"Ari! Sampai kapan mau mengurung diri di kamar? Itu kerjaan kamu sudah numpuk! Om Johan sudah berkali-kali nelpon mama nanyain kondisi kamu." Rentetan omelan panjang perempuan akhir baya menyertai tersibaknya gorden kamar yang terlah berhari-hari ditutup Fahri. Semenjak putus dengan Priska, ia seakan tak mempunyai tujuan hidup. Selama ini, gadis manis mojang priangan itu lah yang menjadi penyemangatnya mengurus bisnis keluarga.
"Ya Allah! Sudah pantas jadi sumando³, kelakuan masih saja seperti anak-anak."Emi—ibunya Fahri— menarik selimut yang membungkus tubuh bongsor anak laki-lakinya itu."Jagolah waang!⁴" Kali ini Emi berdiri dengan berkacak pinggang, menatap tajam anak laki-lakinya yang terlihat kacau."Mi, Ari lagi patah hati," rengek Fahri seperti bocah kecil yang mengadu pada ibunya karena diganggu teman sepermainan."Terus kalau patah hati, boleh tidur seharian? Percuma Umi sekolahin sampai ke luar negeri kalau otaknya nggak berkembang seperti ini. Perempuan masih banyak, Ri!""Tapi Ari sayangnya sama Priska.""Onde mandeh! Rudi! Rudi!" Emi berteriak sambil melangkah keluar kamar Fahri.Seorang pemuda yang berperawakan tak jauh beda dengan Fahri, tergopoh turun dari lantai dua. Tak ketinggalan perempuan muda yang menggendong seorang balita, Dena—istrinya Rudi."Ada apa Umi teriak-teriak?" tanya Rudi dengan wajah khawatir. Khawatir ibunya darah tinggi atau tiba-tiba stroke karena terlalu emosi."Tolong kau carikan adikmu itu bini! Patah hati sekali saja lagaknya sudah kayak dijajah tentara Jepang," cecar Emi dengan wajah memerah menahan emosi."Umi, duduk dulu, yuk." Kali ini Dena, sang menantu perempuan menarik ibu mertuanya duduk ke salah satu sofa di ruang tengah. Kemudian dengan tergesa ia mengambil air minum di samping meja makan."Ini Umi minum dulu. Biar dingin dulu hatinya Umi," bujuk Dena dengan suara lembut, menyodorkan segelas air putih pada ibu mertuanya.Emi meneguk habis isi gelas, kemudian berusaha mengatur napasnya yang sempat terengah karena emosi."Jadi masalahnya apa?" tanya Rudi—Putra sulung Emi yang kebetulan hari itu berkunjung ke rumah ibunya."Itu adikmu si Ari, putus sama Priska malah jadi frustasi gitu. Memangnya nggak ada lagi perempuan yang cantik seperti Priska itu." Nada suara Emi kembali mulai meninggi. Dena, kembali berusaha mengusap punggung ibu mertuanya agar sedikit tenang.Rudi terdiam sambil berpikir. Ruangan sempat hening sejenak, hingga terdengar suara seseorang mengucapkan salam."Siapa, Mi?" tanya Rudi sambil menoleh ke arah pintu depan. Jika bukan orang terdekat, tak akan ada tamu yang langsung mengucap salam di depan pintu rumah mereka. Biasanya satpam yang berjaga di pintu depan selalu mengabari bahwa ada tamu sebelum mempersilahkan masuk."Tek Niar. Dia kemarin bilang mau ke sini."Emi yang emosinya mulai surut, membalas salam, dan bangkit dari duduknya menuju pintu."Ondeh! Sampai juga di sini. Sendirian aja?" sambut Emi begitu ia membukakan pintu untuk tamunya, yang tak lain adalah iparnya—istri dari almarhum adik laki-lakinya."Indak Uni, ado Dinda juga ikut."Tak lama setelahnya, seorang gadis berkerudung, terlihat menyusul ke arah mereka.Mata Emi membola dengan mulut terbuka. "Ondeh! Sudah besar ponakanku." Emi menyambut uluran tangan gadis yang sudah beberapa tahun tak ia temui itu."Masuk-masuk." Gegas si pemilik rumah mempersilahkan tamunya masuk."Rudi, Dena! Ini ada Tek Niar."Perempuan akhir baya itu berjalan ke ruang tengah rumahnya setelah mempersilahkan tamunya duduk. ia begitu bersemangat menyambut dua perempuan yang menjadi tamunya pagi itu.***"Dinda sudah punya calon belum?" selidik Emi pada keponakannya begitu ia tau sang ponakan baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di kota pelajar."Belum, Umi. Kemarin Dinda mau fokus sama kuliah dulu," sahut Dinda malu-malu."Nikah sama Uda Fahri mau tidak?" tembak Emi tanpa basa-basi."Umi!" Rudi reflek menyolek lengan ibunya."Lho, kenapa?""Masa ia nikah sama sepupu," balas Rudi setengah berbisik."Haduh! Begini kalau anak sudah dilahirkan dan dibesarkan di rantau, jadi lupa sama adat sendiri," keluh Emi.Sementara dua orang tamunya hanya tersenyum-senyum sungkan menanggapi ocehan ibu dan anak yang menjadi tuan rumah itu."Dinda nikah sama Fahri itu namanya pulang ka bako," terang Emi setelah omelannya mereda."Emang boleh, Mi?""Ya boleh, kan yang sodaraan Umi sama ayahnya Dinda, bukan Umi sama Tek Niar."Rudi manggut-manggut. Meskipun ia berdarah suku Minang asli, ia tak pernah tau adat istiadat yang dianut oleh leluhurnya. Baginya di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. "Jadi, gimana? Dinda mau tidak nikah sama Uda Fahri?""Umi jangan seenaknya main jodoh-jodohin orang! Memangnya ini zaman Siti Nurbaya!"Semua mata yang berada di ruang tamu menoleh ke arah asal suara. Melirik ke arah pemuda yang terlihat baru bangun tidur itu. Rambut acak-acakan, kumis dan janggut yang mulai menyemak tumbuh di wajahnya.Sementara, gadis berkerudung salem itu menatap dengan tatapan penuh kekaguman pada laki-laki yang menolak keras rencana yang dicetuskan ibunya beberapa saat lalu."Siti Nurbaya itu nggak dijodohkan, dianya yang mengajukan diri buat membayar hutang ayahnya ke Datuk Maringgih!" Masih sempat-sempatnya Emi meralat perkataan putra bungsunya, tak menghiraukan tatapan gusar sang anak______________________________________Note:3. Sumando = Menantu laki-laki4. Jagolah waang = bangunlah kau"Kasih salam dulu sama etek, jangan bikin malu Umi dengan sikap kurang ajar ang¹ itu." Emi berbisik gemas setelah menyusul putranya ke ruang tengah."Lagian Umi main jodoh-jodohin anak tanpa persetujuan gitu. Memangnya Ari mau nikah sekarang?" Fahri memberengut. "Mau nikah kapan lagi?" Emi melotot sambil berkacak pinggang. "Sudah bujang lapuk begini." Sebuah pukulan melayang di lengan Fahri. Pemuda itu meringis sambil mengusap lengannya yang terasa panas. Kemudian tangannya sontak melindungi kepala saat ibunya kembali mengangkat telapak tangan. "Sana mandi! Gara-gara padusi² saja kau seperti orang stress begini.""Umi nggak ngerti perasaan Ari!" Kembali pemuda itu merengek sambil memberengut. "Waang itu laki-laki, Ri! baru karena patah hati sajo jadi cengeng seperti ini! Buyut ang kena tembak peluru Balando indak cengeng seperti ini, Ri!" Emi kembali meradang mendengar keluhan putranya. "Dari mana Umi tau kalau buyut kita nggak nangis kena tembak.""Ondeh! Banyak tanyo waang! Sana
"Oh! Nggak bisa main bawa-bawa aja, calon gue jilbaber. Nggak akan mau diajak gitu aja kalau belum halal." Di saat situasi kepepet, otak Fahri memang bisa diandalkan untuk merangkai kata biar bisa bersilat lidah. Dan dia tersenyum puas setelah mengatakan alasan kuat agar tak perlu membawa calon istri yang dikarangnya mendadak, demi harga diri itu."Gue yakin kalau kalian udah nikah, bini lo bakal rajin baca ayat-ayat ruqyah!" celetuk Pian sambil lalu. "Anjir! Lo pikir gue setan!" "Kelakuan lo yang kayak setan!" balas Pian sambil terkekeh-kekeh."Lo tuh yang kayak setan, ngerayu cewek ngalahin setan ngerayu nabi Adam! Gue mah orangnya setia, buktinya sampai kemarin gue putus sama Priska, gue nggak gandeng sana gandeng sini kayak lo!""Iya, itu karena Priska cemburuan. Lo kan bucin. Makanya gue nggak yakin lo punya calon bini!" timpal Pian tak mau kalah. Fahri kembali tersulut emosi. Enggak di rumah, enggak di lingkungan sahabatnya, kenapa semua meributkan masalah pendamping hidup. F
Fahri mengembus napas pelan. Dia harus bisa mengontrol emosi. Bagaimana pun, dia butuh bantuan Dinda saat ini. Tolong bersabarlah, pinta Fahri pada diri sendiri. Ia kembali mengatur napas untuk meredakan emosi yang mendadak naik mendengar pertanyaan Dinda tadi. "Tolong jangan bilang seperti itu lagi. Aku nggak ditinggal nikah. Aku dan Priska putus baik-baik, okay?" Fahri melebarkan matanya dengan senyum yang justru terlihat seperti seringaian. "Oh, okay!" Dinda membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Nda minta maaf," ucapnya bersungguh-sungguh dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Hingga Fahri malah melihat kemiripan antara Dinda dan Goofy saat melihat tatapan mata gadis di hadapannya. "Lalu kenapa Uda harus minta ditemenin ke kondangan Teh Priska? Biar disangka udah move on?" selidik Dinda dengan polosnya. Fahri mengepalkan tangan, kembali mengatur napas agar tak meledak menanggapi pertanyaan adik sepupunya yang terdengar seolah mengejek. Pertanya
"Eh, Ri! Tunggu dulu!"Langkah Fahri terhenti ketika mendengar suara iparnya memanggil. "Kenapa lagi, Teh? Keburu kelar acaranya." Fahri melirik arloji di pergelangan tangannya tak sabar.Dena mencebik dengan kesal. "Ya elah, nggak sabar banget ketemu mantan. Paling lo juga ntar dicuekin," gerutu Dena sembari mendekati Fahri dan Dinda yang telah berada di luar salon. "Sini gue fotoin dulu!" Dena mengacungkan ponselnya ke arah Fahri. "Buat apaan pake foto-foto segala," ketus Fahri dengan wajah ditekuk. "Buat kenang-kenangan aja, sih. Anggap aja ucapan terima kasih lo ke gue." Dena menarik Dinda berdiri di samping Fahri. Mengabaikan dengkusan kesal sang adik ipar. Fahri dengan terpaksa menuruti kemauan Dena, berdiri di samping Dinda dengan wajah cemberut. "Mahal banget senyum lo ya, Ri! Senyum dikit doang napa, sih! Nggak bakal mati juga lo!" Mendengar gerutuan kakak iparnya, Fahri menurut, supaya ia bisa bergegas meninggalkan tempat itu. Dena membidikkan kamera ponselnya beberap
"Dinda! Kamu di mana?" tanya Fahri gusar saat Dinda menjawab teleponnya. "Lho, Uda udah nyimpan nomor, Nda?" tanya Dinda dengan polos, alih-alih menjawab pertanyaan Fahri. "Nda aja nggak nyimpan nomor Uda.""Aku nanya kamu di mana? Malah nanya balik." Fahri makin meradang mendengar suara tak bersalah gadis itu. Gedung tempat acara pernikahan digelar, sudah mulai sepi. Tamu undangan pun telah berangsur pergi, tetapi Fahri tak menemukan Dinda, meskipun dia telah mencari ke seluruh area gedung. "Udah di jalan pulang," sahut Dinda dengan santai. "Pulang sama siapa? Kok nggak ngomong sama aku? Kamu kan ke sini bareng aku, kenapa malah pulang sendiri?" Fahri mencak-mencak. "Lho, kan tadi Uda yang suruh Nda pulang sendiri.""Kapan?""Itu, tadi Uda bilang pas aku ngasihin siomay.""Astaghfirullah, Nda! Kamu ngerti becanda nggak, sih?" Kepala Fahri mendadak pening. "Oh! Tadi Uda Ari becanda?" "Turun sekarang juga! Share loc, biar aku jemput!" Telepon berakhir dengan embusan napas kasar F
Dinda kesulitan menelan ludah saat Emi menyambut kedatangannya bersama Fahri. Masih dengan mulut yang mendadak terasa kering, Dinda menoleh pada Fahri yang berlalu dengan tergesa dan wajah memerah meninggalkan ruang tengah. "Ari! Duduk di sini dulu!" Emi terpaksa meninggikan suara agar didengar oleh anak laki-lakinya itu. "Umi, Ari lagi nggak mau bahas masalah yang di group dulu. Kasih Ari waktu," tepis Fahri, tak seperti biasanya yang ikut meninggikan suara ketika berhadapan dengan uminya. "Mau berapa lama lagi? Umi nggak mau kamu jadi gangguan jiwa mikirin Priska setiap hari. Berkurung di kamar seperti segan saja untuk hidup."Fahri mendengkus dan mengembus napas panjang. "Ari baru patah hati, Mi! Apa Umi nggak bisa ngertiin perasaan Ari. Tolong ngertiin juga perasaan Dinda. Belum tentu juga dia mau sama Ari. Kenapa Umi selalu saja memaksakan kehendak seperti ini." Kali ini Fahri berbalik menatap uminya dengan tatapan memohon. Namun, alih-alih iba, Emi malah tertawa. "Ri! Masih
Entah ke berapa kali Dinda membolak balikkan badan untuk mencari posisi tidur yang nyaman, tetapi matanya seolah enggan untuk terpejam. Pikirannya seakan mengajak untuk terus terjaga. Memikirkan masa depan yang tak lagi seindah angan. Umurnya masih 22 tahun, ia masih ingin menikmati hidup sendirian. Membahagiakan ibu, atau menjelajahi belahan bumi lain sebelum mengabdi menjadi seorang istri. Bagi Dinda, menikah adalah proses di mana ia merelakan seluruh hidupnya untuk dibagi dengan orang yang ia cintai. Di mana ia tak lagi memprioritaskan ambisinya, tetapi menjadi pendorong bagi anggota keluarganya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan. Tiba-tiba kamar yang gelap sedikit menjadi lebih terang karena cahaya yang berasal dari layar ponsel Dinda yang menyala. Dinda menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponsel. Awalnya ia hendak mengabaikan tetapi ponselnya terus menerus menyala dengan getaran yang cukup mengganggu. Gadis itu bangkit dengan gerakan malas, menoleh sekilas ke s
Tak ada perdebatan sengit yang terjadi di meja makan, pagi ini. Bahkan Fahri turut menimpali ketika uminya membicarakan perihal mahar dan lokasi pesta pernikahan mereka nanti. "Nanti biar Ari yang cari mahar," ujar Fahri saat uminya bertanya mahar apa yang dikehendaki oleh Dinda. "Nda mau apa? Jangan seperangkat alat shalat doang, ntar dikira uda nggak mampu kasih lebih," Fahri beralih menatap Dinda yang sedari awal sarapan tak terlalu banyak menanggapi topik perbincangan mereka pagi itu. Dan Fahri pagi ini mulai membiasakan diri dengan memanggil dirinya dengan panggilan uda saat berbicara dengan Dinda. Meskipun belum ada rasa terhadap calon istrinya, Fahri berusaha untuk bersikap baik di depan uminya. Kejadian uminya yang terjatuh tempo hari, masih menyisakan trauma bagi Fahri. Ia belum siap menerima kehilangan orang yang paling ia sayang. Jika dengan pernikahan ini bisa mampu membuat hati uminya tentram, Fahri akan berusaha menerima. Dinda mengangkat wajah dari piring yang ia te
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat