“Iya, itu memang nomor Aldo.”
Dan pada saat bersamaan, pintu telah terbuka, Aldo membukannya dari luar sebab pintu juga tidak dalam keadaan terkunci. Tatapan Aldo tentu langsung tertuju pada Dyta, lalu beralih pada Tiara, menatap gadis itu dengan tatapan tajam.
Soal Tiara jangan ditanyakan lagi, dia tentu seketika menundukkan wajah tak berani menatap Aldo sama sekali.
“Heh, apa maksudmu tidak menjawab telepon dariku? Kau juga mematikan handphonemu, kau pikir kau hebat, huh?”
Namun sebelum lebih jauh, dia justru melihat ponsel di genggaman Tiara masih menyala layarnya.
“Tunggu, tunggu … atau kau sengaja memblokir nomorku?” Ia pun segera mengubah tuduhannya. Sedangkan Tiara sontak mengangkat lagi wajahnya yang tertunduk.
“S-saya tidak melakukan itu, Tuan. Hape saya ….”
“Jangan berkelit! Kau dan Dave pasti kompak ingin mengerjaiku, iya kan?”
“Dave berpura-pura mengatakan hapenya lowbat, jangan bilang kau juga beralasan sam
“Halo ….”Aldo memilih beranjak, menjauh dari Dyta dan Tiara saat menjawab telepon, dia tidak ingin mereka berdua mendengar obrolannya dengan Dave yang mungkin saja memang akan membahas perihal Peter.Untuk awal pembicaraan tentu Aldo mengawali dengan mencaci asistennya itu yang tidak mengaktifkan handphone.“Maafkan saya, Tuan. Setibanya di rumah saya sudah langsung meng-changer handphone saya, tapi tetap tidak keburu saat Tuan menghubungi masih belum menyala.”“Halah! Alasan! Cocok banget kau sama pengawal culun itu! Kayaknya aku perlu mengatur hari baik buat kalian agar menikah.”“Hah? M-maksud Anda?”Aldo nampak menaikkan alis yang tentu tidak dapat dilihat oleh Dave. “Enak aja minta aku jelasin, tanya aja sendiri sama calon istrimu!”Out of topic, Aldo menutup topik tersebut setelahnya, dan mengalihkannya pada bahasan lain segera.“Oh iya … apa
“Tuan …,” panggil Dave. Suaranya terdengar kencang menyerbu kuping Aldo yang barusan melangkah keluar dari kamarnya.Aldo tak langsung menjawab melainkan mengernyitkan wajah seperti sangat terganggu dengan suara asistennya ini yang bahkan tidak disadari Dave. Beberapa detik kemudian dia malah telah membuka lagi mulutnya hendak bersuara kembali, tapi Aldo langsung berdesis.“Ssstt! Pelankan suaramu! Kau ingin membangunkan seisi mansion?” Maki majikannya itu. Saat ini Aldo sendiri sudah berada cukup dekat dengan Dave.“Aku nggak mau Dyta bangun!”Dave tampak terbengong, dan seketika melempar pandangan ke arah lantai atas. Sungguh baginya ucapan Aldo terlalu berlebihan. Suaranya mana mungkin mampu membangunkan Dyta di atas sana? Bahkan berbicara menggunakan toa pun belum tentu berhasil membangunkan perempuan itu.Sebab kamar tidur Dyta kedap suara, semua ruangan di mansion ini kedap suara jadi tidak akan ada
Ketika tiba di Vila, keadaan masih cukup gelap. Baru sekitar pukul 05.00 pagi, apalagi cuaca juga mendung. Namun tentu di vila tidak akan kekurangan cahaya karena terdapat penerangan.Melihat Aldo dan Dave turun dari mobil, beberapa pengawal yang berjaga di depan pintu vila langsung menghampiri mereka. Sebelumnya tentu tempat ini telah disterilkan, tidak boleh ada orang lain yang memasuki kawasan vila ini radius belasan meter karena aksi penyekapan yang terjadi. Aldo memberi perintah agar para pengawal berjaga-jaga di sana.“Selamat pagi, Tuan!” sapa salah satu pengawal yang merupakan pimpinan kawanan mereka.“Pagi, gimana keadaaan tahanan?”“Aman, Tuan. Mari saya antar ke ruang penyekapan.”Aldo menggangguk elegan. Dia dan Dave lalu mengikuti pengawal itu memasuki vila. Setelah tiba di dalam sana, langkah mereka berlanjut menuju sebuah kamar.“Ada di dalam sini, Tuan.” Pengawal tersebut menera
