“Tentu saja, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ethan tidak akan dia biarkan lolos begitu saja, setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.
Leonard mengangguk puas, senyumnya menandakan dukungan penuh untuk Ivy. “Karena masalah ini sudah selesai, aku ingin kalian berdua ke ruang kerjaku sekarang.”
Tatapannya beralih ke Frederick dan Ethan secara bergantian sebelum bangkit dari kursinya. “Kita perlu membahas langkah berikutnya setelah kesepakatan di Rosenthal. Ada beberapa keputusan yang harus dipastikan segera. Terutama kau, Ethan—aku tidak ingin ada satu detail pun yang kau lewatkan.”
Ethan tidak langsung bereaksi. Sekalipun namanya disebut, dia tetap tenang, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan. Namun, saat berdiri, tubuh tegapnya memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan. Dia tidak menjawab Leonard, tidak juga menatap Ivy, tetapi caranya bergerak, caranya berjalan menuju ruang kerja bersama dua pria lainnya, memberi kesan bahwa kendali tetap berada di tangannya.
Ivy, yang tadinya menunggu ada tanda-tanda perubahan ekspresi dari pria itu—kemarahan, kejengkelan, atau setidaknya sedikit ketidaksenangan, justru mendapati hal sebaliknya. Ethan tetap sama. Dingin. Tidak terbaca.
Kurang ajar! Benar-benar membuat Ivy tidak bisa menduga apa yang ada di benak Ethan. Apa saudari kembarnya juga selalu disuguhi ekspresi tidak terbaca begitu setiap hari? Akh! Benar-benar menjengkelkan!
Saat ketiga pria berbeda generasi itu sudah pergi meninggalkan ruang keluarga, Ivy menyadari bahwa ada tatapan tajam yang mengarah padanya. Begitu matanya bertemu mata dengan ibu mertuanya Isla, dia tahu bahwa kecurigaannya terbukti benar.
Wajah asli Anastasia Winchester. Topengnya sudah terbuka.
Tatapan tajam, menusuk, dan dingin. Jelas itu pertanda ketidaksukaan. Ivy sudah mulai mempelajari polanya, meski Adrian tidak begitu banyak memberinya informasi soal wanita paruh baya satu ini.
Anastasia menyeringai tipis, tapi matanya tetap dingin. “Jadi itu alasannya? Amnesia ringan? Itu yang membuatmu berani berbicara seperti tadi, Isla?”
Ivy menatap balik, tidak mundur. Tatapannya seimbang, penuh ketenangan, dengan senyum kecil yang tidak kehilangan keanggunannya.
“Lucu sekali.” Anastasia melanjutkan, suaranya terdengar mengejek. “Kau kehilangan ingatan, tapi justru mendapatkan keberanian yang dulu tidak kau miliki. Atau mungkin … kau hanya berpura-pura lupa supaya bisa memainkan peran baru?”
Ivy tetap tenang, belum mau menanggapi, karena dia tahu kalau sepertinya Anastasia masih ingin menyerangnya dengan bertubi-tubi. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya.
Melihat reaksi menantunya yang cuma tersenyum tenang, Anastasia mendengus kecil, ekspresinya tetap terkendali, tapi sorot matanya penuh penghinaan. “Jangan kira kau tetap diterima begitu saja di keluarga ini. Kau pikir karena kakek menyukaimu, kau sudah bisa berdiri sejajar dengan kami? Aku dan suamiku tidak akan membiarkanmu mengambil keuntungan dari nama Winchester, apalagi mengendalikan putraku.”
Ivy tidak langsung menanggapi. Masih dengan senyum itu, dia memiringkan kepala sedikit seakan mempertimbangkan kata-kata Anastasia. Namun, sorot matanya tetap tajam.
“Mengendalikan?” Nada suara Ivy merendah, seolah mengulang kata itu hanya untuk memastikan dia tidak salah dengar. “Lucu sekali, Ibu. Kukira justru aku yang telah dikendalikan selama ini. Tapi jika menurut Ibu aku memiliki pengaruh sebesar itu atas diri Ethan, bukankah itu berarti aku jauh lebih berharga daripada yang Ibu kira?”
Ivy mengangkat bahunya dengan ringan, matanya berbinar seakan menikmati momen ini. “Atau mungkin, Ibu hanya takut karena akhirnya ada seseorang yang tidak bisa Ibu tekan begitu saja dalam keluarga ini?”
Anastasia terdiam sepersekian detik. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya, tersembunyi di balik lengan gaunnya agar tidak terlihat oleh menantunya. Rahangnya mengatup rapat, berusaha menyembunyikan gejolak emosi yang tiba-tiba meletup dalam dirinya.
Sebelum kecelakaan itu, Isla hanyalah menantu rendahan yang selalu bisa diinjak. Gadis penurut yang tidak pernah melawan, yang menunduk patuh setiap kali dia membentak atau bisa disalahkan atas sesuatu yang bahkan bukan kesalahannya.
Namun sekarang … Dari mana keberanian itu berasal?
Anastasia menarik napas dalam, berusaha menguasai diri, tapi sorot matanya semakin tajam. “Jangan pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan, Isla.” Suaranya merendah, tapi penuh emosi tertahan. “Kau mungkin bisa memikat perhatian Kakek dengan sikap pura-pura kuatmu, tapi bagiku, kau tetap perempuan yang sama—lemah, tidak tahu tempat, dan hanya bisa bertahan dengan belas kasihan orang lain.”
Lalu, senyum tipisnya semakin terlihat menghina. “Kau pikir bisa bertahan di keluarga ini tanpa membawa manfaat apa pun? Sungguh menggelikan. Sudah kubilang, ‘kan? Sejak awal kau memang tidak pernah pantas berdampingan dengan putraku.”
Anastasia perlahan bangkit dari duduknya, gerakannya tetap anggun, tapi ada ketegangan dan kekesalan yang tidak bisa disembunyikan. Langkahnya terukur saat dia mendekat, menatap Ivy dari atas, mencoba menanamkan tekanan. “Jangan terlalu percaya diri, Isla. Hanya karena kau bisa membalikkan keadaan satu kali, bukan berarti kau akan selalu di atas. Aku sudah mengenal banyak perempuan sepertimu—rakus, penuh tipu daya, berusaha memanfaatkan nama keluarga ini untuk keuntungan sendiri.”
Matanya menyapu Ivy dari ujung kepala hingga kaki, seakan menimbang-nimbang sesuatu sebelum mendengus kecil. “Lihat dirimu. Kau hanya seseorang yang kebetulan beruntung. Tapi keberuntungan tidak akan bertahan selamanya.”
Ivy tersenyum kecil, sama sekali tidak terpengaruh. Seakan-akan omongan Anastasia tadi hanyalah angin lalu—terlalu ringan untuk meninggalkan jejak di pikirannya.
Begini caranya Anastasia memperlakukan Isla dulu? Wah, luar biasa sekali. Beruntungnya, dia bukan tipe yang mudah terpancing. Dia akan membalasnya. Bukan hanya kali ini, tapi juga nanti dan seterusnya. Selama Ivy menggantikan saudari kembarnya, dia tidak akan mundur.
“Keberuntungan?” Ivy mengulang kata itu dengan nada geli. “Aneh sekali, Ibu. Karena kalau memang hanya keberuntungan, seharusnya aku sudah jatuh sejak dulu, bukan?”
Langsung berdiri dari duduknya, Ivy kini sejajar dengan si ibu mertua. Tatapannya bertemu langsung dengan Anastasia, tajam, menusuk tanpa perlu meninggikan suara. “Tapi lihatlah aku sekarang, masih di sini, berdiri di hadapan Ibu, tanpa perlu bersembunyi di balik nama siapa pun.”
Ivy mengambil satu langkah mendekat, sehingga kini jarak mereka begitu dekat hingga hampir tidak ada ruang tersisa. “Dan kalau aku benar-benar tidak pantas berdampingan dengan putra Ibu, kenapa Ibu terlihat sangat gelisah?”
Senyum Ivy bertambah lebar, tapi terlihat dingin. “Oh, aku tahu.” Dia menatap Anastasia dengan mata berbinar penuh arti, seakan baru saja mengungkap sesuatu yang menggelitik pikirannya. “Mungkin karena jauh di lubuk hati, Ibu tahu bahwa aku lebih dari sekadar menantu yang bisa Ibu injak begitu saja.”
“Kau—oh.” Anastasia yang siap menghardik Ivy lagi, tiba-tiba menyadari kedatangan suami dan putranya. “Kalian sudah selesai?”
Ethan, yang baru saja kembali dari ruang kerja Leonard bersama Frederick, melirik sekilas ke arah Ivy sebelum membuka mulut. Suaranya tetap datar, nyaris tanpa nada. “Ayo pulang.”
Ivy tersenyum kecil. Pulang? Oh, tentu saja. Dia akan pulang. Menatap pria itu sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke Anastasia. Sang mertua sudah kembali ke ekspresi tenangnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka barusan.
Menarik.
Ivy tersenyum tipis, kali ini hampir tidak terlihat. “Oke.” Melangkah mendekat ke sisi Ethan, tapi sebelum pergi, dia sempat melihat jemari Anastasia mengepal erat di sisi tubuhnya.
Terlihat tenang, tapi jelas tidak suka.
Bagus.
Ivy akan mengingat ekspresi itu. Karena ini pasti bukan pertempuran terakhir mereka.
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di rumah, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.Tiba-tiba, Ethan berhenti dan berbalik. Tangannya masih di saku celana, tatapannya lurus ke Ivy. “Apa yang sedang kau rencanakan?”Ivy mengangkat alis. “Apa maksudmu?” Balik bertanya dengan nada datar.Ethan menatap Ivy lekat-lekat. Rahangnya mengeras sesaat. “Kau mengisi kepala kakekku dengan omong kosong.”Ivy tertawa pelan. “Maksudmu tentang aku yang akan bertahan dalam pernikahan ini?”Ethan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin.Ethan masih diam, tapi Ivy tahu Ethan sedang menahan sesuatu. Mungkin kesal, mungkin tidak peduli. Sulit ditebak.“Kau buang-buang tenaga,” kata Ethan akhirnya, nada suaranya tenang, tapi dingin.Ivy mengangkat bahu. “Aku tidak merasa begitu. Lagipula, kakekmu yang memutuskan. Aku hanya mengikutinya.”Ada kernyitan samar di kening Ethan saat mendengar ucapan Ivy. “Kau
“Bagus kau sudah sadar.”Suara berat seorang pria menyambut Ivy begitu kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram. Kepalanya juga terasa berat. Cahaya putih menyilaukan di atasnya membuat dia harus menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing.Aroma antiseptik yang tajam segera memenuhi indera penciumannya. Menandakan bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit.Ivy coba menggerakkan tangan, tapi ada selang infus yang menusuk pergelangan tangannya. Napasnya tercekat sejenak saat rasa nyeri menyeruak di kepalanya. Berusaha mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Lalu perlahan, kepingan ingatan itu kembali.Isla.Saudara kembarnya.Mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun, kebahagiaan yang seharusnya mereka rasakan cuma berlangsung sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.Tatapan Ivy kini beralih ke pria yang berdiri di samping ranjangnya. Sosok yang memiliki sorot mata tajam dan ekspresi dingin yang sulit diartikan. Bertubuh tinggi
Ivy Harrington tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai. Usianya baru sepuluh tahun saat itu, berdiri di tengah ruang tamu megah keluarga Harrington di Norwick. Menyaksikan ibunya—Rosalind, menangis tersedu sambil menggenggam tangan Isla—saudari kembar yang persis serupa wajah dengannya.Di sisi lain, ayahnya—Edmund Harrington, berdiri kaku dengan tatapan dingin, sementara kakeknya, patriark keluarga—Alistair Harrington, yang tidak pernah bisa dilawan, mengeluarkan ultimatum. Rosalind harus pergi dan meninggalkan salah satu anak.“Dia tidak pantas jadi bagian dari keluarga ini,” ujar kakek dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk negosiasi.Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakek dan ayahnya, bergeming. Akhirnya, ibu pergi entah ke mana bersama Isla, sementara Ivy tinggal di Norwick, dibentuk menjadi pewaris Harrington Company.Sejak hari itu, Ivy dididik untuk jadi kuat, tegas, dan tidak pernah menyerah. Ayah dan kakeknya mengasahnya seperti pedang.
Kepala Ivy masih berdenyut sesekali dan sekujur tubuh menyisakan sedikit nyeri akibat kecelakaan yang dialaminya, tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk lemah. Tidak di depan pria yang saat ini bergerak melangkah mendekatinya, setelah melemparkan sebuah tuduhan lagi.Di dalam hati, Ivy memendam kebencian yang membara. Pria ini—pria yang telah membuat Isla menderita selama dua tahun, dan sekarang bahkan seenaknya menuduh Isla berselingkuh.Secara tidak langsung menjadi alasan mengapa saudara kembarnya terbaring sekarat saat ini. Ivy muak dan benci hanya dengan melihat wajah Ethan. Namun dia harus tetap tenang.Ivy akan menjadi Isla, memanfaatkan alasan ‘lupa ingatan’ yang dia buat sejak sadar, sambil mencari celah untuk menghancurkan Ethan dan keluarga Winchester.Dengan suara yang pelan tapi tajam, Ivy berkata. “Jadi, itu yang kau pikirkan tentangku, Ethan?” Matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Aku berselingkuh … menurutmu?”Ethan berdiri tegak di sisi Ivy. Sosoknya memancarkan
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah. Apalagi Anastasia—ibunya. Wanita itu memang anggun, lembut, dan selalu tersenyum. Benar dugaan Ivy, kalau anggota keluarga Winchester memang berbeda dari Ethan.Ethan selalu memancarkan ketenangan yang hampir mengintimidasi. Diamnya bukan sekadar diam—ada kendali penuh dalam setiap gerak-geriknya, seakan dia tidak pernah terburu-buru. Tapi justru itulah yang paling menyebalkan darinya.Ivy sudah sering bertemu banyak orang dengan berbagai karakter, sehingga dia cukup mudah menilai siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar basa-basi. Meski begitu, ia tahu penilaiannya tidak selalu benar.“Minggu lalu, kami ada di Rosenthal untuk menyelesaikan perjanjian investasi besar. Itu bukan sesuatu yang bisa kami tinggalkan begitu saja,” jelas Frederick. Memulai lebih dulu, ketika akhirnya mereka duduk berkumpul di ruang keluar
Ivy mengangguk pelan. “Aku setuju karena Ethan yang sangat menginginkan perceraian ini, Kek.”Leonard mendengus. Menatap kesal pada Ethan, bukannya Ivy. “Cucu bodohku ini benar-benar keterlaluan. Selama dua tahun kau pasti menderita hidup bersamanya, bukan?”Bukannya membantah, Ivy justru senang bisa sedikit memberi pelajaran pada Ethan di depan sang kakek yang terlihat lebih membelanya, daripada cucu sendiri. “Ya, begitulah, Kek. Aku mengerti kenapa dia mengambil keputusan seperti itu. Pernikahan ini terjadi karena kesalahan, mungkin karena itulah dia mudah percaya pada berita yang tidak benar.”Ekspresi Anastasia sedikit mengerut. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas Ivy melihat perubahan raut wajah ibunya Ethan yang duduk di hadapannya, tapi kembali beralih pada si kakek yang terdengar berdehem keras. Leonard mengetuk ujung tongkatnya pelan di lantai. “Atas nama cucuku, aku minta maaf padamu, Isla, karena tidak mendidiknya dengan benar selama ini.”Terdengar tulus, Ivy sadar i
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di rumah, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.Tiba-tiba, Ethan berhenti dan berbalik. Tangannya masih di saku celana, tatapannya lurus ke Ivy. “Apa yang sedang kau rencanakan?”Ivy mengangkat alis. “Apa maksudmu?” Balik bertanya dengan nada datar.Ethan menatap Ivy lekat-lekat. Rahangnya mengeras sesaat. “Kau mengisi kepala kakekku dengan omong kosong.”Ivy tertawa pelan. “Maksudmu tentang aku yang akan bertahan dalam pernikahan ini?”Ethan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin.Ethan masih diam, tapi Ivy tahu Ethan sedang menahan sesuatu. Mungkin kesal, mungkin tidak peduli. Sulit ditebak.“Kau buang-buang tenaga,” kata Ethan akhirnya, nada suaranya tenang, tapi dingin.Ivy mengangkat bahu. “Aku tidak merasa begitu. Lagipula, kakekmu yang memutuskan. Aku hanya mengikutinya.”Ada kernyitan samar di kening Ethan saat mendengar ucapan Ivy. “Kau
“Tentu saja, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ethan tidak akan dia biarkan lolos begitu saja, setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.Leonard mengangguk puas, senyumnya menandakan dukungan penuh untuk Ivy. “Karena masalah ini sudah selesai, aku ingin kalian berdua ke ruang kerjaku sekarang.”Tatapannya beralih ke Frederick dan Ethan secara bergantian sebelum bangkit dari kursinya. “Kita perlu membahas langkah berikutnya setelah kesepakatan di Rosenthal. Ada beberapa keputusan yang harus dipastikan segera. Terutama kau, Ethan—aku tidak ingin ada satu detail pun yang kau lewatkan.”Ethan tidak langsung bereaksi. Sekalipun namanya disebut, dia tetap tenang, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan. Namun, saat berdiri, tubuh tegapnya memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan. Dia tidak menjawab Leonard, tidak juga menatap Ivy, tetapi caranya bergerak, caranya berjalan menuju ruang kerja bersama dua pria lainnya, memberi kesan bahwa kendali tetap b
Ivy mengangguk pelan. “Aku setuju karena Ethan yang sangat menginginkan perceraian ini, Kek.”Leonard mendengus. Menatap kesal pada Ethan, bukannya Ivy. “Cucu bodohku ini benar-benar keterlaluan. Selama dua tahun kau pasti menderita hidup bersamanya, bukan?”Bukannya membantah, Ivy justru senang bisa sedikit memberi pelajaran pada Ethan di depan sang kakek yang terlihat lebih membelanya, daripada cucu sendiri. “Ya, begitulah, Kek. Aku mengerti kenapa dia mengambil keputusan seperti itu. Pernikahan ini terjadi karena kesalahan, mungkin karena itulah dia mudah percaya pada berita yang tidak benar.”Ekspresi Anastasia sedikit mengerut. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas Ivy melihat perubahan raut wajah ibunya Ethan yang duduk di hadapannya, tapi kembali beralih pada si kakek yang terdengar berdehem keras. Leonard mengetuk ujung tongkatnya pelan di lantai. “Atas nama cucuku, aku minta maaf padamu, Isla, karena tidak mendidiknya dengan benar selama ini.”Terdengar tulus, Ivy sadar i
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah. Apalagi Anastasia—ibunya. Wanita itu memang anggun, lembut, dan selalu tersenyum. Benar dugaan Ivy, kalau anggota keluarga Winchester memang berbeda dari Ethan.Ethan selalu memancarkan ketenangan yang hampir mengintimidasi. Diamnya bukan sekadar diam—ada kendali penuh dalam setiap gerak-geriknya, seakan dia tidak pernah terburu-buru. Tapi justru itulah yang paling menyebalkan darinya.Ivy sudah sering bertemu banyak orang dengan berbagai karakter, sehingga dia cukup mudah menilai siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar basa-basi. Meski begitu, ia tahu penilaiannya tidak selalu benar.“Minggu lalu, kami ada di Rosenthal untuk menyelesaikan perjanjian investasi besar. Itu bukan sesuatu yang bisa kami tinggalkan begitu saja,” jelas Frederick. Memulai lebih dulu, ketika akhirnya mereka duduk berkumpul di ruang keluar
