Malam itu Sarah cukup bahagia. Ternyata pemilik resort juga mengenal Ayah dan Ibunya. Mereka bernostalgia bersama.“Siapa yang tidak mengenal Ayahmu? Di mana ada Frank, di situ ada Thomas.” Om Hansel berucap.“Dan kamu sangat mirip dengan Ibumu, Sarah.” Tante Audi menimpali.Setelah beberapa saat berbincang tentang orang tua Sarah, Om Hansel menatap Marc.“Om baru mendengar tentang kabar Papamu. Ia baik-baik saja sekarang, ‘kan?”“Baik, Om. Terima kasih atas perhatiannya. Maaf, kami memang tidak sempat mengabari Om dan Tante tentang keadaan Papa.”“Tak apa, kami mengerti. Yang penting Frank sekarang sudah sehat.”“Keluarga kalian beruntung ada yang mendonasikan ginjalnya untuk Frank. Kakakku hingga saat ini masih menunggu donor.” Tante Audi menggeleng sedih.Mereka kini berbincang tentang keadaan Frank setelah dioperasi. Sarah hanya mendengarkan dengan senyum tipis. Ikut senang mendengar perkembangan kesehatan Papa mertuanya.“Itu artinya kalian mendapat ginjal yang bagus.”“Betul. Te
Sarah bercerita bahwa bukan keinginannya untuk pergi, meski ia memang harus menyendiri. Marc mendengarkan dengan kening berkerut dalam.“Penjelasanmu membuatku bingung. Apa susahnya menjawab bahwa liburan itu tidak menyenangkan?” Marc mendengus pelan dan menggeleng.Embusan napas panjang terdengar dari hidung Sarah. Ia memutuskan untuk memberikan Marc petunjuk sedikit demi sedikit.“Iya, liburannya tidak menyenangkan. Aku teringat keluargaku terus.”Marc menoleh menatap Sarah. “Kenapa tidak kembali lebih cepat?”“Mmm ... lucunya, aku kehabisan uang saat itu.” Sarah menjawab dengan nada bercanda. “Dan yaa ... aku mencari kerja dulu untuk ongkos pulang.”Marc membelalakkan mata. Ia jadi teringat cerita Sarah yang berusaha menghubunginya namun pesan itu tidak pernah tersampaikan.“Jadi, kamu menghubungiku karena kehabisan uang?”Spontan, Sarah menggeleng dan meralat pertanyaan Marc. “Eh, bukan. Jangan salah paham. Aku berusaha menghubungimu, Ibu Tinna dan Marsha untuk mencari tau keadaan
Di sebuah klub malam khusus wanita, Tinna dan Lucy duduk di kursi paling depan panggung. Mereka telah membuka mantel panjang dan kini hanya mengenakan gaun terusan tanpa lengan dengan panjang hanya setengah paha.“Marsha tidak curiga kita pergi berdua, ‘kan?”“Tentu saja tidak. Aku mengatakan padanya bahwa kita akan bertemu dengan teman-teman sebaya.”Lucy mengangguk. Matanya tak lepas dari pertunjukan di panggung. Ini bukan pertama kalinya, tetapi kali ini ia benar-benar tertarik mengamati apa yang tersaji di depannya.“Aku benar-benar kesal pada Frank.” Lucy menggerutu dengan mata fokus pada satu titik.“Akhir-akhir ini Frank memang menyebalkan, ya. Mungkin sekali-kali kamu harus membalasnya.” Tinna memberi saran pada Lucy.“Kamu ada usul?”“Bersenang-senang lah. Tunjukkan pada Frank bahwa kamu masih bisa mempesona lelaki lain dan ia akan menyesal karena mengacuhkanmu.”Kedua pasang mata wanita setengah baya itu mengamati pemandangan di depan mereka. Beberapa lelaki yang hanya menge
Sarah mengangguk dan mendongak ke atas di mana ada peserta senam yang sudah mulai lagi melakukan kegiatan tersebut.“Bagus. Karena mulai saat ini aku akan menuruti semua keinginanmu.” Marc berkata lagi.Mendengar pernyataan Marc, Sarah menatap lelaki tampan di depannya. “Aku minta kita bercerai.”“Kecuali itu.” Marc berjalan melewati Sarah.Tampak sekali wajah datar suaminya menegang saat Sarah mengucapkan kalimat cerai itu. Sarah juga bingung kenapa Marc jadi mau mempertahankan pernikahan ini. Bukannya mereka tidak saling mencintai?“Kamu marah?” Sarah membuntuti Marc.“Aku hanya tidak suka kamu terus-menerus mengucapkan kata cerai.”“Aku hanya meminta apa yang telah kita sepakati.”“Aku sudah meralatnya.”Sarah membuang kasar napasnya. Selain datar, irit kata kecuali sedang mode banyak tanya dan marah, Marc ini juga menyebalkan. Rasanya ketampanan dan tubuh bagusnya tertutupi sikapnya itu.Dan Marc memang benar-benar kesal. Semalam mereka sudah mulai dapat berbincang lama. Tadi saat
Sarah mengungkapkan alasannya. Tiga orang yang ia sebutkan membencinya, terutama Mama Lucy. Ia tidak ingin keluarga Carrington bertambah sulit jika mereka mengumumkan tetap bersama.“Kasihan Papa. Ia pasti pusing mendengar omelan Mama tentang kita.” Dengan embusan napas panjang, Sarah mengakhiri kalimat panjang lebarnya.Marc mendengarkan dengan penuh perhatian. “Jadi maksudmu, kita berpura-pura tetap akan bercerai?”Sarah mengangguk.“Aku tidak suka ide ini.” Kedua tangan Marc terlipat di perut sambil menatap lekat pada Sarah.Namun begitu, untuk sementara, Marc akhirnya menyetujui permintaan Sarah. Alasan yang paling masuk akal baginya adalah agar orang tuanya tidak sering bertengkar.“Kamu bilang akan menurutiku mulai saat ini, ‘kan? Itu permintaanku. Kita lanjutkan pernikahan dengan syarat kita tetap berjarak saat ada Ibu Tinna, Marsha dan Mama Lucy.”Tidak ada cara lain bagi Marc. Lelaki itu merasa ada rahasia yang disembunyikan Sarah, meski istrinya belum mau jujur padanya.“Oke
