Aku menatap langit-langit kamar, badanku rasanya lelah karena Mas Panjul benar-benar membuatku kewalahan. Aku tak menyangka jika dirinya bisa seganas itu. Mas Panjul masih tidur di sebelahku, terdengar dari suara dengkurannya yang keras. Mataku melirik jam dinding, pukul sebelas siang dan perutku lapar.
Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi badan lalu meraih pakaian yang tergeletak di lantai dan bergegas mengenakannya. Beranjak keluar kamar menuju dapur, memasak sesuatu yang bisa kami makan dan sepertinya Mas Panjul pun akan lapar jika sudah bangun. Rasa pusing yang tadi aku rasakan sedikit hilang dan kini aku berada di dapur, mengisi wadah rice cooker dengan beras lalu menyalakan tombol cook. Aku membuka lemari es dan mengambil beberapa sayuran dan bumbu, juga beberapa butir telur yang nanti akan aku dadar. Saat tubuhku berhadapan dengan kompor dan wajan, sebuah lengan memeluk erat, napasnya terasa hangat di telinga. “Kok udah bangun, sih, Sayang.” Mas Panjul mulai menciumi leher membuatku geli, nyaris saja tanganku menyentuh wajan yang panas. Aku lalu mematikan kompor dan memutar badan karena tangan Mas Panjul mulai meraba dada yang tanpa penghalang. “Aku lagi masak, loh, Mas. Jangan ganggu.” Aku terkejut melihat Mas Panjul yang hanya mengenakan celana boxer tanpa mengenakan pakaian, memamerkan roti sobek di perutnya yang jelas-jelas membuat degup jantungku berdebar kencang. Aku sendiri heran, kami sudah lama menikah, tapi aku selalu dibuat takjub bahkan salah tingkah jika di hadapkan situasi seperti ini. Terlebih tadi kami baru saja melakukan itu. Aih ... aku merasakan wajahku panas. “Aku mau makan kamu lagi aja!” serunya lalu dengan ringan membopong tubuhku dan pergi dari dapur. Tanganku erat melingkar di lehernya, sementara kedua kakiku berada di pinggangnya. Dua tangan Mas Panjul menahan punggungku agar tidak jatuh saat berjalan ke kamar. Pintu tertutup dan dikunci. Kunci itu dilempar entah ke mana, sepertinya jatuh di bawah lemari pakaian. “Mas!” Aku mendelik kesal ke wajahnya. “Biar kamu nggak kabur!” Mas Panjul tersenyum menyeringai dan membuat jantungku seolah-olah mau copot. Menakutkan. “Hari ini kamu aku larang ke mana-mana. Diam di sini dan layani aku!” Mata tajamnya mengerling nakal. Aku direbahkan di kasur dengan posisi terkurung oleh lengannya yang kekar, wajah Mas Panjul semakin mendekat seiring napasnya yang mulai memanas. Sesekali ia menyebut namaku dengan suaranya yang parau. Ah ... Mas. Kamu berhasil membuatku terbang! ** Sejak kejadian itu, Mas Panjul tak lagi membahas soal Jeni atau keinginannya menikahi waria itu. Aku cukup tenang dan hidupku damai seperti sebelumnya. Mama pun bahagia melihat kami yang kembali akur karena aku dan Mas Panjul sering mengunjunginya bersama. Hubungan aku dan Mas Panjul pun membaik, bahkan dalam urusan ranjang pun aku tak segan minta lebih dulu. Biar dapat pahala. Sampai suatu ketika aku merasakan sesuatu yang aneh dengan diriku. Mual, pusing juga malas keluar rumah. “Huek ... huekkk!” Aku bergegas menuju wastafel lalu muntah di sana. Entah apa yang aku muntahkan, tapi rasanya perut ini mual sekali. Mas Panjul yang tadi kulihat sedang mengenakan kemeja kini berada di belakangku, memijat tengkuk seraya mengusap punggung. “Kamu kenapa, Sayang?” “Nggak tau, Mas. Perut aku tiba-tiba mual. Huek!” Setelah menuntaskan muntah, Mas Panjul memapah tubuhku dan duduk di sisi ranjang. “Aku antar ke dokter, nggak jadi ke kantor,” ucapnya sambil mengambil pakaian ganti untukku. “Nggak apa-apa, Mas. Aku tidur bentar juga baikan, kok.” “Apanya yang nggak apa-apa. Kamu itu jarang sakit. Sekalinya sakit ya pasti begini.” Selama menjadi istrinya, aku memang terbilang jarang sakit, mengeluh sakit kepala pun jarang. Mengeluh apa yang dirasa tidak nyaman pun tidak pernah, ini adalah sakitku yang suamiku lihat. Pantas dia sebegitu khawatir. Aku tidak membantah dan menuruti permintaannya. Sementara Mas Panjul menunggu di ruang tamu, aku berganti pakaian yang ia siapkan. ** Aku berbaring di ranjang khusus pasien sementara suamiku duduk di kursi dekat meja dokter. Lalu tak lama muncul dua wanita berseragam serba putih, satunya memeriksa sedangkan satunya lagi mencatat pada papan jalan yang dipegangnya. Sesekali aku melirik Mas Panjul yang kebetulan sedang menatap ke arahku, bibir tipisnya tersenyum. Ada desir hangat di hati. Inikah rasanya diantar suami ke dokter. Kok manis, ya? Setelah melakukan berbagai hal yang diperintahkan oleh dokter, kami diminta menunggu hasil lab. Tidak lama, paling satu jam katanya. Mas Panjul mengajakku ke kantin rumah sakit. Agak berlebihan, memang jika hanya cek hal sepele seperti ini harus ke rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi, ini keinginan Mas Panjul, aku sebagai istri yang baik, ya menurut saja. Mas Panjul menuju loker saji, memesan beberapa makanan untuk kami, sementara aku menunggu di kursi paling belakang sambil mengirimkan pesan pada mama jika kami sekarang berada di rumah sakit. Wanita terbaik yang aku miliki setelah ibu adalah Mama. Beliau adalah mertua terbaik dan tidak ada duanya. Terlihat dari isi chat balasan dari beliau saat mengetahui aku berada di rumah sakit. Ia bersikeras ingin datang dan menemaniku, tapi segera aku larang karena kami pun akan mengunjunginya jika hasil lab sudah keluar. Mama menurut dengan tidak lagi membalas chat. Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Mataku berkeliling, menyapu kantin yang sedikit ramai. Ada beberapa yang duduk sendiri, mungkin mereka juga sedang menunggu kerabat yang sedang dirawat atau memiliki urusan yang sama denganku. Sementara Mas Panjul masih setia antre di depan sana. Lima belas menit kemudian, Mas Panjul kembali dengan membawa satu tray berisi makanan. Dua gelas teh hangat juga dua porsi siomay, kebetulan apa memang dia tahu apa yang sedang aku inginkan? Uuhh, so sweet banget suamiku. Untuk sesaat kami larut dalam diam dan menghabiskan makanan masing-masing, terlebih siomay milikku habis duluan dan minta jatah di piring Mas Panjul. Lelaki itu tentu saja memberikannya dengan senang hati, tanpa sadar, aku telah menghabiskan satu setengah piring siomay. Aku lapar atau emang doyan, sih. Di momen seperti ini, entah kenapa aku malah kepikiran dengan Jeni. Di mana manusia itu sekarang, sedangkan Mas Panjul mulai fokus pada diriku. Fokus mulai hidup dari nol, seperti saat pertama kali kami menikah. Ingin bertanya, tapi aku takut malah dapat jawaban yang tidak diharapkan. Tidak bertanya, malah penasaran. Halah, dasar, aku. Labil! Aku menimang-nimang pertanyaan yang sudah aku siapkan di kepala, sementara Mas Panjul, setelah makan ia malah asyik bermain game di hape. Tanya ... nggak ... tanya ... nggak .... Tanya, aja, deh! Aku menghembuskan nafas panjang, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan lolos dari bibirku. “Mas ....” “Humm ...,” jawabnya tanpa menoleh. Raut mukanya masih serius pada game. “Jeni, ke mana. Kok Mas nggak pernah bahas dia lagi sekarang?” Lelaki berjakun yang kuyakini sudah normal itu menghentikan permainannya, meletakkan ponsel di meja dan menatap lurus padaku. “Jangan rusak momen baik kita dengan bahas orang lain, Sayang.” “Aku bertanya, bukan rusak momen.” Aku cemberut. Pertanyaan sepele itu malah dapat ceramah darinya. “Aku nggak mau jawab.” “Ah, elah. Jadi kamu nggak mau jawab demi melindungi Jeni? Lagi? Kamu lebih mentingin mikirin waria itu daripada aku? Tega kamu, Mas.” Mas Panjul mengusap wajahnya kasar. Ia terlihat frustrasi dengan omelan dariku. Yang aku tidak mengerti adalah kenapa ia terus menghindar jika aku bahas soal Jeni. “Sudah satu jam, nih. Kita ke ruang dokter dulu, yuk. Bahas Jeni di rumah aja. Aku jelasin.” Mas Panjul menarik tanganku lembut. Aku pun manut dan kami berjalan bergandengan masuk ruang dokter. Ada rasa tenang, meski lebih banyak rasa penasaran tentang Jeni. Sejauh mana Mas Panjul mengenal manusia itu, lalu seperti apa kehidupan mereka sebelumnya. Kami masuk ke ruang dokter, yang ternyata lelaki berseragam putih itu sudah menunggu di sana. Aku merasakan debaran jantung yang tidak normal. Debarannya begitu kencang, seperti saat malam-malam kami tanpa memakai pengaman. Eh. Aku dan Mas Panjul duduk berhadapan dengan dokter, lalu setelahnya lelaki itu menyerahkan sebuah amplop berwarna putih. Dengan perasaan campur aduk kek es campur dicampur dengan es dawet kami berdua kompak membuka kertas itu. Positif .... Aku hamil .... “Selamat, ya, Bu Inah. Usia kandungannya sudah lima minggu dan dalam keadaan sehat.” Dokter itu berucap saat amplop itu aku baca. “Mas ....” “Selamat, ya, Sayang ....” Kami berpelukan penuh haru dan air mata juga ingus. Tidak peduli pada tatapan dokter. Pokoknya dunia ini milik kami berdua!Pulang dari dokter, kami bergegas menuju rumah Mama, ingin memberitahukan segera kabar bahagia ini. Harapan Mama untuk bisa menimang cucu akan terwujud dalam waktu dekat.Pukul sebelas siang kami sampai di rumah Mama, beliau tengah merapikan tanaman kesayangannya yang ada di dalam pot yang berjejer di teras saat kami baru tiba. Mama menghentikan aktivitasnya dan bergegas memelukku seperti biasa.“Kok tumbenan, Panjul, kamu nggak kerja?” tanya Mama karena melihat Mas Panjul berkeliaran di hari kerja.“Masuk dulu, yuk, Ma, ada yang pengen kami sampaikan,” ucapku pada Mama. Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. “Ada apa?” tanya Mama terlihat penasaran. Aku dan Mas Panjul saling menatap, bingung harus bagaimana cara menyampaikan kabar gembira ini.“Kalian lagi nggak berantem dan berencana pengen pisah, kan?” ucap Mama asal menebak.“Bukan!” seruku dan Mas Panjul berbarengan.“Ya udah. Lantas kenapa?”“Inah hamil, Ma. Mama sebentar lagi bakal punya cucu,” ucapku lantang.Wajah Mama y
