Farhan menarik napas panjang saat memasuki halaman Masjid Raya yang luas dan megah. Masjid ini selalu menjadi tempat pelariannya dari gemerlap dunia yang sebenarnya bisa ia miliki dengan mudah. Meski memiliki segalanya, ia merasa tidak pernah benar-benar puas. Di sinilah, di tempat sederhana dan penuh ketenangan ini, ia menemukan kedamaian yang tak bisa dibeli dengan harta.
Pandangannya menyapu seluruh halaman masjid. Di ujung sana, ia melihat sekumpulan perempuan tengah berbicara sambil tersenyum. Salah satu dari mereka menarik perhatiannya. Mengenakan kerudung sederhana berwarna pastel, ia terlihat begitu teduh, seperti embun yang menyelimuti bunga di pagi hari. Cara gadis itu tertawa kecil sambil menundukkan pandangannya, membuat Farhan merasa ada yang istimewa pada dirinya. “Siapa dia?” batinnya berbisik, tanpa sadar ia tersenyum kecil. Namun, Farhan segera menepis rasa itu. Bagaimana pun, ia tahu bahwa jika ia ingin mendekati gadis seperti itu, ia harus melakukannya dengan cara yang benar. Di masjid ini, ia tidak sedang mencari cinta duniawi, tetapi hatinya berkata lain ketika melihat gadis itu. Ia teringat kembali ajaran yang selalu diajarkan ustaznya, bahwa wanita yang baik adalah anugerah dari Allah untuk mereka yang menjaga diri. Farhan pun berniat untuk mengenalinya dengan cara yang tidak melanggar batas agama. Selesai melaksanakan shalat sunnah, Farhan berdiri di sudut masjid sambil memandangi sekeliling. Namun, matanya kembali tertuju pada gadis yang sama. Kali ini, gadis itu sedang duduk sendirian, menunduk, membaca Al-Qur’an dengan suara lembut yang terdengar lirih. Farhan merasa tenang hanya dengan mendengarnya, seperti menemukan pose di tengah gurun yang gersang. “Maaf, Mas, permisi,” sebuah suara tiba-tiba menyadarkannya dari lamunannya. Farhan menoleh dan melihat seorang laki-laki tua yang hendak lewat di hadapannya. “Oh, silakan, Pak,” jawabnya sambil tersenyum sopan. Setelah pria itu berlalu, Farhan kembali mencari sosok gadis itu, tetapi ia sudah tidak berada di sana. Farhan merasa sedikit kecewa, namun ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berakhir di sini. Jika Allah berkehendak, ia pasti akan dipertemukan lagi dengan gadis itu. --- Beberapa hari kemudian, Farhan kembali ke masjid yang sama, berharap bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Perasaan ini begitu aneh baginya. Selama ini, ia dikenal sebagai seseorang yang cuek, tidak mudah terpesona dengan kecantikan semata. Namun, ada sesuatu pada gadis itu yang membuat hatinya tenang sekaligus berdebar. Setelah shalat Jumat selesai, Farhan keluar dari masjid sambil memperhatikan kerumunan. Dan di sana, di sudut teras masjid, ia melihat gadis itu lagi. Kali ini, gadis itu sedang berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang tampak akrab dengannya. Farhan melihat gadis itu tersenyum ramah, membuat hatinya semakin yakin bahwa gadis ini bukanlah sembarang orang. Saat itulah, Hana, sahabat gadis itu, menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memandang Aisyah. Ia berbisik di telinga Aisyah, membuat gadis itu menoleh ke arah Farhan. Tatapan mereka bertemu untuk sesaat. Farhan segera menundukkan pandangan, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Aisyah pun tampak sedikit terkejut dan cepat-cepat mengalihkan tatapannya, kembali berbicara dengan wanita paruh baya tersebut. “Astaghfirullah …,” gumam Farhan pelan, berusaha mengendalikan hatinya. Meski demikian, ia tahu bahwa perasaan ini berbeda. Ia merasakan sesuatu yang tulus, sebuah keinginan untuk mengenal dan memahami gadis itu lebih jauh, tanpa melanggar aturan agama. --- Beberapa hari kemudian, Farhan mengambil langkah besar. Ia memutuskan untuk bertanya kepada salah seorang imam masjid yang dikenalnya baik. Mungkin, dari sana ia bisa mendapatkan informasi tentang gadis yang mencuri hatinya dengan sederhana. “Assalamu’alaikum, Ustaz,” sapa Farhan ketika menemui Ustaz Hasan seusai shalat Maghrib. “Wa’alaikumsalam, Farhan. Ada yang bisa saya bantu?” jawab Ustaz Hasan dengan senyuman hangat. “Begini, Ustaz ...,” Farhan menunduk sejenak, merasa sedikit canggung. “Saya ingin