Tidak, bukan lagi pahanya, melainkan bagian lain yang merupakan titik lemah Peter yang tertusuk, yakni di tengah-tengah kening, cairan merah mengalir deras saat benda tajam itu tercabut. Peter seketika meregang nyawa dengan mata serta mulut terbuka.
Tring ting ting!
Pisau yang dipegang Aldo sampai terjatuh ke lantai saking terkesiapnya dia melihat keadaan Peter saat itu.
Sejenak ia seakan baru tersadar dengan keributan yang barusan terjadi, sebelum kejadian Peter tertikam, ada seorang wanita yang sepertinya mengalami gangguan jiwa menerobos masuk ke dalam ruang penyekapan, Aldo lalu melirik sekeliling mencari keberadaan sosok asing tersebut, tapi orang itu sudah tidak ada.
Kini justru keributan terjadi di luar, para pengawal sedang menghadapi wanita itu, tepatnya mereka lagi mengikat perempuan tak waras tersebut, satu orang pengawal lainnya memberinya pelajaran sekaligus gertakan agar diam dengan menamparnya kuat sebanyak 2 kali, dan tentunya teriakan his
Selang beberapa detik Aldo selesai berucap, Dave tiba-tiba menghentikan kendaraan, tapi tidak mematikan mesin. Aldo mengerutkan kening.“Mau apa berhenti di sini?” selidiknya segera.“Tuan mau beli kafe itu kan? Kita kesana sekarang saja.”Dan ternyata Dave bukan ingin berhenti, melainkan berputar arah. Setelah jalanan agak sepi ia bergegas memutar setir kemudi kembali ke arah kafe tersebut.“Memang kau tau ownernya ada di sana?”“Seharusnya jam segini ada.”“Macam peramal aja kau ini,” kekeh Aldo kemudian.Beberapa detik saja, mobil mereka telah berhenti di depan kafe tersebut. Aldo dan Dave bergegas turun dari dalam sana menuju ke dalam kafe. Dave yang masuk duluan, Aldo menyusul karena harus menerima telepon sebentar. Ketika melihat wajahnya muncul, perempuan sombong waktu itu yang saat ini sedang melayani Dave dengan ramah sontak melirik sinis ke arahnya.“Ge
Kini Aldo dan Dave sudah berada di dalam ruangan owner kafe. Pastinya Dave segera menyampaikan keinginan mereka membeli kafe tersebut. Sang pemilik kafe agak tercengang mendengarnya.“Serius kalian mau membeli kafeku yang kecil ini? Ah, jangan bercanda … Royal Morgan begitu gedenya.”Pemilik kafe terkekeh.“Tentu, saya sangat tertarik dengan bisnis kuliner seperti ini, mungkin akan saya berikan pada calon istri saya karena dia juga seorang owner kafe,” terang Aldo menggebu.“Begitu, ya?”“Jadi gimana, Steve? Kau mau menjual kafe ini pada bosku?” cecar Dave kemudian.“Aku sih dengan iklhas melepasnya, Dave. Tapi sebelumnya aku harus mastiin dulu nih, kafe ini beneran tidak begitu ramai, karena kau sahabatku, aku nggak mau mengecewakan kalian saja. Serius, kalian tetap mau membelinya?”“Seratus persen yakin!” Lagi-lagi Aldo yang menanggapi. “Berapa kira
Aldo dan Dave sudah berada di luar ruangan Steve saat ini, mereka sedang menuju Steve yang barusan balik lagi ke ruangannya, katanya hendak mengambil handphonenya yang ketinggalan di dalam sana. Perbincangan singkat pun terjadi di antara Aldo dan Dave sebelum Steve kembali.“Sial kau Dave! Kenapa tidak bilang kalau kau dan pemilik kafe ini saling kenal? Pantas kau tau dia ada di tempat.”“Anda juga tidak menanyakannya, Tuan.”“Jadi aku harus bertanya dengan detail baru kau kasih tau?” sinis Aldo mulai geram.Dave malah terkekeh. Beruntung Steve segera kembali, jika tidak lebih cepat mungkin Aldo akan memberikan Dave sedikit pelajaran atas sikap tak sopannya itu.“Mari!” Steve menjulurkan tangannya ke depan mempersilakan.Namun beberapa langkah kemudian, Steve kembali pamit. Tepatnya saat melewati toilet.“Aku ke dalam sebentar tidak masalah kan? Mau pipis,” katanya sambil men
“Aku benar-benar nggak nyangka, kelakuanmu ternyata begini … pantas kafe ini semakin hari semakin sepi!” Steve benar-benar murka sekali.Sejenak ia juga memperlihatkan ekspresi penyesalannya karena baru mengetahui sifat buruk karyawannya itu sekarang, sambil ia menoleh miris sekeliling kafe. Begitu banyak meja di sana, tak seorangpun tamu yang hadir, hanya ada Dave dan Aldo yang mengisi meja nomor 2.Rasanya dia sangat tidak terima, akan tetapi apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur, biarlah semua itu menjadi pelajaran baginya kedepan. Tak menunggu lama lagi, Steve lalu segera mengumumkan hal penting berikut.“Sebenarnya yang kau maksudkan dengan gembel itu adalah bos baru kalian!”Erni seketika mengangkat wajahnya, dan matanya sedikit membesar, lalu ia menoleh ke arah Aldo kilas.“A-apa yang Anda katakan, Bos? Jelas-jelas dia gembel, atau maksud Anda Tuan di sampingnya ini sebagai bos baru kami?” tangga
Pastinya di tayangan itu terdapat Dave yang pertama muncul, Erni terpesona melihatnya. Sementara di bawahnya ada keterangan nama dan jabatan Dave.“Loh, namanya Dave? Dia beneran bukan Tuan Aldo?”Sekarang Erni malah dengan tidak tau malunya menanti kemunculan Aldo, pemilik perusahaan yang kini semakin melambung tinggi itu. Sejatinya Erni jarang menonton siaran bisnis, makanya tidak begitu mengenali Aldo. Tentang Royal Morgan dia hanya pernah dengar dari orang-orang saja.Beberapa detik kemudian wajah Aldo sungguh muncul memberikan satu dua patah kata, awalnya Erni masih belum menyadari bahwa Aldo yang ada di TV sama dengan Aldo yang ada di kafe, ia masih tampak bertambah terpesona terhadap kehadiran pemilik Royal Morgan yang sangat bling-bling itu karena di sana tentu Aldo mengenakan setelan jas merk ternama.Hingga sesaat kemudian, kamera menyorot dekat wajah Aldo, dia pun mulai membandingkan Aldo di dalam sana dengan Aldo yang ada di kafe,
Parahnya Erni memang rendahan, dia masih saja mempertahankan diri di sana, sepertinya dia benar-benar ingin menguji kesabaran Aldo. Apa dia tidak tahu pria di hadapannya itu tidak dapat ditantang? Yah, begitulah … Erni sangat percaya diri, dia yakin Aldo tak akan melakukan hal itu.Namun, apa yang terjadi berikut cukup membuatnya tegang ….“Dave, panggil pengemis itu kemari!” titah Aldo.“Baik, Tuan.”Erni memperhatikan punggung Dave yang menjauh dengan tatapan getir. “Apa dia serius akan meminta pengemis itu menyeretku?”Ia mulai membayangkan pria kumal di depan sana menyentuh kulitnya yang mulus, membuatnya meringding.“Ihhh! Amit-amit! Aku nggak sudi tangan kotornya menyentuhku!”Akan tetapi semua tentu sudah terlamabat untuk menyesalinya, sebab Aldo tak pernah menarik ucapannya. Apalagi Erni juga masih belum rela buat menyerah, dia masih ingin mempertahankan posisinya d
Saat tiba di mansion, hari mulai gelap. Ternyata mereka menghabiskan waktu cukup lama di kafe itu. Sesampainya di rumah, Aldo sudah disambut oleh jam makan malam.“Dave, kamu nggak makan di sini saja? Udah cukup larut pulang ke rumahmu.”Kendaraan mereka baru saja berhenti di depan mansion sekarang ini, Aldo berkata seperti ini karena perut Dave yang tidak tahu malu berbunyi cukup kencang. Asistennya itu sampai mengutuk cacing-cacing di dalam sana.“Tidak perlu, Tuan. Nanti biar saya makan di jalan saja.”“Makan dijalan nanti ketabrak.”“Hah?”“Ya iyalah, makan di jalanan, kalau ada mobil lewat pasti ketabrak kan? Ada-ada saja kamu, Dave.”Dave terkekeh. Ternyata Aldo sedang bercanda dengannya. “Tuan bisa saja.”“Makan di sini saja, ayo turun!”Kali ini Aldo berkata sambil tangannya membuka pintu mobil.“Terima kasih atas taw
“Dave, kau juga ikut sama Tiara!”“Hah?”Dave sontak melirik Tiara yang juga sedang menoleh padanya dengan tatapan agak kaget persis seperti ekspresinya.“S-saya … tapi ….”“Jangan banyak alasan, pokoknya harus ikut!”“B-bukannya apa-apa, takutnya malah mengganggu kebersamaan Tuan sama Nona.”Tiara turut mengangguk-angguk di depan sana. Dave duduk saling berhadapan dengan Tiara, entah apa tujuan Aldo, dia juga yang menyarankan tadi. Sesungguhnya Dave menolak makan malam juga karena ini, dia sudah bisa menebak Aldo pasti akan mengerjainya dengan Tiara.Sebab selama di kantor apapun segala hal sering dia kaitkan dengan perempuan itu. Misalnya saat Dave melakukan kesalahan, Aldo akan mengatakan bahwa ia terlalu banyak memikirkan Tiara. Dan terbukti sudah, Aldo memang sungguh mengerjainya saat ini.Ketika Dave membela diri, mulut Aldo sedang penuh, Dyta yang