Tok ... tok ... tok ....Ck, siapa sih yang bertamu malam-malam begini. Pake ngetuk pintu segala lagi. Padahal, di sana ada bel yang masih normal yang bisa digunakan. Ganggu acara makan malam romantisku sama Mas Panjul.Mas Panjul bangun dan berjalan ke arah pintu, lantas membukanya. Aku menoleh karena penasaran siapa tamu yang datang malam begini. Pizza di tangan mendadak terjatuh dari genggaman saat mata ini menatap tamu tak diundang itu.Jeni!Aku bangkit dan buru-buru menyusul Mas Panjul.“Ngapain kamu ke sini? Mau ikut makan pizza? Eh, bentar, pizza nya belum aku campur racun. Nanti kamu tunggu dulu di luar, aku kasih racun dulu buat kamu!” seruku kesal. Bisa-bisanya dia datang ke sini sendirian.Wajah Jeni yang cantik terlihat takut mendengar ucapanku barusan, wajahnya menunduk karena takut aku memelototi dirinya. Heran aku tuh, Jeni itu kan laki-laki, masa iya takut sama perempuan kayak aku sih. Lagian, meskipun wajah Jeni cantik, tapi otot lengannya yang terlihat kekar, bisa t
Miss Angelita, adalah ibu dari Jeni. Menurut penjelasan Mas Panjul, Jeni tumbuh di keluarga yang harmonis dan berada. Kekayaannya sungguh di luar dugaan, ayah Jeni adalah seorang pengusaha kondang yang memiliki saham di berbagai daerah, termasuk investor besar di perusahaan Mas Panjul. Sepertinya, jalan untuk menyelamatkan suamiku akan sulit. Tapi, sesulit apa pun itu, aku harus membebaskan Mas Panjul dari jerat orang tua Jeni.Entah kenapa, aku masih bisa percaya seratus persen pada Mas Panjul, meski pun dia sudah berulang kali menjalin hubungan dengan Jeni, aku tetap yakin jika suamiku itu sudah normal. Buktinya, dia sudah berhasil membuat aku hamil. Kalau pun Mas Panjul masih kemayu dan homo, dia tidak mungkin bergairah dengan sentuhanku. Maka dari itu, saat Mas Panjul menjelaskan kebenarannya, aku benar-benar percaya padanya.Pak Dewa dan Miss Angelita ternyata mengekang Mas Panjul, dan memaksanya agar mau menikahi Jeni dan mengancam akan mencabut investasi saham yang sudah ditan
Aku masih duduk termenung, memikirkan cara agar bisa masuk ke rumah mewah milik Miss Angelita. Pasalnya, rumah itu berada di sebuah perumahan elite yang penjagaannya pasti sangat ketat, dan tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Aku memegang kening yang terasa pusing, pusing memikirkan masalah Mas Panjul, juga pusing karena bawaan bayi karena sudah memasuki trimester kedua. Untungnya saja, kehamilan ini tidak terlalu membuatku kepayahan karena ngidam, tapi anak yang ada di dalam perutku bisa diajak bekerja sama. Saat sedang memikirkan cara untuk mencari jalan keluar, bel rumah ditekan dua kali. Batinku bertanya-tanya, siapa tamu yang datang pagi ini. Kalau pun itu Mama, beliau pasti akan mengabari jika akan datang berkunjung.Aku berjalan mendekati pintu, lalu membukanya. Mataku terbelalak saat melihat siapa yang datang. Dia Sonia, adik Mas Panjul. Mas Panjul memiliki dua orang adik, Sonia dan Soni, mereka kembar dan sekarang sudah sama-sama memiliki keluarga masing-masing.“Mba
