Share

bab 4

Penulis: Ana Battosai
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 10:21:57

Sampai malam menjelang, Mas Panjul tidak kunjung datang ke rumah mama. Entah ke mana perginya suamiku itu. Pulang ke rumah, atau jangan-jangan malah pergi bersama pacar warianya.

Aku tidak bisa tinggal diam! Aku harus bertindak! Waria mana yang tidak bisa aku hadapi. Sekali tendang itu selangkangan, lumpuh sudah badan dia!

Berani coba? Sini maju!

Sampai pukul sembilan malam, akhirnya aku pulang ke rumah diantar sopir mama. Mama tentu tidak mengizinkan aku yang menantu kesayangannya pulang naik taksi. Tak lupa, saat aku hendak pulang, mama memberiku uang yang cukup banyak untuk membeli obat. Obat hasil rencana brilian mama untuk menyelamatkan rumah tangga kami.

“Mampir ke apotek ya, Pak.” Aku mengarahkan pak Alim untuk mampir ke apotek.

“Baik, Non.”

Mobil yang aku tumpangi pun berhenti di sebuah apotek yang cukup besar. Berharap obat itu dijual di sini.

Kakiku melangkah masuk dan disambut apoteker berseragam merah muda. Dua wanita itu berdiri dan tersenyum manis. “Ada yang bisa kami bantu, Bu.”

“Saya mau beli obat perangsang, Mbak. Apa di sini ada?”

Dua wanita cantik itu saling adu pandang, lalu keduanya kompak menatap ke arahku. Aku yang merasa diamati begitu tentu tidak nyaman. 

Apa salah dan dosaku sayang?

“Katanya merek Vigra bagus dan cepat reaksinya, ya?” tanyaku lagi, padahal pertanyaanku tadi tentang obat itu ada atau tidak belum dijawab.

“Maaf, Bu.”

“Saya sudah menikah. Obat itu buat suami saya, kok,” ucapku berusaha meyakinkan. 

Salah seorang apoteker itu membalikkan badan dan tangannya mencari sesuatu di rak yang menempel di dinding. Tak lama, sebuah kotak berwarna putih dan juga biru diberikan padaku.

Aku menerimanya dan langsung membayar. “Kembaliannya ambil aja. Terima kasih, ya,” ucapku dan langsung pergi dari sana.

Pak Alim langsung tancap gas saat aku sudah duduk kembali di jok belakang. Hatiku sedikit berdebar saat kepalaku membayangkan bagaimana reaksi Mas Panjul saat setelah minum obat perangsang ini.

Tidak minum obat saja dia jago, bagaimana jika kekuatannya bertambah dengan minum ini?

Aku membayangkan hal itu dengan bulu kuduk berdiri. Ngeri-ngeri sedap. Apa aku nanti bisa sanggup menghadapinya? Ah, elah. Kan, aku jadi deg-degan deh.

Aku memeriksa ponsel, tidak ada chat atau miskal dari suamiku. Entah ke mana perginya dia, padahal aku kangen dikirimi chat mesra darinya, tapi sekarang ponselku sepi kayak kuburan baru. 

Ponsel kembali aku masukkan ke dalam tas lalu merebahkan punggung di sandaran kursi dan dengan mata yang terpejam. Sebentar lagi akan sampai rumah, aku pun bertanya-tanya di mana keberadaan Mas Panjul. 

Aku membuka mata saat kurasakan mobil berhenti. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri, pukul sebelas kurang. Aku mengucapkan terima kasih pada Pak Alim karena sudah mengantarkan aku selamat sampai rumah. Sopir mama pun kembali pulang, karena memang mama menyediakan kamar khusus sopir di rumah.

Dengan jantung berdebar kencang aku pun melangkah masuk ke dalam rumah. Lampu teras dan lampu taman sudah menyala, itu pertanda Mas Panjul ada di rumah. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, lalu tak lama sosok lelaki yang aku rindukan seharian ini muncul dengan senyuman menghiasi wajahnya.

“Mas, Inah kangen!” seruku lalu menghambur ke dalam pelukannya. Mas Panjul mengusap punggungku lalu dengan sedikit menyeret agar masuk ke dalam.

“Mesra-mesranya di dalam aja, Sayang. Malu dilihat tetangga!” serunya dengan tangan kanan membalas pelukanku.

“Mas Panjul ke mana aja. Inah sama mama tungguin di rumah juga.” Aku melepas pelukannya dan menatap manik mata berwarna sedikit coklat itu.

“Habis jalan sama Jeni.” Mas Panjul menjawab enteng. Dia bahkan tidak peduli dengan hatiku. Jahat kamu, Mas!

“Mas Panjul lebih mentingin waria itu dari aku. Istri sah kamu! Tega kamu!” Aku berucap sambil memukul dada bidangnya. 

“Inah!” Mas Panjul mencekal lenganku, tapi segera aku tepis dan langsung berlari ke dalam kamar.

Aku mendengar langkah kakinya mengikuti dari belakang. Sampai di kamar, aku melempar tas ke kursi kayu dan merebahkan tubuh di kasur.

“Inah mandi dulu. Mas siapin air hangat ya buat kamu mandi,” ucap Mas Panjul sambil duduk di sebelahku.

“Nggak mau. Kalo Mas keberatan tidur sama aku yang nggak mandi. Mas bisa kok tidur di sofa, atau kamar tamu,” ucapku sambil meraih bantal guling lalu memeluknya.

“Tega banget, sih.”

Aku melempar bantal guling yang barusan aku peluk, lantas bangun dan duduk. Mas Panjul menatapku lekat, aku pun menatapnya dengan tatapan marah.

“Yang tega itu, Mas. Udah tau punya istri, masih selingkuh pula. Mending yang jadi selingkuhan itu wanita beneran. Lah, Mas selingkuh sama manusia jadi-jadian.”

“Namanya Jeni, Sayang.”

“Bodo amat!”

Aku berdiri meninggalkan Mas Panjul dan masuk ke kamar mandi. Cuci muka dan ganti baju tidur.

Dari tatapan mata Mas Panjul tadi, suamiku itu sepertinya sedang pengen. Tapi, sudah bisa dipastikan akan memakai pengaman juga. Itu artinya aku bakal tertunda punya anak.

Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Mas Panjul jago ‘main dan bisa bikin aku gagal hamil sampai bertahun-tahun begini.

Ah, sudahlah. Aku lelah bermain dan berandai-andai dengan pikiranku sendiri. Yang harus aku lakukan adalah melaksanakan rancangan rencana dengan mama siang tadi. Aku pun bergegas membereskan membersihkan diri, mengenakan pakaian tidur yang seksi seperti biasanya dan segera keluar dari kamar mandi.

Di kasur, Mas Panjul sudah berbaring dengan kedua tangan menopang kepalanya. Mata lelaki itu sudah terpejam. Aku melihat dadanya bergerak naik turun perlahan membuat jantungku berdegup cukup kencang. Dada bidangnya memang selalu bisa menggoyahkan imanku.

Aku berjalan mendekati kasur, lalu berdiri di sebelah sisi di mana Mas Panjul berbaring.

“Mas, kalo mau tidur jangan di sini. Aku masih marah sama kamu, loh. Aku heran, kamu kenapa nggak mau tinggalin Jeni. Sebenarnya aku ini kurang apa di matamu!” seruku. 

Mas Panjul tetap diam dan tidak bergerak, bahkan sekarang terdengar suara dengkuran dari mulutnya.

Dia tidur benaran atau pura-pura, sih?

Aku coba kembali berbicara.

“Kalo emang Mas Panjul berat buat tinggalin Jeni, biar aku yang pergi!” seruku lagi. Kali ini bukan hanya ucapan, aku memutar badan dan hendak keluar kamar.

 Tiba-tiba ada dua tangan memeluk perutku, lalu dengan sigap meraih tubuhku dalam gendongannya. Mata kami beradu. Tatapan Mas Panjul selalu berhasil membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.

Mas Panjul berjalan kembali mendekati ranjang, lalu merebahkan tubuhku di sana. Aku bergegas mengambil posisi duduk sebelum tubuhku diduduki olehnya.

“Kamu merencanakan apa sama mama?” tanya Mas Panjul.

Lah, dari mana dia tahu?

“M-maksud, Mas?” aku tergagap.

“Kamu sama mama merencanakan mau kasih aku obat perangsang?”

“Kok Mas tahu?”

“Ini!” serunya sambil memperlihatkan obat yang tadi aku beli.

“Mas geledah tas aku, ya?” tanyaku sedikit sewot.

“Tadi mama telepon ke ponsel kamu. Mas angkat teleponnya. Pas mau ditaro, Mas lihat ada ini.”

Aku diam. Semuanya hancur berantakan rencanaku.

“Kamu kan tahu Mas belum siap punya anak!” serunya.

“Mau sampai kapan, Mas? Kita menikah udah lama. Aku ini pengen jadi wanita seutuhnya. Punya suami juga anak. Tapi Mas selalu bilang nggak siap. Mas selalu nyuruh aku minum pil KB dan Mas pake pengaman. Itu bikin aku nggak nyaman!” seruku kesal. Tangisku pecah. Aku sudah nggak tahan dengan situasi ini.

“Inah ....”

“Kalo Mas belum siap punya anak dan memang berat buat tinggalin Jeni. Aku mau kita pisah!” seruku.

Bab terkait

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 5

    Mas Panjul memilih tidur di kamar tamu, aku pun tidur sendirian. Aku sendiri tidak tahu apa alasan Mas Panjul berat untuk meninggalkan Jeni, sebegitu cinta mati ‘kah suamiku pada manusia itu?Aku harus bagaimana, Tuhan!Aku melirik jam di dinding, pukul dua malam. Aku meraih sweater yang tergantung di belakang pintu, lantas keluar kamar, lalu masuk ke kamar di mana suamiku tidur.Aku membuka pintu perlahan dan mataku menangkap sesuatu yang membuatku takjub. Suamiku tengah duduk bersimpuh di atas sajadahnya.Tenang saja, dia mengenakan sarung dan peci, tidak mukena seperti yang ia pakai dulu.Mas Panjul sepertinya menyadari kehadiranku yang masih berdiri di ambang pintu. Lelaki itu menyudahi berdoa lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku tergagap dan segera menutup pintu kembali, tapi terlambat, tanganku dicekalnya lalu ditariknya masuk kamar.Pintu ditutup!“M-mas ....” Aku tertegun, suaraku seolah tercekat. Begitu terkejutnya aku melihat suamiku berpakaian mengagumkan begini.“Istriku

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab. 6

    Aku menatap langit-langit kamar, badanku rasanya lelah karena Mas Panjul benar-benar membuatku kewalahan. Aku tak menyangka jika dirinya bisa seganas itu. Mas Panjul masih tidur di sebelahku, terdengar dari suara dengkurannya yang keras. Mataku melirik jam dinding, pukul sebelas siang dan perutku lapar.Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi badan lalu meraih pakaian yang tergeletak di lantai dan bergegas mengenakannya. Beranjak keluar kamar menuju dapur, memasak sesuatu yang bisa kami makan dan sepertinya Mas Panjul pun akan lapar jika sudah bangun.Rasa pusing yang tadi aku rasakan sedikit hilang dan kini aku berada di dapur, mengisi wadah rice cooker dengan beras lalu menyalakan tombol cook. Aku membuka lemari es dan mengambil beberapa sayuran dan bumbu, juga beberapa butir telur yang nanti akan aku dadar.Saat tubuhku berhadapan dengan kompor dan wajan, sebuah lengan memeluk erat, napasnya terasa hangat di telinga.“Kok udah bangun, sih, Sayang.” Mas Panjul mulai menciumi lehe

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 7

    Pulang dari dokter, kami bergegas menuju rumah Mama, ingin memberitahukan segera kabar bahagia ini. Harapan Mama untuk bisa menimang cucu akan terwujud dalam waktu dekat.Pukul sebelas siang kami sampai di rumah Mama, beliau tengah merapikan tanaman kesayangannya yang ada di dalam pot yang berjejer di teras saat kami baru tiba. Mama menghentikan aktivitasnya dan bergegas memelukku seperti biasa.“Kok tumbenan, Panjul, kamu nggak kerja?” tanya Mama karena melihat Mas Panjul berkeliaran di hari kerja.“Masuk dulu, yuk, Ma, ada yang pengen kami sampaikan,” ucapku pada Mama. Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. “Ada apa?” tanya Mama terlihat penasaran. Aku dan Mas Panjul saling menatap, bingung harus bagaimana cara menyampaikan kabar gembira ini.“Kalian lagi nggak berantem dan berencana pengen pisah, kan?” ucap Mama asal menebak.“Bukan!” seruku dan Mas Panjul berbarengan.“Ya udah. Lantas kenapa?”“Inah hamil, Ma. Mama sebentar lagi bakal punya cucu,” ucapku lantang.Wajah Mama y

