Setelah dari kantor Marc, Sarah menuju apartemennya. Ia membawa beberapa paperbag besar. Ia cukup kewalahan hingga salah satu pegawai apartemen membantunya.Saking sibuk dengan barang bawaannya tersebut, Sarah tidak sadar, Tinna melihatnya. Wanita itu mengerutkan kening dan bertanya-tanya apa yang Sarah lakukan di gedung apartemen mewah ini.“Ibu.” Sarah berteriak memanggil Ibu Irma.Ibu Irma yang sedang memanggang kue melepas sarung tangan tebal di kedua telapak tangannya.“Sarah.”Setelah balas menyapa, keduanya saling berpelukan melepas rindu. Sarah mengamati Ibu Irma yang terlihat semakin cantik setelah merawat wajahnya dengan berbagai skincare yang ia berikan.“Wajah Ibu semakin glowing, lho.” Pujian meluncur dari bibir Sarah.“Bisa saja kamu. Ibu kan sudah tua.”“Biar tua kalau dirawat jadi .... ““Jadi antik,” potong Ibu Irma segera.Sarah meledakkan tawanya. Mereka saling bertukar kabar tentang apa yang dilakukan selama berpisah.“Jadi, ibu sudah menerima sepuluh orderan selam
Sarah melirik Marc yang tampak berpikir. Laki-laki mungkin tidak sadar, apalagi Marc yang biasanya datar pada wanita.“Pernah juga aku singgung, tetapi Marsha bilang itu karena make up. Coba kita lihat, ya.”Dengan sengaja, Sarah membuka media sosial milik Marsha. Ternyata foto-foto yang masih ada hanyalah foto Marsha yang sekarang. Kakak tirinya itu sudah menghapus foto-foto lamanya.Lalu, Sarah ingat akun media sosial milik teman-teman Marsha. Di sana lah mereka mendapat foto-foto Marsha.“Sejak remaja, Marsha memang senang berdandan.”“Iya. Tetapi, hidung, mata dan rahangnya memang berbeda.” Marc mengamati layar ponsel Sarah.“Mungkin sekalian operasi kecantikan karena klinik di Korea kebanyakan memiliki paket begitu.”Marc terdengar mengembuskan napas panjang. Lalu, ia menunjuk satu foto. “Wajahmu tidak berubah.”Dengusan pelan diberikan Sarah. “Jangan gagal fokus, kita sedang mencari perbedaan wajah Marsha dulu dan sekarang!”Lelaki di samping Sarah malah hanya terkekeh. Ia mengu
Tiit. Pintu terbuka. Marsha terkejut, lalu menjerit saat Marc mengambil alih pisau dari tangannya.Sarah yang baru masuk pun tak kalah kaget. Marsha menatapnya penuh amarah.“Keluar lah, Marsha. Aku mau bicara dengan istriku.” Marc berkata dingin.Wanita itu mendengus kasar, lalu sengaja menabrak bahu Sarah saat keluar.“Heii!” Marc berteriak dan hendak protes namun dicegah Sarah.“Sudah. Biarkan dia. Ada apa? Apa yang terjadi barusan?”Sebelum bercerita, Marc mengunci ruang kerjanya. Tetap dengan nada datar, ia bercerita tentang ancaman Marsha yang membuat Sarah khawatir.Marsha dan Tinna adalah sosok yang ambisius. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.“Hati-hati, Marc. Aku takut ancaman itu akan benar-benar ia lakukan.”Marc justru sangsi, Marsha mampu melakukan hal seperti itu. Lelaki itu hanya menaikturunkan bahu menanggapi pernyataan Sarah.“Oh ya, ada apa ke sini?”“Maaf. Aku sudah mengabarimu lewat ponsel, tetapi kamu tidak membalas. Aku
Marsha meledakkan tawanya. Ia mencemooh ibunya sendiri lalu menggeleng tak percaya.“Ibu? Merayu Frank? Yakin, Frank mau?”Tinna mendengus kesal mendengar ejekan Marsha.“Kamu pikir Ibu tidak mampu? Kita lihat saja nanti. Lagipula jika Ibu mendapatkan Frank, kita mendapat tangkapan ikan yang lebih besar.”Setelah berkata demikian, Tinna meninggalkan putrinya sendiri. Satu jam kemudian, Tinna keluar dengan pakaian terbuka yang ia tutupi dengan jas panjang.Marsha masih duduk dengan posisi yang sama sambil bermain ponsel. Tinna hanya menggeleng melihat kelakuan malas putrinya.“Ibu pergi dulu untuk menjalankan rencana menjebak Frank. Sebaiknya kamu membereskan rumah yang kamu berantakkan ini.”Wanita muda itu tidak menyahut. Saat terdengar suara pintu ditutup, ia mencebikkan bibir. Enak saja ia yang beres-beres. Ia tak mau mengotori tangannya dengan menyapu lantai.Kemudian, Marsha malah memanggil teman-temannya untuk datang. Ia membuat pesta dengan membeli banyak minuman alkohol dan ma
Sejak hari itu, Frank tidak pernah pulang ke rumha kembali. Kini, telah dua minggu setelah Frank mendapat bukti perselingkuhan Lucy. Butuh waktu bagi Frank untuk memutuskan bagaimana hubungannya dengan Lucy.Wanita itu berubah. Gadis yang ia kenal dulu hingga ia ajak menikah itu bukanlah gadis yang sama kini. Frank mengembuskan napas berat.Sejak foto-foto kemesraan Lucy dibongkar Tinna, Frank hanya mengucapkan terima kasih. Ia sama sekali tidak menggubris perhatian teman dekat istrinya itu.“Sejak dulu aku kurang percaya pada Tinna. Entahlah, aku merasa kebaikannya pada keluargaku sepertinya semu.”Frank melempar beberapa foto Sarah yang sedang bersama lelaki di depan apartemennya. Tinna mengatakan Sarah sering terlihat bersama lelaki yang berbeda setiap hari.“Apalagi dengan sampah ini. Lelaki-lelaki di foto ini pasti yang mau mengambil pesanan kue, bukan?”“Sepertinya begitu, Tuan. Sebagian besar memang asisten-asisten pribadi yang datang mengambil.”“Iya, aku mengenali beberapa le
Hari-hari berikutnya, Marsha semakin menuntut. Dia selalu mengancam akan mencelakai dirinya sendiri jika Marc tidak menurutinya.Sekali lagi, demi balas budi, Marc bersikap lunak. Meski sudah muak.Semakin menjadi, Marsha bahkan meminta pinjaman melebihi batas pinjaman seorang pegawai.Merasa telah berbaik hati, Marc pun menuntut Marsha bekerja profesional. Namun begitu, pekerjaan yang diberikan kepada Marsha tetap dalam batas normal.Hanya saja karena Marsha tidak terbiasa bekerja dan memang tidak paham dengan apa yang harus ia kerjakan, wanita itu menjadi kesal.“Kamu menyulitkanku, Marc.”“Tidak. Itu pekerjaan seorang sekretaris.”“Tetapi, aku tidak pernah mengerjakan tugas ini.”Marc mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Selama ini ia memang sudah curiga. Marsha menyuruh pegawai lain untuk menyelesaikan tugasnya. Kali ini ia sangat yakin itu benar.“Tidak pernah? Lalu selama ini siapa yang menyelesaikan timeline dan notulen-notulen rapat?”Marsha terdiam. Mulutnya mulai memberen
Sirene ambulance meninggalkan Perusahaan Carrington milik Marc. Dalam ambulance tersebut, Marsha tergolek lemah. Marc duduk di sampingnya dengan khawatir.Tak pernah ia sangka bahwa Marsha benar-benar bisa melakukan hal bodoh. Selama ini, ia mengira Marsha hanya berani mengancam, meskipun Sarah sudah mengingatkannya berkali-kali bahwa orang yang kesal bisa bertindak kalap.Di depan ruang emergensi, Marc sibuk menelepon. Yang pertama ia kabari adalah Frank. Papanya itu sangat kaget dan mengatakan akan langsung ke rumah sakit.Setengah jam kemudian, Frank, Adrian, Lucy dan Tinna tergopoh menghampiri Marc. Wajah mereka tegang.“Mana Marsha?” Tinna mencengkram lengan Marc.“Masih diobservasi dokter.”“Apa yang terjadi?” Frank meminta penjelasan dari putranya.Tanpa ada yang disembunyikan, Marc bercerita. Tak lupa ia juga menceritakan latar belakang kenapa ia akhirnya memutuskan memiliki sekretaris baru menggantikan Marsha.“Kamu tega, Marc? Ya Tuhan, kasihan putriku.” Terisak, Tinna mengg
“Hamil?”Serentak Sarah, Marc dan Frank mengulangi pernyataan dokter.Sarah tidak lagi fokus pada penjelasan dokter yang menunjuk layar kecil di sampingnya pada Marc dan Frank. Ia melirik bekas luka di perut samping yang tertutup selimut tipis.Luka bagian dalam belum sepenuhnya sembuh. Jika perutnya membesar karena hamil, apakah akan berbahaya?Senyum tipis terukir di wajah Sarah saat Frank dengan antusias menatapnya.“Kalian membuatku bahagia di saat aku sedang terpuruk.”Sarah terhenyak mendengar penuturan Frank. Tetapi karena euforia berita kehamilannya begitu besar, ia jadi tidak bisa banyak bertanya.Hingga akhirnya dokter dan Frank memberikan waktu pada Marc dan Sarah untuk berduaan. Marc terlihat memandang layar dengan takjub.“Aku tidak mengerti apa yang ada di sana. Tetapi, itu sungguh mengagumkan.”Tanpa membalas komentar Marc, Sarah bangkit dari ranjang. Lelaki itu segera membantu istrinya.“Kamu baik-baik saja?”Kepala Sarah menggeleng. “Masih mual.”“Mual?” Tentu saja Ma
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu