Share

Kondangan

Penulis: Alfarin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-04 17:38:53

"Eh, Ri! Tunggu dulu!"

Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil.

"Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.

Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri.

"Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk.

"Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar.

Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut.

"Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!"

Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu.

Dena membidikkan kamera ponselnya beberapa kali sembari mengatur gaya sang model dadakan, ditimpali gerutu sang adik ipar.

"Sip! Udah sana lo!" usir Dena setelah puas menatap hasil bidikannya di layar ponsel.

"Makan yang banyak ya, Din! Ngadepin orang kayak Fahri butuh energi ekstra!" ujar Dena dengan setengah berteriak saat Dinda berjalan menuju mobil Fahri yang terparkir di halaman salon.

"Iya, Teh!" Dinda mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar dan mata berbinar. Makan di tempat kondangan bagi Dinda semenjak ia menjadi mahasiswi, adalah kesempatan untuk mencicipi makanan enak.

Meskipun selama menjadi mahasiswi, Emi rutin mengiriminya uang saku, tetapi Dinda tau diri. Gadis itu selalu menghemat pengeluarannya, agar jika ada pengeluaran di luar prediksi, ia tak perlu meminta pada ibu atau kakak ayahnya itu. Sehingga, begitu ada undangan yang menyuguhkan makanan yang berlimpah, Dinda tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Saat memasuki mobil, Dinda mengulas senyum lebar, karena membayangkan beraneka ragam stand makanan di pesta pernikahan mantan sang sepupu.

"Assalamualaikum Ukhti!" sapa seseorang dari jok belakang begitu Dinda baru saja menghenyakkan tubuhnya di jok empuk mobil Fahri. Sontak gadis itu menoleh ke belakang.

"Waalaikum salam Akhi!" balas Dinda dengan senyum lebarnya.

"Apaan lo ukhti-ukhti segala!" sungut Fahri menoleh ke arah belakang, tempat di mana Pian berada.

"Masya Allah cantiknya calon bini, lo Ri! Pantes lo nggak bunuh diri ditinggal Priska," puji Pian makin menjadi.

"Mau gue tendang keluar lo?" gertak Fahri garang.

"Kayanya Gustaf kudu siap-siap balik nama motor sport-nya nih." Pian terkekeh-kekeh, tak peduli dengan wajah sahabatnya yang makin ditekuk dengan bibir makin monyong karena menahan kesal.

Sementara itu Dinda hanya cengar-cengir, mendengarkan Fahri dan sahabatnya berdebat. Melihat Fahri menjadi bulan-bulanan sahabatnya, Dinda merasa iba. Dinda memaklumi kenapa Fahri menjadi uring-uringan. Sepupunya itu tengah bersedih, tetapi orang-orang di sekitarnya seolah tak peduli dengan kesedihan yang ia rasakan. Menganggap lelaki itu cengeng hanya karena ditinggal seorang perempuan. Namun, Dinda paham, laki-laki juga manusia biasa yang bisa merasakan patah hati dan luka.

"Nda, kalau yang belum muhrim jalan berdua, yang ketiganya siapa, ya?" tanya Fahri tiba-tiba.

Dinda menoleh ke arah Fahri, dan dengan cepat. Sempat bingung karena tiba-tiba Fahri mengajaknya bicara. Kemudia, ia menjawab, "Setan."

"Berarti beneran ya, di belakang ada setan yang ngikutin."

"Njir! Lo ngatain gue setan?" protes Pian dari belakang, satu jitakan sukses diterima Fahri.

Sambil mengusap bekas jitakan Pian, Fahri membalas perkataan sahabatnya. "Terus pantasnya lo disebut apa? Sahabat? Mana ada sahabat yang dari kemarin bahagia banget liat orang menderita," sembur Fahri dengan nada penuh emosi.

Perdebatan dan saling lempar ejekan antara Fahri dan Pian baru berakhir ketika mereka memasuki area parkiran gedung tempat pesta pernikahan Priska diadakan. Fahri mulai memasang wajah serius, memindai area parkiran yang sudah penuh dengan kendaraan roda empat.

"Itu ada yang kosong satu, Uda," tunjuk Dinda ke arah yang luput dari perhatian Fahri.

Dengan gesit, lelaki yang masih memasang wajah kecut itu, memutar kemudinya ke arah yang ditunjuk Dinda. Setelah mobil terparkir sempurna, mereka bertiga berjalan beriringan menuju gedung tempat perhelatan sedang berlangsung.

"Mas Pian kok sendirian? Parnernya mana?" basa-basi Dinda pada sahabat Fahri.

"Nggak bisa ikut, Dinda. Dia lagi ada tugas keluar kota."

"Oh! Kerja apa?"

"Dia reporter—"

"Emang cewek lo malu aja jalan sama lo, cerewet kayak gini!" potong Fahri tanpa menoleh pada sahabatnya itu.

"Gue pikir mulut lo tertata dikit karena jalan sama calon bini lo, ternyata sama aja parahnya," sembur Pian tak terima dikatai Fahri.

"Ngapain juga gue jaim. Ntar setelah nikah bakal ketauan juga busuknya."

"Ngakuin lo busuk ya!" Pian terpingkal.

"Daripada kayak lo, Dakjal ngaku malaikat," balas Fahri makin kejam.

"Neng Dinda, sebaiknya pikir-pikir lagi deh nikah sama syetonirojim satu ini, bisa-bisa seumur hidup sengsara dapat suami kaya gini." Alih-alih meladeni Fahri, Pian menoleh pada Dinda.

Sebuah jitakan mendarat di kepala Pian, membalas perkataannya barusan.

"Wanjir! Nggak ada akhlaknya, lo!"

"Udah ... udah! Nggak enak lho diliatin orang." Dinda akhirnya turun tangan menengahi. Akhirnya kedua makhluk yang berseteru itu bungkam.

Begitu memasuki gedung acara, Fahri tiba-tiba saja merangkul bahu Dinda. Gadis itu terperanjat dan mendongak menatap wajah Fahri yang tampak tegang.

"Cie, yang katanya nggak muhrim malah main rangkul-rangkul aja!" cibir Pian dari belakang.

Sontak Fahri melepas kembali tangannya dari bahu Dinda.

"Gue nggak sengaja!" balasnya dengan wajah memanas dan reflek melepas lengannya dari bahu Dinda.

"Oi, Bro!" sorak Anwar sambil melambaikan tangan ke arah Fahri yang baru datang bersama Pian dan Dinda. Ternyata tak hanya Anwar, beberapa sahabatnya yang lain juga sudah berada di sana.

"Kenalin dong, Bro!" Gustaf yang angkat bicara sembari memberi kode dengan mata menunjuk Dinda.

"Nda—"

"Ciee! Manggilnya udah bunda!" Hendra memotong kalimat Fahri.

"Namanya Dinda, kampret!" Fahri kembali naik darah. Entah berapa makian yang ia lontarkan semenjak di perjalanan tadi.

"O, Dinda. Kenalin Aa Hendra," ujar Hendra tanpa rasa bersalah telah membuat sahabatnya naik pitam, mengulurkan tangannya pada Dinda.

"Salam kenal A Hendra," balas Dinda sambil mengatupkan tangannya di dada.

"Bukan muhrim!" gelak Boby sambil menepuk punggung Hendra.

Hendra hanya mampu nyengir kuda.

Dinda lalu bergabung dengan pasangan sahabat-sahabat Fahri setelah berkenalan. Kemudian mereka meninggalkan para lelaki yang masih saja saling melempar ledekan pada Fahri.

"Udah lama kenal sama Fahri?" tanya Feni—istri Hendra— pada Dinda.

"Sudah, Teh," sahut Dinda sopan.

"Kenal di mana?"

Dinda meringis, bingung hendak menjawab apa. Ia takut salah bicara. Sementara Fahri tak memberinya arahan apa yang harus dikatakan jika diberondong pertanyaan seperti itu.

"Kata Boby, dijodohin, ya?" Stefy kekasihnya Boby seakan memberikan petunjuk apa yang harus ia katakan pada para kekasih sahabat Fahri.

"He-he, iya, Teh." Lagi-lagi Dinda nyengir kuda.

"Nda, kita salaman dulu sama pengantin." Dinda menoleh, menatap heran lelaki yang baru saja berbicara padanya. Jika berbicara dengan ekspresi seperti itu, Fahri terlihat manis. Tak seperti Fahri yang Dinda kenal selama ini, selalu menunjukkan wajah cemberut dan masam.

Dinda menganggguk dengan seulas senyum, kemudian mereka berbaris bersama para tamu undangan lainnya yang hendak memberikan ucapan selamat pada kedua mempelai.

Barisan beringsut memendek jarak antara Fahri dan kedua mempelai. Senyum Priska memudar, begitu melihat Fahri berjalan mendekat. Setelah menyalami mantan calon mertuanya yang menatapnya ketus, Fahri bergeser ke arah Priska.

"Selamat ya, Neng." Kata sapaan sayang itu masih belum bisa Fahri hilangkan. Membuat senyum Priska tak lagi terlihat sempurna. Ia terlihat kesusahan menahan getar di bibir.

"Kenalin, ini Dinda calon istriku," imbuh Fahri, menarik Dinda mendekat

"Oh! Selamat ya kalian berdua." Priska memaksakan senyum. "Nanti gantian aku yang datang ke undangan kalian." Jelas terdengar suara Priska dibuat seceria mungkin. Ada rasa ganjil yang berdesir di dada Priska begitu mendengar Fahri memperkenalkan gadis manis di hadapannya itu sebagai calon istri. Priska tak menyangka Fahri akan secepat itu mencari penggantinya. Padahal selama ini Fahri selalu berkata bahwa dunianya pasti akan hancur jika ditinggal oleh Priska. Nyatanya, lelaki itu baik-baik saja, bahkan berencana hendak menikah pula.

Setelah selesai memberi ucapan selamat pada kedua mempelai, Fahri kemudian menggandeng tangan Dinda, lebih tepatnya menyeret turun dari panggung tempat mempelai berada. Hatinya masih belum sepenuhnya sembuh dari rasa sakit. Melihat Priska bersanding dengan lelaki lain, membuat luka di hati Fahri makin menganga. Perempuan itu yang ia sematkan pada rencana masa depannya, perempuan itu pula yang menghancurkan semua impiannya akan sebuah keluarga bahagia.

"Lo siap-siap balik nama BPKB motor sport lo, Taf!" Boby berbisik sambil menyolek lengan Gustaf saat mereka turun dari panggung.

"Belum! Gue undur sampai ijab kabul. Kalau cuma buat bawa cewek ke kondangan mah gampang, ya nggak?" Gustaf terkekeh-kekeh, mencari dukungan pada Doni.

"Yoi!" Doni mengacungkan jempolnya.

"Apaan lo berdua bisik-bisik kayak ibu-ibu komplek nge-ghibah!" sembur Fahri saat menoleh pada kedua sahabatnya.

"Udah, ah! Berisik lo pada. Keburu makanannya habis," sergah Anwar.

"Nda mau makan apa?" Fahri menoleh pada gadis yang berdiri di sampingnya, tetapi yang dicari tak lagi ada di sana. Fahri menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi Dinda tidak ia temukan.

"Nyari apaan, lo?" tanya Pian seakan menyadari kebingungan Fahri.

"Dinda mana?"

"Noh! Udah ngantri di stand siomay!" tunjuk Pian dengan dagunya.

"Lo ngomel mulu kayak aki-aki dari tadi, sih. Gue taruhan, lo nggak jadi bakal nikah sama Dinda. Kalau gue jadi dia, mah, nggak bakal betah!" Hendra yang bersuara.

Bosan menjadi bulan-bulanan, Fahri meninggalkan sahabatnya, menyusul Dinda ke tempat gadis itu mengantri.

"Kamu duduk aja di sana, biar aku ngantriin," titah Fahri begitu ia berada di samping Dinda yang tampak serius menunggu antrian.

"Nggak, ah! Ntar Uda malah makanin sendiri," tolak Dinda sambil mencebik.

"Ish! Aku nggak serakus itu, kali!" gerutu Fahri.

"Uda ngantri di stand kupat tahu aja, ntar kita barteran," usul Dinda penuh semangat.

"Sekalian sama sekotengnya di sana," tunjuk Dinda ke seberang ruangan.

"Gila! Nggak mau rugi banget kayanya!"

"Woiya jelas! Kesempatan makan gratis!" jawab Dinda dengan mantap.

Karena malu dengan tamu yang lain, Fahri memilih berjalan ke seberang ruangan, ke stan yang ditunjuk oleh Dinda tadi. Antrian di sana juga tak kalah panjang, membuat Fahri yang memang sudah lapar merasa kesal. Akhirnya dia memilih mengambil makanan di prasmanan yang terlihat sepi. Menyendokkannya dalam porsi besar, kemudian melahapnya tanpa menunggu Dinda selesai mengantri.

