Home / Pernikahan / Pulang Ka Bako / Makhluk Absurd

Share

Makhluk Absurd

Author: Alfarin
last update Last Updated: 2023-08-05 12:50:02

Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti.

"Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda.

"Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu.

Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima.

Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Pulang Ka Bako   Sepenggal Kisah

    "Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h

    Last Updated : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Gibran

    "Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela

    Last Updated : 2023-08-05
  • Pulang Ka Bako   Tak Seperti Dulu

    "Kita makan dulu ke Situjuh, yuk! Aku kangen sama gulai telur ikan di sana!" ajak Gibran begitu mobil double cabin yang ia kendarai perlahan menuruni lereng gunung dengan jalan berbatu. "Hah?" Dinda yang sedari tadi sibuk melepas tatap pada pemandangan sawah yang terhampar betingkat-tingkat dengan warna hijau menyejukkan mata, menoleh pada lelaki yang baru saja mengajaknya makan siang itu. Tadinya Dinda mau menjawab, iya dengan senang hati, tetapi urung. Teringat kini dua keluarga besar tengah merembukkan hari baik untuk pernikahannya dengan Fahri. Rasanya tak tau diri jika ia malah pergi bersama laki-laki lain. "Maaf, Uda. Nda nggak bisa," tolak Dinda dengan seulas senyum tipis. Dinda sebenarnya tidak tega menolak. Bukan karena siapa yang mengajak, tetapi karena membayangkan kesempatan untuk menyantap makanan favorit ketika ayahnya masih ada, lewat begitu saja. Dulu, sehabis gajian, ayahnya selalu mengajak untuk makan di luar. Dan tempat yang disebutkan oleh Gibran itu adalah tem

    Last Updated : 2023-08-06
  • Pulang Ka Bako   Terlalu Cepat

    Fahri mengembuskan napas kasar setelah menutup percakapannya dengan Dinda. Entah kenapa emosinya selalu naik setiap kali berinteraksi dengan gadis itu. Ia hampir saja melempar ponsel, tetapi urung ketika benda itu bergetar di genggamannya. "Kenapa, Taf?" ketus Fahri saat menjawab telpon dari Gustaf, sahabat kampret yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. "Kadieu geura maneh, Ri. Si Pian arek bundir. Maneh arek say good bye teu ka maneh na," kata Gustaf dengan nada datar. (Ke sini lo. Si Pian mau bunuh diri. Kamu mau ngucapin selamat tinggal nggak sama dia.) Seolah yang disampaikan Gustaf hanyalah sebuah berita pemberitahuan bahwa Zoey—Golden retriever miliknya— baru saja selesai dikebiri, bahkan pemuda itu lebih ekspresif ketika menceritakan hewan peliharaan kesayangannya itu dibanding mengabarkan bahwa sahabatnya akan bunuh diri. Seolah nyawa temannya itu hanya sebuah lelucon yang tak berharga. "Kunaon deui (kenapa lagi) si kampret make bundir sagala." Fahri membalas tak kalah

    Last Updated : 2023-08-06
  • Pulang Ka Bako   Dinda Di Mata Gibran

    Gibran masih tertegun menatap layar ponsel. Berulang kali ia baca pesan dari Dinda. Tadinya Gibran mengira, pertemuan tak terduganya dengan Dinda adalah takdir. Cara Tuhan mempertemukannya kembali dengan gadis yang pernah singgah dan sempat menetap di hatinya. Awal mula Gibran mulai menyukai Dinda semenjak melihat cara gadis itu bertahan menghadapi kerasnya dunia perundungan di sekolahnya. Jika beberapa korban perundungan yang Gibran kenal kebanyakan menyerah dan menyingkir dari dunia yang mereka anggap kejam, tetapi Dinda sebaliknya. Gadis itu tetap berjalan seolah-olah para perundungnya hanyalah partikel debu yang berterbangan di sekitarnya. Oh! Dia bukan tipe gadis yang melawan dengan kata-kata atau dengan kekuatan. Dinda hanya diam dan tak pernah menangis setiap kali para perundung mulai melancarkan aksinya. Pertama kali Gibran mengenal Dinda yaitu ketika ia memergoki beberapa orang gadis menyiramkan entah air apa dari dalam ember ke atas salah satu toilet perempuan. Sebagai in

