“Kamu yakin tidak ingin keluar? Tidak bosan?” Marc menatap Sarah yang hanya bermalas-malasan di sofa sambil menonton televisi.“Iya, aku ingin di kamar saja. Kalau kamu mau pergi, silahkan.”Wajah Marc memberengut mendengar pernyataan Sarah. Akhirnya ia menjatuhkan bokongnya di samping Sarah dan ikut menonton drama romantis yang sedang diperhatikan istrinya.Kurang tertarik, Marc akhirnya membolak-balik majalah yang memuat fasilitas di pulau. Setelah beberapa lembar, Marc menemukan yang menarik perhatiannya.“Aku mau menelepon dulu, ya.” Marc berdiri lalu meninggalkan Sarah.Sarah mengangguk dengan mata tetap pada layar televisi. Sambil menonton, sekali-kali, ia mengatur napas. Rasa sakit pada bagian dalam luka sayatan operasi ternyata masih ia rasakan.Untungnya, Marc tidak curiga. Sebenarnya Sarah jadi merasa kasihan pada Marc. Menurut Sarah, suaminya itu terlalu baik hingga selalu percaya begitu saja pada apa yang dikatakan orang.Meskipun sikapnya datar bahkan kadang dingin, Marc
“Woooo.” Sarah berdiri di pinggir kapal yang berlayar di laut sambil berteriak. “Marc ini menyenangkan.”Marc tersenyum. Kejutannya berhasil. Saat melihat iklan bahwa pengelola villa menyewakan kapal untuk berlayar dan memancing di tengah laut, Zack langsung teringat tentang keinginan Ayah Thomas untuk mengajak Sarah melakukan kegiatan tersebut.“Jadi, bagaimana rasanya berlayar?” Marc berdiri di samping Sarah.Sarah menoleh dan menatap wajah tampan yang memerah karena terik matahari itu dengan senyum. “Panas.”Marc terkekeh dan mengangguk. Untung saja awal kapal menyiapkan tabir surya dalam bentuk spray. Sarah menyemprotkan skincare itu ke wajah dan bagian tubuh Marc yang terbuka.Setelah itu, Marc gantian membantu Sarah menggunakan tabir surya. Cukup lama karena Sarah menggunakan gaun terbuka di punggung. Marc juga meratakan cairan itu di kulit istrinya.Marc berlama-lama mengusap kulit Sarah. Ia baru merasakan halus dan kenikmatan tersendiri menyentuh kulit tersebut.“Sudah?” Sarah
Sarah dan Marc menikmati pemandangan matahari tenggelam di dek kapal. Para pelayar yang berpengalaman menyiapkan suguhan makan malam yang romantis.Membayangkan situasi ini bersama pasangan yang saling mencintai, pasti akan sangat bahagia. Sarah tersenyum simpul dalam khayalannya.Marc tetaplah lelaki datar. Yang sulit mengungkapkan isi hatinya, meski sangat ingin. Baginya saat ini, Sarah menikmati apa yang ia rancang sebagai rangkaian bulan madu mereka.Mereka kembali ke villa menjelang malam. Sarah dan Marc tidur nyenyak berpelukan. Entah bagaimana nanti setelah ini, Sarah memilih tidak memikirkannya.Dalam pesawat yang mengantar mereka kembali, Sarah menatap keluar jendela. Benar kata Marc, ternyata ide bulan madu ini tidak lah buruk. Salah satu sisi baiknya, ia bisa melihat pribadi Marc yang lembut dan diam-diam perhatian.“Larry akan menjemput kita di bandara.”“Siapa Larry?” Sarah membalas pernyataan Marc.“Dulu, Larry adalah asisten pribadiku. Saat aku mendirikan cabang perusah
Esok harinya, Larry datang pagi-pagi sekali ke kantor. Ia harus membereskan semua dan menyerahkan pekerjaannya kembali pada Marc karena siang ini akan pulang.Setelah dua jam bekerja, Larry berniat untuk membeli kopi. Meskipun ada office boy, ia lebih senang turun dan membeli sendiri.Saat keluar, ia tidak menemukan Marsha di meja kerjanya. Bahkan komputer wanita itu pun masih gelap. Saat bertanya pada pegawai lain, mereka mengatakan Marsha belum datang.Di dalam lift, para pegawai yang berpapasan mengangguk santun. Siapa yang tidak kenal Larry? Sosoknya memang sangat lekat dengan CEO mereka.Sampai di coffe shop, Larry melihat Marsha yang sedang duduk sendirian. Di mejanya terdapat secangkir kopi dan hotdog. Lelaki itu hanya menggeleng samar.Larry berpamitan setelah menyerahkan berkas-berkas penting pada Marc. Sarah yang kali ini ikut ke kantor, menyerahkan satu paper bag mewah kepada Larry.“Ini ada sedikit oleh-oleh untukmu dan istrimu. Semoga berkenan.”“Wah, oleh-oleh? Seharusny
Setelah dari kantor Marc, Sarah menuju apartemennya. Ia membawa beberapa paperbag besar. Ia cukup kewalahan hingga salah satu pegawai apartemen membantunya.Saking sibuk dengan barang bawaannya tersebut, Sarah tidak sadar, Tinna melihatnya. Wanita itu mengerutkan kening dan bertanya-tanya apa yang Sarah lakukan di gedung apartemen mewah ini.“Ibu.” Sarah berteriak memanggil Ibu Irma.Ibu Irma yang sedang memanggang kue melepas sarung tangan tebal di kedua telapak tangannya.“Sarah.”Setelah balas menyapa, keduanya saling berpelukan melepas rindu. Sarah mengamati Ibu Irma yang terlihat semakin cantik setelah merawat wajahnya dengan berbagai skincare yang ia berikan.“Wajah Ibu semakin glowing, lho.” Pujian meluncur dari bibir Sarah.“Bisa saja kamu. Ibu kan sudah tua.”“Biar tua kalau dirawat jadi .... ““Jadi antik,” potong Ibu Irma segera.Sarah meledakkan tawanya. Mereka saling bertukar kabar tentang apa yang dilakukan selama berpisah.“Jadi, ibu sudah menerima sepuluh orderan selam
Sarah melirik Marc yang tampak berpikir. Laki-laki mungkin tidak sadar, apalagi Marc yang biasanya datar pada wanita.“Pernah juga aku singgung, tetapi Marsha bilang itu karena make up. Coba kita lihat, ya.”Dengan sengaja, Sarah membuka media sosial milik Marsha. Ternyata foto-foto yang masih ada hanyalah foto Marsha yang sekarang. Kakak tirinya itu sudah menghapus foto-foto lamanya.Lalu, Sarah ingat akun media sosial milik teman-teman Marsha. Di sana lah mereka mendapat foto-foto Marsha.“Sejak remaja, Marsha memang senang berdandan.”“Iya. Tetapi, hidung, mata dan rahangnya memang berbeda.” Marc mengamati layar ponsel Sarah.“Mungkin sekalian operasi kecantikan karena klinik di Korea kebanyakan memiliki paket begitu.”Marc terdengar mengembuskan napas panjang. Lalu, ia menunjuk satu foto. “Wajahmu tidak berubah.”Dengusan pelan diberikan Sarah. “Jangan gagal fokus, kita sedang mencari perbedaan wajah Marsha dulu dan sekarang!”Lelaki di samping Sarah malah hanya terkekeh. Ia mengu
Tiit. Pintu terbuka. Marsha terkejut, lalu menjerit saat Marc mengambil alih pisau dari tangannya.Sarah yang baru masuk pun tak kalah kaget. Marsha menatapnya penuh amarah.“Keluar lah, Marsha. Aku mau bicara dengan istriku.” Marc berkata dingin.Wanita itu mendengus kasar, lalu sengaja menabrak bahu Sarah saat keluar.“Heii!” Marc berteriak dan hendak protes namun dicegah Sarah.“Sudah. Biarkan dia. Ada apa? Apa yang terjadi barusan?”Sebelum bercerita, Marc mengunci ruang kerjanya. Tetap dengan nada datar, ia bercerita tentang ancaman Marsha yang membuat Sarah khawatir.Marsha dan Tinna adalah sosok yang ambisius. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.“Hati-hati, Marc. Aku takut ancaman itu akan benar-benar ia lakukan.”Marc justru sangsi, Marsha mampu melakukan hal seperti itu. Lelaki itu hanya menaikturunkan bahu menanggapi pernyataan Sarah.“Oh ya, ada apa ke sini?”“Maaf. Aku sudah mengabarimu lewat ponsel, tetapi kamu tidak membalas. Aku
Marsha meledakkan tawanya. Ia mencemooh ibunya sendiri lalu menggeleng tak percaya.“Ibu? Merayu Frank? Yakin, Frank mau?”Tinna mendengus kesal mendengar ejekan Marsha.“Kamu pikir Ibu tidak mampu? Kita lihat saja nanti. Lagipula jika Ibu mendapatkan Frank, kita mendapat tangkapan ikan yang lebih besar.”Setelah berkata demikian, Tinna meninggalkan putrinya sendiri. Satu jam kemudian, Tinna keluar dengan pakaian terbuka yang ia tutupi dengan jas panjang.Marsha masih duduk dengan posisi yang sama sambil bermain ponsel. Tinna hanya menggeleng melihat kelakuan malas putrinya.“Ibu pergi dulu untuk menjalankan rencana menjebak Frank. Sebaiknya kamu membereskan rumah yang kamu berantakkan ini.”Wanita muda itu tidak menyahut. Saat terdengar suara pintu ditutup, ia mencebikkan bibir. Enak saja ia yang beres-beres. Ia tak mau mengotori tangannya dengan menyapu lantai.Kemudian, Marsha malah memanggil teman-temannya untuk datang. Ia membuat pesta dengan membeli banyak minuman alkohol dan ma