Fahri mengembus napas pelan. Dia harus bisa mengontrol emosi. Bagaimana pun, dia butuh bantuan Dinda saat ini. Tolong bersabarlah, pinta Fahri pada diri sendiri. Ia kembali mengatur napas untuk meredakan emosi yang mendadak naik mendengar pertanyaan Dinda tadi.
"Tolong jangan bilang seperti itu lagi. Aku nggak ditinggal nikah. Aku dan Priska putus baik-baik, okay?" Fahri melebarkan matanya dengan senyum yang justru terlihat seperti seringaian."Oh, okay!" Dinda membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Nda minta maaf," ucapnya bersungguh-sungguh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Hingga Fahri malah melihat kemiripan antara Dinda dan Goofy saat melihat tatapan mata gadis di hadapannya."Lalu kenapa Uda harus minta ditemenin ke kondangan Teh Priska? Biar disangka udah move on?" selidik Dinda dengan polosnya.Fahri mengepalkan tangan, kembali mengatur napas agar tak meledak menanggapi pertanyaan adik sepupunya yang terdengar seolah mengejek. Pertanyaan telak yang membuat harga diri Fahri terasa makin dikoyak."Dinda, aku belum selesai ngomong dari tadi, kamu udah nyerocos sana-sini, bisa nggak sih dengerin dulu? Katanya anak psikologi, tapi nggak sabaran banget dengerin orang mau curhat!" geram Fahri. Kali ini Goofy yang menjadi korban pelampiasan emosi Fahri yang tertahan. Kucing berbulu oren itu menggeram saat Fahri mencengkeram kepala dan memelintir kupingnya, tapi tak bisa melawan karena sang majikan menahan gerakan tubuhnya yang hendak melompat turun dari pangkuan."Oh! Uda mau curhat?" Dinda masih belum percaya dengan apa yang baru dikatakan Fahri. Gadis itu buru-buru kembali bicara saat melihat Fahri mulai melotot. "Okay. Nda denger. Nda nggak akan nanya lagi. Demi Cha Eun Wo!" Kali ini Dinda mengacungkan hari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V."Aish!" Fahri menenggelamkan wajahnya dalam telapak tangan dan mengembuskan napas dengan keras. Serah lo dah! rutuknya. Tentu saja Fahri hanya bisa berkata dalam hati. Ia ingat misinya mendekati Dinda saat ini. Ingin membuktikan pada sahabat-sahabatnya bahwa dia tak senelangsa yang mereka pikirkan. Dan, tentu saja Fahri tidak mau ketahuan bahwa dia tadi hanya asal bicara. Bisa ditaruh di mana mukanya jika ketahuan berbohong untuk menutupi rasa malu ditinggal nikah oleh kekasihnya. Mantan kekasih lebih tepatnya."Jadi gini, teman kampretku." Fahri memulai dengan makian. "Meminta aku datang ke undangan Priska lusa. Mereka bawa pasangan masing-masing. Nggak lucu dong, aku datang sendirian, ke nikahan mantan pula. Sebenarnya aku bisa aja sih minta cewek lain buat nemenin, cuma aku nggak mau pada baper aja. Secara, aku kan inceran para cewek yang udah dikejar-kejar deadline nikah." Fahri nyerocos panjang lebar. Sementara Dinda mengangguk-angguk berusaha keras menahan diri untuk tak berkomentar."Jadi, kamu mau nemenin aku?""Ok! Demi harga diri Uda Fahri, Nda akan temanin." Dinda langsung menyetujui."Serius?" Fahri mengira akan mendapatkan penolakan karena track record komunikasi mereka selama ini tidak terlalu bagus. Dan lagi, gadis itu terkadang terlihat takut saat berhadapan dengannya."Iya." Dinda mengangguk dengan tatapan mata bersungguh-sungguh."Tapi kamu jangan baper ya, jangan ngira aku mau nerima usulan perjodohan Umi tadi pagi."Dinda melongo sepersekian detik, kemudian tawanya pecah."Ha-ha! Jadi Uda pikir Nda mau nemenin karena usulan perjodohan Umi tadi pagi?" tanya Dinda di sela tawanya."Tenang, Da. Nda tau diri. Nggak mungkin Uda suka Nda, kan. Secara mantan Uda saja bak kandidat Miss Universe.""Lebay!" cibir Fahri sambil mencebik."Eh, tapi apa uda nggak malu? Masa down grade, dari spek Miss Universe jadi Miss Alakadarnya?" Dinda mengabaikan cibiran Fahri.Fahri mendelik. Memindai penampilan Dinda yang bisa dikatakan rada kampungan. Bahkan saat tadi datang saja, kerudung gadis itu lebih menyerupai kerudung ibu tukang sayur langganan uminya. Tak ada modis-modisnya. Berbeda dengan Priska yang selalu mengikuti tren fashion.Lelaki berkulit sawo matang itu gigit jari. Merasa benar apa yang dikatakan Dinda kali ini. Tidak mungkin dia membawa Dinda dengan penampilan kampungan itu. Apa kata para sahabat kampretnya itu nanti."Ah! Teh Dena mana?" tanyanya tiba-tiba teringat akan kakak iparnya yang cukup stylish.Dinda garuk-garuk kepala. Dia berpikir Fahri mendadak gila, karena akan mengajak Dena sebagai partnernya ke kondangan."Di atas. Mau Nda panggilin?""Iya, sana buruan! Bilang sama Teh Dena, urgent!" Fahri mengibas-ngibaskan tangannya bak bos besar, mengusir Dinda pergi."Iya." Dinda bergegas bangkit dari duduk. Menaiki anak tangga dengan tergesa. Baru kali ini Fahri menganggapnya ada, dan Dinda tidak mau sepupunya itu berubah pikiran, kembali menganggapnya seperti debu yang beterbangan di sekitarnya. Jangankan dianggap, terlihat saja enggak."Teh." Dinda mengetuk pintu kamar sepupunya pelan begitu sampai di lantai dua.Pada ketukan kedua, Dena keluar."Kenapa, Din?" tanya ibu muda itu sembari merapikan ikatan rambutnya."Maaf, gangguin Teteh istirahat.""Oh, nggak, tadi cuma buka-buka medsos aja. Kenapa?" Dena mengulas senyum hangat."Uhm, itu ... Uda Ari nyuruh Nda manggil Teteh. Katanya ada yang urgent." Dinda nyengir kuda. Jika dibandingkan dengan sepupunya, justru Dinda lebih dekat dengan ipar sepupunya itu. Gadis Sunda yang ramah dengan wajah spek bidadari."Emang tu bocah udah pulang?""Udah.""Apaan lagi tu anak urgan urgent segala." Dena mengomel, terlihat sedikit kesal. Dena paham sifat Fahri yang baru akan menegurnya jika ada perlu."Sopan banget tu anak, ya! Malah yang tua disuruh turun, bukannya dia yang naik gitu manggil teteh." Dena bersungut-sungut sambil melangkah turun ke lantai bawah."Ih, kata siapa Teteh udah tua, masih muda gini." Dinda menimpali dari belakang.Dena menghentikan langkah, menoleh pada Dinda yang menatapnya polos. Kemudian tawanya pecah mengingat betapa polos sepupu suaminya itu."Dinda, bisa aja, sih nyenengin hati teteh." Sungutan kesal Dena langsung saja berubah tawa. Akan tetapi, tawanya langsung saja terhenti begitu melihat muka masam sang adik ipar."Heran deh gue, kok mau-maunya Priska pacaran sama tu anak sampe bertahun-tahun, mukanya kecut begitu," bisik Dena ke arah Dinda. "Wajar aja ceweknya minta putus. Ngeliat mukanya aja, masa depan langsung suram." Dena mencebik."Ih, Teteh." Dinda menyikut lengan Dena pelan. Dinda khawatir Fahri kembali meradang."Ada apa adik iparku yang ganteng nan songongnya ngalahin emak-emak bermotor di jalan?" tanya Dena dengan nada bicara yang dibuat sedikit manis."Teh, bisa dandanin Dinda nggak? Bikin dia secantik mungkin." Fahri langsung berbicara ke poin utama. Ia tak mau berbelit-belit kali ini."Oh! Ini titah, Tuan Muda?" Dena mengernyit, memasang ekspresi takut yang jelas dibuat-buat.Fahri menyadari bahasa sindiran kakak iparnya. Ia kemudian mengulang kembali kalimat permintaannya pada Dena. "Teteh Dena yang cantik, bisakah Ari minta tolong untuk mendandani Dinda secantik mungkin?""Adeu ... jadi ceritanya setuju nih sama usulan Umi?" goda Dena dengan senyum lebar."Bukan! Duh! Teteh jangan salah paham. Ini tuh aku mau ke kondangan Priska lusa.""Oh! I see. Ok. Ari tenang aja, teteh bikin Dinda jadi manglingi, ngalahin pengantennya sekalian ntar!" Dena berkata dengan semangat sambil. mengacungkan jempolnya."Tapi jangan sampai umi tau."Dena melongo."Gimana, cara? Secara ntar Dinda kan berangkat dari sini, ya pasti umi lihat dong.""Ntar Dinda aku jemput dari rumah Teteh aja."Dena megap-megap, berusaha menahan makian yang sudah berada di tenggorokan. Pantas saja mertuanya selalu naik darah menghadapi bocah yang terperangkap dalam tubuh lelaki dewasa ini."Terus, maksud lo, udah minta tolong nyusahin orang pula?" Jika Fahri anaknya, mungkin Dena akan berbuat hal yang sama dengan mertuanya, mengambil sapu dan melayangkan ke kepala Fahri. Untung Dena bukan Emi, jadi dia terpaksa menahan diri, meski darah sudah mendidih di kepala."Aku janji, setelah ini bakal bantuin Teteh jagain Chika kalau Teteh mau ada acara sama sohib sosialita Teteh." Untuk pertama kali, Dena melihat tatapan memohon dari wajah adik iparnya. Tatapan angkuh yang selama ini ia perlihatkan, seolah habis tak bersisa. Dena mendadak kasihan. Sebegitu parah patah hati adik iparnya. Dena tak mau tau-tau Fahri bunuh diri hanya karena patah hati."Ok. Demi baby sitter gratisan. Teteh mau." Dena mengulurkan tangan ke arah adik iparnya."Apaan ini?" Tatapan angkuh itu kembali."Deal, nggak?""Ya kan aku yang ngajuin syarat, nggak perlu pakai deal-deal segala, lah," tepis Fahri."Cih! Sama kayak bantuin ular kejepit," umpat Dena.***"Umi, Na jalan sama Dinda dulu, ya," pamit Dena pada ibu mertuanya pagi itu. Sedikit berubah dari rencana awal, ia akan membawa Dinda ke salah satu salon milik salah seorang Make Up Artis terkenal di Bandung."Memangnya mau ke mana?" tanya Emi dan Niar berbarengan. Jarang-jarang Dinda mau diajak jalan oleh Dena. Biasanya Dinda lebih memilih menghabiskan waktu di rumah kakak ayahnya itu jika berlibur ke sana."Umi, Ari ngajakin Dinda ke kondangan mantannya. Na mau dandanin Dinda secantik mungkin, biar Ari benar-benar move on dari sang mantan," bisik Dena di telinga mertuanya. "Tapi Umi jangan bilang Ari kalau Na kasih bocoran, ok?" Dena mengacungkan jempolnya ke arah ibu mertua dengan senyum licik. Toh, kemarin menurutnya Fahri tak menanggapi salam kesepakatan mereka, jadi Dena merasa tak melanggar kesepakatan. Sekali-kali ia ingin memberi pelajaran pada sepupunya itu supaya mengurangi sifat angkuhnya."Terus kalian mau ke salon?" balas Emi dengan setengah berbisik."Iya. Tadinya mau dandan di rumah Na, tapi Na pikir-pikir kenapa nggak sekalian aja ke make up artis, biar hasilnya paripurna. Bener nggak, Mi?""Ha, iyo! Ini bawa kartu atm Umi saja. Bilang sama make up artisnya, dandanin secantik mungkin, biar Ari bisa melek matanya, cewek cantik nggak hanya mantannya aja." Emi bergegas membuka dompet, mengeluarkan kartu debit dan menyerahkan pada menantunya."Eh nggak usah, Umi. Biar pakai kartu Abang aja nanti biar Na tagih sama Ari," tolak Dena."Jangan. Biar umi yang bayar, nanti nggak usah ditagih ke anak itu. Nah! Bawa saja kartu Umi." Emi melesakkan kartu debitnya ke tangan sang menantu.Sementara itu Niar dan Dinda melongo menonton konspirasi mertua dan menantu itu."Nanti kirimin umi foto Dinda, ya!" pungkas Emi setelah berhasil memaksa menantunya menggunakan fasilitas yang ia berikan."Beres, Mi!" Dena mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar.***Fahri memacu mobilnya menuju alamat yang dikirimkan Dena melalui pesan singkat lima belas menit lalu. Dena mengabarkan bahwa Dinda sudah selesai didandani, dan siap untuk diajak unjuk gigi ke pernikahan Priska.Begitu sampai di lobi salon yang dimaksud, Fahri melihat Dena sedang mengobrol dengan seseorang."Mana si Dindanya, Teh?" tanya Fahri, mengabaikan lawan bicara kakak iparnya yang mengulas senyum padanya."Lah! Ini." Dena menunjuk lawan bicaranya.Sungguh Fahri tak menyangka gadis yang tadinya ia anggap kampungan itu, bertransformasi bak artis ibu kota. Tubuh gadis bertinggi sedang itu terlihat semampai dalam balutan gaun warna green olive dengan kerudung berwarna serasi. Bibirnya terlihat penuh dipoles lipstik berwarna natural. Serta matanya terlihat makin tajam efek riasan."Nah! Baru nyadar kan sekarang kalau Dinda cantik. Asal lo tau aja, Ri! Semua perempuan itu cantik, asal ada dananya." Suara Dena memutus kekaguman Fahri pada Dinda. Wajahnya yang tadi takjub, berubah masam kembali."Ya udah, yuk. Keburu kelar acaranya," ajak Fahri sembari berbalik."Magic word, please," seru Dena ketika tak mendengar sepatah kata ucapan terima kasih pun dari bibir adik iparnya itu."Makasih, Teh!" ucap Fahri sambil lalu."Yang sabar, ya Din." Dena memandang Dinda dengan wajah prihatin saat sepupu suaminya berjalan dengan tergesa menyusul Fahri ke luar salon."Eh, Ri! Tunggu dulu!"Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil. "Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri. "Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk. "Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar. Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut. "Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!" Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu. Dena membidikkan kamera ponselnya beberap
"Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F
Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s
Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
"Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h
"Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela
"Kita makan dulu ke Situjuh, yuk! Aku kangen sama gulai telur ikan di sana!" ajak Gibran begitu mobil double cabin yang ia kendarai perlahan menuruni lereng gunung dengan jalan berbatu. "Hah?" Dinda yang sedari tadi sibuk melepas tatap pada pemandangan sawah yang terhampar betingkat-tingkat dengan warna hijau menyejukkan mata, menoleh pada lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang itu. Tadinya Dinda mau menjawab, iya dengan senang hati, tetapi urung. Teringat kini dua keluarga besar tengah merembukkan hari baik untuk pernikahannya dengan Fahri. Rasanya tak tau diri jika ia malah pergi bersama laki-laki lain. "Maaf, Uda. Nda nggak bisa," tolak Dinda dengan seulas senyum tipis. Dinda sebenarnya tidak tega menolak. Bukan karena siapa yang mengajak, tetapi karena membayangkan kesempatan untuk menyantap makanan favorit ketika ayahnya masih ada, lewat begitu saja. Dulu, sehabis gajian, ayahnya selalu mengajak untuk makan di luar. Dan tempat yang disebutkan oleh Gibran itu adalah tem
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat