Kepala Ivy masih berdenyut sesekali dan sekujur tubuh menyisakan sedikit nyeri akibat kecelakaan yang dialaminya, tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk lemah. Tidak di depan pria yang saat ini bergerak melangkah mendekatinya, setelah melemparkan sebuah tuduhan lagi.
Di dalam hati, Ivy memendam kebencian yang membara. Pria ini—pria yang telah membuat Isla menderita selama dua tahun, dan sekarang bahkan seenaknya menuduh Isla berselingkuh.
Secara tidak langsung menjadi alasan mengapa saudara kembarnya terbaring sekarat saat ini. Ivy muak dan benci hanya dengan melihat wajah Ethan. Namun dia harus tetap tenang.
Ivy akan menjadi Isla, memanfaatkan alasan ‘lupa ingatan’ yang dia buat sejak sadar, sambil mencari celah untuk menghancurkan Ethan dan keluarga Winchester.
Dengan suara yang pelan tapi tajam, Ivy berkata. “Jadi, itu yang kau pikirkan tentangku, Ethan?” Matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Aku berselingkuh … menurutmu?”
Ethan berdiri tegak di sisi Ivy. Sosoknya memancarkan aura dominan yang sulit diabaikan, di pertemuan pertama sekalipun. Rambut hitamnya yang tersisir rapi, berwarna sama pekat dengan matanya yang tajam. Mata itu seolah bisa menembus pikiran lawan bicaranya.
Bukan hanya tubuh tingginya yang menjulang, tapi raut tegas, dingin dan tampannya menambah kesan berwibawa yang membuat siapa saja merasa kecil di hadapannya—aura pemimpin yang begitu menonjol.
Tapi di balik semua itu, Ivy hanya melihat seorang pria yang telah menghancurkan hidup saudara kembarnya.
“Ya, kau memang berselingkuh dariku, Isla.” Ethan tidak menunjukkan ekspresi lain, selain ketenangan dan tatapan tajam. “Mau kuperlihatkan buktinya?”
Ivy tersenyum tipis, senyum yang penuh makna tapi dingin. “Tidak perlu,” gelengnya pelan.
Di dalam hati, Ivy terus merutuki pria itu. Seorang pria yang begitu arogan, begitu bodoh, hingga tidak bisa melihat kebenaran di depan mata. Tapi dia tidak akan membiarkan emosinya meledak. Tidak sekarang.
“Jika kau begitu yakin aku berselingkuh,” lanjut Ivy, suaranya tetap pelan tapi setiap kata diberi penekanan tegas. “Kenapa kau terlihat begitu … terganggu? Dua tahun kita menikah, kau tidak pernah peduli padaku. Aku bahkan tidak tahu kenapa kau tiba-tiba peduli sekarang.”
Ethan mengernyit samar. Menilai dan membandingkan Isla yang dia kenal selama ini dengan yang ada di hadapannya sekarang.
Berbeda?
“Terserah apa katamu. Aku hanya ingin kita bercerai,” balas Ethan.
Betapa ingin Ivy meneriakkan semua kebencian yang dia rasakan, namun tetap ditahannya kuat-kuat sambil tersenyum sekilas. “Rupanya kau begitu muak padaku, ya? Oke, mari kita bercerai, Ethan. Aku setuju. Tapi sebelum itu, aku mau kau setujui syarat dariku terlebih dulu.”
Ethan terdiam sejenak, matanya menyipit menatap Ivy, seolah mencoba mencari tahu apa yang berubah dari wanita di depannya. Isla yang dia kenal tidak pernah seberani ini. “Katakan. Apa maumu?”
Haa! Lihat! Bahkan ketika Ivy mengajukan syarat perceraian, begitu santainya Ethan menanggapi. Ivy pikir, Ethan mungkin menganggapnya cuma menggertak. Hoo, tunggu dan lihatlah.
“Aku tidak butuh hal lain darimu, hanya 50% saham, semua properti utama, dan kompensasi 100 juta dolar.” Santai dan dengan senyum tidak mencapai mata, Ivy menatap Ethan, menunggu reaksi pria itu.