Tanganku mengepal kuat, menahan amarah yang datang tiba-tiba. Jantungku pun berdetak kencang, amarahku naik sampai ubun-ubun. Tapi aku harus bisa menahan ini, aku tidak mau membuat Sonia khawatir, apa lagi jika sampai aku memberitahukan masalah Jeni, malah nanti Sonia ngadu ke Mama. Aku nggak mau bikin Mama khawatir dan masalah ini jadi tambah runyam. Jadi sebisa mungkin, aku yang akan menghandle masalah ini sampai akhir.Aku tidak lagi menimpali ucapan Sonia, ia kini menutup toples kaca itu dan menyudahi ritual ngemilnya. Jus jeruk buatanku pun habis. Dia kini sedang menerima panggilan telepon.“Iya, Mas. Ini aku jalan sekarang.”“Lagi di rumah Mbak Inah, Mas!”“Iya, oke. Aku jalan sekarang. Bye!”Begitu ucapan Sonia. Usai menutup panggilan telepon, Sonia pun pamit pulang. Katanya ada hal urgen dan mau ketemu sama sang suami di kantornya. Aku pun melepas kepergian Sonia, padahal aku berharap dia akan menginap malam ini, atau setidaknya dia akan berada di sini sampai sore dan mau mene
Beberapa hari menginap di rumah Mama membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak masalahku dengan Mas Panjul. Meskipun kini aku harus sadar dan siap-siap untuk kenyataan pahit jika suatu saat nanti memang benar Mas Panjul kembali menjadi dirinya yang seorang waria dan menikah dengan Jeni. Yah, aku kini tahu, jika selama ini apa yang dia katakan tentang masa lalu Jeni, juga tentang keadaan Jeni semuanya palsu, itu hanya alibi suamiku agar bisa leluasa bertemu dengan Jeni.Dewi dan Sonia, mereka adalah ipar yang sangat baik. Bahkan mereka sudah menyiapkan beberapa printilan bayi yang sangat lucu. Padahal USG untuk mengetahui jenis kelamin bayinya saja belum dilakukan karena Mas Panjul yang sibuk kerja, atau sibuk dengan Jeni. Tapi, aku kini tidak mau mempermasalahkan suamiku yang hati dan pikirannya sudah kembali belok ke masa kelamnya dulu, aku sudah muak dan aku sudah tidak peduli lagi.Aku masih diam dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di depan Mama, bahkan saat Mas Panjul menje
**Pukul lima aku bangun dan salat subuh, lalu aku memutuskan untuk kembali tidur, aku tidak mau bertemu muka dengan Mas Panjul, aku takut jika tidak bisa mengontrol emosi di hadapannya. Terlebih, aku belum meminta penjelasan tentang amplop yang tersembunyi di lemari pakaiannya. Pukul tujuh pagi, aku memutuskan untuk keluar kamar. Biasanya suamiku sudah berangkat ke kantor dan itu artinya aku tidak perlu lagi bertatapan dengan Mas Panjul.Benar saja, lampu ruang tengah dan lampu teras sudah dalam keadaan off, koper milikku pun sudah berada di kamar. Mobil Mas Panjul sudah tidak ada lagi di garasi, sudah bisa dipastikan dia sudah pergi dari rumah.Aku bisa bernapas lega, lalu kakiku melangkah ke dapur untuk membuat sarapan karena perutku sudah mulai keroncongan. Tapi saat diriku sedang berdiri menghadap kompor yang sedang menyala, ada tangan yang melingkar di pinggangku dan membuatku terkejut.“Kok kamu menghindar sih, semalam! Mas tidur sendirian!” serunya. Mas Panjul masih memelukk
Kompor aku matikan dengan membiarkan mi masih berada di panci. Tangan Mas Panjul yang melingkar di pinggangku kulepas paksa. Aku membalikkan badan dan menatapnya lekat.“Jawab aku, Mas!”Mas Panjul menatapku tajam, lalu bibirnya itu tertawa terbahak-bahak. Entah pertanyaanku lucunya di mana sampai dia tertawa terpingkal-pingkal begitu.Dia berjalan mendekat, lalu meraih panci isi mi yang sudah matang. Menuangkan isi panci itu ke mangkuk yang sudah ada bumbunya.“Ngobrolnya sambil makan, yuk. Kamu pasti laper!” Mas Panjul menggandeng tanganku sambil menenteng mangkok.Mas Panjul menatapku yang masih makan mi, dia tidak meminta atau merebut makananku seperti tempo hari. Dia membiarkanku makan sampai mi itu habis.“Paspor itu memang milikku, tapi bukan berarti aku akan melakukan hal seperti apa yang kamu pikirkan, Inah. Aku nggak seburuk pikiranmu, aku sudah berusaha mati-matian untuk kembali normal, dan berkat bantuan istriku ini, aku bisa menjadi laki-laki seutuhnya!”“Terus, kenapa M
Pagi ini aku bangun pukul enam pagi, aku langsung berjalan ke dapur untuk minum karena tenggorokanku terasa kering. Meskipun anakku masih newborn, tapi dia menyusu sangat kuat, membuatku merasa haus pagi-pagi begini. Asisten rumah tangga Mama sudah bangun dan terlihat sedang mengepel. Aku tidak ingin mengganggunya yang sedang bekerja, biarlah apa yang aku butuhkan, aku lakukan sendiri.Setelah minum, aku berjalan hendak kembali ke kamar. Dari dapur aku melewati ruang tamu, dan dari arah sofa terdengar suara orang mendengkur. Aku hafal betul suara itu. Bertahun-tahun hidup bersamanya, aku sudah khatam suara dengkuran Mas Panjul. Ternyata, suamiku tidur di sofa, terlihat hanya berbekal sebuah selimut.Tanpa ingin mengganggu Mas Panjul yang masih tidur nyenyak, aku kembali ke kamar. Memutuskan untuk mandi menggunakan air hangat yang bisa diatur suhunya dari keran. Itu memudahkan aku untuk mandi tanpa harus repot-repot mengambil air panas dari dapur.Tubuhku terasa segar setelah mandi dan
Setelah beberapa saat, ponsel Mas Panjul berdering. Raut wajah laki-laki itu sedikit pias. Tangannya yang hendak meraih ponsel, diurungkannya. Benda gepeng itu dibiarkan berdering.“Kenapa nggak diangkat, Mas?” tanyaku penuh curiga. “Angkat aja, Panjul. Siapa tahu penting!” ujar Mama kemudian.Benda pipih itu berhenti berdering. Layarnya pun kembali hitam. Terlihat Mas Panjul menghela nafas panjang.“Apa ada yang Mas Panjul sembunyikan dari aku? Apa itu telepon dari Jeni?”“B-bukan, Sayang!”“Lantas siapa? Kenapa raut wajah Mas Panjul terlihat pucat. Kayak abis ngelihat setan!”“Itu cuma perasaan kamu aja, Inah. Mas biasa aja, kok.” Mas Panjul membuang pandangannya ke arah lain, matanya bahkan tidak menatapku saat berbicara dan itu pertanda jika laki-laki itu sedang berbohong.Aku tidak ingin berkata-kata lagi, rasanya laki-laki itu akan terus mengelak meski sepertinya tebakanku benar, enggan juga berdebat di depan Mama. Bisa-bisa Mama akan curiga jika aku dan Mas Panjul sering berte
Satu minggu sudah aku berada di rumah sakit, dan sekarang aku diperbolehkan untuk pulang. Teman-teman Mas Panjul dan juga geng arisan Mama berbondong-bondong menjengukku di rumah sakit, bahkan saat aku sudah pulang ke rumah Mama pun, masih ada yang datang untuk sekadar melihat bayi. Tapi, ada satu orang yang tidak akan pernah aku terima kehadirannya di mana pun. Jeni .... makhluk tidak jelas itu aku usir saat dia berani menampakkan dirinya di rumah sakit. Bahkan, saat ini aku sudah di rumah pun, Jeni masih berani untuk datang.Nekat juga dia! Aku harus selalu waspada menghadapi makhluk itu. Entah kenapa, radar curiga masih terus berapi-api di kepalaku. Bahkan, aku tidak mempercayai semua ucapan Mas Panjul. Aku masih harus menuntut penjelasan dari orang tua Jeni. Itu harus, wajib, no debat!Aku begitu beruntung menjadi menantu di rumah ini. Semuanya tampak sempurna, tidak ada yang kurang. Aku memiliki suami yang sayang dan setia, mertua yang maha baik dan ipar yang peduli. Padahal, jik
Untuk sementara aku dan Mas Panjul tinggal di rumah Mama. Setidaknya sampai aku melahirkan nantinya, Mama ingin menemani aku sampai aku benar-benar pulih dan mampu menjaga cucunya sendiri. Mama bahkan mengirim ART untuk membersihkan rumah yang aku tempati selama aku berada di sini. Yah, sebaik itu memang mertuaku. Bersyukur aku memiliki mertua sebaik ini.Dewi dan Sonia pun berada di sini, rumah besar Mama terasa ramai dan hangat. Mama sama sekali tidak mempermasalahkan rumahnya jadi sedikit berantakan karena ulah anak dan menantunya. Mama pun memperlakukan Dewi sama baiknya saat memperlakukanku.“Aku beruntung banget, Mbak jadi menantu di rumah ini. Padahal dulu aku pernah punya pikiran kalo semua mertua itu jahat dan suka menindas menantunya. Tapi, setelah mengalami sendiri, aku beruntung punya mertua sebaik Mama,” ucap Dewi saat kami duduk berdua menikmati waktu sore. Mama dan Sonia sedang berada di luar waktu itu.“Iya, Wi. Alhamdulillah, Mama baik banget. Kita sebagai menantu har
Mama dan Mas Panjul berdiri dekat brankar, tepat di belakang dokter yang duduk sambil mengarahkan alat USG ke perutku. Saat jari dokter menekan tombol yang bisa untuk mendengarkan detak jantung janin, aku menangis. Begitu pun Mas Panjul dan juga Mama, dua orang yang paling aku sayangi itu pun tak kalah terharunya. Bersyukur karena janin yang aku kandung tumbuh dengan sangat baik dan semuanya normal. Meskipun aku sempat merasa stres dan depresi karena sikap Mas Panjul dan juga Jeni, Alhamdulillah anakku baik-baik saja.“Dokter, anak saya itu perempuan atau laki-laki, ya. Dokter belum kasih tau dari tadi,” ucap Mas Panjul yang dibalas tawa oleh dokter perempuan itu.“Oh, iya, ya, Pak. Maaf, Pak. Saya terlalu fokus menjelaskan kondisi calon bayinya. Hummm, ini dedeknya perempuan, Pak. Selamat ya, Pak, Bu. Calon anaknya perempuan.” Dokter itu menunjuk ke arah layar, memberitahu jika gambar seperti itu menandakan jenis kelamin perempuan. Kalau laki-laki, ada monasnya, begitu.Mama dan Mas
Kompor aku matikan dengan membiarkan mi masih berada di panci. Tangan Mas Panjul yang melingkar di pinggangku kulepas paksa. Aku membalikkan badan dan menatapnya lekat.“Jawab aku, Mas!”Mas Panjul menatapku tajam, lalu bibirnya itu tertawa terbahak-bahak. Entah pertanyaanku lucunya di mana sampai dia tertawa terpingkal-pingkal begitu.Dia berjalan mendekat, lalu meraih panci isi mi yang sudah matang. Menuangkan isi panci itu ke mangkuk yang sudah ada bumbunya.“Ngobrolnya sambil makan, yuk. Kamu pasti laper!” Mas Panjul menggandeng tanganku sambil menenteng mangkok.Mas Panjul menatapku yang masih makan mi, dia tidak meminta atau merebut makananku seperti tempo hari. Dia membiarkanku makan sampai mi itu habis.“Paspor itu memang milikku, tapi bukan berarti aku akan melakukan hal seperti apa yang kamu pikirkan, Inah. Aku nggak seburuk pikiranmu, aku sudah berusaha mati-matian untuk kembali normal, dan berkat bantuan istriku ini, aku bisa menjadi laki-laki seutuhnya!”“Terus, kenapa M
**Pukul lima aku bangun dan salat subuh, lalu aku memutuskan untuk kembali tidur, aku tidak mau bertemu muka dengan Mas Panjul, aku takut jika tidak bisa mengontrol emosi di hadapannya. Terlebih, aku belum meminta penjelasan tentang amplop yang tersembunyi di lemari pakaiannya. Pukul tujuh pagi, aku memutuskan untuk keluar kamar. Biasanya suamiku sudah berangkat ke kantor dan itu artinya aku tidak perlu lagi bertatapan dengan Mas Panjul.Benar saja, lampu ruang tengah dan lampu teras sudah dalam keadaan off, koper milikku pun sudah berada di kamar. Mobil Mas Panjul sudah tidak ada lagi di garasi, sudah bisa dipastikan dia sudah pergi dari rumah.Aku bisa bernapas lega, lalu kakiku melangkah ke dapur untuk membuat sarapan karena perutku sudah mulai keroncongan. Tapi saat diriku sedang berdiri menghadap kompor yang sedang menyala, ada tangan yang melingkar di pinggangku dan membuatku terkejut.“Kok kamu menghindar sih, semalam! Mas tidur sendirian!” serunya. Mas Panjul masih memelukk
Beberapa hari menginap di rumah Mama membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak masalahku dengan Mas Panjul. Meskipun kini aku harus sadar dan siap-siap untuk kenyataan pahit jika suatu saat nanti memang benar Mas Panjul kembali menjadi dirinya yang seorang waria dan menikah dengan Jeni. Yah, aku kini tahu, jika selama ini apa yang dia katakan tentang masa lalu Jeni, juga tentang keadaan Jeni semuanya palsu, itu hanya alibi suamiku agar bisa leluasa bertemu dengan Jeni.Dewi dan Sonia, mereka adalah ipar yang sangat baik. Bahkan mereka sudah menyiapkan beberapa printilan bayi yang sangat lucu. Padahal USG untuk mengetahui jenis kelamin bayinya saja belum dilakukan karena Mas Panjul yang sibuk kerja, atau sibuk dengan Jeni. Tapi, aku kini tidak mau mempermasalahkan suamiku yang hati dan pikirannya sudah kembali belok ke masa kelamnya dulu, aku sudah muak dan aku sudah tidak peduli lagi.Aku masih diam dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di depan Mama, bahkan saat Mas Panjul menje
Tanganku mengepal kuat, menahan amarah yang datang tiba-tiba. Jantungku pun berdetak kencang, amarahku naik sampai ubun-ubun. Tapi aku harus bisa menahan ini, aku tidak mau membuat Sonia khawatir, apa lagi jika sampai aku memberitahukan masalah Jeni, malah nanti Sonia ngadu ke Mama. Aku nggak mau bikin Mama khawatir dan masalah ini jadi tambah runyam. Jadi sebisa mungkin, aku yang akan menghandle masalah ini sampai akhir.Aku tidak lagi menimpali ucapan Sonia, ia kini menutup toples kaca itu dan menyudahi ritual ngemilnya. Jus jeruk buatanku pun habis. Dia kini sedang menerima panggilan telepon.“Iya, Mas. Ini aku jalan sekarang.”“Lagi di rumah Mbak Inah, Mas!”“Iya, oke. Aku jalan sekarang. Bye!”Begitu ucapan Sonia. Usai menutup panggilan telepon, Sonia pun pamit pulang. Katanya ada hal urgen dan mau ketemu sama sang suami di kantornya. Aku pun melepas kepergian Sonia, padahal aku berharap dia akan menginap malam ini, atau setidaknya dia akan berada di sini sampai sore dan mau mene