bertanya... soal seseorang yang sering saya lihat di masjid ini.” Ustaz Hasan mengangguk, memberi isyarat agar Farhan melanjutkan. “Namanya Aisyah, Ustaz,” lanjutnya. “Dia sering datang ke sini, bersama beberapa teman dakwahnya.” “Oh, Aisyah? Dia memang seorang aktivis dakwah di lingkungan ini. Gadis yang baik dan penuh semangat. Kenapa, Farhan?” tanya Ustaz Hasan, menatapnya penuh pengertian. Farhan tersenyum malu. “Saya ... tertarik padanya, Ustaz. Tapi saya sadar, jika saya ingin mengenalnya lebih jauh, saya harus melakukannya secara Islami.” Ustaz Hasan tersenyum lebar mendengar niat tulus Farhan. “Maka, niatkan dengan hati yang lurus, Farhan. Ingat, jodoh ada di tangan Allah. Jika kamu benar-benar ingin mengenalnya, sampaikan niatmu dengan baik, tapi jangan tergesa-gesa. Dekati dengan cara yang Allah ridhoi.” Farhan mengangguk, merasa tenang. Ia tahu ini bukan perkara mudah, tapi ia siap menjalani proses ini dengan sabar. --- Pada hari Jumat berikutnya, Farhan melihat Aisyah lagi. Kali ini, ia berdiri di pelataran masjid sambil menunggu temannya. Farhan memberanikan diri untuk mendekatinya, tetapi tetap menjaga jarak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. “Assalamu’alaikum,” sapa Farhan dengan suara yang lembut. Aisyah menoleh dan menjawab dengan sopan, “Wa’alaikumsalam.” Wajahnya terlihat sedikit bingung, tetapi ia tetap tenang. “Maaf kalau saya mengganggu, nama saya Farhan,” ujar Farhan memperkenalkan diri. “Saya sering melihat Anda di sini, dan ... saya merasa terkesan dengan keteguhan iman Anda.” Aisyah tersenyum tipis, sedikit tersipu. “Terima kasih, Farhan. Nama saya Aisyah.” Farhan merasakan jantungnya berdebar, tapi ia tetap tenang. “Saya harap tidak salah jika saya ingin mengenal Anda lebih baik, dengan cara yang sesuai tuntunan agama tentunya.” Aisyah terdiam sejenak, menatap Farhan dengan pandangan penuh makna. “Farhan, terima kasih atas niat baik Anda. Namun, saya harap Anda tahu bahwa saya tidak mencari hubungan yang tidak sesuai syariat.” Farhan mengangguk, menghormati ketegasan Aisyah. “Saya paham, Aisyah. Saya pun memiliki niat yang sama. Jika Allah mengizinkan, saya akan menunggu hingga saat yang tepat datang.” Aisyah tersenyum, kali ini sedikit lebih tulus. “Baiklah, Farhan. Semoga Allah membimbing kita pada jalan yang benar.” Percakapan itu berakhir dengan salam yang tulus. Farhan merasa bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang panjang. Meskipun hanya obrolan singkat, ia merasa begitu dekat dengan Aisyah. Dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga niat ini tetap lurus. --- Hari-hari berikutnya, Farhan terus menjalani rutinitasnya, namun kini ada semangat baru dalam hatinya. Setiap kali mengingat Aisyah, ia merasa memiliki alasan lebih kuat untuk mendekatkan diri pada Allah. Baginya, Aisyah adalah cerminan dari kesederhanaan yang selama ini ia cari. Namun, di balik keteguhan hatinya, Farhan menyadari bahwa ini tidak akan mudah. Aisyah bukan gadis biasa; dia memiliki prinsip yang kuat dan keinginan untuk tetap menjaga kehormatannya. Farhan tahu bahwa untuk mendekati Aisyah, ia harus berani menghadapi tantangan, termasuk menyembunyikan statusnya sebagai miliarder yang selama ini selalu disembunyikannya. Di tengah kegundahan itu, tiba-tiba pesan singkat dari Ustaz Hasan masuk ke ponselnya. “Farhan, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Saya rasa, ini penting untuk kamu ketahui.” Farhan tertegun, sedikit bingung. Apa yang ingin disampaikan oleh Ustaz Hasan? Apakah ini terkait dengan niatnya untuk mengenal Aisyah lebih jauh? Tanpa ragu, ia segera membalas pesan itu dan berjanji akan menemui Ustaz Hasan setelah shalat Isya malam ini.Malam itu, selepas Isya, Farhan menuju masjid untuk menghadiri sebuah kajian rutin yang sudah lama diadakan di sana. Setiap hari Jumat malam, masjid ini ramai oleh para jamaah yang ingin mendengarkan nasihat dan ilmu dari Ustaz Hasan. Farhan jarang melewatkan kesempatan ini, namun kali ini terasa berbeda. Ada motivasi lain yang membuat langkahnya lebih ringan dan hatinya lebih bersemangat. Ia mengenakan kemeja biasa dengan celana panjang sederhana. Penampilannya terlihat seperti kebanyakan orang yang datang ke masjid ini, tidak mencolok sama sekali. Farhan ingin agar semua orang melihatnya sebagai laki-laki biasa, terutama Aisyah. Ia ingin dikenali bukan karena kekayaannya, tetapi karena dirinya apa adanya. Masjid mulai ramai ketika ia tiba. Di dalam, para jamaah sudah duduk rapi, dan Farhan memilih tempat di sudut belakang, tidak jauh dari pintu. Pandangannya tertuju ke depan, mencari sosok yang ingin ia temui. Benar saja, Aisyah sudah duduk di barisan wanita, tidak jauh dari pangg
