Malam yang hangat membalut kota saat Farhan melangkah keluar dari masjid. Langit cerah, bintang-bintang tampak bersinar lembut di atas sana, seolah ikut mendengarkan doa-doa yang baru saja dipanjatkan para jamaah. Suasana damai setelah kajian terasa menenangkan, namun hati Farhan justru bergejolak.
Langkah kakinya pelan saat ia menyusuri pelataran masjid yang mulai sepi. Bayangan wajah Aisyah masih tertinggal di benaknya, mengisi relung hati dengan rasa kagum yang tak biasa. Sifat sederhana dan keteguhan iman Aisyah memikatnya lebih dari apapun, lebih dari segala kemewahan yang ia miliki. Tapi di sanalah letak kegundahan Farhan. Bisakah ia mendekati Aisyah tanpa membiarkan statusnya sebagai seorang miliarder terungkap? “Ya Allah, jika memang ini perasaan yang Engkau kehendaki, maka dekatkanlah dia dalam hidupku dengan cara yang baik. Jangan biarkan hatiku terjerat duniawi dalam mengejarnya.” Farhan menutup matanya sejenak, merasakan kedamaian doa yang ia panjatkan. Perlahan, ia melanjutkan langkahnya menuju mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, seolah setiap detik memberinya waktu untuk merenungkan segala keputusan yang harus ia ambil. Farhan tahu, cinta yang ia rasakan ini tidak bisa dibiarkan tumbuh tanpa niat yang tulus dan suci. Baginya, Aisyah bukan hanya sosok wanita, tetapi cerminan dari kehidupan yang sederhana dan penuh makna, sesuatu yang tak ternilai oleh uang. Saat memasuki mobilnya, Farhan terdiam sejenak. Ia menatap kursi penumpang di sampingnya, membayangkan Aisyah duduk di sana, mengenakan hijab sederhana dengan senyum lembut yang menghiasi wajahnya. Bayangan itu membuatnya tersenyum kecil, namun segera diiringi oleh kekhawatiran. “Apakah aku bisa jujur padanya tentang siapa aku sebenarnya ?” Farhan bergumam pada dirinya sendiri. Ketika cinta bertemu dengan ketulusan, tidak seharusnya ada rahasia, namun ia juga sadar bahwa kekayaan yang dimilikinya bisa menjadi beban dalam hubungan ini. --- Hari-hari berikutnya, Farhan semakin tekun dalam ibadah dan doanya. Setiap malam, ia memohon petunjuk dari Allah agar perasaannya ini tidak mengarah pada hal yang salah. Ia berusaha menjaga niatnya tetap tulus, tidak ingin tergoda untuk menggunakan hartanya hanya demi mendapatkan perhatian dari Aisyah. Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha muda, ia menyempatkan diri untuk menghadiri kajian di masjid yang sama setiap Jumat malam. Semakin sering ia datang, semakin ia merasa menemukan kedamaian yang jarang ia rasakan sebelumnya. Suasana masjid, suara lembut tilawah, dan nasihat Ustaz Hasan menjadi pelipur bagi hatinya yang resah. Pada suatu malam, selepas kajian, Farhan berusaha mencari kesempatan untuk berbicara dengan Aisyah. Ia menunggu di luar masjid, berharap bisa menyapanya secara singkat. Namun, kali ini tampaknya kesempatan itu belum datang. Aisyah terlihat bersama teman-temannya, dan Farhan merasa enggan untuk mengganggu mereka. Saat hendak melangkah pulang, suara lembut Ustaz Hasan memanggilnya. “Farhan, ada waktu sebentar ?” Farhan menoleh dan tersenyum. “Tentu, Ustaz. Ada yang bisa saya bantu ?” Ustaz Hasan tersenyum hangat, mengisyaratkan Farhan untuk duduk di bangku kayu di depan masjid. “Saya merasa, kamu belakangan ini sering datang ke kajian. Ada sesuatu yang sedang kamu cari, Farhan ?” Farhan terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Ustaz. Saya … ingin lebih mendekatkan diri pada Allah. Dan … ada seseorang yang membuat saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik.” Mendengar itu, Ustaz Hasan mengangguk penuh pemahaman. “Cinta yang tulus adalah cinta yang bisa mendekatkan kita pada Allah. Tapi ingat, Farhan, cinta juga adalah ujian. Jangan sampai niatmu ternoda hanya karena rasa ingin memiliki.” Farhan menunduk, menyerap kata-kata itu dalam hatinya. Ia tahu, perjuangan untuk menjaga keikhlasan ini tidak mudah, terutama ketika cinta itu sendiri membawa konflik dalam batinnya. “Saya hanya ingin mendekatinya dengan cara yang baik, Ustaz. Saya tidak ingin menaklukkan hatinya dengan kekayaan atau apa pun selain niat yang tulus.” Ustaz Hasan menepuk pundaknya, memberikan semangat. “Kalau begitu, sabarlah, Farhan. Doa yang kamu panjatkan akan menemukan jalannya jika niatmu benar. Jangan terburu-buru, biarkan semuanya berjalan sesuai kehendak-Nya.” Setelah perbincangan singkat itu, Farhan merasa sedikit lebih tenang. Ia menyadari bahwa apa pun yang ia rasakan saat ini adalah bagian dari proses yang harus ia jalani dengan sabar dan penuh kesabaran. --- Waktu berlalu, dan suatu sore, Farhan memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu bersama mereka, dan pertemuan ini selalu menjadi momen untuk meresapi kembali nilai-nilai yang diajarkan keluarganya sejak kecil. Ayahnya, Pak Rahman, adalah sosok yang tegas namun penuh cinta, sedangkan ibunya selalu menjadi sumber kelembutan dan nasihat yang menyejukkan. Saat mereka sedang berbincang di ruang keluarga, ibunya menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. “Farhan, belakangan ini kamu terlihat berbeda. Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak ?” Farhan tersenyum tipis. “Mungkin saya sedang … dalam proses menemukan arah hidup yang lebih baik, Bu. Ada seseorang yang membuat saya ingin menjadi pribadi yang lebih baik.” Ibunya tersenyum penuh harap. “Semoga itu wanita yang baik dan bisa membimbingmu di jalan yang benar.” “Aamiin,” balas Farhan sambil tersenyum. “Dia memang wanita yang baik, Bu. Sangat sederhana dan berprinsip kuat dalam agamanya. Tapi … saya khawatir jika dia tahu siapa saya sebenarnya.” Ayahnya yang mendengar pembicaraan itu menatapnya serius. “Farhan, jika kamu merasa ini adalah jalan yang baik, jangan takut dengan status yang kamu miliki. Jika niatmu tulus, Allah akan memberikan jalan.” Farhan mengangguk, menyimpan nasihat itu dalam hatinya. Ia tahu bahwa untuk mendekati Aisyah, ia harus berserah penuh pada kehendak Allah. Di saat yang sama, ada rasa takut yang terus membayangi — takut jika suatu saat Aisyah mengetahui kebenaran tentang dirinya dan justru menjauh. --- Suatu malam, Farhan kembali duduk di masjid seusai kajian. Ia duduk sendiri, merenungi perasaan dan niat yang semakin kuat dalam hatinya. Dalam doa yang panjang, ia memohon agar Allah memberinya petunjuk dan keberanian untuk menjalani jalan ini tanpa mengkhianati keikhlasannya. Tiba-tiba, suara Aisyah terdengar dari arah belakangnya. “Assalamu’alaikum, Farhan. Maaf, mengganggu .” Farhan terkejut namun segera menenangkan dirinya. “Wa’alaikumsalam, Aisyah. Tidak mengganggu sama sekali .” Aisyah tersenyum, duduk di dekatnya. “Saya sering melihat kamu di kajian ini, sepertinya sangat rajin hadir setiap Jumat.” Farhan tersenyum kecil. “Iya, saya merasa damai setiap kali datang ke sini. Kajian ini selalu mengingatkan saya untuk tidak terjerat dalam kesenangan dunia yang sementara.” Mata Aisyah berbinar, mendengarkan ucapannya dengan penuh perhatian. “Banyak orang lupa akan hal itu, padahal hidup ini sementara. Saya sangat menghargai orang yang punya kesadaran seperti itu.” Perkataan Aisyah membuat hati Farhan bergetar. Ia tahu, wanita di hadapannya ini bukan hanya berbicara tentang prinsip, tetapi juga menjalankannya dengan sepenuh hati. Sambil menatap wajah lembut Aisyah, ia merasakan keinginan yang kuat untuk membuka hatinya dengan lebih jujur. “Jika suatu saat kamu tahu siapa saya sebenarnya … apakah kamu akan memandang saya dengan cara yang berbeda ?” tanyanya pelan, dengan nada suara yang penuh keraguan. Aisyah terdiam, tampak berpikir. “Saya tidak tahu, Farhan. Mungkin saya akan kaget, tapi jika seseorang tulus dan menjalankan agamanya dengan benar, maka status atau harta bukan hal utama.” Mendengar jawaban itu, Farhan merasa harapan tumbuh dalam hatinya. Namun, perasaan cemas itu tetap ada. Ia tahu, suatu saat kebenaran ini tidak akan bisa disembunyikan selamanya. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa agar apa yang ia rasakan ini dapat ia jaga dengan baik.Suasana selepas Isya di pelataran masjid begitu damai. Lampu-lampu temaram menerangi jalanan yang mulai lengang, memberikan kesan hangat di tengah sejuknya malam. Farhan, yang baru saja selesai mengikuti kajian, masih berdiri di sisi luar masjid, menikmati keheningan itu. Udara malam terasa begitu lembut, seolah memberinya ruang untuk merenungi perasaannya yang semakin kuat pada Aisyah. Perasaan itu datang tanpa diundang, seperti angin lembut yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Entah mengapa, setiap kali ia melihat Aisyah di masjid, ada ketenangan yang sulit dijelaskan, sebuah kedamaian yang langka ditemukan di tengah hidupnya yang penuh tekanan dan hiruk-pikuk dunia bisnis. Sebagai seorang miliarder muda, Farhan terbiasa berhadapan dengan kekayaan dan kesibukan, namun di hadapan Aisyah, semua itu terasa tak berarti. Tanpa sadar, pikirannya melayang kembali pada percakapan singkat mereka beberapa waktu lalu. Senyum lembut Aisyah, suaranya yang penuh ketulusan, se
Suasana di kantor Farhan, seperti biasa, penuh dengan energi dan kesibukan. Meja-meja dipenuhi tumpukan dokumen, sementara suara ketikan dan panggilan telepon seolah menjadi latar musik dari keseharian mereka. Namun, di balik kesibukan itu, ada satu hal yang mulai menarik perhatian teman-teman dan rekan kerjanya: perubahan sikap Farhan yang semakin terlihat belakangan ini. Farhan, yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan bisnis, belakangan ini justru sering terlihat menghabiskan waktu di masjid. Tidak sedikit dari teman-temannya yang memperhatikan bahwa kini ia lebih sering absen di acara-acara sosial atau pesta yang biasanya ia hadiri. Alih-alih, ia lebih banyak terlibat dalam kegiatan dakwah dan kajian agama. Perubahan ini memancing rasa penasaran, bahkan sedikit keheranan, di antara mereka. “Eh, lo sadar nggak sih, Farhan belakangan ini jadi beda banget?” tanya Rizki, salah satu rekan Farhan, sambil memegang
Keesokan harinya, di kantor, Farhan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun di sela-sela kesibukan itu, pikirannya terus terbayang pada Aisyah. Ia tahu bahwa perasaannya mulai tumbuh semakin dalam, dan ia semakin ingin mendekati wanita itu. Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia terlalu terbuka, ia bisa saja kehilangan kesempatannya untuk mengenal Aisyah lebih jauh. Siang itu, saat jam makan siang, Adrian dan Rizki kembali mendekati Farhan di kantin kantor. “Farhan, kita udah lama nggak makan siang bareng. Gimana kalau lo ikut kita kali ini?” ajak Adrian sambil tersenyum lebar. Farhan, meski sedikit ragu, akhirnya mengangguk. “Oke deh, gue ikut.” --- Langit pagi tampak cerah ketika Farhan memutuskan untuk mendatangi masjid yang tak jauh dari kantornya. Hari itu, ia merasa hatinya perlu bimbingan lebih untuk menghadapi perasaan yang kian dalam terhadap Aisyah. Dalam diamnya, ia berdoa agar Allah membimbingnya mencari cara te
Suatu sore selepas kajian, Farhan kembali bertemu dengan Aisyah di pelataran masjid. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan jejak warna oranye di langit yang indah. Aisyah tampak sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya ketika Farhan menyapanya. “Assalamualaikum, Aisyah,” sapa Farhan dengan senyuman ramah. Aisyah menoleh dan membalas salamnya dengan senyuman lembut. “Waalaikumsalam, Farhan. Apa kabar?” “Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana?” “Alhamdulillah, baik juga,” jawab Aisyah singkat. Mereka berdua terdiam sejenak, terhanyut dalam suasana sore yang tenang. Farhan merasa hatinya berdebar, namun ia berusaha menahan diri agar tetap tenang. “Aisyah, bolehkah saya bertanya sesuatu?” Farhan bertanya hati-hati. Aisyah menatapnya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Tentu saja, apa yang ingin kamu tanyakan?” Farhan tersenyum kecil,
Di sisi lain, Farhan tengah duduk di ruang tamunya. Ponselnya tergeletak di meja, dengan pesan dari Adrian yang belum sempat ia balas. Masalah bisnis yang sedang ia hadapi memang berat, namun pikirannya tetap tertuju pada Aisyah. Ia tahu, untuk mendekati wanita seistimewa itu, ia harus melakukannya dengan kesabaran dan ketulusan yang luar biasa. “Farhan, fokus,” gumamnya pada diri sendiri. Ia membuka laptop, mencoba membaca laporan keuangan yang dikirimkan timnya. Namun, pikirannya terus berkelana. Ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi Adrian. “Bro, kita ketemu besok pagi aja di kantor. Aku perlu waktu malam ini untuk berpikir jernih.” Adrian setuju tanpa banyak bertanya. Farhan menutup panggilan itu dan kembali merenung. Baginya, keberhasilan di bisnis tidak akan berarti jika ia tidak bisa menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang ia yakini. --- Keesokan harinya, Ais
Malam itu, rumah Aisyah terasa lebih sunyi dari biasanya. Aisyah duduk di ruang tamu, ditemani secangkir teh hangat yang perlahan mendingin. Di hadapannya, Pak Ahmad duduk dengan raut wajah serius. Sejak sore tadi, Aisyah sudah merasa ada sesuatu yang ingin dibicarakan ayahnya. Dan benar saja, setelah beberapa basa-basi, Pak Ahmad mulai membuka topik yang membuat hati Aisyah berdebar. “Aisyah,” suara Pak Ahmad terdengar dalam, “Ayah sudah lama memikirkan ini. Kamu sudah cukup dewasa, dan Ayah ingin kamu mempertimbangkan masa depanmu.” Aisyah menunduk, memutar-mutar cangkir di tangannya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Maksud Ayah, tentang pernikahan?” tanyanya pelan. Pak Ahmad mengangguk. “Iya. Ayah tahu kamu ingin menikah dengan cara yang sesuai syariat, dan Ayah sangat menghargai itu. Tapi, Ayah juga ingin kamu mempertimbangkan calon yang benar-benar bisa menjamin masa depanmu. Bukan hanya soal agama, tapi juga soal kestabilan hi
Malam semakin larut, tetapi pikiran Farhan masih enggan diajak istirahat. Ia duduk di balkon rumahnya, ditemani secangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Angin malam berembus pelan, membawa dingin yang menusuk hingga ke hati. Pesan yang diterimanya beberapa jam lalu dari nomor tak dikenal itu kembali terngiang. Isi pesan itu begitu sederhana, namun penuh tekanan: “Jangan coba-coba mendekati Aisyah jika kamu tidak serius.” Farhan menghela napas panjang. Pesan itu terasa seperti peringatan, entah dari siapa. Ia tahu bahwa keputusan untuk mendekati Aisyah tidaklah mudah. Tapi, di balik kerumitan itu, ada keyakinan yang terus mendorongnya: Aisyah adalah orang yang ia cari selama ini. Seseorang yang akan melengkapi hidupnya, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Farhan mengambil ponselnya dan menatap layar, ada nama Adrian di daftar panggilan terakhir. Temannya itu selalu menjadi tempatnya berbagi cerita, terutama ketika ia berada di persimpangan seperti sekarang. Dengan satu
Senja mulai turun, memberikan semburat jingga di ufuk barat. Farhan berdiri di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang rapi. Rumah itu milik keluarga Aisyah. Ia menggenggam kotak kecil berisi beberapa buah tangan, menenangkan detak jantungnya yang tak karuan."Bismillah," gumamnya pelan sambil mengetuk pintu.Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan wajah Ibu Aisyah yang penuh kehangatan. "Oh, Farhan. Silakan masuk.""Terima kasih, Bu," ucap Farhan, berusaha terdengar tenang meski hatinya sedikit gugup.Ia dipersilakan duduk di ruang tamu. Ruangan itu terasa hangat, dengan hiasan sederhana namun mencerminkan kepribadian pemiliknya. Tak lama kemudian, Pak Ahmad datang. Pria itu tampak serius seperti biasanya, tetapi tetap menunjukkan sikap hormat."Farhan, saya tidak menyangka kamu akan datang lagi secepat ini," ucap Pak Ahmad, mengambil tempat duduk di sofa seberang Farhan."Saya ingin berbicara langsung dengan Bapak dan Ibu," jawab Farhan, mencoba memulai percak
Pagi itu terasa berbeda. Udara di luar jendela sejuk, dengan cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam rumah melalui celah-celah tirai yang terbuka. Farhan duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya masih berkelana, namun kali ini ada rasa tenang yang menyelimuti hatinya. Setelah berbulan-bulan melalui ketegangan, ada secercah harapan yang mulai muncul di antara mereka.Aisyah datang dari arah dapur, membawa sepiring roti bakar dengan selai stroberi kesukaan Farhan. Dia tersenyum pelan, meski senyum itu belum sepenuhnya menghapus kelelahan di wajahnya. Sudah lama sekali mereka tak merasakan ketenangan seperti ini-waktu yang benar-benar hanya untuk mereka berdua."Aku buat roti bakar. Pasti kamu lapar, kan?" Aisyah duduk di sebelah Farhan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Matanya yang dulu penuh keraguan kini mulai terbuka, meskipun tak semua pertanyaan sudah terjawab.Farhan memandang Aisyah, lalu menat
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.
Malam itu, udara di ruang tamu rumah Farhan terasa semakin berat. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan menyelimuti setiap sudut ruangan. Farhan duduk di sofa, tangan memegang ponselnya yang tergeletak di meja, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan yang baru saja diterimanya. Hati Farhan berdebar kencang. Sebuah pesan singkat yang datang dengan cepat dan tiba-tiba: "Jangan cari tahu lebih banyak tentang Safira. Jika kamu terus melangkah, kamu akan menyesal."Farhan menghembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekad dalam dirinya tetap kuat. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, namun ada seseorang yang tampaknya tidak ingin ia mengetahui lebih banyak. Sebuah ancaman yang jelas, namun juga misterius. Siapa yang mengirimkan pesan ini?"Farhan, kamu baik-baik saja?" suara Aisyah tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menatap wajah Aisyah yang duduk di dekatnya, wajah itu tampak khawatir, cemas, dan sedikit bingung. Farhan hanya menga
Farhan duduk terdiam di ruang kerjanya, menatap layar ponsel yang bergetar sekali lagi. Pesan dari Pak Ahmad masih terngiang di telinganya: "Aisyah sudah mulai merasakan ketidakjelasan ini. Kamu harus segera bertindak."Sebuah rasa cemas menggelayuti hatinya. Dia tahu, semakin dia menghindari, semakin dalam jurang yang ia gali. Tapi apa yang bisa dia katakan pada Aisyah? Bagaimana ia bisa membuka seluruh kebenaran yang selama ini dia sembunyikan? Tentang saudara kembarnya yang hilang, tentang istri kembarnya yang meninggal, tentang anak perempuan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya-Safira.Saat itu, suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunannya."Farhan, kita perlu bicara," suara Pak Ahmad terdengar berat di balik pintu.Farhan menghela napas dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk masuk. Pak Ahmad membuka pintu dan melangkah masuk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Dia duduk di kursi depan meja kerja Farhan, menarik napas dalam-dalam.
Safira tetap terbaring di ranjang rumah sakit, tubuh kecilnya dikelilingi peralatan medis yang terus bekerja tanpa henti. Perawat pribadi yang disewa Farhan dengan cermat menjaga setiap detail kondisi Safira. Mereka melakukan tugasnya dengan baik, namun di balik semua itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Farhan tidak bisa berhenti memikirkan anak ini-anak yang membawa jejak saudara kembarnya yang telah lama hilang, dan kini menjadi pusat dari segala pencarian yang ia lakukan. Farhan berdiri di sudut ruangan, menatap Safira dengan mata penuh rasa bersalah. Ia tahu, meski dirinya telah berusaha keras untuk menjamin perawatan Safira, kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa ibu kandungnya membuat hatinya semakin resah. Setiap detik yang berlalu di rumah sakit ini terasa seperti penantian yang tak kunjung selesai. Namun, ia tahu, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang-menemukan orang tua kandung Safira. ****
Farhan duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari rumah sakit tentang kondisi Safira mengganggu pikirannya lebih dari apapun. Semua yang terjadi dalam hidupnya begitu cepat, berputar tak terduga. Ia merasa seolah tidak bisa mengendalikan apapun lagi. Safira-anak saudara kembarnya-terbaring di rumah sakit, dalam kondisi kritis. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi muncul: sebuah dokumen yang mencurigakan. Itu adalah dokumen yang baru saja ia temukan di ruang arsip.Farhan menarik napas panjang. Hatinya berdebar kencang. Ia membuka dokumen tersebut dengan tangan gemetar. Sekilas ia bisa melihat nama yang sangat familiar di sana. Nama saudara kembarnya yang sudah lama hilang. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Farhan-sebuah nama anak perempuan yang tertera di situ: Safira. Tidak ada informasi lebih lanjut, hanya nama dan usia anak tersebut, yang ternyata berusia 4 tahun. Ti