    Last Updated : 2023-08-06
  • Pulang Ka Bako   Salah

    Dua bulan untuk persiapan pernikahan di dua kota yang berbeda ternyata cukup menguras emosi. Sesuai kesepakatan, akad dan resepsi sesi pertama akan diadakan di kota kelahiran Dinda. Untuk resepsi berikutnya akan diadakan di kota tempat Fahri menetap. Tak terasa hari menjelang pernikahan pun makin dekat. Namun, Dinda masih saja belum percaya statusnya sebagai gadis akan berganti menjadi nyonya hanya dalam hitungan hari. Makin mendekati hari besar dalam hidupnya, Dinda makin merasa bosan. Bagaimana tidak, selama masa persiapan itu hari-harinya hanya berkutat di sekitar rumah dan kamar saja. Ia tak lagi diizinkan keluar rumah sendirian tanpa alasan yang jelas. Hari ini, seperti beberapa hari sebelumnya, Dinda kembali menghabiskan waktu di dalam kamar, menonton beberapa drama seri demi untuk membunuh rasa bosan."Nda." Pintu kamar terkuak bersamaan suara ibunya memanggil. Dinda membalikkan badan dari posisi tengkurap, mendapati ibunya dengan kening berkerut. " Kok belum beberes?""Apan

    Last Updated : 2023-08-06
  • Pulang Ka Bako   Topeng

    Tak lama berselang, suara gumaman diselingi isakan, yang awalnya samar, terdengar makin jelas seiring terbukanya pintu kamar. Dinda buru-buru menyeka air mata yang terlanjur luruh. Menegakkan punggungnya tatkala melihat tiga orang yang saling melempar kata amarah masuk dengan wajah sarat emosi. "Waang (kamu) bikin malu keluarga, Ri!" Pamannya—Muhtar yang mulai bersuara sembari mencengkeram kerah kemeja putih dibalik beskap krem keemasan yang dikenakan Fahri. Emi yang datang dipapah Niar terisak sembari menyusut ujung matanya. "Om! Ari gugup!" Fahri mengutarakan pembelaannya. Gurat wajahnya menyiratkan apa yang ia ucapkan. "Tapi kenapa harus nama perempuan itu yang waang ingat?" Kali ini Emi yang angkat bicara di sela tangisnya. Satu tangannya menjewer kuping Fahri dengan gemas. "Baa dek bodoh bana ang, Ri!" (Kenapa bodoh sekali kau, Ri!) Kali ini cubitan Emi mendarat di bahu Fahri. Pria yang menjadi objek kekesalan paman dan ibunya itu meringis dengan wajah terlihat kesal. "Umi

    Last Updated : 2023-08-06
  • Pulang Ka Bako   Sah!

    Gibran menatap lama layar ponsel, menunggu balasan dari gadis yang seharusnya tersenyum bahagia di hari ini. Namun, kesalahan yang diperbuat oleh sang calon mempelai pria, membuat Gibran merasakan bahwa pernikahan mereka bukanlah didasarkan atas rasa saling suka. Rasa khawatir menghinggapi hati pemuda itu, tatkala mengingat gadis yang sudah ia relakan beberapa waktu lalu ternyata tak mendapatkan kebahagiaan seperti yang seharusnya. Gibran merasa iba pada Dinda, sekaligus geram pada sang mempelai pria. Kenapa harus pria itu yang mendapatkan Dinda. Padahal selama ini, dia lah yang telah bertahan sekian lama menunggu Dinda siap menerimanya menyatakan perasaan. Suara pembawa acara kembali memecahkan dengung suara tamu yang masih membicarakan kesalahan fatal yang dilakukan calon mempelai pria beberapa waktu lalu. Acara kembali dilanjutkan. Suasana kembali senyap, jelas terasa ketegangan di antara tetamu yang hadir. Mereka menatap cemas ke arah meja tempat mempelai kembali duduk saling be

    Last Updated : 2023-08-06

Latest chapter

  • Pulang Ka Bako   New Parent

    Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin

  • Pulang Ka Bako   Pregnancy Confusion

    Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa

  • Pulang Ka Bako   Melanjutkan Hidup

    "Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken

  • Pulang Ka Bako   Kejutan Anniversary

    Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b

  • Pulang Ka Bako   Grow Old With Me Please

    Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng

  • Pulang Ka Bako   Konseling

    Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda

  • Pulang Ka Bako   Harapan Fahri

    Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh

  • Pulang Ka Bako   Pulang Kampung

    "Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.

  • Pulang Ka Bako   Cinta Datang Terlambat

    Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat

DMCA.com Protection Status