"Oh! Nggak bisa main bawa-bawa aja, calon gue jilbaber. Nggak akan mau diajak gitu aja kalau belum halal." Di saat situasi kepepet, otak Fahri memang bisa diandalkan untuk merangkai kata biar bisa bersilat lidah. Dan dia tersenyum puas setelah mengatakan alasan kuat agar tak perlu membawa calon istri yang dikarangnya mendadak, demi harga diri itu.
"Gue yakin kalau kalian udah nikah, bini lo bakal rajin baca ayat-ayat ruqyah!" celetuk Pian sambil lalu."Anjir! Lo pikir gue setan!""Kelakuan lo yang kayak setan!" balas Pian sambil terkekeh-kekeh."Lo tuh yang kayak setan, ngerayu cewek ngalahin setan ngerayu nabi Adam! Gue mah orangnya setia, buktinya sampai kemarin gue putus sama Priska, gue nggak gandeng sana gandeng sini kayak lo!""Iya, itu karena Priska cemburuan. Lo kan bucin. Makanya gue nggak yakin lo punya calon bini!" timpal Pian tak mau kalah.Fahri kembali tersulut emosi. Enggak di rumah, enggak di lingkungan sahabatnya, kenapa semua meributkan masalah pendamping hidup. Fahri sudah mulai eneg dengan pertanyaan "Kapan nikah." di setiap kesempatan bertemu dengan makhluk yang bernama manusia.Makanya semenjak putus dengan Priska, Fahri lebih memilih diam di kamar bersama kucing kesayangannya Goofy. Hanya Goofy yang tak menambah-nambahi pikiran Fahri dengan pertanyaan seribu umat itu. Ya jelas, karena Goofy tak ingin jatah makanannya berkurang jika ia turut membuat majikannya pusing. Lagian, mana ada kucing yang nanya kapan nikah?Oke, kembali lagi pada masalah Fahri. Pemuda itu kini mulai terlihat frustrasi. Kenapa masalah mengakhiri masa lajang itu menjadi masalah yang krusial di umur yang mulai bergeser ke angka tiga puluhan. Padahal menurut Fahri, mencari pasangan itu tak perlu tergesa. Tak perlu harus cepat. Fahri menganut prinsip, biar lambat asal selamat. Iya, biar dia lambat menikah, asal selamat menjalani pernikahannya sampai ia dan pasangannya menutup mata."Terus kapan lo nikah?" Kembali pertanyaan yang membuat Fahri selalu tersulut emosi itu ditanyakan Doni."Anjrit!" Lagi-lagi Fahri mengumpat. Pertanyaan itu seakan membuat telinganya mendadak gatal."Ngawadul wae maneh, mah!¹" seru Pian tak sabaran."Lo kira nikah kayak ngadain pesta ulang tahun, persiapan buat nikah kan lama. Apalagi nyokap gue sama calon gue sesama orang Padang. Banyak prosesinya, Bro!" Fahri bisa berbangga diri dengan kemampuan otaknya yang bisa mencari celah untuk berkilah. Yang jelas ia tidak mau harga dirinya diinjak-injak hanya karena ditinggal nikah oleh sang mantan. Mau ditaruh di mana muka mantan idola kampus jika ketahuan patah hati karena ditinggal nikah mantan."Ri! Si Priska sebenarnya nitip undangan buat lo ke gue," tukas Anwar. Sebenarnya ia tak sampai hati menyampaikan hal itu pada Fahri. Anwar tau bagaimana perjuangan Fahri selama ini untuk mendapatkan restu ibunya Priska. Namun, perjuangan Fahri berakhir sia-sia. Anwar jugalah yang menjadi teman curhat Priska jika pasangan itu bermasalah, sehingga ia paham bagaimana perasaan Fahri saat ini.Wajah Fahri berubah demi mendengar nama yang selama ini selalu melekat di hati. Meski gadis itu telah melukainya sedemikian parah, tetapi Fahri tak mampu membenci. Cintanya pada Priska tak kan pernah terbagi, kecuali pada Umi."Datang, Ri! Tunjukin sama Priska lo baik-baik aja setelah diputusin. Kalau perlu bawa calon bini lo sekalian, biar Priska nyesel udah mutusin lo!" Kali ini Boby yang angkat bicara. Pemuda itu satu-satunya teman Fahri yang selama ini terang-terang memperlihatkan rasa tak sukanya terhadap hubungan Fahri dan Priska. Apa daya, selama ini Fahri menganggap pendapatnya tak begitu penting, sehingga Fahri tak pernah menggubris setiap kali Boby menunjukkan rasa tak suka pada mantan kekasihnya itu."Eh, bener kata