"Ini buat Uda." Dinda menyodorkan mangkuk kecil berisi siomay dengan kuah kacang, ke arah Fahri yang baru saja selesai menandaskan isi piring.

"Kelamaan, aku udah keburu lapar!"

"Nggak apa-apa, tambah lagi aja nih, Da." Dinda melesakkan salah satu mangkuk yang ia pegang ke arah Fahri. "Pura-pura bahagia itu butuh tenaga ekstra," bisiknya kemudian berlalu dari hadapan Fahri.

"Ntar pulang sendiri aja kamu!" geram Fahri mencengkeram kuat mangkuk siomay yang baru saja diberikan Dinda.

Sementara gadis yang baru saja membuat darahnya kembali mendidih, telah hilang di antara para tamu undangan.

Bab terkait

  • Pulang Ka Bako   Rencana Berantakan

    "Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Gadis Penebus Hutang

    Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Harus Menerima

    Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Makhluk Absurd

    Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Sepenggal Kisah

    "Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Gibran

    "Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Tak Seperti Dulu

    "Kita makan dulu ke Situjuh, yuk! Aku kangen sama gulai telur ikan di sana!" ajak Gibran begitu mobil double cabin yang ia kendarai perlahan menuruni lereng gunung dengan jalan berbatu. "Hah?" Dinda yang sedari tadi sibuk melepas tatap pada pemandangan sawah yang terhampar betingkat-tingkat dengan warna hijau menyejukkan mata, menoleh pada lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang itu. Tadinya Dinda mau menjawab, iya dengan senang hati, tetapi urung. Teringat kini dua keluarga besar tengah merembukkan hari baik untuk pernikahannya dengan Fahri. Rasanya tak tau diri jika ia malah pergi bersama laki-laki lain. "Maaf, Uda. Nda nggak bisa," tolak Dinda dengan seulas senyum tipis. Dinda sebenarnya tidak tega menolak. Bukan karena siapa yang mengajak, tetapi karena membayangkan kesempatan untuk menyantap makanan favorit ketika ayahnya masih ada, lewat begitu saja. Dulu, sehabis gajian, ayahnya selalu mengajak untuk makan di luar. Dan tempat yang disebutkan oleh Gibran itu adalah tem

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-06
  • Pulang Ka Bako   Terlalu Cepat

    Fahri mengembuskan napas kasar setelah menutup percakapannya dengan Dinda. Entah kenapa emosinya selalu naik setiap kali berinteraksi dengan gadis itu. Ia hampir saja melempar ponsel, tetapi urung ketika benda itu bergetar di genggamannya. "Kenapa, Taf?" ketus Fahri saat menjawab telpon dari Gustaf, sahabat kampret yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. "Kadieu geura maneh, Ri. Si Pian arek bundir. Maneh arek say good bye teu ka maneh na," kata Gustaf dengan nada datar. (Ke sini lo. Si Pian mau bunuh diri. Kamu mau ngucapin selamat tinggal nggak sama dia.) Seolah yang disampaikan Gustaf hanyalah sebuah berita pemberitahuan bahwa Zoey—Golden retriever miliknya— baru saja selesai dikebiri, bahkan pemuda itu lebih ekspresif ketika menceritakan hewan peliharaan kesayangannya itu dibanding mengabarkan bahwa sahabatnya akan bunuh diri. Seolah nyawa temannya itu hanya sebuah lelucon yang tak berharga. "Kunaon deui (kenapa lagi) si kampret make bundir sagala." Fahri membalas tak kalah

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-06

Bab terbaru

  • Pulang Ka Bako   New Parent

    Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin

  • Pulang Ka Bako   Pregnancy Confusion

    Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa

  • Pulang Ka Bako   Melanjutkan Hidup

    "Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken

  • Pulang Ka Bako   Kejutan Anniversary

    Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b

  • Pulang Ka Bako   Grow Old With Me Please

    Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng

  • Pulang Ka Bako   Konseling

    Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda

  • Pulang Ka Bako   Harapan Fahri

    Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh

  • Pulang Ka Bako   Pulang Kampung

    "Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.

  • Pulang Ka Bako   Cinta Datang Terlambat

    Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status