Seperti yang di katakan Gentala kemarin, ia dan Raden Brama Wijaya pun, memutuskan pergi di pagi buta, agar mereka bisa sampai ke tempat Nayaka dan Nura sebelum matahari terbenam.
Mengetahui bahwa mereka akan pergi meninggalkan desa, seluruh rakyat di desa yang telah di selamatkan oleh Gentala dan juga Raden Brama Wijaya, berbondong-bondong menghampiri gubuk tempat mereka beristihat, meminta untuk tinggal lebih lama lagi, rakyat di desa itu masih terlalu takut pada mayat hidup yang bisa datang kapan saja.
Dengan wibawa yang di miliki oleh Raden Brama Wijaya, dia menjelaskan dengan baik dan benar, mengatakan bahwa mereka tak perlu khawatir, karena tuannya, Gentala telah memasang pelindung tak kasat mata, yang mampu melindungi mereka dari marabahaya termasuk dari serangan para mayat hidup.
Meski begitu, rakyat di desa itu masih enggan untuk mereka tinggalkan.
" Maafkan kami, tapi masih ada
" Gentala! " seru Nayaka, pria itu melambaikan tangannya sembari berjalan setengah berlari menghampiri Gentala dan yang lainnya. " Kamu baik-baik saja? " tanyanya.Gentala menyipitkan matanya, kedua tangannya menyilang di dada. " Jika aku tidak baik-baik saja, mungkin aku tak akan berada di depan mu sekarang. "" Mendengar nada ketus mu, berarti kamu baik-baik saja. " Nayaka berkata, ia menoleh pada Raden Brama Wijaya yang berdiri tak jauh dari Gentala." Salam Raden. " ucap Nayaka seraya menangkupkan kedua tangan tangan." Salam juga. "" Bukankah ini sedikit aneh? "" Apanya? "" Bukankah seharusnya kamu yang membawa itu? " menunjuk pada sekeranjang bahan makanan yang berada di punggung Sang Raden." Kenapa harus? Lagi pula dia sendiri yang menginginkannya, bukan aku. "" Kamu
Karena kota Lilin memiliki kerusakan yang parah, Gentala pun memutuskan untuk tinggal sementara sekaligus membiarkan Raden Brama Wijaya untuk mengambil hati rakyat di sana dan menjadi sekutu untuk membantu sang Raden melakukan pemberontakan nantinya. Meski seminggu ini Raden Brama Wijaya telah berusaha keras mencuri hati rakyat di sana, namun hal tersebut belum juga membuahkan hasil sedikit pun, mereka bahkan menolak tawaran sang Raden, bersikap dingin padanya secara terang-terangan. Tak ada satu pun dari mereka yang mau menerima bantuannya, tak sedikit pula dari mereka yang menjauhkan anak-anak mereka yang mereka ambil dari persembunyian, menjauhkan mereka dari jangkauan Raden Brama Wijaya. Raden Brama Wijaya hanya bisa pasrah menerima sikap dingin dari seluruh rakyat kota Lilin itu, namun dengan sikap gigihnya ia tak menyerah begitu saja. Setiap hari, dia akan menawarkan bantuannya kepada siapa saja meski
Gentala yang kesal dengan sikap Nayaka pun hanya bisa menumpahkan kekesalannya pada pekerjaannya membangun rumah yang tengah di kerjakan nya, setiap dirinya merasa kesal, maka. Semakin cepat pula pekerjaannya. Bulu kuduk Raden Brama Wijaya meremang, setiap kali merasakan aura membunuh yang keluar dari tubuh Gentala.Berkat rasa kesal Gentala terhadap Nayaka yang tak pernah hilang, membuat pekerjaan mereka bisa selesai dengan cepat." Terima kasih banyak, berkat kalian, rumah Mbah bisa selesai dengan cepat. " Ungkap tulus nenek itu, " Jika kalian berkenan, mampirlah kembali untuk makan malam, meski Mbah tidak tahu apa kalian menyukainya atau tidak? " tambahnya." Kami pasti datang, kalau begitu kami pamit terlebih dahulu. " Timpal Gentala seraya menarik tubuh Raden Brama Wijaya pergi.Waktu makan malam pun masih sangat lama, Gentala yang tak ingin melihat wajah Naya
Gentala dan lainnya memutuskan untuk pergi meninggalkan kota itu ke esokan harinya, melanjutkan perjalanan, menuju ke tempat selanjutnya, kepergian mereka hanya di antar oleh nenek Asih dan juga cucunya Agni Brata." Apa kalian yakin? " tanya Nayaka di sela perjalanan.Gentala menghentikan langkahnya, matanya mendelik tajam pada Nayaka. " Bisakah kamu berhenti bertanya? Sudah ke berapa kamu menanyakan hal yang serupa? Apa aku harus memotong lidah mu agar kamu berhenti bertanya seperti wanita?! " Timpalnya dengan nada ketus, sejak mereka meninggalkan kota Lilin itu, Nayaka tak henti-hentinya menanyakan hal serupa padanya.Nayaka mendecakkan lidahnya, memutar bola matanya, lalu berjalan ke depan seraya menghentakkan kakinya layaknya seorang anak yang merajuk karena tak di belikan sebuah permen oleh ayahnya. Gentala yang melihat hal tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya, kenapa ia merasa sepert