Boby, Ri! Jangan sampai Priska ngerasa menang udah bikin lo patah hati. Harusnya lo balasin sakit hati lo dengan kasih liat kalau hidup lo baik-baik aja tanpa dia." Gustaf pun angkat bicara setelah semenjak tadi hanya sebagai tim hore menyemangati tim yang berusaha menjatuhkan mental sahabatnya. Entah mereka masih pantas disebut sahabat atau tidak, karena malah tertawa di atas penderitaan sahabatnya. Tapi, kalau dipikir-pikir, memang sahabat adalah orang yang paling kampret yang menyadarkan kita tentang senuah realita yang pahit. Orang-orang yang sering membuat kita mengumpat, tetapi tak bisa kita tinggalkan begitu saja, bukan?Fahri mulai menatap gusar pada wajah-wajah penuh harap menunggu jawaban darinya. Dia merasa terjebak dalam situasi yang ruwet. Bagaimana caranya dia datang dengan calon istri, sementara calon istri yang digadang-gadangkannya hanya omong kosong."Kecuali, lo cuma ngibul kalau lo udah punya calon bini!" Anwar memecah ketegangan yang terjadi.Kembali tawa para bujang yang tak lagi bujangan itu, pecah. Menertawakan kebohongan Fahri yang mampu mereka endus."Gue berani taruhan motor sport gue buat Fahri kalau dia berani bawa calon bininya ke kondangan Priska!" teriak Gustaf dengan percaya dirinya.Fahri masih membisu. Memaksa otaknya untuk berpikir lebih keras. Mencari jalan keluar agar ia tak lagi menjadi bulan-bulanan tanpa akhlak para sahabatnya."Kenapa gue harus buktiin ke lo semua sekarang, sih? Ntar lo tungguin aja undangan gue." Fahri masih berkilah."Bukan buktiin ke kita, Ri! Buktiin ke mantan lo, kalau lo itu bisa dapetin pengganti dengan waktu yang cepat. Teu meunang Priska, loba keneh awewe nu gareluis²," timpal Doni."C'mon, Ri! Masa lo mau bertekuk lutut menyembah cinta Priska. Tunjukin kalau lo bisa move on." Boby kembali memanasi. Dia adalah tipe laki-laki penganut patriaki garis keras. Tak ada cerita laki-laki mengemis perasaan terhadap perempuan. Jika perempuan berulah, maka tinggalkan, begitu prinsip lelaki blasteran Amerika itu.Fahri membuang napas kasar. Bagaimana mungkin dia bisa mengobati sakit hati karena tiba-tiba ditinggal menikah kekasihnya. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba diputus begitu saja dengan alasan sang kekasih telah dijodohkan orangtua.Kesal dengan desakan sahabat-sahabatnya, Fahri memilih meninggalkan kafe tempat mereka makan siang."Gue ada meeting di kantor," tukasnya memberi alasan. Padahal Fahri mau kembali ke zona nyamannya di dalam kamar. Menyendiri rasanya lebih baik untuk mengobati patah hati."Kita tunggu ntar di kondangan Priska kalau lo masih punya nyali, Ri!" teriak Pian begitu Fahri melangkah keluar."Bilang aja sama calon bini lo, ini ke kondangan ramean, bukan jalan berdua. Kalau nggak, ntar gue jemput lo ke rumah!" timpal Boby tak mau kalah.Kalimat-kalimat tantangan sahabatnya itu makin menambah panjang umpatan Fahri seiring langkahnya menjauh.***Begitu sampai, di rumah, Fahri mendapati Goofy sedang bergelung manja di pangkuan Dinda yang tengah asyik menatap layar laptopnya. Sepertinya gadis itu sedang menonton sesuatu. Dan Fahri berani bertaruh, bahwa gadis itu sedang menonton drama Korea. Karena bebebarapa kali ia mendengar para gadis bergosip tentang aktor Korea yang katanya 'kiyowo'³. Membuat para gadis tergila-gila dan mendadak halu tingkat dewa.Fahri mendengkus kesal. Kenapa kucing kesayangannya itu kini malah bermanja-manja dengan Dinda. Bukannya berada di kamar, atau pojok ruang keluarga yang selalu menjadi favoritnya jika Fahri sedang tak ada di rumah. Biasanya kucing oren kesayangannya itu tidak mau disentuh siapa pun selain dirinya."Fy! Goofy" Alih-alih menyapa sepupunya yang sedang duduk manis di ruang tengah itu, Fahri lebih memilih memanggil kucing