bab 2

Pukul satu siang, aku sudah berpakaian rapi juga dandan secantik mungkin. Jangan sampai aku kalah cantik dengan wanita yang akan datang bersama Mas Panjul nantinya. Tak lupa parfum mahal aku semprotkan ke leher juga pergelangan tangan. Wangi, dan ini adalah parfum kesukaan Mas Panjul.

Jam satu lewat sepuluh menit, terdengar suara bel ditekan, aku bergegas keluar kamar. Dengan debar jantung yang tidak beraturan aku membuka pintu. Jujur saja, rasanya tidak karuan saat harus menghadapi situasi seperti ini. Suamiku pulang dengan membawa selingkuhannya, calon maduku.

Pintu sebelah kiri terbuka, tampak wajah tampan Mas Panjul tersenyum manis ke arahku. Namun pandanganku beralih pada sosok di sebelahnya yang mengenakan pakaian kurang bahan dengan rok di atas lutut, juga bagian dada yang sangat terbuka sehingga menyembulkan isinya.

Aku mengamati saksama wanita yang berdiri di sebelah suamiku, rasanya pernah bertemu. Sosok ini tidak asing, namun di mana aku pernah melihatnya.

Lamunanku tersadar saat Mas Panjul menyentuh tanganku, ia lantas menggandeng wanita itu masuk ke dalam rumah melewatiku. Kesal, pintu aku banting keras.

Keduanya lantas duduk bersisian, sedangkan aku duduk di hadapan mereka. Layaknya seorang adik yang akan memberikan restu pada kakaknya yang akan menikah, namun sayangnya lelaki itu adalah suamiku yang meminta izin untuk menikah lagi.

“Inah, kenalkan, ini Jeni!” seru Mas Panjul memperkenalkan tamunya. Wanita itu tersenyum ramah, namun aku sudah terlanjur jijik pada kedua manusia ini. Terlebih pada Mas Panjul, selama ini cintanya palsu!

Aku tersenyum sinis, lalu berkata. “Oh, iya. Sampai lupa. Mau minum apa. Teh manis, susu hangat, atau kopi sianida?” tawarku pada Jeni, sontak wajahnya berubah takut. Ia langsung menggamit lengan suamiku dengan manja. Dasar racun!

“Inah, jangan nakutin Jeni gitu, dong. Bagaimana pun, dia ini calon istriku!” seru Mas Panjul kalem. 

Oh, sumpah demi apa dia mengatakan itu demi membela wanita lain. Kalau tidak ingat mamahnya yang memohon padaku untuk menikah dengannya dulu, sudah aku tinggalkan dia.

“Oh, sorry!” Aku berdiri lantas ke dapur membuatkan minum untuk mereka.

Tiga gelas orange juice siap, namun otakku teringat pada sebuah kejadian saat kami di pasar. Saat itu kami tengah berbelanja di pasar. Saat jalan pulang, aku melihat seorang banci sedang dibully beberapa preman. Mas Panjul turun dari motor dan langsung menghajar preman-preman itu. Namun, bagaimana mungkin itu Jeni. Jika pun yang duduk bersama Mas Panjul itu adalah Jeni, bagaimana mungkin ia berubah drastis begitu. Baiklah, aku harus mencari semua kebenarannya. Bagaimana pun, aku harus merebut kembali cinta dan perhatian suamiku. Jangan sampai kalah sama wanita jadi-jadian itu!

Aku membawa minuman untuk mereka, di sana tampak Jeni dan Mas Panjul tengah berbicara mesra. Panas guys, hareudang melihat mereka intim begitu. Mas Panjul tipe orang yang tidak enakan, ia pasti akan mengikuti semua keinginan orang yang disayanginya.

Brakk ... nampan kubanting di meja, membuat minuman di dalam gelas tumpah sebagian. Tampak Jeni terkejut dan sedikit beringsut dari sisi suamiku.

“Di sini masih ada orang, ya. Harap jaga sopan santun!” seruku tanda tidak suka. Jeni menundukkan wajahnya, malu atau ... entahlah.

“Jeni, minum dulu.” Mas Panjul mengambil minuman untuk Jeni. Mesra sekali keduanya. 

“Ini nggak campur sianida 'kan, Mbak Inah?” tanya Jeni. 

Ish, ini cewek. Sok manis banget. Kalau pun itu orange juice aku kasih sianida, bakal viral ntar di jagad maya.

“Kamu tenang saja, Jen. Untuk hari ini aku buatkan minuman aman, namun setelahnya, aku nggak jamin kamu bakal selamat,” ucapku mengancamnya. 

Bahu Jeni yang terbuka terlihat bergidik saat mendengar ucapanku. Bagaimana pun, aku tidak akan membiarkan dia memiliki Mas Panjul seutuhnya. Dia tetap suamiku, dan tidak akan pernah aku bagi dengan siapa pun.

“Saya pamit dulu, Mbak. Lain waktu saya akan mampir lagi.” Jeni berdiri dan berlari menuju pintu, Mas Panjul ikut berdiri hendak mengejarnya, namun tangannya berhasil aku cegah. Persis seperti adegan di sinetron ikan berenang. Namun di dunia nyata, istri sah yang akan menang, rumput liar akan aku pangkas sampai ke akarnya.

Punggung Jeni hilang seiring pintu yang tertutup rapat. Mas Panjul menghempas tanganku kasar. Baru kali ini dia kasar padaku dan jujur ini membuatku shock. Wanita macam apa sih dia bisa merubah suamiku menjadi orang lain.

“Inah, lain kali jangan kasar begitu pada Jeni!” seru Mas Panjul. Tubuhnya kembali duduk, dengan kepala bersandar di sofa. Matanya terpejam, entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku atau Jeni.

“Mas, dulu kamu janji bakal setia sama aku. Tapi kenapa sekarang lain. Apa kamu udah nggak cinta sama aku?” Aku berusaha menangis. Tapi air mata ini nggak mau keluar. Sial.

“Aku cinta sama kamu, Inah. Tapi aku juga nggak mau kehilangan Jeni.”

“Kamu egois, Mas. Pokoknya aku nggak mau tahu, kalo kamu masih berhubungan sama dia. Aku nggak mau tidur sama kamu!” ancamku.

“Kok gitu!” serunya tidak terima. Mas Panjul menegakkan punggungnya, menatapku dalam.

“Kalo Mas Panjul masih berhubungan sama Jeni. Aku aduin sama Mama nanti!” ancamku lagi. 

“Jangan, Inah. Aku mohon, Mama jangan sampai tahu ini semua. Nanti Mama bisa marahin aku!” serunya lagi.

Yes, aku berhasil mengancamnya. Yang aku tahu selama menjadi istrinya, Mas Panjul tipe penurut. Ia akan menuruti semua keinginan sang Mama. Apa pun itu. Dan beruntungnya aku karena Mama mertua menyayangiku, ia pun percaya penuh pada semua ucapanku.

“Ingat ucapanku baik-baik, Mas. Sekali lagi aku melihat kalian bersama, aku nggak akan segan-segan lapor ke Mama!” Aku bangkit, meninggalkan Mas Panjul yang masih termenung. Hahaha, aku menang kali ini!

Malam ini, aku masih tidur di kamar tamu dan membiarkan Mas Panjul tidur sendiri di kamar utama. Biarkan dia merenungi semua perbuatannya. Aku hanya ingin dia kembali seperti dulu, bahagia berdua bersamaku, meski aku belum memberikan keturunan padanya, aku hanya berharap kita akan selalu bersama.

**

Pagi ini, aku membuatkan sarapan kesukaannya. Makan berdua yang dingin. Aku seperti melihat sifat lain suamiku. Dulu jika ia marah akan cepat membaik, namun kali ini lain.

“Pulang kerja, nanti kamu siap-siap, ya.”

Aku mendongak, menatap Mas Panjul yang masih asyik melahap sarapannya.

“Ke mana, Mas?”

“Ke rumah Mama. Katanya kangen sama kamu.” Wajahnya menoleh sekilas, senyum terukir di sana. Yes, ini Mas Panjul suamiku. Aku masih ada kesempatan mengembalikan keharmonisan rumah tangga kami.

“Baik, Mas. Nanti aku akan buatkan kue buat Mama. Mama pasti suka!” seruku bersemangat. Mas Panjul mengangguk, lalu menghabiskan sarapannya.

Seperti biasa, ia tidak akan lupa mencium keningku saat hendak berangkat ke kantor. Itu adalah bukti jika ia masih menyayangiku, dan yang harus aku lakukan adalah menyingkirkan kutu gatal itu dari sisi suamiku.

Aku membersihkan rumah dengan cepat, lalu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue. Aku akan memberikan kejutan di kantor nanti sebelum Mas Panjul pulang. Jadi aku yang akan mendatanginya ke sana. Membayangkannya saja sudah membuat aku senang.

Mama mertua menyukai bolu pisang buatanku. Ia bahkan memintaku untuk membuka kedua kue saja, namun aku menolaknya dengan alasan takut melalaikan kewajiban sebagai istri dan tidak bisa melayani putranya dengan baik. Sejak saat itu beliau tidak lagi memaksaku membuka toko kue, namun sebagai gantinya ia memintaku membawakannya jika datang berkunjung.

Tiga jam berkutat di dapur akhirnya dua loyang bolu pisang siap. Aku lantas menyimpannya di wadah khusus. Setelah membereskan perkakas kotor, aku lantas mandi lagi dan mengganti pakaian lalu bersiap ke kantor Mas Panjul untuk memberikannya kejutan.

Aku berangkat menggunakan driver online, dan tidak sabar melihat ekspresi Mas Panjul nanti saat melihatku. Rencananya juga aku ingin meminta maaf karena sudah membuatnya tidur sendirian.

Tiga puluh menit kemudian aku sampai di kantor miliknya. Aku bisa melenggang masuk tanpa harus izin ke resepsionis karena mereka tahu aku adalah istri sang manajer.

“Selamat siang menjelang sore, Bu Inah!” sapa seorang OB bernama Abidin. Aku mengangguk dan terus berjalan melewatinya. Sampai di depan ruangan manajer, seorang sekretarisnya hendak mencegahku masuk.

“Ada apa, Eni?” tanyaku.

“Ngg, itu, anu, Bu. Bapak lagi metting sama klien di dalam.” Wajah Eni seperti menyembunyikan sesuatu.

“Ada apa, En? Nggak biasanya kamu kaya gini?” tanyaku. Biasanya sekretaris pribadinya ini tidak akan mencegahku masuk, meski sedang metting sekalipun. Akan tetapi, sejak kapan metting di ruangan manajer. Kan ada ruangan khusus. 

Penasaran, aku dengan cepat membuka pintu dengan kasar, mataku membelalak sempurna melihat pemandangan menjijikkan di sana. Si kutu tengah duduk di atas pangkuan Mas Panjul. Cepat-cepat Jeni turun dari pangkuannya dan membenarkan letak kemejanya yang sedikit berantakan. Wajah keduanya memerah bak kepiting rebus. Gila, manusia macam apa mereka!

Telunjuk kuarahkan pada keduanya. “Aku tunggu di rumah Mama, Mas!”