Ivy mengangguk pelan. “Aku setuju karena Ethan yang sangat menginginkan perceraian ini, Kek.”
Leonard mendengus. Menatap kesal pada Ethan, bukannya Ivy. “Cucu bodohku ini benar-benar keterlaluan. Selama dua tahun kau pasti menderita hidup bersamanya, bukan?”
Bukannya membantah, Ivy justru senang bisa sedikit memberi pelajaran pada Ethan di depan sang kakek yang terlihat lebih membelanya, daripada cucu sendiri. “Ya, begitulah, Kek. Aku mengerti kenapa dia mengambil keputusan seperti itu. Pernikahan ini terjadi karena kesalahan, mungkin karena itulah dia mudah percaya pada berita yang tidak benar.”
Ekspresi Anastasia sedikit mengerut. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas Ivy melihat perubahan raut wajah ibunya Ethan yang duduk di hadapannya, tapi kembali beralih pada si kakek yang terdengar berdehem keras.
Leonard mengetuk ujung tongkatnya pelan di lantai. “Atas nama cucuku, aku minta maaf padamu, Isla, karena tidak mendidiknya dengan benar selama ini.”
Terdengar tulus, Ivy sadar itu. Namun, sepertinya dia tidak perlu mempertahankan Ethan yang jelas sangat dibencinya, yang telah membuat hidup Isla menderita sampai sekarang.
Sebelum Ivy sempat membuka mulut, Leonard kembali melanjutkan.
“Tapi, sayangnya aku tidak bisa membiarkan perceraian ini terjadi.” Perkataan serius dan tegas Leonard mengejutkan Ivy. Bahkan Anastasia pun terlihat tercengang akan keputusan ayah mertuanya.
Apa? Ivy mengernyit tidak senang. Harusnya cuma kemarahan Leonard yang dia dengar. Dia pikir, mungkin pertemuan ini hanya sekadar mendengarkan emosi kakeknya Ethan sesaat, lalu berakhir dengan Leonard yang bisa menerima keputusan Ethan untuk menceraikan Ivy.
Ethan, yang sejak tadi hanya diam, mengangkat kepalanya perlahan. Rahangnya mengeras, tetapi ekspresinya tetap tenang. Sekilas, matanya berkilat, sesuatu yang sulit diterjemahkan, sebelum akhirnya dia bersuara.
“Kakek—”
“Tutup mulutmu, Ethan!” hardik Leonard pada si cucu yang memang langsung menutup mulutnya, walau tanpa ekspresi.
Tangan Ethan mengepal di atas lututnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Hanya sikapnya yang sedikit berubah—punggungnya yang semula santai kini tegak lurus, seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu di balik ketenangannya.
“Aku tahu kebenarannya. Istrimu tidak selingkuh.”
Ethan melirik Ivy sekilas. Seketika, tatapan mereka bertemu.
Dingin.
Bukan hanya dari Ivy, tapi juga dari Ethan.
Ethan mengamati Ivy lebih lama dari yang seharusnya, seolah menilai sesuatu yang hanya Ethan sendiri yang tahu jawabannya.
Leonard bersandar di kursinya, menghela napas dalam. Lalu, dengan nada santai tapi menusuk, dia berkata, “Dan kalau kau tetap ingin menceraikannya, aku tidak akan menjalani operasi itu.”
Keheningan menyelimuti ruangan.
Ethan tetap di tempatnya, nyaris tanpa ekspresi. Hanya rahangnya yang sedikit mengatup, keningnya mengerut samar. Di atas kertas, dialah yang paling berkuasa. Pewaris sekaligus CEO Winchester Corporation. Di ruang rapat, suaranya adalah keputusan. Di hadapan direksi, dialah pemegang kendali. Tapi di hadapan pria tua itu, dia tetaplah seorang cucu. Karena rasa hormatnya, Ethan tidak pernah bisa menang dari kakeknya. “Jangan gunakan itu untuk mengancamku, Kek.”
Leonard mendengus, matanya menyipit tajam. “Aku tidak mengancam. Aku hanya memberitahumu konsekuensi dari keputusan bodohmu.” Dia mengetuk ujung tongkatnya lagi ke lantai, suaranya bergema di ruangan. “Kau pikir aku takut mati? Kalau kau menceraikan Isla, aku tidak akan menjalani operasi itu. Kau yang akan menanggung akibatnya.”
Ethan, Frederick dan Anastasia tahu Leonard bukan hanya bicara omong kosong. Kondisi jantung pria tua itu sudah memburuk dalam beberapa bulan terakhir, dan dokter sudah menyarankan operasi sebelum terlambat. Tapi Leonard, dengan keras kepalanya, terus menunda. Sekarang dia justru menggunakannya sebagai senjata untuk mengendalikan Ethan.
Ivy sama sekali tidak menyangka akan jadi begini. Sepertinya Adrian lupa memberitahu perihal kondisi tetua Winchester itu padanya atau memang masalah ini tidak ada dalam hasil penyelidikan asistennya itu tempo hari.
Ivy benar-benar tidak menduga hal ini bisa terjadi.
Dan Ivy baru sadar kalau Ethan rupanya sedang menatapnya. Apa? Apa arti tatapan si pria berengsek ini padanya? Ivy sungguh tidak paham. Memintanya membujuk si kakek yang keras kepala? Atau melawan yang hasilnya sudah jelas?
“Ayah, tolong jangan begitu. Ayah tidak bisa main-main dengan kesehatan Ayah hanya karena urusan ini.” Tiba-tiba Anastasia mengeluarkan suaranya. Raut wajahnya yang gelisah, tidak sepenuhnya diartikan sebagai rasa khawatir dan peduli oleh Ivy.
Leonard mendengus. “Aku tidak main-main. Kalian tahu aku selalu melakukan apa yang kukatakan.” Tatapannya menyapu mereka semua, tajam dan penuh kepastian yang tak tergoyahkan.
Lalu, dia menoleh pada Ivy. Suaranya menurun, lebih rendah, lebih lembut, tapi tetap berwibawa. “Dan Ivy, aku tidak meminta ini pada cucuku, melainkan padamu. Setelah semua ini, masihkah kau bersikeras mengabulkan keinginan Ethan untuk menceraikanmu?”
Ivy bingung awalnya. Namun, saat dia melihat Ethan yang masih menatapnya—diam, tak bersuara, tapi jelas tidak sekadar menyimak. Seakan sedang menimbang sesuatu di benaknya, menunggu jawaban dengan cara yang sulit dimengerti. Tidak ada tanda Ethan setuju atau tidak setuju.
Dan tekad lain muncul dalam hati Ivy. Apalagi ketika dia merasakan ekspresi berbeda dari ibu mertuanya Isla. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong kuat keputusannya agar tetap maju.
Untuk membalaskan dendam Isla dan kematian ibunya, dia harus berada sangat dekat dengan musuhnya. Tidak ada cara lain.
Ivy tersenyum. Bukan senyum hangat atau bahagia, melainkan senyum yang tidak mencapai matanya—anggun, berkelas, tapi membawa sesuatu yang sulit diterjemahkan. “Tidak, Kek. Aku tidak bersalah. Jadi, aku akan bertahan dalam pernikahan ini.”
Ethan akhirnya mengalihkan tatapannya. Pelan, tanpa perubahan ekspresi. Seakan jawaban Ivy bukan sesuatu yang mengejutkan, tapi juga bukan sesuatu yang sudah pria itu duga sepenuhnya.
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Dan kemudian, Leonard tertawa. Suaranya dalam, penuh kepuasan, seolah ini adalah jawaban yang sudah dia harapkan sejak awal. “Bagus! Begitu seharusnya.” Dia mengetuk-ngetuk tongkatnya ke lantai, matanya berbinar. “Jangan biarkan bocah bodoh ini lolos dengan mudah.”
“Tentu saja, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ethan tidak akan dia biarkan lolos begitu saja, setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.Leonard mengangguk puas, senyumnya menandakan dukungan penuh untuk Ivy. “Karena masalah ini sudah selesai, aku ingin kalian berdua ke ruang kerjaku sekarang.”Tatapannya beralih ke Frederick dan Ethan secara bergantian sebelum bangkit dari kursinya. “Kita perlu membahas langkah berikutnya setelah kesepakatan di Rosenthal. Ada beberapa keputusan yang harus dipastikan segera. Terutama kau, Ethan—aku tidak ingin ada satu detail pun yang kau lewatkan.”Ethan tidak langsung bereaksi. Sekalipun namanya disebut, dia tetap tenang, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan. Namun, saat berdiri, tubuh tegapnya memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan. Dia tidak menjawab Leonard, tidak juga menatap Ivy, tetapi caranya bergerak, caranya berjalan menuju ruang kerja bersama dua pria lainnya, memberi kesan bahwa kendali tetap b
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di rumah, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.Tiba-tiba, Ethan berhenti dan berbalik. Tangannya masih di saku celana, tatapannya lurus ke Ivy. “Apa yang sedang kau rencanakan?”Ivy mengangkat alis. “Apa maksudmu?” Balik bertanya dengan nada datar.Ethan menatap Ivy lekat-lekat. Rahangnya mengeras sesaat. “Kau mengisi kepala kakekku dengan omong kosong.”Ivy tertawa pelan. “Maksudmu tentang aku yang akan bertahan dalam pernikahan ini?”Ethan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin.Ethan masih diam, tapi Ivy tahu Ethan sedang menahan sesuatu. Mungkin kesal, mungkin tidak peduli. Sulit ditebak.“Kau buang-buang tenaga,” kata Ethan akhirnya, nada suaranya tenang, tapi dingin.Ivy mengangkat bahu. “Aku tidak merasa begitu. Lagipula, kakekmu yang memutuskan. Aku hanya mengikutinya.”Ada kernyitan samar di kening Ethan saat mendengar ucapan Ivy. “Kau
“Bagus kau sudah sadar.”Suara berat seorang pria menyambut Ivy begitu kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram. Kepalanya juga terasa berat. Cahaya putih menyilaukan di atasnya membuat dia harus menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing.Aroma antiseptik yang tajam segera memenuhi indera penciumannya. Menandakan bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit.Ivy coba menggerakkan tangan, tapi ada selang infus yang menusuk pergelangan tangannya. Napasnya tercekat sejenak saat rasa nyeri menyeruak di kepalanya. Berusaha mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Lalu perlahan, kepingan ingatan itu kembali.Isla.Saudara kembarnya.Mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun, kebahagiaan yang seharusnya mereka rasakan cuma berlangsung sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.Tatapan Ivy kini beralih ke pria yang berdiri di samping ranjangnya. Sosok yang memiliki sorot mata tajam dan ekspresi dingin yang sulit diartikan. Bertubuh tinggi
Ivy Harrington tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai. Usianya baru sepuluh tahun saat itu, berdiri di tengah ruang tamu megah keluarga Harrington di Norwick. Menyaksikan ibunya—Rosalind, menangis tersedu sambil menggenggam tangan Isla—saudari kembar yang persis serupa wajah dengannya.Di sisi lain, ayahnya—Edmund Harrington, berdiri kaku dengan tatapan dingin, sementara kakeknya, patriark keluarga—Alistair Harrington, yang tidak pernah bisa dilawan, mengeluarkan ultimatum. Rosalind harus pergi dan meninggalkan salah satu anak.“Dia tidak pantas jadi bagian dari keluarga ini,” ujar kakek dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk negosiasi.Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakek dan ayahnya, bergeming. Akhirnya, ibu pergi entah ke mana bersama Isla, sementara Ivy tinggal di Norwick, dibentuk menjadi pewaris Harrington Company.Sejak hari itu, Ivy dididik untuk jadi kuat, tegas, dan tidak pernah menyerah. Ayah dan kakeknya mengasahnya seperti pedang.