Ivy jelas tidak membutuhkan uang tunjangan apa pun. Sebagai CEO Harrington, kekayaannya sudah jauh melampaui batas kebutuhan. Keluarganya, para Harrington, telah hidup dengan kemewahan sejak berabad-abad lalu. Tapi ini bukan soal uang. Ini tentang keseimbangan.
Selama dua tahun, Ethan telah mengabaikan Isla seolah keberadaan saudari kembarnya itu tidak penting, selagi Isla hidup di sisi Ethan sebagai wanita yang berusaha menjadi istri yang baik. Jika Ethan keberatan, maka setidaknya kali ini, Ivy berhasil membuat pria itu merasa kehilangan sesuatu.
Dan ini cuma satu dari sekian banyak rencana balas dendamnya terhadap Ethan.
Tidak tersentak, tidak mengernyit, cuma menatap lekat. Reaksi Ethan hanya itu selama beberapa detik, sampai akhirnya dia membuka mulut, tapi getar dari ponselnya membuat pria itu menahan diri untuk bicara.
‘Kakek’ tertera di layar. Tanpa menjauh dari sana, dia langsung menjawab panggilan telepon sang kakek.
“Halo, Kek—”
“Apa-apaan perbuatanmu itu, hah?” Di seberang, Leonard Winchester terdengar meninggikan suaranya. “Jangan berpikir aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan.”
Ethan tidak menjawab, tapi melirik Ivy sekilas.
“Bagaimana kondisi istrimu sekarang?” Leonard langsung bertanya tanpa jeda.
“Sudah jauh lebih baik.” Tanpa nada berarti, tanpa ekspresi.
“Bawa dia kemari. Aku ingin bertemu dengannya.”
Ethan tidak langsung mengiyakan. Kembali melirik Ivy yang ternyata sedang menatapnya.
“Ethan? Kau dengar aku?” Leonard di seberang mulai kehilangan kesabaran.
“Baiklah.” Tanpa menunggu, Ethan langsung mengakhiri panggilan telepon dan menatap Ivy. “Bersiaplah. Kita pulang. Kakek ingin bertemu denganmu.”
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah. Apalagi Anastasia—ibunya. Wanita itu memang anggun, lembut, dan selalu tersenyum. Benar dugaan Ivy, kalau anggota keluarga Winchester memang berbeda dari Ethan.Ethan selalu memancarkan ketenangan yang hampir mengintimidasi. Diamnya bukan sekadar diam—ada kendali penuh dalam setiap gerak-geriknya, seakan dia tidak pernah terburu-buru. Tapi justru itulah yang paling menyebalkan darinya.Ivy sudah sering bertemu banyak orang dengan berbagai karakter, sehingga dia cukup mudah menilai siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar basa-basi. Meski begitu, ia tahu penilaiannya tidak selalu benar.“Minggu lalu, kami ada di Rosenthal untuk menyelesaikan perjanjian investasi besar. Itu bukan sesuatu yang bisa kami tinggalkan begitu saja,” jelas Frederick. Memulai lebih dulu, ketika akhirnya mereka duduk berkumpul di ruang keluar
Ivy mengangguk pelan. “Aku setuju karena Ethan yang sangat menginginkan perceraian ini, Kek.”Leonard mendengus. Menatap kesal pada Ethan, bukannya Ivy. “Cucu bodohku ini benar-benar keterlaluan. Selama dua tahun kau pasti menderita hidup bersamanya, bukan?”Bukannya membantah, Ivy justru senang bisa sedikit memberi pelajaran pada Ethan di depan sang kakek yang terlihat lebih membelanya, daripada cucu sendiri. “Ya, begitulah, Kek. Aku mengerti kenapa dia mengambil keputusan seperti itu. Pernikahan ini terjadi karena kesalahan, mungkin karena itulah dia mudah percaya pada berita yang tidak benar.”Ekspresi Anastasia sedikit mengerut. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas Ivy melihat perubahan raut wajah ibunya Ethan yang duduk di hadapannya, tapi kembali beralih pada si kakek yang terdengar berdehem keras. Leonard mengetuk ujung tongkatnya pelan di lantai. “Atas nama cucuku, aku minta maaf padamu, Isla, karena tidak mendidiknya dengan benar selama ini.”Terdengar tulus, Ivy sadar i
