Aku menatap langit-langit kamar, badanku rasanya lelah karena Mas Panjul benar-benar membuatku kewalahan. Aku tak menyangka jika dirinya bisa seganas itu. Mas Panjul masih tidur di sebelahku, terdengar dari suara dengkurannya yang keras. Mataku melirik jam dinding, pukul sebelas siang dan perutku lapar.
Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi badan lalu meraih pakaian yang tergeletak di lantai dan bergegas mengenakannya. Beranjak keluar kamar menuju dapur, memasak sesuatu yang bisa kami makan dan sepertinya Mas Panjul pun akan lapar jika sudah bangun. Rasa pusing yang tadi aku rasakan sedikit hilang dan kini aku berada di dapur, mengisi wadah rice cooker dengan beras lalu menyalakan tombol cook. Aku membuka lemari es dan mengambil beberapa sayuran dan bumbu, juga beberapa butir telur yang nanti akan aku dadar. Saat tubuhku berhadapan dengan kompor dan wajan, sebuah lengan memeluk erat, napasnya terasa hangat di telinga. “Kok udah bangun, sih, Sayang.” Mas Panjul mulai menciumi leher membuatku geli, nyaris saja tanganku menyentuh wajan yang panas. Aku lalu mematikan kompor dan memutar badan karena tangan Mas Panjul mulai meraba dada yang tanpa penghalang. “Aku lagi masak, loh, Mas. Jangan ganggu.” Aku terkejut melihat Mas Panjul yang hanya mengenakan celana boxer tanpa mengenakan pakaian, memamerkan roti sobek di perutnya yang jelas-jelas membuat degup jantungku berdebar kencang. Aku sendiri heran, kami sudah lama menikah, tapi aku selalu dibuat takjub bahkan salah tingkah jika di hadapkan situasi seperti ini. Terlebih tadi kami baru saja melakukan itu. Aih ... aku merasakan wajahku panas. “Aku mau makan kamu lagi aja!” serunya lalu dengan ringan membopong tubuhku dan pergi dari dapur. Tanganku erat melingkar di lehernya, sementara kedua kakiku berada di pinggangnya. Dua tangan Mas Panjul menahan punggungku agar tidak jatuh saat berjalan ke kamar. Pintu tertutup dan dikunci. Kunci itu dilempar entah ke mana, sepertinya jatuh di bawah lemari pakaian. “Mas!” Aku mendelik kesal ke wajahnya. “Biar kamu nggak kabur!” Mas Panjul tersenyum menyeringai dan membuat jantungku seolah-olah mau copot. Menakutkan. “Hari ini kamu aku larang ke mana-mana. Diam di sini dan layani aku!” Mata tajamnya mengerling nakal. Aku direbahkan di kasur dengan posisi terkurung oleh lengannya yang kekar, wajah Mas Panjul semakin mendekat seiring napasnya yang mulai memanas. Sesekali ia menyebut namaku dengan suaranya yang parau. Ah ... Mas. Kamu berhasil membuatku terbang! ** Sejak kejadian itu, Mas Panjul tak lagi membahas soal Jeni atau keinginannya menikahi waria itu. Aku cukup tenang dan hidupku damai seperti sebelumnya. Mama pun bahagia melihat kami yang kembali akur karena aku dan Mas Panjul sering mengunjunginya bersama. Hubungan aku dan Mas Panjul pun membaik, bahkan dalam urusan ranjang pun aku tak segan minta lebih dulu. Biar dapat pahala. Sampai suatu ketika aku merasakan sesuatu yang aneh dengan diriku. Mual, pusing juga malas keluar rumah. “Huek ... huekkk!” Aku bergegas menuju wastafel lalu muntah di sana. Entah apa yang aku muntahkan, tapi rasanya perut ini mual sekali. Mas Panjul yang tadi kulihat sedang mengenakan kemeja kini berada di belakangku, memijat tengkuk seraya mengusap punggung. “Kamu kenapa, Sayang?” “Nggak tau, Mas. Perut aku tiba-tiba mual. Huek!” Setelah menuntaskan muntah, Mas Panjul memapah tubuhku dan duduk di sisi ranjang. “Aku antar ke dokter, nggak jadi ke kantor,” ucapnya sambil mengambil pakaian ganti untukku. “Nggak apa-apa, Mas. Aku tidur bentar juga baikan, kok.” “Apanya yang nggak apa-apa. Kamu itu jarang sakit. Sekalinya sakit ya pasti begini.” Selama menjadi istrinya, aku memang terbilang jarang sakit, mengeluh sakit kepala pun jarang. Mengeluh apa yang dirasa tidak nyaman pun tidak pernah, ini adalah sakitku yang suamiku lihat. Pantas dia sebegitu khawatir. Aku tidak membantah dan menuruti permintaannya. Sementara Mas Panjul menunggu di ruang tamu, aku berganti pakaian yang ia siapkan. ** Aku berbaring di ranjang khusus pasien sementara suamiku duduk di kursi dekat meja dokter. Lalu tak lama muncul dua wanita berseragam serba putih, satunya memeriksa sedangkan satunya lagi mencatat pada papan jalan yang dipegangnya. Sesekali aku melirik Mas Panjul yang kebetulan sedang menatap ke arahku, bibir tipisnya tersenyum. Ada desir hangat di hati. Inikah rasanya diantar suami ke dokter. Kok manis, ya? Setelah melakukan berbagai hal yang diperintahkan oleh dokter, kami diminta menunggu hasil lab. Tidak lama, paling satu jam katanya. Mas Panjul mengajakku ke kantin rumah sakit. Agak berlebihan, memang jika hanya cek hal sepele seperti ini harus ke rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi, ini keinginan Mas Panjul, aku sebagai istri yang baik, ya menurut saja. Mas Panjul menuju loker saji, memesan beberapa makanan untuk kami, sementara aku menunggu di kursi paling belakang sambil mengirimkan pesan pada mama jika kami sekarang berada di rumah sakit. Wanita terbaik yang aku miliki setelah ibu adalah Mama. Beliau adalah mertua terbaik dan tidak ada duanya. Terlihat dari isi chat balasan dari beliau saat mengetahui aku berada di rumah sakit. Ia bersikeras ingin datang dan menemaniku, tapi segera aku larang karena kami pun akan mengunjunginya jika hasil lab sudah keluar. Mama menurut dengan tidak lagi membalas chat. Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Mataku berkeliling, menyapu kantin yang sedikit ramai. Ada beberapa yang duduk sendiri, mungkin mereka juga sedang menunggu kerabat yang sedang dirawat atau memiliki urusan yang sama denganku. Sementara Mas Panjul masih setia antre di depan sana. Lima belas menit kemudian, Mas Panjul kembali dengan membawa satu tray berisi makanan. Dua gelas teh hangat juga dua porsi siomay, kebetulan apa memang dia tahu apa yang sedang aku inginkan? Uuhh, so sweet banget suamiku. Untuk sesaat kami larut dalam diam dan menghabiskan makanan masing-masing, terlebih siomay milikku habis duluan dan minta jatah di piring Mas Panjul. Lelaki itu tentu saja memberikannya dengan senang hati, tanpa sadar, aku telah menghabiskan satu setengah piring siomay. Aku lapar atau emang doyan, sih. Di momen seperti ini, entah kenapa aku malah kepikiran dengan Jeni. Di mana manusia itu sekarang, sedangkan Mas Panjul mulai fokus pada diriku. Fokus mulai hidup dari nol, seperti saat pertama kali kami menikah. Ingin bertanya, tapi aku takut malah dapat jawaban yang tidak diharapkan. Tidak bertanya, malah penasaran. Halah, dasar, aku. Labil! Aku menimang-nimang pertanyaan yang sudah aku siapkan di kepala, sementara Mas Panjul, setelah makan ia malah asyik bermain game di hape. Tanya ... nggak ... tanya ... nggak .... Tanya, aja, deh! Aku menghembuskan nafas panjang, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan lolos dari bibirku. “Mas ....” “Humm ...,” jawabnya tanpa menoleh. Raut mukanya masih serius pada game. “Jeni, ke mana. Kok Mas nggak pernah bahas dia lagi sekarang?” Lelaki berjakun yang kuyakini sudah normal itu menghentikan permainannya, meletakkan ponsel di meja dan menatap lurus padaku. “Jangan rusak momen baik kita dengan bahas orang lain, Sayang.” “Aku bertanya, bukan rusak momen.” Aku cemberut. Pertanyaan sepele itu malah dapat ceramah darinya. “Aku nggak mau jawab.” “Ah, elah. Jadi kamu nggak mau jawab demi melindungi Jeni? Lagi? Kamu lebih mentingin mikirin waria itu daripada aku? Tega kamu, Mas.” Mas Panjul mengusap wajahnya kasar. Ia terlihat frustrasi dengan omelan dariku. Yang aku tidak mengerti adalah kenapa ia terus menghindar jika aku bahas soal Jeni. “Sudah satu jam, nih. Kita ke ruang dokter dulu, yuk. Bahas Jeni di rumah aja. Aku jelasin.” Mas Panjul menarik tanganku lembut. Aku pun manut dan kami berjalan bergandengan masuk ruang dokter. Ada rasa tenang, meski lebih banyak rasa penasaran tentang Jeni. Sejauh mana Mas Panjul mengenal manusia itu, lalu seperti apa kehidupan mereka sebelumnya. Kami masuk ke ruang dokter, yang ternyata lelaki berseragam putih itu sudah menunggu di sana. Aku merasakan debaran jantung yang tidak normal. Debarannya begitu kencang, seperti saat malam-malam kami tanpa memakai pengaman. Eh. Aku dan Mas Panjul duduk berhadapan dengan dokter, lalu setelahnya lelaki itu menyerahkan sebuah amplop berwarna putih. Dengan perasaan campur aduk kek es campur dicampur dengan es dawet kami berdua kompak membuka kertas itu. Positif .... Aku hamil .... “Selamat, ya, Bu Inah. Usia kandungannya sudah lima minggu dan dalam keadaan sehat.” Dokter itu berucap saat amplop itu aku baca. “Mas ....” “Selamat, ya, Sayang ....” Kami berpelukan penuh haru dan air mata juga ingus. Tidak peduli pada tatapan dokter. Pokoknya dunia ini milik kami berdua!Pulang dari dokter, kami bergegas menuju rumah Mama, ingin memberitahukan segera kabar bahagia ini. Harapan Mama untuk bisa menimang cucu akan terwujud dalam waktu dekat.Pukul sebelas siang kami sampai di rumah Mama, beliau tengah merapikan tanaman kesayangannya yang ada di dalam pot yang berjejer di teras saat kami baru tiba. Mama menghentikan aktivitasnya dan bergegas memelukku seperti biasa.“Kok tumbenan, Panjul, kamu nggak kerja?” tanya Mama karena melihat Mas Panjul berkeliaran di hari kerja.“Masuk dulu, yuk, Ma, ada yang pengen kami sampaikan,” ucapku pada Mama. Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. “Ada apa?” tanya Mama terlihat penasaran. Aku dan Mas Panjul saling menatap, bingung harus bagaimana cara menyampaikan kabar gembira ini.“Kalian lagi nggak berantem dan berencana pengen pisah, kan?” ucap Mama asal menebak.“Bukan!” seruku dan Mas Panjul berbarengan.“Ya udah. Lantas kenapa?”“Inah hamil, Ma. Mama sebentar lagi bakal punya cucu,” ucapku lantang.Wajah Mama y
Tok ... tok ... tok ....Ck, siapa sih yang bertamu malam-malam begini. Pake ngetuk pintu segala lagi. Padahal, di sana ada bel yang masih normal yang bisa digunakan. Ganggu acara makan malam romantisku sama Mas Panjul.Mas Panjul bangun dan berjalan ke arah pintu, lantas membukanya. Aku menoleh karena penasaran siapa tamu yang datang malam begini. Pizza di tangan mendadak terjatuh dari genggaman saat mata ini menatap tamu tak diundang itu.Jeni!Aku bangkit dan buru-buru menyusul Mas Panjul.“Ngapain kamu ke sini? Mau ikut makan pizza? Eh, bentar, pizza nya belum aku campur racun. Nanti kamu tunggu dulu di luar, aku kasih racun dulu buat kamu!” seruku kesal. Bisa-bisanya dia datang ke sini sendirian.Wajah Jeni yang cantik terlihat takut mendengar ucapanku barusan, wajahnya menunduk karena takut aku memelototi dirinya. Heran aku tuh, Jeni itu kan laki-laki, masa iya takut sama perempuan kayak aku sih. Lagian, meskipun wajah Jeni cantik, tapi otot lengannya yang terlihat kekar, bisa t
Miss Angelita, adalah ibu dari Jeni. Menurut penjelasan Mas Panjul, Jeni tumbuh di keluarga yang harmonis dan berada. Kekayaannya sungguh di luar dugaan, ayah Jeni adalah seorang pengusaha kondang yang memiliki saham di berbagai daerah, termasuk investor besar di perusahaan Mas Panjul. Sepertinya, jalan untuk menyelamatkan suamiku akan sulit. Tapi, sesulit apa pun itu, aku harus membebaskan Mas Panjul dari jerat orang tua Jeni.Entah kenapa, aku masih bisa percaya seratus persen pada Mas Panjul, meski pun dia sudah berulang kali menjalin hubungan dengan Jeni, aku tetap yakin jika suamiku itu sudah normal. Buktinya, dia sudah berhasil membuat aku hamil. Kalau pun Mas Panjul masih kemayu dan homo, dia tidak mungkin bergairah dengan sentuhanku. Maka dari itu, saat Mas Panjul menjelaskan kebenarannya, aku benar-benar percaya padanya.Pak Dewa dan Miss Angelita ternyata mengekang Mas Panjul, dan memaksanya agar mau menikahi Jeni dan mengancam akan mencabut investasi saham yang sudah ditan
Aku masih duduk termenung, memikirkan cara agar bisa masuk ke rumah mewah milik Miss Angelita. Pasalnya, rumah itu berada di sebuah perumahan elite yang penjagaannya pasti sangat ketat, dan tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Aku memegang kening yang terasa pusing, pusing memikirkan masalah Mas Panjul, juga pusing karena bawaan bayi karena sudah memasuki trimester kedua. Untungnya saja, kehamilan ini tidak terlalu membuatku kepayahan karena ngidam, tapi anak yang ada di dalam perutku bisa diajak bekerja sama. Saat sedang memikirkan cara untuk mencari jalan keluar, bel rumah ditekan dua kali. Batinku bertanya-tanya, siapa tamu yang datang pagi ini. Kalau pun itu Mama, beliau pasti akan mengabari jika akan datang berkunjung.Aku berjalan mendekati pintu, lalu membukanya. Mataku terbelalak saat melihat siapa yang datang. Dia Sonia, adik Mas Panjul. Mas Panjul memiliki dua orang adik, Sonia dan Soni, mereka kembar dan sekarang sudah sama-sama memiliki keluarga masing-masing.“Mba
Tanganku mengepal kuat, menahan amarah yang datang tiba-tiba. Jantungku pun berdetak kencang, amarahku naik sampai ubun-ubun. Tapi aku harus bisa menahan ini, aku tidak mau membuat Sonia khawatir, apa lagi jika sampai aku memberitahukan masalah Jeni, malah nanti Sonia ngadu ke Mama. Aku nggak mau bikin Mama khawatir dan masalah ini jadi tambah runyam. Jadi sebisa mungkin, aku yang akan menghandle masalah ini sampai akhir.Aku tidak lagi menimpali ucapan Sonia, ia kini menutup toples kaca itu dan menyudahi ritual ngemilnya. Jus jeruk buatanku pun habis. Dia kini sedang menerima panggilan telepon.“Iya, Mas. Ini aku jalan sekarang.”“Lagi di rumah Mbak Inah, Mas!”“Iya, oke. Aku jalan sekarang. Bye!”Begitu ucapan Sonia. Usai menutup panggilan telepon, Sonia pun pamit pulang. Katanya ada hal urgen dan mau ketemu sama sang suami di kantornya. Aku pun melepas kepergian Sonia, padahal aku berharap dia akan menginap malam ini, atau setidaknya dia akan berada di sini sampai sore dan mau mene
Beberapa hari menginap di rumah Mama membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak masalahku dengan Mas Panjul. Meskipun kini aku harus sadar dan siap-siap untuk kenyataan pahit jika suatu saat nanti memang benar Mas Panjul kembali menjadi dirinya yang seorang waria dan menikah dengan Jeni. Yah, aku kini tahu, jika selama ini apa yang dia katakan tentang masa lalu Jeni, juga tentang keadaan Jeni semuanya palsu, itu hanya alibi suamiku agar bisa leluasa bertemu dengan Jeni.Dewi dan Sonia, mereka adalah ipar yang sangat baik. Bahkan mereka sudah menyiapkan beberapa printilan bayi yang sangat lucu. Padahal USG untuk mengetahui jenis kelamin bayinya saja belum dilakukan karena Mas Panjul yang sibuk kerja, atau sibuk dengan Jeni. Tapi, aku kini tidak mau mempermasalahkan suamiku yang hati dan pikirannya sudah kembali belok ke masa kelamnya dulu, aku sudah muak dan aku sudah tidak peduli lagi.Aku masih diam dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa di depan Mama, bahkan saat Mas Panjul menje
**Pukul lima aku bangun dan salat subuh, lalu aku memutuskan untuk kembali tidur, aku tidak mau bertemu muka dengan Mas Panjul, aku takut jika tidak bisa mengontrol emosi di hadapannya. Terlebih, aku belum meminta penjelasan tentang amplop yang tersembunyi di lemari pakaiannya. Pukul tujuh pagi, aku memutuskan untuk keluar kamar. Biasanya suamiku sudah berangkat ke kantor dan itu artinya aku tidak perlu lagi bertatapan dengan Mas Panjul.Benar saja, lampu ruang tengah dan lampu teras sudah dalam keadaan off, koper milikku pun sudah berada di kamar. Mobil Mas Panjul sudah tidak ada lagi di garasi, sudah bisa dipastikan dia sudah pergi dari rumah.Aku bisa bernapas lega, lalu kakiku melangkah ke dapur untuk membuat sarapan karena perutku sudah mulai keroncongan. Tapi saat diriku sedang berdiri menghadap kompor yang sedang menyala, ada tangan yang melingkar di pinggangku dan membuatku terkejut.“Kok kamu menghindar sih, semalam! Mas tidur sendirian!” serunya. Mas Panjul masih memelukk
Kompor aku matikan dengan membiarkan mi masih berada di panci. Tangan Mas Panjul yang melingkar di pinggangku kulepas paksa. Aku membalikkan badan dan menatapnya lekat.“Jawab aku, Mas!”Mas Panjul menatapku tajam, lalu bibirnya itu tertawa terbahak-bahak. Entah pertanyaanku lucunya di mana sampai dia tertawa terpingkal-pingkal begitu.Dia berjalan mendekat, lalu meraih panci isi mi yang sudah matang. Menuangkan isi panci itu ke mangkuk yang sudah ada bumbunya.“Ngobrolnya sambil makan, yuk. Kamu pasti laper!” Mas Panjul menggandeng tanganku sambil menenteng mangkok.Mas Panjul menatapku yang masih makan mi, dia tidak meminta atau merebut makananku seperti tempo hari. Dia membiarkanku makan sampai mi itu habis.“Paspor itu memang milikku, tapi bukan berarti aku akan melakukan hal seperti apa yang kamu pikirkan, Inah. Aku nggak seburuk pikiranmu, aku sudah berusaha mati-matian untuk kembali normal, dan berkat bantuan istriku ini, aku bisa menjadi laki-laki seutuhnya!”“Terus, kenapa M
Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu
Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali
Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu
Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah
Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia
Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan
Sebagai ucapan terima kasih, Bu Angelita dan Pak Dewa membelikan banyak buah tangan saat kami pulang menuju Jakarta. Bahkan Pak Dewa membayarkan vila yang disewa Mama. Ternyata, tempat itu milik Pak Dewa sendiri, beliau bahkan memberikan lima lembar voucher gratis menginap selama satu minggu, unlimited. Artinya bisa digunakan kapan saja jika aku ingin menginap di sana lagi. Awalnya aku keberatan dengan semua pemberian itu, karena aku belum melakukan apa-apa untuk mereka, tapi sepasang suami-istri itu memaksaku agar bersedia menerima, jadi akhirnya lima voucher itu aku kantongi. Setelah sampai di rumah Mama bertanya tentang obrolanku dengan Bu Angelita. “Mereka ingin membawa pulang Jeni, Ma.”“Loh, bukannya mereka merestui hubungan Panjul dan Jeni?”Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Ma. Justru mereka ingin membawa Jeni pulang agar bisa ditangani oleh dokter. Orang tua mana yang hatinya tidak hancur ketika anak laki-lakinya justru berperangai seperti perempuan. Bu Angelita sedih, kare
Sesuai rencana Mama, hari ini kami sudah bersiap-siap menuju puncak. Sengaja mengambil jalan pagi hari supaya sampai di vila sore harinya dan bisa menikmati view sunset dari puncak gunung. Mama menyewa vila tipe presiden swite, itu setara dengan kamar hotel bintang lima di kota. Kamarnya luas, dengan pemandangan langsung pada hamparan kebun teh. Aroma daun teh yang masih segar memasuki rongga hidung saat jendela kubuka. Mama langsung menghambur ke paviliun, ia memejamkan matanya, sambil sesekali menarik nafas panjang-panjang.Mama mengajak bibi liburan bersama kami, dia sedang menidurkan Ameena di kasur. Aku berdiri di sebelah kanan Mama, mengikut jejaknya memejamkan mata sambil menghirup udara segar puncak.“Rasanya tenang ya, Inah!” seru Mama. Aku membuka mata, rupanya Mama berbicara masih dengan posisi memejamkan mata. Aku kembali menutup mata, sambil mengatakan ya.“Masih banyak hal yang perlu kita syukuri. Jangan pernah merasa sedih saat Allah mengambil satu nikmat dari kehidupan
Sudah satu minggu aku didera sakit kepala hebat. Bagaimana tidak, aku yang harus terbangun tiap malam untuk menyusui Ameena, ditambah masalah dengan Mas Panjul yang tidak mau melepaskan Jeni, membuatku nyaris tidak bisa memejamkan mata barang sebentar saja. Meski begitu, aku beruntung memiliki mertua sebaik Mama, beliau tidak merasa keberatan jika aku meminta bantuannya menemani Ameena. Bahkan, sering tanpa aku minta, Mama sudah berada di kamarku dan tidur bersama kami.Sementara Mas Panjul, sejak kejadian itu dirinya diusir oleh Mama. Laki-laki itu bahkan dilarang datang ke rumah ini meski hanya untuk sekadar berkunjung melihat Ameena. Sakit hati seorang ibu terhadap anak yang disayanginya membuat Mama terkadang sering melamun, sungguh aku tidak tega melihatnya sering bengong. Wanita sebaik Mama, kenapa harus mendapatkan cobaan seberat ini.“Bengong terus, Sayang. Masih mikirin Panjul?” tanya mama saat melihatku duduk sendirian di taman belakang rumah. Aku biasanya duduk berlama-lama