Di luar, matahari bersinar cerah. Angin pagi yang segar menghembus lembut, menggugah keberaniannya. Ia akhirnya melangkah keluar rumah, kunci mobil di tangan. Namun, ketika sampai di garasi, ia berhenti sejenak. Mobil sport hitam mengilap itu terasa seperti simbol masa lalunya yang mewah dan hampa. Ia memilih berjalan kaki.
Setiap langkah menuju masjid terasa seperti perjalanan panjang yang tak berujung. Ia melewati jalanan kecil yang sepi, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Apa yang akan orang pikirkan? Bagaimana jika ada yang mengenalnya? Tapi di sela semua itu, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk terus maju. Langkah demi langkah, ia akhirnya sampai di depan sebuah masjid kecil yang tampak bersahaja. Suara adzan dzuhur baru saja berkumandang ketika ia tiba. Masjid itu terlihat tenang, dengan beberapa orang yang berjalan masuk. Pohon mangga besar di halaman masjid memberikan keteduhan, sementara angin semilir membawa aroma khas sandal kayu yang baru dipakai para jamaah. Farhan berdiri di gerbang, merasa sedikit canggung. "Assalamu’alaikum, Nak," sebuah suara lembut menyambutnya. Seorang pria tua dengan jenggot putih dan sorban kecil di kepalanya berdiri di depan pintu masjid, senyumnya hangat. "Baru pertama kali ke sini?" Farhan mengangguk, mencoba tersenyum meski gugup. "Wa’alaikumussalam. Iya, Pak. Saya… saya cuma ingin coba." Pria tua itu tertawa kecil, suaranya penuh kehangatan. "Masya Allah, jangan ragu, Nak. Allah selalu menyambut hamba-Nya yang ingin kembali. Masuklah, mari." Farhan mengikutinya dengan langkah ragu. Kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Namun, begitu melewati pintu masjid, hawa sejuk langsung menyapanya. Suara lantunan adzan yang mengisi ruangan membuat hatinya bergetar. Farhan memandang sekeliling, melihat orang-orang yang duduk bersila dengan wajah tenang, beberapa di antaranya tampak memejamkan mata sambil berdoa. Hatinya masih ragu, tetapi pria tua itu menepuk bahunya lembut. "Santai saja, Nak. Kita di sini bukan untuk dihakimi. Kita di sini untuk mendekat kepada-Nya," ujarnya, seolah membaca kegelisahan Farhan. Farhan tersenyum kecil, lalu mengangguk. Ia mengikuti langkah pria itu menuju tempat wudhu. Aliran air dingin yang mengalir dari keran membuatnya merasa segar, seolah ada beban yang perlahan-lahan hilang. Setiap gerakan wudhu yang ia lakukan terasa baru, meski ia pernah mempelajarinya di masa kecil. Ada rasa haru yang ia rasakan ketika menyentuh wajahnya dengan air, seperti membasuh luka yang telah lama ia abaikan. Selesai berwudhu, Farhan memasuki ruang shalat. Pria tua tadi membimbingnya menuju barisan paling belakang. "Di sini saja, Nak. Ikuti saja gerakannya kalau belum hafal," ujarnya sambil tersenyum. Farhan mengangguk, hatinya berdebar-debar. Ia berdiri di antara para jamaah, mendengar imam mulai melantunkan takbir. Suaranya merdu, penuh ketenangan. Farhan mencoba mengikuti, meski gerakannya sedikit kaku. Namun, ketika ia bersujud, sesuatu yang berbeda terjadi. Di sana, di atas sajadah, dengan dahi menyentuh lantai, ia merasa kecil—kecil di hadapan kebesaran Allah. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Hatinya terasa ringan, seperti beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang. Selesai shalat, Farhan duduk di sudut masjid, memandangi mihrab yang sederhana namun menenangkan. Ia memejamkan mata, mencoba mencerna apa yang baru saja ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa damai. Tidak ada suara musik bising, tidak ada tawa palsu teman-temannya. Hanya ada dirinya dan perasaan tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Bagaimana rasanya, Nak?" suara lembut pria tua itu memecah keheningan. Ia duduk di sebelah Farhan, membawa aroma kayu gaharu yang samar-samar. Farhan menoleh, tersenyum kecil. "Tenang, Pak. Entah kenapa, saya merasa lebih baik." "Itulah janji Allah," jawab pria itu sambil tersenyum. "Hati kita hanya bisa tenang dengan mengingat-Nya. Dunia ini penuh gemerlap, tapi hati yang gelisah tidak akan pernah puas. Allah yang memegang kendali, dan Dia selalu menunggu hamba-Nya kembali." Farhan mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Saya nggak tahu harus mulai dari mana, Pak. Hidup saya… berantakan," ujarnya lirih. Pria tua itu menepuk bahunya lagi. "Semua orang punya masa lalu, Nak. Tapi yang penting adalah langkah yang kamu ambil sekarang. Allah Maha Pengampun, selama kita mau berubah. Jangan takut, insya Allah, semuanya akan lebih baik." Farhan menghela napas panjang, hatinya terasa lebih ringan. Malam tadi, ia merasa kehilangan arah. Namun, pagi ini, di tempat yang sederhana ini, ia merasa seperti menemukan jalan pulang. Meskipun langkah pertamanya berat, ia tahu ini adalah keputusan yang tepat. Saat ia melangkah keluar masjid, matahari siang menyambutnya dengan hangat. Pohon mangga di halaman bergoyang lembut diterpa angin. Ia berhenti sejenak di bawahnya, menatap langit biru yang terasa lebih cerah dari biasanya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Namun, dari kejauhan, suara klakson mobil memecah keheningan. Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang masjid, dan seseorang yang ia kenal keluar dari dalamnya. Tio. Wajah temannya itu tampak bingung sekaligus marah. "Farhan! Lo di sini? Lo nggak serius kan?" teriak Tio, berjalan cepat mendekatinya. Farhan berdiri diam, menatap temannya dengan hati yang mulai bergolak. Apa yang harus ia katakan? Apa yang akan terjadi jika Tio tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sini? Angin bertiup lembut, seolah menjadi saksi dari keputusan besar yang harus Farhan ambil.Farhan menarik napas panjang saat memasuki halaman Masjid Raya yang luas dan megah. Masjid ini selalu menjadi tempat pelariannya dari gemerlap dunia yang sebenarnya bisa ia miliki dengan mudah. Meski memiliki segalanya, ia merasa tidak pernah benar-benar puas. Di sinilah, di tempat sederhana dan penuh ketenangan ini, ia menemukan kedamaian yang tak bisa dibeli dengan harta. Pandangannya menyapu seluruh halaman masjid. Di ujung sana, ia melihat sekumpulan perempuan tengah berbicara sambil tersenyum. Salah satu dari mereka menarik perhatiannya. Mengenakan kerudung sederhana berwarna pastel, ia terlihat begitu teduh, seperti embun yang menyelimuti bunga di pagi hari. Cara gadis itu tertawa kecil sambil menundukkan pandangannya, membuat Farhan merasa ada yang istimewa pada dirinya. “Siapa dia?” batinnya berbisik, tanpa sadar ia tersenyum kecil. Namun, Farhan segera menepis rasa itu. Bagaimana pun, ia tahu bahwa jika ia ingin mendekati gadis seperti itu, ia harus melakukannya dengan
Malam itu, selepas Isya, Farhan menuju masjid untuk menghadiri sebuah kajian rutin yang sudah lama diadakan di sana. Setiap hari Jumat malam, masjid ini ramai oleh para jamaah yang ingin mendengarkan nasihat dan ilmu dari Ustaz Hasan. Farhan jarang melewatkan kesempatan ini, namun kali ini terasa berbeda. Ada motivasi lain yang membuat langkahnya lebih ringan dan hatinya lebih bersemangat. Ia mengenakan kemeja biasa dengan celana panjang sederhana. Penampilannya terlihat seperti kebanyakan orang yang datang ke masjid ini, tidak mencolok sama sekali. Farhan ingin agar semua orang melihatnya sebagai laki-laki biasa, terutama Aisyah. Ia ingin dikenali bukan karena kekayaannya, tetapi karena dirinya apa adanya. Masjid mulai ramai ketika ia tiba. Di dalam, para jamaah sudah duduk rapi, dan Farhan memilih tempat di sudut belakang, tidak jauh dari pintu. Pandangannya tertuju ke depan, mencari sosok yang ingin ia temui. Benar saja, Aisyah sudah duduk di barisan wanita, tidak jauh dari pangg
Malam yang hangat membalut kota saat Farhan melangkah keluar dari masjid. Langit cerah, bintang-bintang tampak bersinar lembut di atas sana, seolah ikut mendengarkan doa-doa yang baru saja dipanjatkan para jamaah. Suasana damai setelah kajian terasa menenangkan, namun hati Farhan justru bergejolak. Langkah kakinya pelan saat ia menyusuri pelataran masjid yang mulai sepi. Bayangan wajah Aisyah masih tertinggal di benaknya, mengisi relung hati dengan rasa kagum yang tak biasa. Sifat sederhana dan keteguhan iman Aisyah memikatnya lebih dari apapun, lebih dari segala kemewahan yang ia miliki. Tapi di sanalah letak kegundahan Farhan. Bisakah ia mendekati Aisyah tanpa membiarkan statusnya sebagai seorang miliarder terungkap? “Ya Allah, jika memang ini perasaan yang Engkau kehendaki, maka dekatkanlah dia dalam hidupku dengan cara yang baik. Jangan biarkan hatiku terjerat duniawi dalam mengejarnya.” Farhan menutup matanya sejenak, merasakan kedamaian doa yang ia panjatkan. Perlahan, ia m
Suasana selepas Isya di pelataran masjid begitu damai. Lampu-lampu temaram menerangi jalanan yang mulai lengang, memberikan kesan hangat di tengah sejuknya malam. Farhan, yang baru saja selesai mengikuti kajian, masih berdiri di sisi luar masjid, menikmati keheningan itu. Udara malam terasa begitu lembut, seolah memberinya ruang untuk merenungi perasaannya yang semakin kuat pada Aisyah. Perasaan itu datang tanpa diundang, seperti angin lembut yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Entah mengapa, setiap kali ia melihat Aisyah di masjid, ada ketenangan yang sulit dijelaskan, sebuah kedamaian yang langka ditemukan di tengah hidupnya yang penuh tekanan dan hiruk-pikuk dunia bisnis. Sebagai seorang miliarder muda, Farhan terbiasa berhadapan dengan kekayaan dan kesibukan, namun di hadapan Aisyah, semua itu terasa tak berarti. Tanpa sadar, pikirannya melayang kembali pada percakapan singkat mereka beberapa waktu lalu. Senyum lembut Aisyah, suaranya yang penuh ketulusan, se
Suasana di kantor Farhan, seperti biasa, penuh dengan energi dan kesibukan. Meja-meja dipenuhi tumpukan dokumen, sementara suara ketikan dan panggilan telepon seolah menjadi latar musik dari keseharian mereka. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai menarik perhatian teman-teman dan rekan kerjanya: perubahan sikap Farhan yang semakin terlihat belakangan ini. Farhan, yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan bisnis, belakangan ini justru sering terlihat menghabiskan waktu di masjid. Tidak sedikit dari teman-temannya yang memperhatikan bahwa kini ia lebih sering absen di acara-acara sosial atau pesta yang biasanya ia hadiri. Alih-alih, ia lebih banyak terlibat dalam kegiatan dakwah dan kajian agama. Perubahan ini memancing rasa penasaran, bahkan sedikit keheranan, di antara mereka. “Eh, lo sadar nggak sih, Farhan belakangan ini jadi beda banget?” tanya Rizki, salah satu rekan Farhan, sambil memegang
Keesokan harinya, di kantor, Farhan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun di sela-sela kesibukan itu, pikirannya terus terbayang pada Aisyah. Ia tahu bahwa perasaannya mulai tumbuh semakin dalam, dan ia semakin ingin mendekati wanita itu. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia terlalu terbuka, ia bisa saja kehilangan kesempatannya untuk mengenal Aisyah lebih jauh. Siang itu, saat jam makan siang, Adrian dan Rizki kembali mendekati Farhan di kantin kantor. “Farhan, kita udah lama nggak makan siang bareng. Gimana kalau lo ikut kita kali ini?” ajak Adrian sambil tersenyum lebar. Farhan, meski sedikit ragu, akhirnya mengangguk. “Oke deh, gue ikut.” --- Langit pagi tampak cerah ketika Farhan memutuskan untuk mendatangi masjid yang tak jauh dari kantornya. Hari itu, ia merasa hatinya perlu bimbingan lebih untuk menghadapi perasaan yang kian dalam terhadap Aisyah. Dalam diamnya, ia berdoa agar Allah membimbingnya mencari cara te
Suatu sore selepas kajian, Farhan kembali bertemu dengan Aisyah di pelataran masjid. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan jejak warna oranye di langit yang indah. Aisyah tampak sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya ketika Farhan menyapanya. “Assalamualaikum, Aisyah,” sapa Farhan dengan senyuman ramah. Aisyah menoleh dan membalas salamnya dengan senyuman lembut. “Waalaikumsalam, Farhan. Apa kabar?” “Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana?” “Alhamdulillah, baik juga,” jawab Aisyah singkat. Mereka berdua terdiam sejenak, terhanyut dalam suasana sore yang tenang. Farhan merasa hatinya berdebar, namun ia berusaha menahan diri agar tetap tenang. “Aisyah, bolehkah saya bertanya sesuatu?” Farhan bertanya hati-hati. Aisyah menatapnya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Tentu saja, apa yang ingin kamu tanyakan?” Farhan tersenyum kecil,
Di sisi lain, Farhan tengah duduk di ruang tamunya. Ponselnya tergeletak di meja, dengan pesan dari Adrian yang belum sempat ia balas. Masalah bisnis yang sedang ia hadapi memang berat, namun pikirannya tetap tertuju pada Aisyah. Ia tahu, untuk mendekati wanita seistimewa itu, ia harus melakukannya dengan kesabaran dan ketulusan yang luar biasa. “Farhan, fokus,” gumamnya pada diri sendiri. Ia membuka laptop, mencoba membaca laporan keuangan yang dikirimkan timnya. Namun, pikirannya terus berkelana. Ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi Adrian. “Bro, kita ketemu besok pagi aja di kantor. Aku perlu waktu malam ini untuk berpikir jernih.” Adrian setuju tanpa banyak bertanya. Farhan menutup panggilan itu dan kembali merenung. Baginya, keberhasilan di bisnis tidak akan berarti jika ia tidak bisa menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang ia yakini. --- Keesokan harinya, Ais
Pagi itu terasa berbeda. Udara di luar jendela sejuk, dengan cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam rumah melalui celah-celah tirai yang terbuka. Farhan duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya masih berkelana, namun kali ini ada rasa tenang yang menyelimuti hatinya. Setelah berbulan-bulan melalui ketegangan, ada secercah harapan yang mulai muncul di antara mereka.Aisyah datang dari arah dapur, membawa sepiring roti bakar dengan selai stroberi kesukaan Farhan. Dia tersenyum pelan, meski senyum itu belum sepenuhnya menghapus kelelahan di wajahnya. Sudah lama sekali mereka tak merasakan ketenangan seperti ini-waktu yang benar-benar hanya untuk mereka berdua."Aku buat roti bakar. Pasti kamu lapar, kan?" Aisyah duduk di sebelah Farhan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Matanya yang dulu penuh keraguan kini mulai terbuka, meskipun tak semua pertanyaan sudah terjawab.Farhan memandang Aisyah, lalu menat
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.
Malam itu, udara di ruang tamu rumah Farhan terasa semakin berat. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan menyelimuti setiap sudut ruangan. Farhan duduk di sofa, tangan memegang ponselnya yang tergeletak di meja, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan yang baru saja diterimanya. Hati Farhan berdebar kencang. Sebuah pesan singkat yang datang dengan cepat dan tiba-tiba: "Jangan cari tahu lebih banyak tentang Safira. Jika kamu terus melangkah, kamu akan menyesal."Farhan menghembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekad dalam dirinya tetap kuat. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, namun ada seseorang yang tampaknya tidak ingin ia mengetahui lebih banyak. Sebuah ancaman yang jelas, namun juga misterius. Siapa yang mengirimkan pesan ini?"Farhan, kamu baik-baik saja?" suara Aisyah tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menatap wajah Aisyah yang duduk di dekatnya, wajah itu tampak khawatir, cemas, dan sedikit bingung. Farhan hanya menga
Farhan duduk terdiam di ruang kerjanya, menatap layar ponsel yang bergetar sekali lagi. Pesan dari Pak Ahmad masih terngiang di telinganya: "Aisyah sudah mulai merasakan ketidakjelasan ini. Kamu harus segera bertindak."Sebuah rasa cemas menggelayuti hatinya. Dia tahu, semakin dia menghindari, semakin dalam jurang yang ia gali. Tapi apa yang bisa dia katakan pada Aisyah? Bagaimana ia bisa membuka seluruh kebenaran yang selama ini dia sembunyikan? Tentang saudara kembarnya yang hilang, tentang istri kembarnya yang meninggal, tentang anak perempuan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya-Safira.Saat itu, suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunannya."Farhan, kita perlu bicara," suara Pak Ahmad terdengar berat di balik pintu.Farhan menghela napas dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk masuk. Pak Ahmad membuka pintu dan melangkah masuk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Dia duduk di kursi depan meja kerja Farhan, menarik napas dalam-dalam.
Safira tetap terbaring di ranjang rumah sakit, tubuh kecilnya dikelilingi peralatan medis yang terus bekerja tanpa henti. Perawat pribadi yang disewa Farhan dengan cermat menjaga setiap detail kondisi Safira. Mereka melakukan tugasnya dengan baik, namun di balik semua itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Farhan tidak bisa berhenti memikirkan anak ini-anak yang membawa jejak saudara kembarnya yang telah lama hilang, dan kini menjadi pusat dari segala pencarian yang ia lakukan. Farhan berdiri di sudut ruangan, menatap Safira dengan mata penuh rasa bersalah. Ia tahu, meski dirinya telah berusaha keras untuk menjamin perawatan Safira, kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa ibu kandungnya membuat hatinya semakin resah. Setiap detik yang berlalu di rumah sakit ini terasa seperti penantian yang tak kunjung selesai. Namun, ia tahu, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang-menemukan orang tua kandung Safira. ****
Farhan duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari rumah sakit tentang kondisi Safira mengganggu pikirannya lebih dari apapun. Semua yang terjadi dalam hidupnya begitu cepat, berputar tak terduga. Ia merasa seolah tidak bisa mengendalikan apapun lagi. Safira-anak saudara kembarnya-terbaring di rumah sakit, dalam kondisi kritis. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi muncul: sebuah dokumen yang mencurigakan. Itu adalah dokumen yang baru saja ia temukan di ruang arsip.Farhan menarik napas panjang. Hatinya berdebar kencang. Ia membuka dokumen tersebut dengan tangan gemetar. Sekilas ia bisa melihat nama yang sangat familiar di sana. Nama saudara kembarnya yang sudah lama hilang. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Farhan-sebuah nama anak perempuan yang tertera di situ: Safira. Tidak ada informasi lebih lanjut, hanya nama dan usia anak tersebut, yang ternyata berusia 4 tahun. Ti