“Tentu saja, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ethan tidak akan dia biarkan lolos begitu saja, setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.Leonard mengangguk puas, senyumnya menandakan dukungan penuh untuk Ivy. “Karena masalah ini sudah selesai, aku ingin kalian berdua ke ruang kerjaku sekarang.”Tatapannya beralih ke Frederick dan Ethan secara bergantian sebelum bangkit dari kursinya. “Kita perlu membahas langkah berikutnya setelah kesepakatan di Rosenthal. Ada beberapa keputusan yang harus dipastikan segera. Terutama kau, Ethan—aku tidak ingin ada satu detail pun yang kau lewatkan.”Ethan tidak langsung bereaksi. Sekalipun namanya disebut, dia tetap tenang, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan. Namun, saat berdiri, tubuh tegapnya memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan. Dia tidak menjawab Leonard, tidak juga menatap Ivy, tetapi caranya bergerak, caranya berjalan menuju ruang kerja bersama dua pria lainnya, memberi kesan bahwa kendali tetap b
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di rumah, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.Tiba-tiba, Ethan berhenti dan berbalik. Tangannya masih di saku celana, tatapannya lurus ke Ivy. “Apa yang sedang kau rencanakan?”Ivy mengangkat alis. “Apa maksudmu?” Balik bertanya dengan nada datar.Ethan menatap Ivy lekat-lekat. Rahangnya mengeras sesaat. “Kau mengisi kepala kakekku dengan omong kosong.”Ivy tertawa pelan. “Maksudmu tentang aku yang akan bertahan dalam pernikahan ini?”Ethan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin.Ethan masih diam, tapi Ivy tahu Ethan sedang menahan sesuatu. Mungkin kesal, mungkin tidak peduli. Sulit ditebak.“Kau buang-buang tenaga,” kata Ethan akhirnya, nada suaranya tenang, tapi dingin.Ivy mengangkat bahu. “Aku tidak merasa begitu. Lagipula, kakekmu yang memutuskan. Aku hanya mengikutinya.”Ada kernyitan samar di kening Ethan saat mendengar ucapan Ivy. “Kau
“Bagus kau sudah sadar.”Suara berat seorang pria menyambut Ivy begitu kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram. Kepalanya juga terasa berat. Cahaya putih menyilaukan di atasnya membuat dia harus menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing.Aroma antiseptik yang tajam segera memenuhi indera penciumannya. Menandakan bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit.Ivy coba menggerakkan tangan, tapi ada selang infus yang menusuk pergelangan tangannya. Napasnya tercekat sejenak saat rasa nyeri menyeruak di kepalanya. Berusaha mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Lalu perlahan, kepingan ingatan itu kembali.Isla.Saudara kembarnya.Mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun, kebahagiaan yang seharusnya mereka rasakan cuma berlangsung sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.Tatapan Ivy kini beralih ke pria yang berdiri di samping ranjangnya. Sosok yang memiliki sorot mata tajam dan ekspresi dingin yang sulit diartikan. Bertubuh tinggi
Ivy Harrington tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai. Usianya baru sepuluh tahun saat itu, berdiri di tengah ruang tamu megah keluarga Harrington di Norwick. Menyaksikan ibunya—Rosalind, menangis tersedu sambil menggenggam tangan Isla—saudari kembar yang persis serupa wajah dengannya.Di sisi lain, ayahnya—Edmund Harrington, berdiri kaku dengan tatapan dingin, sementara kakeknya, patriark keluarga—Alistair Harrington, yang tidak pernah bisa dilawan, mengeluarkan ultimatum. Rosalind harus pergi dan meninggalkan salah satu anak.“Dia tidak pantas jadi bagian dari keluarga ini,” ujar kakek dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk negosiasi.Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakek dan ayahnya, bergeming. Akhirnya, ibu pergi entah ke mana bersama Isla, sementara Ivy tinggal di Norwick, dibentuk menjadi pewaris Harrington Company.Sejak hari itu, Ivy dididik untuk jadi kuat, tegas, dan tidak pernah menyerah. Ayah dan kakeknya mengasahnya seperti pedang.
Sepanjang perjalanan pulang, Ethan dan Ivy sama-sama diam. Begitu tiba di rumah, Ivy mengikuti Ethan, memperhatikan setiap sudut tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang.Tiba-tiba, Ethan berhenti dan berbalik. Tangannya masih di saku celana, tatapannya lurus ke Ivy. “Apa yang sedang kau rencanakan?”Ivy mengangkat alis. “Apa maksudmu?” Balik bertanya dengan nada datar.Ethan menatap Ivy lekat-lekat. Rahangnya mengeras sesaat. “Kau mengisi kepala kakekku dengan omong kosong.”Ivy tertawa pelan. “Maksudmu tentang aku yang akan bertahan dalam pernikahan ini?”Ethan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin.Ethan masih diam, tapi Ivy tahu Ethan sedang menahan sesuatu. Mungkin kesal, mungkin tidak peduli. Sulit ditebak.“Kau buang-buang tenaga,” kata Ethan akhirnya, nada suaranya tenang, tapi dingin.Ivy mengangkat bahu. “Aku tidak merasa begitu. Lagipula, kakekmu yang memutuskan. Aku hanya mengikutinya.”Ada kernyitan samar di kening Ethan saat mendengar ucapan Ivy. “Kau
“Tentu saja, Kakek.” Ivy mengangguk tanpa ragu-ragu. Benar. Ethan tidak akan dia biarkan lolos begitu saja, setelah semua ketidakadilan yang diterima oleh Isla.Leonard mengangguk puas, senyumnya menandakan dukungan penuh untuk Ivy. “Karena masalah ini sudah selesai, aku ingin kalian berdua ke ruang kerjaku sekarang.”Tatapannya beralih ke Frederick dan Ethan secara bergantian sebelum bangkit dari kursinya. “Kita perlu membahas langkah berikutnya setelah kesepakatan di Rosenthal. Ada beberapa keputusan yang harus dipastikan segera. Terutama kau, Ethan—aku tidak ingin ada satu detail pun yang kau lewatkan.”Ethan tidak langsung bereaksi. Sekalipun namanya disebut, dia tetap tenang, seolah tidak ada yang perlu ditanggapi berlebihan. Namun, saat berdiri, tubuh tegapnya memancarkan aura otoritas yang sulit diabaikan. Dia tidak menjawab Leonard, tidak juga menatap Ivy, tetapi caranya bergerak, caranya berjalan menuju ruang kerja bersama dua pria lainnya, memberi kesan bahwa kendali tetap b
Ivy mengangguk pelan. “Aku setuju karena Ethan yang sangat menginginkan perceraian ini, Kek.”Leonard mendengus. Menatap kesal pada Ethan, bukannya Ivy. “Cucu bodohku ini benar-benar keterlaluan. Selama dua tahun kau pasti menderita hidup bersamanya, bukan?”Bukannya membantah, Ivy justru senang bisa sedikit memberi pelajaran pada Ethan di depan sang kakek yang terlihat lebih membelanya, daripada cucu sendiri. “Ya, begitulah, Kek. Aku mengerti kenapa dia mengambil keputusan seperti itu. Pernikahan ini terjadi karena kesalahan, mungkin karena itulah dia mudah percaya pada berita yang tidak benar.”Ekspresi Anastasia sedikit mengerut. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Sekilas Ivy melihat perubahan raut wajah ibunya Ethan yang duduk di hadapannya, tapi kembali beralih pada si kakek yang terdengar berdehem keras. Leonard mengetuk ujung tongkatnya pelan di lantai. “Atas nama cucuku, aku minta maaf padamu, Isla, karena tidak mendidiknya dengan benar selama ini.”Terdengar tulus, Ivy sadar i
Tidak seperti Ethan, Leonard Winchester terlihat lebih hangat dan terbuka. Frederick—ayahnya Ethan, meski tampak hampir sama dengan putranya, rupanya jauh lebih ramah. Apalagi Anastasia—ibunya. Wanita itu memang anggun, lembut, dan selalu tersenyum. Benar dugaan Ivy, kalau anggota keluarga Winchester memang berbeda dari Ethan.Ethan selalu memancarkan ketenangan yang hampir mengintimidasi. Diamnya bukan sekadar diam—ada kendali penuh dalam setiap gerak-geriknya, seakan dia tidak pernah terburu-buru. Tapi justru itulah yang paling menyebalkan darinya.Ivy sudah sering bertemu banyak orang dengan berbagai karakter, sehingga dia cukup mudah menilai siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekadar basa-basi. Meski begitu, ia tahu penilaiannya tidak selalu benar.“Minggu lalu, kami ada di Rosenthal untuk menyelesaikan perjanjian investasi besar. Itu bukan sesuatu yang bisa kami tinggalkan begitu saja,” jelas Frederick. Memulai lebih dulu, ketika akhirnya mereka duduk berkumpul di ruang keluar