Kepala Ivy masih berdenyut sesekali dan sekujur tubuh menyisakan sedikit nyeri akibat kecelakaan yang dialaminya, tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk lemah. Tidak di depan pria yang saat ini bergerak melangkah mendekatinya, setelah melemparkan sebuah tuduhan lagi.Di dalam hati, Ivy memendam kebencian yang membara. Pria ini—pria yang telah membuat Isla menderita selama dua tahun, dan sekarang bahkan seenaknya menuduh Isla berselingkuh.Secara tidak langsung menjadi alasan mengapa saudara kembarnya terbaring sekarat saat ini. Ivy muak dan benci hanya dengan melihat wajah Ethan. Namun dia harus tetap tenang.Ivy akan menjadi Isla, memanfaatkan alasan ‘lupa ingatan’ yang dia buat sejak sadar, sambil mencari celah untuk menghancurkan Ethan dan keluarga Winchester.Dengan suara yang pelan tapi tajam, Ivy berkata. “Jadi, itu yang kau pikirkan tentangku, Ethan?” Matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Aku berselingkuh … menurutmu?”Ethan berdiri tegak di sisi Ivy. Sosoknya memancarkan
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah. Apalagi Anastasia—ibunya. Wanita itu memang anggun, lembut, dan selalu tersenyum. Benar dugaan Ivy, kalau anggota keluarga Winchester memang berbeda dari Ethan.Ethan selalu memancarkan ketenangan yang hampir mengintimidasi. Diamnya bukan sekadar diam—ada kendali penuh dalam setiap gerak-geriknya, seakan dia tidak pernah terburu-buru. Tapi justru itulah yang paling menyebalkan darinya.Ivy sudah sering bertemu banyak orang dengan berbagai karakter, sehingga dia cukup mudah menilai siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar basa-basi. Meski begitu, ia tahu penilaiannya tidak selalu benar.“Minggu lalu, kami ada di Rosenthal untuk menyelesaikan perjanjian investasi besar. Itu bukan sesuatu yang bisa kami tinggalkan begitu saja,” jelas Frederick. Memulai lebih dulu, ketika akhirnya mereka duduk berkumpul di ruang keluar
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di rumah, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.Tiba-tiba, Ethan berhenti dan berbalik. Tangannya masih di saku celana, tatapannya lurus ke Ivy. “Apa yang sedang kau rencanakan?”Ivy mengangkat alis. “Apa maksudmu?” Balik bertanya dengan nada datar.Ethan menatap Ivy lekat-lekat. Rahangnya mengeras sesaat. “Kau mengisi kepala kakekku dengan omong kosong.”Ivy tertawa pelan. “Maksudmu tentang aku yang akan bertahan dalam pernikahan ini?”Ethan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin.Ethan masih diam, tapi Ivy tahu Ethan sedang menahan sesuatu. Mungkin kesal, mungkin tidak peduli. Sulit ditebak.“Kau buang-buang tenaga,” kata Ethan akhirnya, nada suaranya tenang, tapi dingin.Ivy mengangkat bahu. “Aku tidak merasa begitu. Lagipula, kakekmu yang memutuskan. Aku hanya mengikutinya.”Ada kernyitan samar di kening Ethan saat mendengar ucapan Ivy. “Kau
“Tentu saja, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ethan tidak akan dia biarkan lolos begitu saja, setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.Leonard mengangguk puas, senyumnya menandakan dukungan penuh untuk Ivy. “Karena masalah ini sudah selesai, aku ingin kalian berdua ke ruang kerjaku sekarang.”Tatapannya beralih ke Frederick dan Ethan secara bergantian sebelum bangkit dari kursinya. “Kita perlu membahas langkah berikutnya setelah kesepakatan di Rosenthal. Ada beberapa keputusan yang harus dipastikan segera. Terutama kau, Ethan—aku tidak ingin ada satu detail pun yang kau lewatkan.”Ethan tidak langsung bereaksi. Sekalipun namanya disebut, dia tetap tenang, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan. Namun, saat berdiri, tubuh tegapnya memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan. Dia tidak menjawab Leonard, tidak juga menatap Ivy, tetapi caranya bergerak, caranya berjalan menuju ruang kerja bersama dua pria lainnya, memberi kesan bahwa kendali tetap b
Ivy mengangguk pelan. “Aku setuju karena Ethan yang sangat menginginkan perceraian ini, Kek.”Leonard mendengus. Menatap kesal pada Ethan, bukannya Ivy. “Cucu bodohku ini benar-benar keterlaluan. Selama dua tahun kau pasti menderita hidup bersamanya, bukan?”Bukannya membantah, Ivy justru senang bisa sedikit memberi pelajaran pada Ethan di depan sang kakek yang terlihat lebih membelanya, daripada cucu sendiri. “Ya, begitulah, Kek. Aku mengerti kenapa dia mengambil keputusan seperti itu. Pernikahan ini terjadi karena kesalahan, mungkin karena itulah dia mudah percaya pada berita yang tidak benar.”Ekspresi Anastasia sedikit mengerut. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas Ivy melihat perubahan raut wajah ibunya Ethan yang duduk di hadapannya, tapi kembali beralih pada si kakek yang terdengar berdehem keras. Leonard mengetuk ujung tongkatnya pelan di lantai. “Atas nama cucuku, aku minta maaf padamu, Isla, karena tidak mendidiknya dengan benar selama ini.”Terdengar tulus, Ivy sadar i