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab. 8

    Tok ... tok ... tok ....Ck, siapa sih yang bertamu malam-malam begini. Pake ngetuk pintu segala lagi. Padahal, di sana ada bel yang masih normal yang bisa digunakan. Ganggu acara makan malam romantisku sama Mas Panjul.Mas Panjul bangun dan berjalan ke arah pintu, lantas membukanya. Aku menoleh karena penasaran siapa tamu yang datang malam begini. Pizza di tangan mendadak terjatuh dari genggaman saat mata ini menatap tamu tak diundang itu.Jeni!Aku bangkit dan buru-buru menyusul Mas Panjul.“Ngapain kamu ke sini? Mau ikut makan pizza? Eh, bentar, pizza nya belum aku campur racun. Nanti kamu tunggu dulu di luar, aku kasih racun dulu buat kamu!” seruku kesal. Bisa-bisanya dia datang ke sini sendirian.Wajah Jeni yang cantik terlihat takut mendengar ucapanku barusan, wajahnya menunduk karena takut aku memelototi dirinya. Heran aku tuh, Jeni itu kan laki-laki, masa iya takut sama perempuan kayak aku sih. Lagian, meskipun wajah Jeni cantik, tapi otot lengannya yang terlihat kekar, bisa t

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 9

    Miss Angelita, adalah ibu dari Jeni. Menurut penjelasan Mas Panjul, Jeni tumbuh di keluarga yang harmonis dan berada. Kekayaannya sungguh di luar dugaan, ayah Jeni adalah seorang pengusaha kondang yang memiliki saham di berbagai daerah, termasuk investor besar di perusahaan Mas Panjul. Sepertinya, jalan untuk menyelamatkan suamiku akan sulit. Tapi, sesulit apa pun itu, aku harus membebaskan Mas Panjul dari jerat orang tua Jeni.Entah kenapa, aku masih bisa percaya seratus persen pada Mas Panjul, meski pun dia sudah berulang kali menjalin hubungan dengan Jeni, aku tetap yakin jika suamiku itu sudah normal. Buktinya, dia sudah berhasil membuat aku hamil. Kalau pun Mas Panjul masih kemayu dan homo, dia tidak mungkin bergairah dengan sentuhanku. Maka dari itu, saat Mas Panjul menjelaskan kebenarannya, aku benar-benar percaya padanya.Pak Dewa dan Miss Angelita ternyata mengekang Mas Panjul, dan memaksanya agar mau menikahi Jeni dan mengancam akan mencabut investasi saham yang sudah ditan

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 10

    Aku masih duduk termenung, memikirkan cara agar bisa masuk ke rumah mewah milik Miss Angelita. Pasalnya, rumah itu berada di sebuah perumahan elite yang penjagaannya pasti sangat ketat, dan tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Aku memegang kening yang terasa pusing, pusing memikirkan masalah Mas Panjul, juga pusing karena bawaan bayi karena sudah memasuki trimester kedua. Untungnya saja, kehamilan ini tidak terlalu membuatku kepayahan karena ngidam, tapi anak yang ada di dalam perutku bisa diajak bekerja sama. Saat sedang memikirkan cara untuk mencari jalan keluar, bel rumah ditekan dua kali. Batinku bertanya-tanya, siapa tamu yang datang pagi ini. Kalau pun itu Mama, beliau pasti akan mengabari jika akan datang berkunjung.Aku berjalan mendekati pintu, lalu membukanya. Mataku terbelalak saat melihat siapa yang datang. Dia Sonia, adik Mas Panjul. Mas Panjul memiliki dua orang adik, Sonia dan Soni, mereka kembar dan sekarang sudah sama-sama memiliki keluarga masing-masing.“Mba

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 11

    Tanganku mengepal kuat, menahan amarah yang datang tiba-tiba. Jantungku pun berdetak kencang, amarahku naik sampai ubun-ubun. Tapi aku harus bisa menahan ini, aku tidak mau membuat Sonia khawatir, apa lagi jika sampai aku memberitahukan masalah Jeni, malah nanti Sonia ngadu ke Mama. Aku nggak mau bikin Mama khawatir dan masalah ini jadi tambah runyam. Jadi sebisa mungkin, aku yang akan menghandle masalah ini sampai akhir.Aku tidak lagi menimpali ucapan Sonia, ia kini menutup toples kaca itu dan menyudahi ritual ngemilnya. Jus jeruk buatanku pun habis. Dia kini sedang menerima panggilan telepon.“Iya, Mas. Ini aku jalan sekarang.”“Lagi di rumah Mbak Inah, Mas!”“Iya, oke. Aku jalan sekarang. Bye!”Begitu ucapan Sonia. Usai menutup panggilan telepon, Sonia pun pamit pulang. Katanya ada hal urgen dan mau ketemu sama sang suami di kantornya. Aku pun melepas kepergian Sonia, padahal aku berharap dia akan menginap malam ini, atau setidaknya dia akan berada di sini sampai sore dan mau mene

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 12

    Beberapa hari menginap di rumah Mama membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak masalahku dengan Mas Panjul. Meskipun kini aku harus sadar dan siap-siap untuk kenyataan pahit jika suatu saat nanti memang benar Mas Panjul kembali menjadi dirinya yang seorang waria dan menikah dengan Jeni. Yah, aku kini tahu, jika selama ini apa yang dia katakan tentang masa lalu Jeni, juga tentang keadaan Jeni semuanya palsu, itu hanya alibi suamiku agar bisa leluasa bertemu dengan Jeni.Dewi dan Sonia, mereka adalah ipar yang sangat baik. Bahkan mereka sudah menyiapkan beberapa printilan bayi yang sangat lucu. Padahal USG untuk mengetahui jenis kelamin bayinya saja belum dilakukan karena Mas Panjul yang sibuk kerja, atau sibuk dengan Jeni. Tapi, aku kini tidak mau mempermasalahkan suamiku yang hati dan pikirannya sudah kembali belok ke masa kelamnya dulu, aku sudah muak dan aku sudah tidak peduli lagi.Aku masih diam dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di depan Mama, bahkan saat Mas Panjul menje

Bab terbaru

  • Pria yang Dicintai Suamiku    rencana ke dua

    Pagi ini aku bangun pukul enam pagi, aku langsung berjalan ke dapur untuk minum karena tenggorokanku terasa kering. Meskipun anakku masih newborn, tapi dia menyusu sangat kuat, membuatku merasa haus pagi-pagi begini. Asisten rumah tangga Mama sudah bangun dan terlihat sedang mengepel. Aku tidak ingin mengganggunya yang sedang bekerja, biarlah apa yang aku butuhkan, aku lakukan sendiri.Setelah minum, aku berjalan hendak kembali ke kamar. Dari dapur aku melewati ruang tamu, dan dari arah sofa terdengar suara orang mendengkur. Aku hafal betul suara itu. Bertahun-tahun hidup bersamanya, aku sudah khatam suara dengkuran Mas Panjul. Ternyata, suamiku tidur di sofa, terlihat hanya berbekal sebuah selimut.Tanpa ingin mengganggu Mas Panjul yang masih tidur nyenyak, aku kembali ke kamar. Memutuskan untuk mandi menggunakan air hangat yang bisa diatur suhunya dari keran. Itu memudahkan aku untuk mandi tanpa harus repot-repot mengambil air panas dari dapur.Tubuhku terasa segar setelah mandi dan

  • Pria yang Dicintai Suamiku    rahasia suamiku

    Setelah beberapa saat, ponsel Mas Panjul berdering. Raut wajah laki-laki itu sedikit pias. Tangannya yang hendak meraih ponsel, diurungkannya. Benda gepeng itu dibiarkan berdering.“Kenapa nggak diangkat, Mas?” tanyaku penuh curiga. “Angkat aja, Panjul. Siapa tahu penting!” ujar Mama kemudian.Benda pipih itu berhenti berdering. Layarnya pun kembali hitam. Terlihat Mas Panjul menghela nafas panjang.“Apa ada yang Mas Panjul sembunyikan dari aku? Apa itu telepon dari Jeni?”“B-bukan, Sayang!”“Lantas siapa? Kenapa raut wajah Mas Panjul terlihat pucat. Kayak abis ngelihat setan!”“Itu cuma perasaan kamu aja, Inah. Mas biasa aja, kok.” Mas Panjul membuang pandangannya ke arah lain, matanya bahkan tidak menatapku saat berbicara dan itu pertanda jika laki-laki itu sedang berbohong.Aku tidak ingin berkata-kata lagi, rasanya laki-laki itu akan terus mengelak meski sepertinya tebakanku benar, enggan juga berdebat di depan Mama. Bisa-bisa Mama akan curiga jika aku dan Mas Panjul sering berte

  • Pria yang Dicintai Suamiku    main petak umpet

    Satu minggu sudah aku berada di rumah sakit, dan sekarang aku diperbolehkan untuk pulang. Teman-teman Mas Panjul dan juga geng arisan Mama berbondong-bondong menjengukku di rumah sakit, bahkan saat aku sudah pulang ke rumah Mama pun, masih ada yang datang untuk sekadar melihat bayi. Tapi, ada satu orang yang tidak akan pernah aku terima kehadirannya di mana pun. Jeni .... makhluk tidak jelas itu aku usir saat dia berani menampakkan dirinya di rumah sakit. Bahkan, saat ini aku sudah di rumah pun, Jeni masih berani untuk datang.Nekat juga dia! Aku harus selalu waspada menghadapi makhluk itu. Entah kenapa, radar curiga masih terus berapi-api di kepalaku. Bahkan, aku tidak mempercayai semua ucapan Mas Panjul. Aku masih harus menuntut penjelasan dari orang tua Jeni. Itu harus, wajib, no debat!Aku begitu beruntung menjadi menantu di rumah ini. Semuanya tampak sempurna, tidak ada yang kurang. Aku memiliki suami yang sayang dan setia, mertua yang maha baik dan ipar yang peduli. Padahal, jik

  • Pria yang Dicintai Suamiku    melahirkan

    Untuk sementara aku dan Mas Panjul tinggal di rumah Mama. Setidaknya sampai aku melahirkan nantinya, Mama ingin menemani aku sampai aku benar-benar pulih dan mampu menjaga cucunya sendiri. Mama bahkan mengirim ART untuk membersihkan rumah yang aku tempati selama aku berada di sini. Yah, sebaik itu memang mertuaku. Bersyukur aku memiliki mertua sebaik ini.Dewi dan Sonia pun berada di sini, rumah besar Mama terasa ramai dan hangat. Mama sama sekali tidak mempermasalahkan rumahnya jadi sedikit berantakan karena ulah anak dan menantunya. Mama pun memperlakukan Dewi sama baiknya saat memperlakukanku.“Aku beruntung banget, Mbak jadi menantu di rumah ini. Padahal dulu aku pernah punya pikiran kalo semua mertua itu jahat dan suka menindas menantunya. Tapi, setelah mengalami sendiri, aku beruntung punya mertua sebaik Mama,” ucap Dewi saat kami duduk berdua menikmati waktu sore. Mama dan Sonia sedang berada di luar waktu itu.“Iya, Wi. Alhamdulillah, Mama baik banget. Kita sebagai menantu har

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 15

    Mama dan Mas Panjul berdiri dekat brankar, tepat di belakang dokter yang duduk sambil mengarahkan alat USG ke perutku. Saat jari dokter menekan tombol yang bisa untuk mendengarkan detak jantung janin, aku menangis. Begitu pun Mas Panjul dan juga Mama, dua orang yang paling aku sayangi itu pun tak kalah terharunya. Bersyukur karena janin yang aku kandung tumbuh dengan sangat baik dan semuanya normal. Meskipun aku sempat merasa stres dan depresi karena sikap Mas Panjul dan juga Jeni, Alhamdulillah anakku baik-baik saja.“Dokter, anak saya itu perempuan atau laki-laki, ya. Dokter belum kasih tau dari tadi,” ucap Mas Panjul yang dibalas tawa oleh dokter perempuan itu.“Oh, iya, ya, Pak. Maaf, Pak. Saya terlalu fokus menjelaskan kondisi calon bayinya. Hummm, ini dedeknya perempuan, Pak. Selamat ya, Pak, Bu. Calon anaknya perempuan.” Dokter itu menunjuk ke arah layar, memberitahu jika gambar seperti itu menandakan jenis kelamin perempuan. Kalau laki-laki, ada monasnya, begitu.Mama dan Mas

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 14

    Kompor aku matikan dengan membiarkan mi masih berada di panci. Tangan Mas Panjul yang melingkar di pinggangku kulepas paksa. Aku membalikkan badan dan menatapnya lekat.“Jawab aku, Mas!”Mas Panjul menatapku tajam, lalu bibirnya itu tertawa terbahak-bahak. Entah pertanyaanku lucunya di mana sampai dia tertawa terpingkal-pingkal begitu.Dia berjalan mendekat, lalu meraih panci isi mi yang sudah matang. Menuangkan isi panci itu ke mangkuk yang sudah ada bumbunya.“Ngobrolnya sambil makan, yuk. Kamu pasti laper!” Mas Panjul menggandeng tanganku sambil menenteng mangkok.Mas Panjul menatapku yang masih makan mi, dia tidak meminta atau merebut makananku seperti tempo hari. Dia membiarkanku makan sampai mi itu habis.“Paspor itu memang milikku, tapi bukan berarti aku akan melakukan hal seperti apa yang kamu pikirkan, Inah. Aku nggak seburuk pikiranmu, aku sudah berusaha mati-matian untuk kembali normal, dan berkat bantuan istriku ini, aku bisa menjadi laki-laki seutuhnya!”“Terus, kenapa M

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 13

    **Pukul lima aku bangun dan salat subuh, lalu aku memutuskan untuk kembali tidur, aku tidak mau bertemu muka dengan Mas Panjul, aku takut jika tidak bisa mengontrol emosi di hadapannya. Terlebih, aku belum meminta penjelasan tentang amplop yang tersembunyi di lemari pakaiannya. Pukul tujuh pagi, aku memutuskan untuk keluar kamar. Biasanya suamiku sudah berangkat ke kantor dan itu artinya aku tidak perlu lagi bertatapan dengan Mas Panjul.Benar saja, lampu ruang tengah dan lampu teras sudah dalam keadaan off, koper milikku pun sudah berada di kamar. Mobil Mas Panjul sudah tidak ada lagi di garasi, sudah bisa dipastikan dia sudah pergi dari rumah.Aku bisa bernapas lega, lalu kakiku melangkah ke dapur untuk membuat sarapan karena perutku sudah mulai keroncongan. Tapi saat diriku sedang berdiri menghadap kompor yang sedang menyala, ada tangan yang melingkar di pinggangku dan membuatku terkejut.“Kok kamu menghindar sih, semalam! Mas tidur sendirian!” serunya. Mas Panjul masih memelukk

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 12

    Beberapa hari menginap di rumah Mama membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak masalahku dengan Mas Panjul. Meskipun kini aku harus sadar dan siap-siap untuk kenyataan pahit jika suatu saat nanti memang benar Mas Panjul kembali menjadi dirinya yang seorang waria dan menikah dengan Jeni. Yah, aku kini tahu, jika selama ini apa yang dia katakan tentang masa lalu Jeni, juga tentang keadaan Jeni semuanya palsu, itu hanya alibi suamiku agar bisa leluasa bertemu dengan Jeni.Dewi dan Sonia, mereka adalah ipar yang sangat baik. Bahkan mereka sudah menyiapkan beberapa printilan bayi yang sangat lucu. Padahal USG untuk mengetahui jenis kelamin bayinya saja belum dilakukan karena Mas Panjul yang sibuk kerja, atau sibuk dengan Jeni. Tapi, aku kini tidak mau mempermasalahkan suamiku yang hati dan pikirannya sudah kembali belok ke masa kelamnya dulu, aku sudah muak dan aku sudah tidak peduli lagi.Aku masih diam dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di depan Mama, bahkan saat Mas Panjul menje

  • Pria yang Dicintai Suamiku    bab 11

    Tanganku mengepal kuat, menahan amarah yang datang tiba-tiba. Jantungku pun berdetak kencang, amarahku naik sampai ubun-ubun. Tapi aku harus bisa menahan ini, aku tidak mau membuat Sonia khawatir, apa lagi jika sampai aku memberitahukan masalah Jeni, malah nanti Sonia ngadu ke Mama. Aku nggak mau bikin Mama khawatir dan masalah ini jadi tambah runyam. Jadi sebisa mungkin, aku yang akan menghandle masalah ini sampai akhir.Aku tidak lagi menimpali ucapan Sonia, ia kini menutup toples kaca itu dan menyudahi ritual ngemilnya. Jus jeruk buatanku pun habis. Dia kini sedang menerima panggilan telepon.“Iya, Mas. Ini aku jalan sekarang.”“Lagi di rumah Mbak Inah, Mas!”“Iya, oke. Aku jalan sekarang. Bye!”Begitu ucapan Sonia. Usai menutup panggilan telepon, Sonia pun pamit pulang. Katanya ada hal urgen dan mau ketemu sama sang suami di kantornya. Aku pun melepas kepergian Sonia, padahal aku berharap dia akan menginap malam ini, atau setidaknya dia akan berada di sini sampai sore dan mau mene

DMCA.com Protection Status