“Kau mau apa dengan benda itu? Jangan!” ucapnya ketakutan.Aldo tak menjawab, melainkan melangkah 2 langkah lagi lebih dekat dengannya. Pisau di tangan Aldo gerakan menelusuri wajah brewok Peter dari atas ke bawah. Ekspresi Peter tentu semakin ketakutan. Sesaat ia mulai bersuara.“Apa maksudmu tentang kejadian di masa lalu? Aku benar-benar menyesal sudah merebut proyek kalian!” Akhirnya dia mengaku dengan sendirinya.Aldo tersenyum sinis mendengar pengakuan tersebut, awal yang sangat apik.“Enak saja sekarang bilang menyesal dengan begitu mudah,” sinis Dave tak tahan untuk tidak ikut nimbrung. Tidak seperti di depan Dimas kemarin, kali ini dia lebih banyak bacot.“Tolong, jangan sakiti aku. Aku benar-benar kalap waktu itu.” Sedangkan Peter masih berusaha marayu Aldo yang belum menjauhkan senjata tajam itu dari area wajahnya.“Kalap atau memang ada niat lain!” bentak Aldo detik ini m
Tidak, bukan lagi pahanya, melainkan bagian lain yang merupakan titik lemah Peter yang tertusuk, yakni di tengah-tengah kening, cairan merah mengalir deras saat benda tajam itu tercabut. Peter seketika meregang nyawa dengan mata serta mulut terbuka.Tring ting ting!Pisau yang dipegang Aldo sampai terjatuh ke lantai saking terkesiapnya dia melihat keadaan Peter saat itu.Sejenak ia seakan baru tersadar dengan keributan yang barusan terjadi, sebelum kejadian Peter tertikam, ada seorang wanita yang sepertinya mengalami gangguan jiwa menerobos masuk ke dalam ruang penyekapan, Aldo lalu melirik sekeliling mencari keberadaan sosok asing tersebut, tapi orang itu sudah tidak ada.Kini justru keributan terjadi di luar, para pengawal sedang menghadapi wanita itu, tepatnya mereka lagi mengikat perempuan tak waras tersebut, satu orang pengawal lainnya memberinya pelajaran sekaligus gertakan agar diam dengan menamparnya kuat sebanyak 2 kali, dan tentunya teriakan his
Selang beberapa detik Aldo selesai berucap, Dave tiba-tiba menghentikan kendaraan, tapi tidak mematikan mesin. Aldo mengerutkan kening.“Mau apa berhenti di sini?” selidiknya segera.“Tuan mau beli kafe itu kan? Kita kesana sekarang saja.”Dan ternyata Dave bukan ingin berhenti, melainkan berputar arah. Setelah jalanan agak sepi ia bergegas memutar setir kemudi kembali ke arah kafe tersebut.“Memang kau tau ownernya ada di sana?”“Seharusnya jam segini ada.”“Macam peramal aja kau ini,” kekeh Aldo kemudian.Beberapa detik saja, mobil mereka telah berhenti di depan kafe tersebut. Aldo dan Dave bergegas turun dari dalam sana menuju ke dalam kafe. Dave yang masuk duluan, Aldo menyusul karena harus menerima telepon sebentar. Ketika melihat wajahnya muncul, perempuan sombong waktu itu yang saat ini sedang melayani Dave dengan ramah sontak melirik sinis ke arahnya.“Ge
Kini Aldo dan Dave sudah berada di dalam ruangan owner kafe. Pastinya Dave segera menyampaikan keinginan mereka membeli kafe tersebut. Sang pemilik kafe agak tercengang mendengarnya.“Serius kalian mau membeli kafeku yang kecil ini? Ah, jangan bercanda … Royal Morgan begitu gedenya.”Pemilik kafe terkekeh.“Tentu, saya sangat tertarik dengan bisnis kuliner seperti ini, mungkin akan saya berikan pada calon istri saya karena dia juga seorang owner kafe,” terang Aldo menggebu.“Begitu, ya?”“Jadi gimana, Steve? Kau mau menjual kafe ini pada bosku?” cecar Dave kemudian.“Aku sih dengan iklhas melepasnya, Dave. Tapi sebelumnya aku harus mastiin dulu nih, kafe ini beneran tidak begitu ramai, karena kau sahabatku, aku nggak mau mengecewakan kalian saja. Serius, kalian tetap mau membelinya?”“Seratus persen yakin!” Lagi-lagi Aldo yang menanggapi. “Berapa kira
Aldo dan Dave sudah berada di luar ruangan Steve saat ini, mereka sedang menuju Steve yang barusan balik lagi ke ruangannya, katanya hendak mengambil handphonenya yang ketinggalan di dalam sana. Perbincangan singkat pun terjadi di antara Aldo dan Dave sebelum Steve kembali.“Sial kau Dave! Kenapa tidak bilang kalau kau dan pemilik kafe ini saling kenal? Pantas kau tau dia ada di tempat.”“Anda juga tidak menanyakannya, Tuan.”“Jadi aku harus bertanya dengan detail baru kau kasih tau?” sinis Aldo mulai geram.Dave malah terkekeh. Beruntung Steve segera kembali, jika tidak lebih cepat mungkin Aldo akan memberikan Dave sedikit pelajaran atas sikap tak sopannya itu.“Mari!” Steve menjulurkan tangannya ke depan mempersilakan.Namun beberapa langkah kemudian, Steve kembali pamit. Tepatnya saat melewati toilet.“Aku ke dalam sebentar tidak masalah kan? Mau pipis,” katanya sambil men