"Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya.
"Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung."Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai."Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak."Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening."Oh! Tadi Uda Ari becanda?""Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar Fahri."Udah ketemu, Dinda, Ri?" Pian yang dari tadi ikut mencari gadis itu mendekati Fahri yang masih memijit keningnya."Dia pulang!" gerung Fahri dengan wajah memerah menahan amarah."Lho, kenapa?" Pian melongo.Tak lama sahabatnya yang khawatir akan raibnya partner Fahri sore itu, turut berkumpul."Lo tadi berantem?" Hendra yang mengajukan pertanyaan."Gue tadi cuma becanda bilang suruh pulang sendiri, tau-tau beneran pulang dia!""Ha-ha! Mampus!" Anwar yang bersorak kegirangan, alih-alih bersimpati, mereka menertawakan kesialan sahabatnya.***Saat mendekati lokasi yang dibagikan Dinda pada aplikasi pesan, Fahri melihat gadis itu duduk seorang diri, di sebuah halte. Ia tengah membungkuk mengusap kepala kucing yang duduk di kakinya. Fahri memelankan laju mobil, memperhatikan wajah gadis itu dari kejauhan. Fahri mengerutkan kening, saat melihat bibir Dinda bergerak dan mengulas senyum di saat makhluk berbulu di kakinya itu mendongak menatap Dinda. Gadis itu terlihat seperti tengah berbicara dengan kucing liar itu.Dinda tak menyadari mobil Fahri yang mendekat. Saat Fahri membuka kaca mobil, ia melihat gadis itu tengah menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil, yang ternyata adalah makanan kucing kering, di hadapan kucing itu. Ia aempat tertegun melihat Dinda tersenyun sembali mengusap kembali kepala kucing liar yang baru saja ia beri makan. Kemudian pemuda itu tersadar ketika lengkingan suara klakson terdengar dari arah belakang.Gegas Fahri menjulurkan badannya ke arah jok penumpang setelah kaca jendela ia turunkan. Fahri berteriak memanggil gadis yang tak menyadari kehadirannya di sana. "Nda!"Dinda langsung mendongak begitu mendengar namanya dipanggil."Eh, Uda Ari!" Dinda bangkit dari duduk dengan seulas senyum lebar. Tak ada raut bersalah ditunjukkan gadis itu karena telah membuat Fahri panik mencarinya di gedung acara hampir satu jam. Bahkan ia menyempatkan mengusap kepala kucing yang tengah asyik makan, sebelum mendekat ke mobil Fahri yang berhenti menunggunya naik."Baik-baik, ya, kamu. Sampai jumpa lagi!" Setelah mengucapkan salam perpisahan, Dinda membuka pintu mobil, dan menyapa Fahri seolah tanpa dosa."Hai Uda!""Hai ... hai ...." Fahri mencibir. "Kamu tau, nggak? Aku nyariin kamu hampir satu jam di gedung. Aku pikir kamu diculik setan penunggu gedung!" omel Fahri dengan wajah ditekuk dan bibir monyong.Dinda terbahak, tangannya reflek menepuk lengan Fahri. "Kalau masalah itu, Uda nggak usah khawatir, setan juga ogah deket-deket sama Nda!""Iya, pasti stress ngadepin kamu!" sambung Fahri masih dengan wajah cemberut. "Bukannya minta maaf udah bikin orang panik, malah cekikikan." Fahri masih terus bersungut-sungut. Beruntung jalanan tidak terlalu macet, sehingga ia bisa memacu laju mobilnya dengan kecepatan sedang."Ngapain Nda yang harus minta maaf, Uda Ari yang nggak tau terima kasih, udah bela-belain Nda pakai stiletto kayak gini, terus diusir pulang," sahut Dinda dengan lugunya. "Kaki Nda hampir keseleo tadi pas jalan dari gedung ke jalanan. Tau bakal diomelin gini, mending Nda kencan sama Cha Eun Wo aja di rumah. Nggak perlu capek-capek ke salon buat dandan segala." Dinda balik mengomeli Fahri dengan wajah cemberut.Sudah untung ia mau mengorbankan waktu nonton drama Korea kesukaannya demi menemani Fahri ke pesta pernikahan Priska. Bukannya berterima kasih, malah kena omel di sepanjang jalan.Fahri melongo mendengar alasan Dinda balik mengomelinya. "Jangan halu jadi cewek!"Lelah, berdebat dengan Dinda, akhirnya Fahri memilih diam. Begitupun dengan Dinda, gadis itu tak lagi bersuara. Saat mobil terhenti karena lampu merah, Fahri menoleh ke arah penumpangnya yang semenjak tadi tak lagi bersuara. Ternyata Dinda sudah tertidur dengan posisi kepala menyandar ke kaca, dagu sedikit mendongak, dan mulut setengah terbuka. Sejenak Fahri tertegun menatap wajah Dinda yang tengah tertidur.Nggak terlalu jelek. Fahri membatin.Fahri terperanjat saat getar ponsel yang ia letakkan di samping pintu bergetar beberapa kali. Dengan dengkusan keras ia mengambil benda itu dari tempat ia menyimpannya tadi."Ini apaan, sih rame banget pesan masuk." Jarinya menggeser tombol untuk membuka kunci layar dan membuka aplikasi pesan. Fahri membuka satu group dengan notifikasi pesan yang paling banyak, yaitu group keluarga dari pihak ibunya. Dengan kening berkerut, karena ada namanya yang disematkan pada isi pesan, Fahri membuka group keluarga tersebut. Matanya sontak membelalak lebar saat melihat isi pesan. Fotonya dan Dinda saat tadi hendak berangkat menuju pesta pernikahan Priska, yang menjadi topik perbincangan hangat di antara sepupu-sepupu dan saudara ibunya itu.[Doakan supaya rencana Ari melepas masa lajang dipermudah dan berjalan lancar, ya, semua.] Begitu bunyi keterangan di bawah foto yang dikirimkan oleh kakak satu-satunya, yaitu Rudi. Lalu di bawahnya terdapat puluhan pesan berisi ucapan selamat dan komentar lainnya.Dengan dada kembang-kempis, Fahri menutup aplikasi pesan, kemudian membuka daftar kontak dan memencet kontak Dena—kakak iparnya."Teh! Teteh kemarin janji nggak bakal kasih tau Umi, ini malah kasih ke Da Rudi lagi, dasar si ember pake acara posting di group keluarga pula!" sembur Fahri begitu kakak iparnya itu menyahut dari seberang sambungan."Sans, Bro! Chilling down! Greetingnya dulu, dong! Kebiasaan deh, magic words selalu kelupaan." Dena terkekeh-kekeh menanggapi omelan adik iparnya."Nggak perlu berbelit-belit deh, Teh!" Fahri meradang.Terdengar helaan napas panjang dari seberang. Sepertinya Dena juga tengah mengumpulkan kesabarannya yang terserak. "Lo tau, kan, Ri! Laki gue cemburuan. Hp gue itu udah disadap sama dia. Jadi, foto tadi dia dapat bukan dari gue, tapi hasil nyuri data di hp gue." Dena kemudian terpingkal setelah mengatakan hal itu."Bangke!"Dinda terperanjat saat mendengar makian dari mulut Fahri. Reflek ia mengucek mata dan menoleh pada biang keributan yang telah mengganggu mimpinya bertemu Oppa Korea, sang idola. Terbangun dengan kenyataan yang menyakitkan, di samping lelaki yang hobi mengumpat. Hilang sudah sosok Oppa kiyowo dengan senyum manis akibat umpatan keras Fahri tadi.Dinda menatap Fahri sengit. Tak terima mimpi indahnya diusik oleh sepupunyanyang senang menggerutu."Uda apa-apaan, sih! Nda kan lagi fan sign sama Cha Eun Wo—""Mimpi memang tak selamanya indah, Dek!" cibir Fahri yang mulai merasa kesal mendengar Dinda menyebutkan nama aktor Korea itu berkali-kali."Kamu lihat, nih!" Dengan kesal Fahri menyodorkan layar ponsel ke depan wajah Dinda.Dinda menerima ponsel yang diserahkan Fahri dengan wajah heran. Saat Fahri hendak kembali mengomel, suara lengkingan klakson dari mobil di belakang mereka, menyadarkan lelaki yang sedang naik darah itu bahwa lampu rambu lalu lintas sudah berubah hijau. Dengan sentakan dalam, Fahri menginjak pedal gas."Yaah, Uda. Kok jadi kayak gini?" Dinda menoleh ke arah Fahri setelah membaca isi pesan dari group keluarga ibunya Fahri.Memang Dinda sempat mengatakan mau jika dinikahkan dengan Fahri, tetapi ia tak mau jika Fahri malah terganggu dengan berita perjodohan mereka itu. Rasa suka Dinda terhadap Fahri cukup sampai level kagum, ia tak mengharap lebih. Bagi Dinda, menikah adalah hal sakral yang hanya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, bukan karena keterpaksaan. Walaupun dalam drama yang sering ia tonton, pada akhirnya pasangan yang awalnya menikah karena terpaksa itu akan saling jatuh cinta, tetapi Dinda cukup pintar untuk membedakan mana yang khayalan dan mana yang realita."Nggak tau, tuh! Si Rudi nggak ilang-ilang embernya. Malah setelah jadi bapak-bapak, makin parah aja sifat embernya.""Nda nggak mau nikah sama Uda," pungkas Dinda sembari menyerahkan ponsel pada Fahri.Fahri ternganga mendengar perkataan Dinda. "Ye! Siapa juga yang mau nikah sama kamu!" cibir Fahri setelah tersadar apa yang baru saja dikatakan sepupunya itu."Terus itu tadi umi juga udah kasih komentar, pakai balas 'amin' segala." Dinda menatap Fahri dengan mata yang hampir menangis."Jangan berlagak sok menderita gitu, deh! Aku juga rugi nikah sama kamu!" ketus Fahri dengan kalimatnya yang tajam."Nda juga nggak mau nikah sama laki-laki yang suka marah-marah," balas Dinda sambil melengos.Kabin mobil kembali hening. Dua makhluk yang sedari tadi seperti anjing dan kucing itu akhirnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Dinda sibuk memikirkan bagaimana cara mengungkapkan penolakannya pada perempuan yang telah berjasa besar dalam hidupnya itu.Dan, Fahri juga sibuk memikirkan hal yang sama. Patah hatinya belum sembuh. Ia belum siap menjalin hubungan baru untuk saat ini. Luka yang ditinggalkan Priska begitu parah, hingga Fahri tak yakin ia akan mampu mencintai perempuan lain setelah ini.***Mobil akhirnya merapat ke garasi. Mereka lupa bahwa saat tadi pergi, mereka sempat mengadakan kesepakatan, bahwa Dinda diantar Fahri ke rumah Dena kembali, kemudian mereka pulang sendiri-sendiri seperti saat berangkat tadi. Namun, tragedi bocornya foto mereka berdua di group keluarga, membuat rencana yang telah tersusun rapi berantakan begitu saja. Hingga sapaan dari ruang tengah saat mereka berdua berbarengan masuk, membuat mereka tersadar, bahwa tak ada lagi jalan mundur."Alhamdulillah, datang juga anak dan calon menantu Umi!" sambut Emi dengan wajah berbinar.Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s
Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
"Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h
"Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela
"Kita makan dulu ke Situjuh, yuk! Aku kangen sama gulai telur ikan di sana!" ajak Gibran begitu mobil double cabin yang ia kendarai perlahan menuruni lereng gunung dengan jalan berbatu. "Hah?" Dinda yang sedari tadi sibuk melepas tatap pada pemandangan sawah yang terhampar betingkat-tingkat dengan warna hijau menyejukkan mata, menoleh pada lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang itu. Tadinya Dinda mau menjawab, iya dengan senang hati, tetapi urung. Teringat kini dua keluarga besar tengah merembukkan hari baik untuk pernikahannya dengan Fahri. Rasanya tak tau diri jika ia malah pergi bersama laki-laki lain. "Maaf, Uda. Nda nggak bisa," tolak Dinda dengan seulas senyum tipis. Dinda sebenarnya tidak tega menolak. Bukan karena siapa yang mengajak, tetapi karena membayangkan kesempatan untuk menyantap makanan favorit ketika ayahnya masih ada, lewat begitu saja. Dulu, sehabis gajian, ayahnya selalu mengajak untuk makan di luar. Dan tempat yang disebutkan oleh Gibran itu adalah tem
Fahri mengembuskan napas kasar setelah menutup percakapannya dengan Dinda. Entah kenapa emosinya selalu naik setiap kali berinteraksi dengan gadis itu. Ia hampir saja melempar ponsel, tetapi urung ketika benda itu bergetar di genggamannya. "Kenapa, Taf?" ketus Fahri saat menjawab telpon dari Gustaf, sahabat kampret yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. "Kadieu geura maneh, Ri. Si Pian arek bundir. Maneh arek say good bye teu ka maneh na," kata Gustaf dengan nada datar. (Ke sini lo. Si Pian mau bunuh diri. Kamu mau ngucapin selamat tinggal nggak sama dia.) Seolah yang disampaikan Gustaf hanyalah sebuah berita pemberitahuan bahwa Zoey—Golden retriever miliknya— baru saja selesai dikebiri, bahkan pemuda itu lebih ekspresif ketika menceritakan hewan peliharaan kesayangannya itu dibanding mengabarkan bahwa sahabatnya akan bunuh diri. Seolah nyawa temannya itu hanya sebuah lelucon yang tak berharga. "Kunaon deui (kenapa lagi) si kampret make bundir sagala." Fahri membalas tak kalah
Gibran masih tertegun menatap layar ponsel. Berulang kali ia baca pesan dari Dinda. Tadinya Gibran mengira, pertemuan tak terduganya dengan Dinda adalah takdir. Cara Tuhan mempertemukannya kembali dengan gadis yang pernah singgah dan sempat menetap di hatinya. Awal mula Gibran mulai menyukai Dinda semenjak melihat cara gadis itu bertahan menghadapi kerasnya dunia perundungan di sekolahnya. Jika beberapa korban perundungan yang Gibran kenal kebanyakan menyerah dan menyingkir dari dunia yang mereka anggap kejam, tetapi Dinda sebaliknya. Gadis itu tetap berjalan seolah-olah para perundungnya hanyalah partikel debu yang berterbangan di sekitarnya. Oh! Dia bukan tipe gadis yang melawan dengan kata-kata atau dengan kekuatan. Dinda hanya diam dan tak pernah menangis setiap kali para perundung mulai melancarkan aksinya. Pertama kali Gibran mengenal Dinda yaitu ketika ia memergoki beberapa orang gadis menyiramkan entah air apa dari dalam ember ke atas salah satu toilet perempuan. Sebagai in
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat