan pandangannya ke arahku, hanya sebentar, saat aku kembali menggantungkan ucapanku, ia kembali melihat ke samping. Dasar licik kamu, akan aku pastikan hidupmu tidak akan tenang, apalagi yang sedang kamu hadapi ini adalah seorang wanita kuat, yang sudah kebal dengan kata pengkhianatan."Ah, sudahlah, Mbak," sambungku, berangkat. Aku duduk di sebelahnya. "Yang penting Mbak Salwa sudah kembali dalam keadaan yang utuh, hehehe," kekehku memeluk tubuhnya. "Aku seneng banget kok, bisa ketemu Mbak lagi.""Mbak juga," sahutnya, tersenyum getir. "Oh iya, Mas Andra kok sampai sekarang belum pulang ya?" Pandangan matanya melolok ke arah pintu. Seolah tak sabar ingin bertemu dengan Mas Andra. Aku juga ingin tahu, seperti apa reaksi mereka sete
Sepatu high heels yang kupakai tergelincir di keramik, membuat tubuh ini jatuh. Beruntungnya Mas Andra dekat, lelaki itu menarik tanganku, dan aku jatuh tepat di pangkuannya. Saking gugupnya, jantung ini berdebar-debar. Apalagi saat pandangan mata kami bertemu.Tatapan Mata Andra masih sama, saat kami menjalin kasih. Lembut dan penuh cinta. Bibirnya yang merah, membuatku sedikit terkesiap, melupakan semua dendamku padanya. Rasanya aku ingin dunia ini berhenti berputar. Hanya ada aku dan Mas Andra di dalamnya. Situasi ini sangat nyaman bagiku, menyandarkan tubuh ini ke bahunya.Bayangan dia bercumbu dengan wanita lain, membuat aku sadar. Kalau laki-laki yang sedang memangku ini bukan lah laki-laki yang baik. Bermuka dua, pengkhianat, dan seorang mafia. Aku yakin dia akan menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan aku."Ibu Maharani gak apa-apa kan, Buk?" tegur Pak Jhon, mengkhawatirkan aku.Gegas, kutarik bokong ini dari pangkuannya. "Terima kasih Pak Andra sudah
"Saya yakin membutuhkannya, Pak," jawabku lelaki itu tak menjawabnya lagi. "Baiklah, secepatnya saya akan carikan asisten laki-laki yang masih muda, seperti pesanan ibu," jawabnya, bisa andalkan. Aku mengangguk puas, sembari menatap tajam ke arah laki-laki itu. Setelah ini apa yang akan aku lakukan, kupastikan akan membuat kamu resah Mas Andra. Tunggu balasan yang lebih kejam dariku. Selesai dengan urusan Pak Jhon, aku sudah tidak sabar melihat reaksi Mas Andra, satu kantor dengannya. Bahkan jabatan yang sekarang aku pegang, lebih tinggi dibandingkan dia. Sesusai yang aku perintahkan pada orang kepercayaanku tadi, Pak Jhon akan meminta Maa Andra dan Seroja, bersama dewan direksi lain untuk berkumpul di ruang rapat. Mengenalkan presidir yang baru. Lewat monitor yang menghubungkan ruangan sebelah, aku bisa melihat satu persatu mereka masuk. Yang membuatku ingin muntah ialah wajah Mas Andra dan Seroja yang seolah tidak saling kenal. Pad
Sengaja aku bangun pagi, untuk memberikan kejutan buat Mas Andra. Hari ini adalah Anniversary pernikahan kami yang ke-tiga. Aku dan Mas Andra sudah membuat rencana, sebelum kecelakaan itu menimpaku. Kami sepakat akan berlibur ke Bali, sekaligus berbulan madu yang ke-dua.Dan momen ini akan kubuat, Mas Andra mengingatku. Mengingat kenangan yang tak akan pernah sirna, dalam ingatannya.Setiap tahun, Mas Andra selalu memberikan kejutan di hari pernikahan kami. Dia tidak pernah absen, memberikan kado yang membuat semua istri merasa bahagia. Merasa nyaman, dan tidak akan pernah berpikir suaminya selingkuh. Ternyata itu hanyalah tameng untuk menutupi keburukannya. Lihatlah Mas, hari ini kamu akan merasakan sakitnya."Tolong antar pagi ini juga, ya? Kalau bisa jangan lewat jam tujuh pagi," ucapku pada kurir, tempat aku memesan beberapa barang dan kue. "Oke, saya tunggu."Aku keluar kamar, dan mulai melangkahkan kaki ke lantai satu. Di sana sudah ada Bi Ayu yang sibuk member
Tatapannya menggambarkan pertanyaan besar, ditambah kerutan di keningnya, seolah ingin tahu siapa aku. Bahkan Mas Andra tampak ragu untuk menyambut uluran tangan dariku."Gak penting!!" sahut wanita yang di sebelahnya. Menarik lengannya agar menjauh dariku. "Aku capek, Mas. Ngapain kamu malah ngurusin nih orang, mending kamu tunjukan di mana kamar kita," omelnya terlihat jelas kekesalan dari raut wajahnya.Panas dada ini mendengar ucapan wanita itu. Yang menyebutkan kata 'kamar kita'. Aku ingin tahu, akan dibawa ke mana Seroja oleh Mas Andra. Kutarik tanganku dan pandangan ini ke sembarang. Aku takut tidak bisa mengontrol diri, jika bertatap muka dengan mereka."Saya permisi dulu Pak," pamit Bi Ayu meninggalkan kami. Wanita itu melirik sekilas ke arahku saat melintas, masuk ke dapur."Bik, tunggu!" sergah Mas Andra, Bi Ayu berbalik. "Tolong Bibik antar Seroja ke kamar tamu," pintanya, dengan nada memerintah."Lho, Mas." Wanita yang bernam
Bayangan moment indah yang kami lewati bersama tiba-tiba datang. Betapa aku percaya pada Mas Andra, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya dan aku selalu mendukung apapun permintaanya, yang selalu ia katakan 'untuk kita'Ternyata semua itu cuma tameng untuk menutupi kebusukannya. Tak dapat kubendung lagi, air mata ini luruh seketika, mengalir seperti hilangnya kepercayaanku terhadap Mas Andra."Kamu tega, Mas." Tangisku pecah, membayangkan Mas Andra dan perempuan itu. Sakit, sekujur tubuh ini, apalagi seonggok daging yang menggumpal di dalam dada.Belum kering air mata ini, Bi Ayu datang bersama Nirwan. Assisten Mas Andra yang kupercayakan semuanya kepada laki-laki berkumis tipis di hadapanku kali ini."Buk, ada Pak Nirwan," ucap Bi Ayu memberitahu."Iya, Bik," sahutku dengan suara parau. "Bibik boleh keluar," pintaku, hancur sehancur-hancurnya.Nirwan menayapku penuh tanda tanya. Namun, yang aku lihat dari matanya, ada sirat k
Pergi? Pergi kemana Mas Andra. Aku sedikit tercengang mendengar jawaban dari Bi Ayu. Bahkan dari nada bicaranya saja, wanita paruh baya itu tampak ketakutan. Ada apa ini?Satu minggu berlalu, aku dirawat di rumah sakit. Dan hari ini, dokter mengatakan kalau aku sudah boleh dibawa pulang. Antara cemas dan takut, mendengar kabar itu. Seharusnya, aku bahagia karena bisa berkumpul lagi bersama Mas Andra. Tetapi, setelah mendengar kabar dari Bi Ayu, aku merasa ada sesuatu yang janggal di rumah.Petugas penanganan bencana dan Tim SAR yang bertugas mengantarku pulang ke rumah. Iya, rumahku. Ini adalah warisan dari kedua orang tuaku sebelum mereka meninggal. Kalaupun selama ini aku tidak aktif di perusahaan, dan menyerahkan semua urusan perusahaan pada Mas Andra. Namun, beliau sama sekali tidak pernah ikut andil di dalamnya.Rumah mewah dua lantai di hadapanku saat ini tampak sepi. Karena memang, selama berumah tangga dengan mas Andra aku belum dikaruniai anak. Li
Desir darah ini terasa panas di tubuh, mengalir bebas, meninggalkan kecemasan. Saat mendengar pramugari mengatakan jika posisi pesawat sedang dalam bahaya."Para penumpang sekalian harap tenang, pakai sabuk pengaman, untuk mencegah kemungkinan buruk terjadi.Suara wanita itu menggema di kabin pesawat, menimbulkan riuh seketika di dalam sana. Cemas dan takut sebagian orang alami, termasuk denganku. Bayang-bayang kematian pun menari-nari di benak."Astaghfirullah," sebut hampir semua penumpang yang beragama muslim. Begitu juga denganku. Saat merasakan hantaman besar, yang membuat tubuh kami terombang-ambing."Ya Allah, selamatkan hamba!!" seruan panik seseorang, terdengar sekali didera rasa takut yang luar biasa.Pun dengan diri ini, tak bisa lagi berpikiran positif. Yang ada hanyalah kepasrahan, tetap tidak rela. Jika nyawa ini melayang begitu saja. Kupejamkan mata sejenak, yang ada dalam khayal hanyalah sosok laki-laki yang menemaniku s