kesayangannya. Namun, sayangnya sang kucing mulai berkhianat dengan pura-pura tak mendengar. Kucing oren gembul itu malah membuka mata dengan malas tanpa berniat untuk datang memenuhi panggilan sang tuan."Goofy, dipanggil Uda Ari." Dinda ikut-ikutan memberi tahu kucing oren dipangkuannya dengan mengelus tengkuk hewan berbulu lembut itu. Sementara yang dipanggil, malah mengeratkan gelungan tubuhnya dalam pangkuan Dinda dan mendengkur."Goofy!" Fahri mulai gusar. Makhluk kesayangannya pun ikut-ikutan meninggalkannya.Melihat Fahri memasang wajah kesal, Dinda bangkit dari duduk dan menggendong kucing gembul itu."Mau dibawa ke mana?" tanya Fahri tanpa menyembunyikan rasa kesalnya. Ia mendadak merasa sendirian karena sahabat sejatinya telah beralih hati pada pendatang baru di rumah mereka."Ngasihin Goofy!" sahut Dinda takut-takut. Tangannya gemetar menyodorkan kucing berbulu oren itu ke arah Fahri, kali ini bukan karena takut, tetapi karena menahan bobot kucing kesayangan Fahri yang cukup berat itu.Alih-alih mengucapkan terima kasih, Fahri mengambil Goofy dengan wajah cemberut dari tangan Dinda."Sama-sama," tukas Dinda begitu Fahri membalikkan badan. Perkataan gadis itu sontak membuat Fahri kembali menoleh dengan tatapan sengit."Kembali kasih Uda," ucap Dinda kembali, kali ini disertai senyum lebar.Fahri melengos sambil berdecih. Meninggalkan Dinda yang menatapnya bengong. Tiba-tiba Fahri yang sudah hampir sampai di depan pintu kamarnya menghentikan langkah, begitu teringat kembali tantangan sahabatnya saat di kafe. Saat ia kembali menoleh ke arah sepupunya, Dinda sudah kembali duduk di sofa sambil menekuri laptopnya seperti saat pertama kali Fahri tadi datang.Fahri berdehem. Melipat bibir sembari memindai sosok gadis yang kini tampak serius menatap layar laptop. "Dinda." Ragu-ragu Fahri memanggil.Dinda yang tengah menyusut hidung dengan tisu, mendongak. Matanya terlihat berkaca-kaca."Kamu nangis?" Fahri mengernyit. Tiba-tiba merasa bersalah karena tadi berkata ketus pada gadis itu.Dinda mengangguk, kali ini disertai dengan acara membuang ingus. Membuat Fahri menatap geli."Kenapa, Uda?" tanya Dinda begitu selesai membuang ingus."Itu tolong tisunya dibuang ke tong sampah dulu, kek. Jorok amat jadi perempuan," tunjuk Fahri ke arah tumpukan tisu bekas pakai di samping laptop Dinda."Oh, iya, Uda. Iya." Dinda buru-buru mengemasi sampah tisu yang berada di samping laptop, membuangnya ke tong sampah yang terdapat di seberang ruangan.Sementara itu Fahri duduk di ujung sofa, berseberangan dengan tempat Dinda duduk."Umi ke mana?" tanya Fahri begitu Dinda berbalik."Kata Umi ikut pengajian sama majlis taklim mesjid. Kenapa? Uda mau dibuatkan minum? Atau mau diambilkan makan? Biar Nda bantu," cerocos Dinda."Nggak, aku udah makan.""Oh! Ok." Dinda mengangguk bingung. Baru kali ini Fahri mau berbasa-basi seperti ini dengannya."Terus, ada yang bisa Nda bantu?" tanyanya kembali."Ada. Kamu duduk dulu, deh! Udah kayak pembokat aja berdiri di situ," ketus Fahri.Dinda bergegas duduk di tempat awal ia tadi duduk. Menunggu apa yang hendak dikatakan sepupunya itu."Lusa ada acara, nggak?"Dinda menggeleng. "Nggak. Kenapa?""Mau nemenin ke kondangan?"Mulut dan mata Dinda membulat. "Memangnya pacar Uda ke mana? Nda nggak mau dikira jalan sama cowok orang lho!" Spontan Dinda menolak."Ini ke kondangan pa ... mantan pacarku!" Fahri menjawab dengan gusar.Dinda membekap mulutnya yang makin menganga. Ekspresinya makin terlihat terkejut."Uda Fahri ditinggal kawin?"Pertanyaan Dinda sukses membuat Fahri kembali mengumpat. "Kampret!"