Malam yang hangat membalut kota saat Farhan melangkah keluar dari masjid. Langit cerah, bintang-bintang tampak bersinar lembut di atas sana, seolah ikut mendengarkan doa-doa yang baru saja dipanjatkan para jamaah. Suasana damai setelah kajian terasa menenangkan, namun hati Farhan justru bergejolak. Langkah kakinya pelan saat ia menyusuri pelataran masjid yang mulai sepi. Bayangan wajah Aisyah masih tertinggal di benaknya, mengisi relung hati dengan rasa kagum yang tak biasa. Sifat sederhana dan keteguhan iman Aisyah memikatnya lebih dari apapun, lebih dari segala kemewahan yang ia miliki. Tapi di sanalah letak kegundahan Farhan. Bisakah ia mendekati Aisyah tanpa membiarkan statusnya sebagai seorang miliarder terungkap? “Ya Allah, jika memang ini perasaan yang Engkau kehendaki, maka dekatkanlah dia dalam hidupku dengan cara yang baik. Jangan biarkan hatiku terjerat duniawi dalam mengejarnya.” Farhan menutup matanya sejenak, merasakan kedamaian doa yang ia panjatkan. Perlahan, ia m
Suasana selepas Isya di pelataran masjid begitu damai. Lampu-lampu temaram menerangi jalanan yang mulai lengang, memberikan kesan hangat di tengah sejuknya malam. Farhan, yang baru saja selesai mengikuti kajian, masih berdiri di sisi luar masjid, menikmati keheningan itu. Udara malam terasa begitu lembut, seolah memberinya ruang untuk merenungi perasaannya yang semakin kuat pada Aisyah. Perasaan itu datang tanpa diundang, seperti angin lembut yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Entah mengapa, setiap kali ia melihat Aisyah di masjid, ada ketenangan yang sulit dijelaskan, sebuah kedamaian yang langka ditemukan di tengah hidupnya yang penuh tekanan dan hiruk-pikuk dunia bisnis. Sebagai seorang miliarder muda, Farhan terbiasa berhadapan dengan kekayaan dan kesibukan, namun di hadapan Aisyah, semua itu terasa tak berarti. Tanpa sadar, pikirannya melayang kembali pada percakapan singkat mereka beberapa waktu lalu. Senyum lembut Aisyah, suaranya yang penuh ketulusan, se
Suasana di kantor Farhan, seperti biasa, penuh dengan energi dan kesibukan. Meja-meja dipenuhi tumpukan dokumen, sementara suara ketikan dan panggilan telepon seolah menjadi latar musik dari keseharian mereka. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai menarik perhatian teman-teman dan rekan kerjanya: perubahan sikap Farhan yang semakin terlihat belakangan ini. Farhan, yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan bisnis, belakangan ini justru sering terlihat menghabiskan waktu di masjid. Tidak sedikit dari teman-temannya yang memperhatikan bahwa kini ia lebih sering absen di acara-acara sosial atau pesta yang biasanya ia hadiri. Alih-alih, ia lebih banyak terlibat dalam kegiatan dakwah dan kajian agama. Perubahan ini memancing rasa penasaran, bahkan sedikit keheranan, di antara mereka. “Eh, lo sadar nggak sih, Farhan belakangan ini jadi beda banget?” tanya Rizki, salah satu rekan Farhan, sambil memegang
Keesokan harinya, di kantor, Farhan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun di sela-sela kesibukan itu, pikirannya terus terbayang pada Aisyah. Ia tahu bahwa perasaannya mulai tumbuh semakin dalam, dan ia semakin ingin mendekati wanita itu. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia terlalu terbuka, ia bisa saja kehilangan kesempatannya untuk mengenal Aisyah lebih jauh. Siang itu, saat jam makan siang, Adrian dan Rizki kembali mendekati Farhan di kantin kantor. “Farhan, kita udah lama nggak makan siang bareng. Gimana kalau lo ikut kita kali ini?” ajak Adrian sambil tersenyum lebar. Farhan, meski sedikit ragu, akhirnya mengangguk. “Oke deh, gue ikut.” --- Langit pagi tampak cerah ketika Farhan memutuskan untuk mendatangi masjid yang tak jauh dari kantornya. Hari itu, ia merasa hatinya perlu bimbingan lebih untuk menghadapi perasaan yang kian dalam terhadap Aisyah. Dalam diamnya, ia berdoa agar Allah membimbingnya mencari cara te
Suatu sore selepas kajian, Farhan kembali bertemu dengan Aisyah di pelataran masjid. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan jejak warna oranye di langit yang indah. Aisyah tampak sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya ketika Farhan menyapanya. “Assalamualaikum, Aisyah,” sapa Farhan dengan senyuman ramah. Aisyah menoleh dan membalas salamnya dengan senyuman lembut. “Waalaikumsalam, Farhan. Apa kabar?” “Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana?” “Alhamdulillah, baik juga,” jawab Aisyah singkat. Mereka berdua terdiam sejenak, terhanyut dalam suasana sore yang tenang. Farhan merasa hatinya berdebar, namun ia berusaha menahan diri agar tetap tenang. “Aisyah, bolehkah saya bertanya sesuatu?” Farhan bertanya hati-hati. Aisyah menatapnya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Tentu saja, apa yang ingin kamu tanyakan?” Farhan tersenyum kecil,
Di sisi lain, Farhan tengah duduk di ruang tamunya. Ponselnya tergeletak di meja, dengan pesan dari Adrian yang belum sempat ia balas. Masalah bisnis yang sedang ia hadapi memang berat, namun pikirannya tetap tertuju pada Aisyah. Ia tahu, untuk mendekati wanita seistimewa itu, ia harus melakukannya dengan kesabaran dan ketulusan yang luar biasa. “Farhan, fokus,” gumamnya pada diri sendiri. Ia membuka laptop, mencoba membaca laporan keuangan yang dikirimkan timnya. Namun, pikirannya terus berkelana. Ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi Adrian. “Bro, kita ketemu besok pagi aja di kantor. Aku perlu waktu malam ini untuk berpikir jernih.” Adrian setuju tanpa banyak bertanya. Farhan menutup panggilan itu dan kembali merenung. Baginya, keberhasilan di bisnis tidak akan berarti jika ia tidak bisa menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang ia yakini. --- Keesokan harinya, Ais
Malam itu, rumah Aisyah terasa lebih sunyi dari biasanya. Aisyah duduk di ruang tamu, ditemani secangkir teh hangat yang perlahan mendingin. Di hadapannya, Pak Ahmad duduk dengan raut wajah serius. Sejak sore tadi, Aisyah sudah merasa ada sesuatu yang ingin dibicarakan ayahnya. Dan benar saja, setelah beberapa basa-basi, Pak Ahmad mulai membuka topik yang membuat hati Aisyah berdebar. “Aisyah,” suara Pak Ahmad terdengar dalam, “Ayah sudah lama memikirkan ini. Kamu sudah cukup dewasa, dan Ayah ingin kamu mempertimbangkan masa depanmu.” Aisyah menunduk, memutar-mutar cangkir di tangannya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Maksud Ayah, tentang pernikahan?” tanyanya pelan. Pak Ahmad mengangguk. “Iya. Ayah tahu kamu ingin menikah dengan cara yang sesuai syariat, dan Ayah sangat menghargai itu. Tapi, Ayah juga ingin kamu mempertimbangkan calon yang benar-benar bisa menjamin masa depanmu. Bukan hanya soal agama, tapi juga soal kestabilan hi
Pagi itu terasa berbeda. Udara di luar jendela sejuk, dengan cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam rumah melalui celah-celah tirai yang terbuka. Farhan duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya masih berkelana, namun kali ini ada rasa tenang yang menyelimuti hatinya. Setelah berbulan-bulan melalui ketegangan, ada secercah harapan yang mulai muncul di antara mereka.Aisyah datang dari arah dapur, membawa sepiring roti bakar dengan selai stroberi kesukaan Farhan. Dia tersenyum pelan, meski senyum itu belum sepenuhnya menghapus kelelahan di wajahnya. Sudah lama sekali mereka tak merasakan ketenangan seperti ini-waktu yang benar-benar hanya untuk mereka berdua."Aku buat roti bakar. Pasti kamu lapar, kan?" Aisyah duduk di sebelah Farhan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Matanya yang dulu penuh keraguan kini mulai terbuka, meskipun tak semua pertanyaan sudah terjawab.Farhan memandang Aisyah, lalu menat
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.
