“Izinkan aku menikah lagi, Sarinah!” seru Mas Panjul suamiku. Lelaki ganteng dengan brewok tebal memenuhi rahang kekarnya itu berkata tegas. Aku memijat kening karena mendengar keinginan gilanya itu.“Mas, apa nggak bisa dipikir lagi. Aku nggak mau diceraikan!” seruku. Tangisku pecah membahana memenuhi ruang tengah rumah kami. Iya ... sejak kami menikah Mas Panjul sudah memboyongku hidup berdua, dia lelaki yang mandiri dan bertanggung jawab menurutku. Namun ucapannya kali ini membuatku sedih.“Loh, siapa bilang aku mau menceraikan kamu, Inah. Aku cuma mau izin nikah lagi,” ucap Mas Panjul enteng. Segitu entengnya dia tidak memikirkan perasaanku. Apa dia sudah lupa dengan ikrar janji yang dulu ia ucapkan di hadapan penghulu? Setia padaku sampai mati.“Maksud kamu apa?”“Aku hanya minta izin menikah lagi. Tapi aku nggak akan menceraikan kamu.”“Kamu egois, Mas. Egois!”“Inah, Sayang. Izinkan Mas nikah lagi, ya.” Lelaki itu berjalan mendekat ke arahku, tangan kekarnya mengusap air matak
Pukul satu siang, aku sudah berpakaian rapi juga dandan secantik mungkin. Jangan sampai aku kalah cantik dengan wanita yang akan datang bersama Mas Panjul nantinya. Tak lupa parfum mahal aku semprotkan ke leher juga pergelangan tangan. Wangi, dan ini adalah parfum kesukaan Mas Panjul.Jam satu lewat sepuluh menit, terdengar suara bel ditekan, aku bergegas keluar kamar. Dengan debar jantung yang tidak beraturan aku membuka pintu. Jujur saja, rasanya tidak karuan saat harus menghadapi situasi seperti ini. Suamiku pulang dengan membawa selingkuhannya, calon maduku.Pintu sebelah kiri terbuka, tampak wajah tampan Mas Panjul tersenyum manis ke arahku. Namun pandanganku beralih pada sosok di sebelahnya yang mengenakan pakaian kurang bahan dengan rok di atas lutut, juga bagian dada yang sangat terbuka sehingga menyembulkan isinya.Aku mengamati saksama wanita yang berdiri di sebelah suamiku, rasanya pernah bertemu. Sosok ini tidak asing, namun di mana aku pernah melihatnya.Lamunanku tersada
“Huhuhuhu .... “ Aku menangis kencang saat tiba di rumah Mama. Ia yang menyambut kedatanganku menatap iba. Tangan tuanya menggandeng mesra tanganku dan masuk ke dalam.“Ada apa, Sayang?” tanyanya. Aku hanya bisa terisak, dadaku belum sepenuhnya tenang. Untuk sesaat Mama membiarkan aku larut dalam tangis.Iis-asisten di rumah Mama menghampiri, ia meletakkan minum di meja. Aku mengambil orange juice itu dan meminumnya sampai habis.Aku menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan. Mataku menatap manik mata Mama yang sepertinya menanti aku untuk bicara.“Ma ... Mas Panjul selingkuh!” aduku padanya. Ekspresi wajah Mama terkejut, ia sepertinya tidak menyangka jika hal ini akan terjadi. Bagaimana pun selama ini putra bungsunya sudah banyak berubah sejak menikah denganku.“Kamu sudah minta penjelasan sama Panjul, Inah?” Mama membenarkan rambutku yang sedikit berantakan.“Sudah, Ma. Mas Panjul juga kemarin bawa selingkuhannya ke rumah kita.” Air mataku kembali luruh. Sakitnya, tuh di sini!“
Sampai malam menjelang, Mas Panjul tidak kunjung datang ke rumah mama. Entah ke mana perginya suamiku itu. Pulang ke rumah, atau jangan-jangan malah pergi bersama pacar warianya.Aku tidak bisa tinggal diam! Aku harus bertindak! Waria mana yang tidak bisa aku hadapi. Sekali tendang itu selangkangan, lumpuh sudah badan dia!Berani coba? Sini maju!Sampai pukul sembilan malam, akhirnya aku pulang ke rumah diantar sopir mama. Mama tentu tidak mengizinkan aku yang menantu kesayangannya pulang naik taksi. Tak lupa, saat aku hendak pulang, mama memberiku uang yang cukup banyak untuk membeli obat. Obat hasil rencana brilian mama untuk menyelamatkan rumah tangga kami.“Mampir ke apotek ya, Pak.” Aku mengarahkan pak Alim untuk mampir ke apotek.“Baik, Non.”Mobil yang aku tumpangi pun berhenti di sebuah apotek yang cukup besar. Berharap obat itu dijual di sini.Kakiku melangkah masuk dan disambut apoteker berseragam merah muda. Dua wanita itu berdiri dan tersenyum manis. “Ada yang bisa kami ba