Kepala Ivy masih berdenyut sesekali dan sekujur tubuh menyisakan sedikit nyeri akibat kecelakaan yang dialaminya, tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk lemah. Tidak di depan pria yang saat ini bergerak melangkah mendekatinya, setelah melemparkan sebuah tuduhan lagi.Di dalam hati, Ivy memendam kebencian yang membara. Pria ini—pria yang telah membuat Isla menderita selama dua tahun, dan sekarang bahkan seenaknya menuduh Isla berselingkuh.Secara tidak langsung menjadi alasan mengapa saudara kembarnya terbaring sekarat saat ini. Ivy muak dan benci hanya dengan melihat wajah Ethan. Namun dia harus tetap tenang.Ivy akan menjadi Isla, memanfaatkan alasan ‘lupa ingatan’ yang dia buat sejak sadar, sambil mencari celah untuk menghancurkan Ethan dan keluarga Winchester.Dengan suara yang pelan tapi tajam, Ivy berkata. “Jadi, itu yang kau pikirkan tentangku, Ethan?” Matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Aku berselingkuh … menurutmu?”Ethan berdiri tegak di sisi Ivy. Sosoknya memancarkan
Ivy Harrington tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai. Usianya baru sepuluh tahun saat itu, berdiri di tengah ruang tamu megah keluarga Harrington di Norwick. Menyaksikan ibunya—Rosalind, menangis tersedu sambil menggenggam tangan Isla—saudari kembar yang persis serupa wajah dengannya.Di sisi lain, ayahnya—Edmund Harrington, berdiri kaku dengan tatapan dingin, sementara kakeknya, patriark keluarga—Alistair Harrington, yang tidak pernah bisa dilawan, mengeluarkan ultimatum. Rosalind harus pergi dan meninggalkan salah satu anak.“Dia tidak pantas jadi bagian dari keluarga ini,” ujar kakek dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk negosiasi.Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakek dan ayahnya, bergeming. Akhirnya, ibu pergi entah ke mana bersama Isla, sementara Ivy tinggal di Norwick, dibentuk menjadi pewaris Harrington Company.Sejak hari itu, Ivy dididik untuk jadi kuat, tegas, dan tidak pernah menyerah. Ayah dan kakeknya mengasahnya seperti pedang.
“Bagus kau sudah sadar.”Suara berat seorang pria menyambut Ivy begitu kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram. Kepalanya juga terasa berat. Cahaya putih menyilaukan di atasnya membuat dia harus menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing.Aroma antiseptik yang tajam segera memenuhi indera penciumannya. Menandakan bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit.Ivy coba menggerakkan tangan, tapi ada selang infus yang menusuk pergelangan tangannya. Napasnya tercekat sejenak saat rasa nyeri menyeruak di kepalanya. Berusaha mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Lalu perlahan, kepingan ingatan itu kembali.Isla.Saudara kembarnya.Mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun, kebahagiaan yang seharusnya mereka rasakan cuma berlangsung sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.Tatapan Ivy kini beralih ke pria yang berdiri di samping ranjangnya. Sosok yang memiliki sorot mata tajam dan ekspresi dingin yang sulit diartikan. Bertubuh tinggi