Gentala masih termenung menatap langit yang sebentar lagi memunculkan sinar mentari. Memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan benda pusaka yang masih tersisa dua lagi? Wafatnya Mahapatih Wiguna, membuatnya tak bisa leluasa memasuki istana seperti dulu.Sesekali Gentala dan Nayaka akan pergi diam-diam mengintai istana kerajaan Natu dari kejauhan, untuk memastikan, apakah ke dua benda pusaka yang di cari mereka memang benar berada di dalam istana? " Apa kamu merasakannya? " tanya Gentala." Meski, terasa samar-samar, tapi aku yakin, ke dua benda itu ada di sana. " timpal Nayaka.Ternyata Mahapatih Wiguna tak berbohong tentang benda pusaka itu, tapi, mengapa Mahapatih Wiguna memberi ke tiga benda pusaka yang asli padanya? Terlepas dari itu semua, hal yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya masuk ke dalam istana dan mengambil sisa benda pus
Setelah menyelesaikan sarapan pagi, Gentala dan yang lainnya kembali melanjutkan perjalanan, Namun perjalanan mereka tak semulus biasanya. Di tengah-tengah perjalanan menuju kota selanjutnya, tiba-tiba mereka di hadang oleh sekelompok perampok yang beranggotakan dua puluh orang lebih di dekat sebuah lembah yang sunyi.Kelompok Perampok itu menggunakan pakaian lusuh dengan sebuah topeng yang menutupi wajah mereka. Setiap anggota membawa setidaknya satu jenis senjata, tak jauh dari tempat mereka berdiri, tampak sosok pria bertubuh kekar nan tinggi yang memakai topeng berbeda dari lainnya, tengah terduduk santai di sebuah tandu dengan memangku seekor monyet kecil dengan api di ujung ekornya yang di yakini sebagai hewan spiritualnya, Gentala menebak bahwa pria itu adalah pemimpin mereka." Berhati-hatilah, mereka bukan lah orang biasa. " bisik Gentala yang merasakan aura membunuh yang begitu kuat, dari mereka termasuk Pria Mony
Di sebuah dahan dari pohon raksasa, sinar rembulan menyinari segenggam abu di tangan seorang pria yang tengah termenung sendiri. Netra nya terus menatap abu tersebut dengan serius, di dalam kepalanya di penuhi oleh berbagai pertanyaan." Apa aku sungguh begitu kuat? Kenapa aku merasa, bahwa monyet ini sebenarnya tak mati? " ungkapnya, ia mendesis. " Sebenarnya pil apa yang di makan pria itu? Akhhhh memikirkannya saja bisa-bisa membuat ku semakin gila saja. " tambahnya seraya mengacak rambutnya frustasi. Malam itu, Gentala kembali tak tertidur sama sekali, lingkaran hitam semakin menghiasi kelopak bawah matanya.Dengan wajah frustasinya membuat semua orang enggan untuk tidak bertanya pada Gentala, kecuali Nayaka, yang tanpa basa basi langsung bertanya padanya. " Apa Kamu tak tidur lagi? "Kepala Gentala mengangguk pelan sebagai jawaban, langkahnya begitu gontai." Kenapa? Apa yang ka
Gentala, Raden Brama Wijaya beserta yang lainnya pun mulai membangun kembali Kota Tanah Merah dari awal. Mereka membangun rumah, menyuburkan kembali tanah agar mereka bisa menggunakannya untuk bercocok tanam.Setelah melakukan kesepakatan dengan Patih Wijiana, tiba-tiba Nenek Asih menemui Gentala dan juga Nayaka, membawa mereka berdua ke tempat yang sangat sunyi, di sana, Nenek Asih tiba-tiba berlutut bahkan bersujud meminta tolong untuk membunuhnya, sebab ia tak bisa menahan gejolak hitam di dalam tubuhnya lagi, ia juga berkata bahwa dirinya tak mau jika sang cucu, kelak melihatnya menjadi mayat hidup, maka dari itu ia lebih memilih untuk mati saja.Ke duanya saling bertukar pandang, tak tahu harus berbuat apa?Di tengah keraguan mereka, Agri Brata datang entah dari mana, ke dua bola matanya terbeliak melihat Sang Nenek yang tengah menjadi setengah mayat, kaki kecilnya berjalan lalu berlari meren