Mas Panjul memilih tidur di kamar tamu, aku pun tidur sendirian. Aku sendiri tidak tahu apa alasan Mas Panjul berat untuk meninggalkan Jeni, sebegitu cinta mati ‘kah suamiku pada manusia itu?Aku harus bagaimana, Tuhan!Aku melirik jam di dinding, pukul dua malam. Aku meraih sweater yang tergantung di belakang pintu, lantas keluar kamar, lalu masuk ke kamar di mana suamiku tidur.Aku membuka pintu perlahan dan mataku menangkap sesuatu yang membuatku takjub. Suamiku tengah duduk bersimpuh di atas sajadahnya.Tenang saja, dia mengenakan sarung dan peci, tidak mukena seperti yang ia pakai dulu.Mas Panjul sepertinya menyadari kehadiranku yang masih berdiri di ambang pintu. Lelaki itu menyudahi berdoa lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku tergagap dan segera menutup pintu kembali, tapi terlambat, tanganku dicekalnya lalu ditariknya masuk kamar.Pintu ditutup!“M-mas ....” Aku tertegun, suaraku seolah tercekat. Begitu terkejutnya aku melihat suamiku berpakaian mengagumkan begini.“Istriku
Aku menatap langit-langit kamar, badanku rasanya lelah karena Mas Panjul benar-benar membuatku kewalahan. Aku tak menyangka jika dirinya bisa seganas itu. Mas Panjul masih tidur di sebelahku, terdengar dari suara dengkurannya yang keras. Mataku melirik jam dinding, pukul sebelas siang dan perutku lapar.Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi badan lalu meraih pakaian yang tergeletak di lantai dan bergegas mengenakannya. Beranjak keluar kamar menuju dapur, memasak sesuatu yang bisa kami makan dan sepertinya Mas Panjul pun akan lapar jika sudah bangun.Rasa pusing yang tadi aku rasakan sedikit hilang dan kini aku berada di dapur, mengisi wadah rice cooker dengan beras lalu menyalakan tombol cook. Aku membuka lemari es dan mengambil beberapa sayuran dan bumbu, juga beberapa butir telur yang nanti akan aku dadar.Saat tubuhku berhadapan dengan kompor dan wajan, sebuah lengan memeluk erat, napasnya terasa hangat di telinga.“Kok udah bangun, sih, Sayang.” Mas Panjul mulai menciumi lehe
Pulang dari dokter, kami bergegas menuju rumah Mama, ingin memberitahukan segera kabar bahagia ini. Harapan Mama untuk bisa menimang cucu akan terwujud dalam waktu dekat.Pukul sebelas siang kami sampai di rumah Mama, beliau tengah merapikan tanaman kesayangannya yang ada di dalam pot yang berjejer di teras saat kami baru tiba. Mama menghentikan aktivitasnya dan bergegas memelukku seperti biasa.“Kok tumbenan, Panjul, kamu nggak kerja?” tanya Mama karena melihat Mas Panjul berkeliaran di hari kerja.“Masuk dulu, yuk, Ma, ada yang pengen kami sampaikan,” ucapku pada Mama. Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. “Ada apa?” tanya Mama terlihat penasaran. Aku dan Mas Panjul saling menatap, bingung harus bagaimana cara menyampaikan kabar gembira ini.“Kalian lagi nggak berantem dan berencana pengen pisah, kan?” ucap Mama asal menebak.“Bukan!” seruku dan Mas Panjul berbarengan.“Ya udah. Lantas kenapa?”“Inah hamil, Ma. Mama sebentar lagi bakal punya cucu,” ucapku lantang.Wajah Mama y
Tok ... tok ... tok ....Ck, siapa sih yang bertamu malam-malam begini. Pake ngetuk pintu segala lagi. Padahal, di sana ada bel yang masih normal yang bisa digunakan. Ganggu acara makan malam romantisku sama Mas Panjul.Mas Panjul bangun dan berjalan ke arah pintu, lantas membukanya. Aku menoleh karena penasaran siapa tamu yang datang malam begini. Pizza di tangan mendadak terjatuh dari genggaman saat mata ini menatap tamu tak diundang itu.Jeni!Aku bangkit dan buru-buru menyusul Mas Panjul.“Ngapain kamu ke sini? Mau ikut makan pizza? Eh, bentar, pizza nya belum aku campur racun. Nanti kamu tunggu dulu di luar, aku kasih racun dulu buat kamu!” seruku kesal. Bisa-bisanya dia datang ke sini sendirian.Wajah Jeni yang cantik terlihat takut mendengar ucapanku barusan, wajahnya menunduk karena takut aku memelototi dirinya. Heran aku tuh, Jeni itu kan laki-laki, masa iya takut sama perempuan kayak aku sih. Lagian, meskipun wajah Jeni cantik, tapi otot lengannya yang terlihat kekar, bisa t
Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu
Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali
Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu
Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah
Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia
Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan
Sebagai ucapan terima kasih, Bu Angelita dan Pak Dewa membelikan banyak buah tangan saat kami pulang menuju Jakarta. Bahkan Pak Dewa membayarkan vila yang disewa Mama. Ternyata, tempat itu milik Pak Dewa sendiri, beliau bahkan memberikan lima lembar voucher gratis menginap selama satu minggu, unlimited. Artinya bisa digunakan kapan saja jika aku ingin menginap di sana lagi. Awalnya aku keberatan dengan semua pemberian itu, karena aku belum melakukan apa-apa untuk mereka, tapi sepasang suami-istri itu memaksaku agar bersedia menerima, jadi akhirnya lima voucher itu aku kantongi. Setelah sampai di rumah Mama bertanya tentang obrolanku dengan Bu Angelita. “Mereka ingin membawa pulang Jeni, Ma.”“Loh, bukannya mereka merestui hubungan Panjul dan Jeni?”Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Ma. Justru mereka ingin membawa Jeni pulang agar bisa ditangani oleh dokter. Orang tua mana yang hatinya tidak hancur ketika anak laki-lakinya justru berperangai seperti perempuan. Bu Angelita sedih, kare
Sesuai rencana Mama, hari ini kami sudah bersiap-siap menuju puncak. Sengaja mengambil jalan pagi hari supaya sampai di vila sore harinya dan bisa menikmati view sunset dari puncak gunung. Mama menyewa vila tipe presiden swite, itu setara dengan kamar hotel bintang lima di kota. Kamarnya luas, dengan pemandangan langsung pada hamparan kebun teh. Aroma daun teh yang masih segar memasuki rongga hidung saat jendela kubuka. Mama langsung menghambur ke paviliun, ia memejamkan matanya, sambil sesekali menarik nafas panjang-panjang.Mama mengajak bibi liburan bersama kami, dia sedang menidurkan Ameena di kasur. Aku berdiri di sebelah kanan Mama, mengikut jejaknya memejamkan mata sambil menghirup udara segar puncak.“Rasanya tenang ya, Inah!” seru Mama. Aku membuka mata, rupanya Mama berbicara masih dengan posisi memejamkan mata. Aku kembali menutup mata, sambil mengatakan ya.“Masih banyak hal yang perlu kita syukuri. Jangan pernah merasa sedih saat Allah mengambil satu nikmat dari kehidupan
Sudah satu minggu aku didera sakit kepala hebat. Bagaimana tidak, aku yang harus terbangun tiap malam untuk menyusui Ameena, ditambah masalah dengan Mas Panjul yang tidak mau melepaskan Jeni, membuatku nyaris tidak bisa memejamkan mata barang sebentar saja. Meski begitu, aku beruntung memiliki mertua sebaik Mama, beliau tidak merasa keberatan jika aku meminta bantuannya menemani Ameena. Bahkan, sering tanpa aku minta, Mama sudah berada di kamarku dan tidur bersama kami.Sementara Mas Panjul, sejak kejadian itu dirinya diusir oleh Mama. Laki-laki itu bahkan dilarang datang ke rumah ini meski hanya untuk sekadar berkunjung melihat Ameena. Sakit hati seorang ibu terhadap anak yang disayanginya membuat Mama terkadang sering melamun, sungguh aku tidak tega melihatnya sering bengong. Wanita sebaik Mama, kenapa harus mendapatkan cobaan seberat ini.“Bengong terus, Sayang. Masih mikirin Panjul?” tanya mama saat melihatku duduk sendirian di taman belakang rumah. Aku biasanya duduk berlama-lama