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah. Apalagi Anastasia—ibunya. Wanita itu memang anggun, lembut, dan selalu tersenyum. Benar dugaan Ivy, kalau anggota keluarga Winchester memang berbeda dari Ethan.Ethan selalu memancarkan ketenangan yang hampir mengintimidasi. Diamnya bukan sekadar diam—ada kendali penuh dalam setiap gerak-geriknya, seakan dia tidak pernah terburu-buru. Tapi justru itulah yang paling menyebalkan darinya.Ivy sudah sering bertemu banyak orang dengan berbagai karakter, sehingga dia cukup mudah menilai siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar basa-basi. Meski begitu, ia tahu penilaiannya tidak selalu benar.“Minggu lalu, kami ada di Rosenthal untuk menyelesaikan perjanjian investasi besar. Itu bukan sesuatu yang bisa kami tinggalkan begitu saja,” jelas Frederick. Memulai lebih dulu, ketika akhirnya mereka duduk berkumpul di ruang keluar
Kepala Ivy masih berdenyut sesekali dan sekujur tubuh menyisakan sedikit nyeri akibat kecelakaan yang dialaminya, tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk lemah. Tidak di depan pria yang saat ini bergerak melangkah mendekatinya, setelah melemparkan sebuah tuduhan lagi.Di dalam hati, Ivy memendam kebencian yang membara. Pria ini—pria yang telah membuat Isla menderita selama dua tahun, dan sekarang bahkan seenaknya menuduh Isla berselingkuh.Secara tidak langsung menjadi alasan mengapa saudara kembarnya terbaring sekarat saat ini. Ivy muak dan benci hanya dengan melihat wajah Ethan. Namun dia harus tetap tenang.Ivy akan menjadi Isla, memanfaatkan alasan ‘lupa ingatan’ yang dia buat sejak sadar, sambil mencari celah untuk menghancurkan Ethan dan keluarga Winchester.Dengan suara yang pelan tapi tajam, Ivy berkata. “Jadi, itu yang kau pikirkan tentangku, Ethan?” Matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Aku berselingkuh … menurutmu?”Ethan berdiri tegak di sisi Ivy. Sosoknya memancarkan
Ivy Harrington tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai. Usianya baru sepuluh tahun saat itu, berdiri di tengah ruang tamu megah keluarga Harrington di Norwick. Menyaksikan ibunya—Rosalind, menangis tersedu sambil menggenggam tangan Isla—saudari kembar yang persis serupa wajah dengannya.Di sisi lain, ayahnya—Edmund Harrington, berdiri kaku dengan tatapan dingin, sementara kakeknya, patriark keluarga—Alistair Harrington, yang tidak pernah bisa dilawan, mengeluarkan ultimatum. Rosalind harus pergi dan meninggalkan salah satu anak.“Dia tidak pantas jadi bagian dari keluarga ini,” ujar kakek dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk negosiasi.Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakek dan ayahnya, bergeming. Akhirnya, ibu pergi entah ke mana bersama Isla, sementara Ivy tinggal di Norwick, dibentuk menjadi pewaris Harrington Company.Sejak hari itu, Ivy dididik untuk jadi kuat, tegas, dan tidak pernah menyerah. Ayah dan kakeknya mengasahnya seperti pedang.
“Bagus kau sudah sadar.”Suara berat seorang pria menyambut Ivy begitu kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram. Kepalanya juga terasa berat. Cahaya putih menyilaukan di atasnya membuat dia harus menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing.Aroma antiseptik yang tajam segera memenuhi indera penciumannya. Menandakan bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit.Ivy coba menggerakkan tangan, tapi ada selang infus yang menusuk pergelangan tangannya. Napasnya tercekat sejenak saat rasa nyeri menyeruak di kepalanya. Berusaha mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Lalu perlahan, kepingan ingatan itu kembali.Isla.Saudara kembarnya.Mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun, kebahagiaan yang seharusnya mereka rasakan cuma berlangsung sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.Tatapan Ivy kini beralih ke pria yang berdiri di samping ranjangnya. Sosok yang memiliki sorot mata tajam dan ekspresi dingin yang sulit diartikan. Bertubuh tinggi