__________________________________________________Note:1. Ngawadul wae maneh mah = kamu bohong aja.2. Teu meunang Priska, loba keneh awewe nu gareulis = nggak dapat Priska, masih banyak cewek cantik lain.3. Kiyowo = imutFahri mengembus napas pelan. Dia harus bisa mengontrol emosi. Bagaimana pun, dia butuh bantuan Dinda saat ini. Tolong bersabarlah, pinta Fahri pada diri sendiri. Ia kembali mengatur napas untuk meredakan emosi yang mendadak naik mendengar pertanyaan Dinda tadi. "Tolong jangan bilang seperti itu lagi. Aku nggak ditinggal nikah. Aku dan Priska putus baik-baik, okay?" Fahri melebarkan matanya dengan senyum yang justru terlihat seperti seringaian. "Oh, okay!" Dinda membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Nda minta maaf," ucapnya bersungguh-sungguh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Hingga Fahri malah melihat kemiripan antara Dinda dan Goofy saat melihat tatapan mata gadis di hadapannya. "Lalu kenapa Uda harus minta ditemenin ke kondangan Teh Priska? Biar disangka udah move on?" selidik Dinda dengan polosnya. Fahri mengepalkan tangan, kembali mengatur napas agar tak meledak menanggapi pertanyaan adik sepupunya yang terdengar seolah mengejek. Pertanya
"Eh, Ri! Tunggu dulu!"Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil. "Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri. "Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk. "Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar. Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut. "Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!" Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu. Dena membidikkan kamera ponselnya beberap
"Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F
Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s
Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
"Eh, A' mau ke mana?" sapa Priska. Fahri sudah tidak bisa mengelak dan pura-pura tak kenal. Padahal tadi ia juga sempat berpikir untuk pura-pura amnesia. Namun, senyum manis dari gadis yang kini sudah berganti status menjadi nyonya itu seakan menahan langkah Fahri dan seketika membuatnya terlihat seperti keledai. Beberapa orang memang bertingkah bodoh, jika sudah berurusan dengan mantan. "Eh, Neng ... Pris-ka." Fahri nyengir kuda karena mendadak mengalami gangguan pernapasan. Kelenjar keringatnya pun bekerja lebih keras, membuat Fahri terlihat seperti spons yang kelebihan cairan. Lalu, di saat keduanya tengah saling bersitatap kehabisan kata, suara bass seorang laki-laki yang bertubuh sedikit gempal memecah kecanggungan yang terjadi di antara kedua insan yang telah berstatus menjadi mantan kekasih itu. "Sayang, siniin tasmu biar aa yang bawain." Priska menoleh ke arah lelaki yang memanggil dari arah belakangnya, dan Fahri pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghilang dari h
"Kapan pulang?" sapa lelaki bersuara renyah itu dengan senyum manis yang masih terkembang sempurna. Ia mengulurkan tangan pada Dinda sembari ikut duduk pada bangku kayu kosong di samping gadis yang menatapnya bengong. Gibran Aksa, kakak kelas yang juga merupakan pemuda yang diam-diam disukai Dinda ketika ia duduk di bangku SMA hingga tahun keduanya di perguruan tinggi. Pemuda yang selalu menyapanya ramah ketika ia hanya dianggap objek pelengkap penderita pada sekolah favorit di kotanya. Saat Dinda merasa tak ada yang menyadari eksistensinya di sekolah, hanya pemuda itu yang menyadari ia ada. Pemuda itu pulalah yang membuat Dinda termotivasi untuk masuk universitas tertua di Yogyakarta, universitas yang sama dengan pemuda tersebut. Bahkan Dinda memilih fakultas yang sama agar bisa terus mengagumi Gibran dalam jarak yang tak terlalu jauh. Gibran adalah pemuda yang sering Dinda sapa diam-diam dalam doa di setiap sujud sepertiga malamnya. Berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan lela
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat