"K-kamu beneran mengijinkan aku untuk poligami?" tanya Fatih memastika. Ia benar-benar tidak menyangka jika Wulan bisa secepat itu mengizinkannya untuk menikah lagi dengan wanita lain.Wulan mengangguk, bibirnya tersenyum getir melihat kenyataan menyedihkan di depan mata."Iya, Mas. Bukankah itu yang kamu inginkan?" jawab Wulan sekuat tenaga menahan tangis. Ia berusaha tegar di hadapan pria yang sudah dua tahun menjadi imamnya itu.'Tapi tidak secepat ini Wulan, kamu bahkan tidak berusaha meminta waktu untuk berfikir. Ada apa denganmu? Apa rasa cintamu padaku sudah habis? Atau jangan-jangan ada pria lain di hati kamu?' Batin Fatih menerka-nerka."Baiklah, jika kamu sudah merestui keputusan poligami itu, nanti akan aku sampaikan pada ibu," ucap Fatih menahan sakit di hatinya. Ada serpihan hati yang terluka saat dengan mudahnya Wulan merestuinya untuk menikah lagi dan membagi cintanya dengan yang lain. Bukankah ini di luar dugaan? Fatih pikir, Wulan butuh waktu yang lama untuk memutuska
Sedangkan di klinik Fatih mulai menceritakan semuanya kepada ibu dan juga kakaknya. Mereka tidak menyangka jika Fatih berhasil membujuk Wulan. Senyum kemenangan terukir di bibir keduanya. Mendengar cerita Fatih Bu Ratna dan Sarah menganggap jika rencana mereka telah berhasil.'Aku tidak menyangka jika si benalu itu akhirnya menyerah juga, aku yakin–dia pasti tidak akan mau di ceraikan oleh Fatih, mau tidur dimana dia jika sampai bercerai dengan anakku? Dia kan orang miskin, yatim piatu. Jangankan tempat tinggal, saudara saja tidak punya,' gumam Bu Ratna dalam hati merasa puas."Syukurlah kalau begitu, itu artinya dia sudah ikhlas menerima Eva sebagai madunya," ucap Bu Ratna."Jadi–kapan rencana pernikahanmu dan Eva di gelar?" tanya Sarah pada adik semata wayangnya itu."Secepatnya! Lebih cepat, lebih baik!" Timpal Bu Ratna mendahului."Gimana kalau setelah ibu pulang dari sini? Nanti Mbak yang memberitahu Eva, biar dia menyiapkan dana nya, untuk acaranya kita gelar di rumah saja, gima
Wulan turun dari taxi online yang mengantarnya. Dengan langkah ragu-ragu ia pun mengetuk pintu kontrakan si Mbok."Non Wulan?" ucap si Mbok terkejut melihat majikannya itu berdiri di depan pintu dengan mata yang sembab dan wajah yang pucat."Ya allah, Non. Non Wulan kenapa? Ayo masuk!" ajak si Mbok. Tangannya mengambil alih tas jinjing di tangan Wulan.Wulan pun duduk di kursi, sedangkan Mbok Romlah bergegas pergi ke dapur untuk mengambil minum."Diminum dulu, Non. Biar tenang,""Terima kasih, Mbok,""Si Non kenapa? Kenapa matanya sembab gitu, Non Wulan habis nangis?" tanya wanita berambut setengah putih itu.Wulan terdiam, ia bingung harus mulai dari mana menceritakan masalahnya pada si Mbok."Non Wulan di jahatin Nyonya besar? Atau–dijahati Non Sarah? Jawab Non, jangan diem saja. Si Mbok jadi bingung, si mbok jadi khawatir,"Wulan menggeleng, perlahan ia membuka mulutnya. Dengan bibir bergetar ia pun menceritakan semua masalah yang menimpanya. "Apa?! T-tuan Fatih mau nikah lagi? No
"Pak Gio?!" ucap Wulan terkejut melihat Gio datang mencarinya.Pria itu menatap Wulan, sorot matanya sangat menyeramkan membuat Wulan takut. Dengan susah payah Wulan berusaha menelan salivanya. "Ikut saya!" Seru Gio penuh penekanan. Matanya nyalang menatap Wulan."M-mau kemana, Pak?" jawab Wulan memberanikan diri untuk bertanya.Gio tidak menjawab. Pria itu menarik tangan Wulan berjalan menuju motornya. Kemudian memasangkan helm berwarna merah itu di kepala Wulan."Naik!" Perintahnya. Dengan perasaan takut Wulan pun bergegas menaiki kendaraan roda dua itu. Dengan kasar Gio pun melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Rasa takut, khawatir dan kesal bercampur menjadi satu."Kita mau kemana, Pak?" tanya Wulan. Ia benar-benar takut. Bukannya menjawab Gio justru semakin mempercepat laju motornya.Wajah Wulan terasa sakit tersapu angin yang begitu kencang karena helm yang ia pakai tidak memiliki kaca. Wulan menjerit saat dirinya hampir saja terjatuh. "Saya mohon pelan-pelan bawa motor
Luka di wajahnya saja belum hilang, Gio justru membuat luka baru dengan memukulkan tangannya ke tembok."Argh!!" Gio berteriak seperti orang kesetanan. Beberapa kali ia terus melukai dirinya, dan itu membuat Wulan bingung penuh tanya.Dalam hati sejujurnya Wulan sangat kesal dengan perlakuan Gio padanya. Namun, melihat Gio yang melukai dirinya karena merasa bersalah Wulan jadi iba.'Aku yakin, pasti ada yang tidak beres dengan Pak Gio,' batin Wulan."Stop!" teriak Wulan saat Gio menjedotkan kepalanya ke tembok."Saya mohon berhenti! Tolong hentikan semua ini Pak!" ucap Wulan berjalan menghampiri pria itu.Wulan menutup mulutnya, ia begitu terkejut melihat darah yang mengucur dari pelipis Gio."Astagfirullah," bisik Wulan."Maafkan saya, Wulan! Saya khilaf, saya mabuk!" ucap Gio dengan dada naik turun mengatur nafas yang memburu, ia menatap Wulan penuh penyesalan. Rasa kasihan Wulan terhadap Gio jauh lebih besar dibanding dengan rasa kesalnya pada pria misterius ini. Wulan yakin, Gio
Gio bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju motor."Pak Gio mau kemana?" tanya Wulan menghampiri Gio. "Naiklah! Kita akan pergi dari sini," ucap Gio memasangkan helm di kepala Wulan. Tanpa banyak bicara Wulan pun segera naik ke motor pria itu.Gio menyalakan mesin motor dan memacu kendaraan roda dua itu meninggalkan villa kosong yang barusan mereka singgahi."Kamu sudah makan Wulan?" tanya Gio, matanya menatap Wulan dari kaca spion."Sudah, sebelum berangkat kesini saya sudah makan,""Ya Sudah, berarti tugasmu hanya menemaniku makan saja!" jawab Gio. Ia pun memacu motornya menuju rumah makan terdekat.Sesampainya di rumah makan khas Sunda, Gio pun segera memesan menu yang ia suka. Tak lupa ia pun membelikan cemilan dan es jeruk untuk Wulan."Daripada bengong melihat saya makan, lebih baik kamu Makan kentang goreng itu!" titah Gio. Wulan pun hanya mengangguk mengiyakan kemudian mengambil satu dan memakannya.Gio makan dengan lahap seolah melupakan sakitnya. "Pelan-pelan aja pak,
"Dasar pikun!" ucap Gio. Ia pun kembali ke motornya dengan helm di tangannya."Jangan lupa! Besok jam dua belas siang di tempat biasa!" teriak pria itu kemudian melajukan sepeda motornya melesat kilat meninggalkan kontrakan si Mbok."Siapa pria itu' Wulan?" tanya Fatih penuh penekanan terdengar gemeretak gigi yang saling bersentuhan."I-itu bukan siapa-siapa, Mas" jawab Wulan terbata. Ia bisa dengar dari nada bicaranya jika saat ini suaminya itu sedang marah."Jangan bohong Wulan! Cepat katakan siapa pria yang bersamamu barusan?" teriak Fatih murka. Seandainya saja saat ini Wulan ada di hadapannya, mungkin saja Fatih sudah menghajarnya."Benar mas, itu bukan siapa-siapa, hanya driver ojek online yang mengantarku," jawab Wulan berbohong."Ohya? Sejak kapan kau mulai berani berbohong Wulan? Kau mau menipuku? Cepat katakan, kau sedang berada dimana saat ini? Aku akan menjemputmu sekarang juga!" Pekik Fatih emosi."Aku di restoran, Mas. Aku mau cari makan. Perutku lapar, kau tau kan di ru
"Perkenalkan, saya Eva! Calon istri kedua Mas Fatih," ucap gadis itu mengulurkan tangannya.Wulan yang terkejut hanya bisa mematung tanpa menyambut uluran tangan wanita yang bersama suaminya itu.''Apakah benar dia orangnya, Mas?' tanya Wulan menatap suaminya dengan mata berembun.Fatih mengangguk dan menjawab. ''Iya, Wulan. Ini Eva, wanita yang akan menjadi madumu," Air mata yang berusaha Wulan tahan akhirnya luruh juga, pelupuknya tak mampu lagi untuk menampung kristal bening itu.Dengan cepat Wulan menyapu air matanya dengan tangan. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan suaminya. Dengan sekuat tenaga Wulan berusaha tegar.'Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh menangis di hadapan mereka berdua,' lirih Wulan dalam hati.Wanita tangguh itu berusaha mengukir senyum di bibirnya, tangannya menyambut uluran tangan calon madunya. Dengan lembut ia menjawab. "Wulan, nama saya Wulan," "Silahkan duduk!" seru Wulan kepada sepasang manusia yang sukses membuat hatinya