Kepala Ivy masih berdenyut sesekali dan sekujur tubuh menyisakan sedikit nyeri akibat kecelakaan yang dialaminya, tapi sekarang dia tidak punya waktu untuk lemah. Tidak di depan pria yang saat ini bergerak melangkah mendekatinya, setelah melemparkan sebuah tuduhan lagi.Di dalam hati, Ivy memendam kebencian yang membara. Pria ini—pria yang telah membuat Isla menderita selama dua tahun, dan sekarang bahkan seenaknya menuduh Isla berselingkuh.Secara tidak langsung menjadi alasan mengapa saudara kembarnya terbaring sekarat saat ini. Ivy muak dan benci hanya dengan melihat wajah Ethan. Namun dia harus tetap tenang.Ivy akan menjadi Isla, memanfaatkan alasan ‘lupa ingatan’ yang dia buat sejak sadar, sambil mencari celah untuk menghancurkan Ethan dan keluarga Winchester.Dengan suara yang pelan tapi tajam, Ivy berkata. “Jadi, itu yang kau pikirkan tentangku, Ethan?” Matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Aku berselingkuh … menurutmu?”Ethan berdiri tegak di sisi Ivy. Sosoknya memancarkan
Ivy Harrington tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai. Usianya baru sepuluh tahun saat itu, berdiri di tengah ruang tamu megah keluarga Harrington di Norwick. Menyaksikan ibunya—Rosalind, menangis tersedu sambil menggenggam tangan Isla—saudari kembar yang persis serupa wajah dengannya.Di sisi lain, ayahnya—Edmund Harrington, berdiri kaku dengan tatapan dingin, sementara kakeknya, patriark keluarga—Alistair Harrington, yang tidak pernah bisa dilawan, mengeluarkan ultimatum. Rosalind harus pergi dan meninggalkan salah satu anak.“Dia tidak pantas jadi bagian dari keluarga ini,” ujar kakek dengan nada yang tak meninggalkan ruang untuk negosiasi.Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakek dan ayahnya, bergeming. Akhirnya, ibu pergi entah ke mana bersama Isla, sementara Ivy tinggal di Norwick, dibentuk menjadi pewaris Harrington Company.Sejak hari itu, Ivy dididik untuk jadi kuat, tegas, dan tidak pernah menyerah. Ayah dan kakeknya mengasahnya seperti pedang.
“Bagus kau sudah sadar.”Suara berat seorang pria menyambut Ivy begitu kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram. Kepalanya juga terasa berat. Cahaya putih menyilaukan di atasnya membuat dia harus menyipitkan mata untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing.Aroma antiseptik yang tajam segera memenuhi indera penciumannya. Menandakan bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit.Ivy coba menggerakkan tangan, tapi ada selang infus yang menusuk pergelangan tangannya. Napasnya tercekat sejenak saat rasa nyeri menyeruak di kepalanya. Berusaha mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Lalu perlahan, kepingan ingatan itu kembali.Isla.Saudara kembarnya.Mereka akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun, kebahagiaan yang seharusnya mereka rasakan cuma berlangsung sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.Tatapan Ivy kini beralih ke pria yang berdiri di samping ranjangnya. Sosok yang memiliki sorot mata tajam dan ekspresi dingin yang sulit diartikan. Bertubuh tinggi