Malam itu, udara di ruang tamu rumah Farhan terasa semakin berat. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan menyelimuti setiap sudut ruangan. Farhan duduk di sofa, tangan memegang ponselnya yang tergeletak di meja, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan yang baru saja diterimanya. Hati Farhan berdebar kencang. Sebuah pesan singkat yang datang dengan cepat dan tiba-tiba: "Jangan cari tahu lebih banyak tentang Safira. Jika kamu terus melangkah, kamu akan menyesal."Farhan menghembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekad dalam dirinya tetap kuat. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, namun ada seseorang yang tampaknya tidak ingin ia mengetahui lebih banyak. Sebuah ancaman yang jelas, namun juga misterius. Siapa yang mengirimkan pesan ini?"Farhan, kamu baik-baik saja?" suara Aisyah tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menatap wajah Aisyah yang duduk di dekatnya, wajah itu tampak khawatir, cemas, dan sedikit bingung. Farhan hanya menga
Farhan duduk terdiam di ruang kerjanya, menatap layar ponsel yang bergetar sekali lagi. Pesan dari Pak Ahmad masih terngiang di telinganya: "Aisyah sudah mulai merasakan ketidakjelasan ini. Kamu harus segera bertindak."Sebuah rasa cemas menggelayuti hatinya. Dia tahu, semakin dia menghindari, semakin dalam jurang yang ia gali. Tapi apa yang bisa dia katakan pada Aisyah? Bagaimana ia bisa membuka seluruh kebenaran yang selama ini dia sembunyikan? Tentang saudara kembarnya yang hilang, tentang istri kembarnya yang meninggal, tentang anak perempuan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya-Safira.Saat itu, suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunannya."Farhan, kita perlu bicara," suara Pak Ahmad terdengar berat di balik pintu.Farhan menghela napas dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk masuk. Pak Ahmad membuka pintu dan melangkah masuk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Dia duduk di kursi depan meja kerja Farhan, menarik napas dalam-dalam.
Safira tetap terbaring di ranjang rumah sakit, tubuh kecilnya dikelilingi peralatan medis yang terus bekerja tanpa henti. Perawat pribadi yang disewa Farhan dengan cermat menjaga setiap detail kondisi Safira. Mereka melakukan tugasnya dengan baik, namun di balik semua itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Farhan tidak bisa berhenti memikirkan anak ini-anak yang membawa jejak saudara kembarnya yang telah lama hilang, dan kini menjadi pusat dari segala pencarian yang ia lakukan. Farhan berdiri di sudut ruangan, menatap Safira dengan mata penuh rasa bersalah. Ia tahu, meski dirinya telah berusaha keras untuk menjamin perawatan Safira, kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa ibu kandungnya membuat hatinya semakin resah. Setiap detik yang berlalu di rumah sakit ini terasa seperti penantian yang tak kunjung selesai. Namun, ia tahu, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang-menemukan orang tua kandung Safira. ****
Farhan duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari rumah sakit tentang kondisi Safira mengganggu pikirannya lebih dari apapun. Semua yang terjadi dalam hidupnya begitu cepat, berputar tak terduga. Ia merasa seolah tidak bisa mengendalikan apapun lagi. Safira-anak saudara kembarnya-terbaring di rumah sakit, dalam kondisi kritis. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi muncul: sebuah dokumen yang mencurigakan. Itu adalah dokumen yang baru saja ia temukan di ruang arsip.Farhan menarik napas panjang. Hatinya berdebar kencang. Ia membuka dokumen tersebut dengan tangan gemetar. Sekilas ia bisa melihat nama yang sangat familiar di sana. Nama saudara kembarnya yang sudah lama hilang. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Farhan-sebuah nama anak perempuan yang tertera di situ: Safira. Tidak ada informasi lebih lanjut, hanya nama dan usia anak tersebut, yang ternyata berusia 4 tahun. Ti