“Silahkan obat-obatan dan vitaminnya, Tuan.” Adrian meletakkan baki berisi obat dan air mineral.Hanya anggukan kepala yang diberikan Frank yang lalu meminum obat-obatnya. Ia mengucapkan terima kasih pada sang asisten setia.“Bulan ini obatnya habis, bukan?”“Benar, Tuan. Setelah ini Anda hanya minum dua atau tiga vitamin untuk menjaga kesehatan saja.”Frank kembali mengangguk. “Berarti sudah tiga bulan aku memiliki ginjal baru ini.’Setelah berkata demikian, Frank mengelus perut bagian bawahnya. Luka sayatan operasi memang sudah tidak terasa sakit, terutama di bagian luar.“Bagaimana rasanya, Tuan? Apa ada keluhan?”“Tidak sama sekali. Ginjal ini bekerja dengan baik.”“Syukur lah. Bulan depan kita konsultasi dengan Nephrologist, Tuan.”“Bukannya dokter ginjalnya tidak ada di negara ini?”“Memang benar, Tuan. Tetapi karena ginjalnya bisa diterima baik di tubuh Anda, tim dokter di sini lah yang akan melanjutkan merawat Anda.”Frank sebenarnya pernah mendengar berita tersebut. Nephrolog
Sarah mundur satu langkah. Wajahnya pucat pasi dengan napas memburu cepat. Mungkin karena saat masuk ruang operasi semua dokter telah mengenakan penutup kepala dan masker, ia jadi tidak mengenali lelaki yang berdiri di depan mereka.“Dokter Samuel?” Marc menjulurkan tangannya ke depan lelaki tersebut. “Saya Marc, putra Frank Carrington.”“Marc. Ya, saya ingat Anda.” Dokter tersebut membalas jabatan tangan Marc.“Oh, dan ini adalah Sarah -- istri saya, bukan Marsha. Sarah ini adiknya Marsha.” Marc menarik pelan tangan istrinya yang berdiri di sampingnya.“Sarah.” Wanita itu memaksakan senyum lalu mengangguk singkat.“Sarah? Bukan Marsha? Kalian anak kembar?” Dokter Samuel bertanya dengan wajah penasaran.Berhasil menguasai diri dan demi rahasia yang masih harus ia tutupi, Sarah hanya terkekeh pelan. Dengan nada bercanda berkata bahwa Marsha dan dirinya memang sama.“Kami sama-sama wanita, Dok.”Dokter Samuel tergelak. “Akh, salah orang ternyata. Kalian sedang liburan?”Marc merentangka
"Dari mana?”Lucy yang baru pulang larut malam tersentak kaget. Ruangan itu gelap, tetapi dari suara, ia tau suaminya lah yang baru saja menegurnya.Lampu ruangan menyala otomatis. Lucy kini dapat melihat suaminya duduk di kursi malas dan menatapnya tajam. Sementara wanita itu yang masih shock karena kepergok pulang dini hari tidak bisa berkata-kata.“Apa ini pekerjaanmu selama aku tidak di rumah? Pulang jam dua dini hari dengan pakaian seperti ini?” Mata Frank menatap tajam pakaian istrinya yang menggunakan mini dress serta sepatu hak tinggi.“Ehm.” Lucy menjernihkan kerongkongannya yang tercekat. “Aku baru pergi bersama teman-teman ke klub malam.”“Begitu? Ada yang merayakan sesuatu?”“Akh, ya. Benar. Salah satu temanku merayakan kelahiran cucunya. Iya, seperti itu. Kami hanya minum-minum dan mendengar cerita temanku itu tentang kelahiran cucunya.” Panjang lebar, Lucy menjelaskan.“Aku tau kamu berbohong!” sentak Frank.Lucy mundur satu langkah. Selain bicara tegas, Frank kini mengh
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk
“Vivi sudah tidur, Sayang.” Marc membela diri. “Tapi, kami takut kamu marah.”Sarah mendengus pelan. Ia lalu pindah ke sisi Vivi dan mengamati putrinya. “Bisa-bisanya anak bayi ini berakting.”“Vivi sudah bisa pura-pura nangis, tertawa dan tidur lho, Sayang.” Marc dengan bangga berkata pada istrinya.“Iya, aku sudah tau. Tetapi, tidak menyangka ia menuruti permintaanmu untuk pura-pura tidur saat aku masuk dan ia berhasil.”Ternyata Vivi memang sedang rewel. Setelah diajak bermain sebentar lalu menyusu, Vivi baru tertidur. Perlahan, Sarah dan Marc pindah ke kamar mereka.Sarah dan Marc kini sudah berbaring di ranjang dengan piyama yang senada. Sarah meletakkan kepalanya di dada Marc hingga ia bisa mendengar detak jantung sang suami. Ia menceritakan percakapannya dengan Arzan barusan.“Anak itu tau mana yang paling menyayanginya.”Tangan Sarah memukul dada Marc. “Jangan begitu. Sudah kubilang kita tidak tau apa yang terjadi hingga Vania meninggalkan bayinya. Jangan selalu berpikiran neg