“Kok lama sekali sayang, katanya cuma sebentar?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah.
“Iya Mas, tadi Bang Alex ngobrolnya lama banget sama teman-temannya,” jawabku berbohong.
“Ya udah kita masuk dulu. Mas juga udah nyiapin minuman hangat buat kamu, Sayang” ajak Mas Bayu sambil tersenyum lembut menghangatkan jiwaku yang kaku dan dingin.
Aku benar-benar terharu mendapati kelembutan dan perhatiannya. Lalu buru-buru masuk ke rumah dan bergegas masuk kamar mandi. Aku tidak mau Mas Bayu melihatku menangis karena terluka atas penghinaan Alex, sekaligus terharu atas kebaikan suamiku.
‘Mas Bayu, seandainya kamu tahu, istrimu tercinta ini sudah dua dinodai oleh si manusia brengsek itu. Di dalam rahim istrimu kini telah tersemai benih seorang preman kampung yang bertekad ingin merebutku darimu. Maafkan segala kelemahanku, Mas.’
Aku hanya bisa membatin sambil berusaha menahan isak tangis agar tidak menjadi raungan keras yang akan membuat suamiku cemas dan bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang telah terjadi dengan diriku.
Selesai mandi dan makan malam, aku meminta waktu pada suamiku untuk menyendiri karena merasa sangat lelah. Mas Bayu memahami keinginanku dan dia memang selalu mendukung apapun yang ingin aku lakukan. Mas Bayu rela berindah kamar hanya demi bisa membuatku tenang merenungi diri di kamar yang sepi.
Semua yang telah terjadi antara aku dengan Alex, sama sekali sudah tidak bisa lagi aku sesali. Saat di motor tadi kami sama sekali tidak bicara. Namun saat aku turun dari motor, Alex memeriku uang dengan jumlah yang lumayan besar untuk ukuran Alex yang kurasa tidak jelas pekerjaannya.
Aku sempat menolakanya karena jika diterima itu sama saja artinya aku menerima lamaran dia untuk menikahiku. Namun Alex tetap memaksakan hingga mengancamku akan membuangnya ke suang jika menolak. Dia mengaggap itu adalah nafkah lahir setelah aku mendapatkan juga nafkah batin.
Uang tersebut masih tersimpan rapi dalam tas tanganku. Jika Alex tetap tidak mau menerimanya kembali, maka aku pun sudah punya rencana lain. Uang itu akan aku kembalikan pada neneknya dalam bentuk makanan, pakaian atau apa saja yang sekiranya sangat dibutuhkan dan benar-benar bermanfaat buat si nenek.
Ketika akan berpisah Alex pun mengatakan jika dirinya akan pergi jauh entah untuk berapa lama. Katanya hendak mencari uang yang banyak untuk menafkahiku sekaligus melamarku kelak jika sudah bercerai dengan Mas Bayu. Alex bener-bener manusia unik, licik, menarik namun juga menggelitik untuk terus dilirik.
Dalam perenungan panjang malam ini, kembali aku meresapi kata-kata Alex yang mengatakan jika Mas Bayu sebenarnya lelaki berorientasi seks menyimpang alias tidak normal. Dia aslinya lelaki penyuka sesama lelaki. Sebanrnya bukan hanya Alex yang pernah mengatakan itu. Namun baru dia yang benar-benar frontal mengatakannya di depanku.
Irvan Bachdim, adik kandungnya Mas Bayu pun pernah secara tersirat mengatakan hal tersebut. Namun aku berpura-pura tak acuh dan tak mudeng. Karena dia memang selalu menunjukan sikap kurang sukanya pada Mas Bayu. Bachdim menilai Mas Bayu terlalu lembek dan kemayu untuk ukuran seorang lelaki.
Sifat dan pembawaan kakak beradik itu memang bagai bumi dan langit. Bachdim nyaris sama dan sebangun dengan Alex. Hanya saja dia tidak pernah terlibat kriminal dan juga lebh elegan, bersih dan intelek karena masih kuliah. Bachdim pun sangat baik dan menghormatiku sebagai kakak iparnya.
Pikiranku semakin jauh melayang, mengenang kembali saat-saat pertama menjadi istrinya Mas Bayu. Mungkinkah ucapan frontal Alex dan sindiran halus Bachdim ada kaitannya dengan orientasi seksual suamiku saat ini? Benarkah suamiku seorang biseksual? Menyuaki wanita tapi juga lebih suka dengan pria. Maybe.
Kala itu resepsi pernikahanku dengan Mas Bayu digelar dengan cukup mewah dan megah untuk ukuran lingkungan sekitarku yang orang biasa-biasa saja. Bahkan sempat menjadi trending topik karena ada beberapa pejabat partai dan pejabat negara yang hadir.
Aku sendiri tidak terlalu paham mereka itu pejabat apa. Maklum, aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia politik atau pun dunia bisnis. Wajar saja jika tidak mengenal dan tidak merasa wah dengan kedatangan mereka. Sejatinya mereka memanglah tamunya keluarga Mas Bayu. Bapak mertuaku politisi moncong putih tingkat Kabupaten.
Sesaat sebelum akad nikah berlangsung, berulang kali aku memandangi pantulan bayangan diri pada cermin yang lemari pakaian. Aku tampak cantik dan anggun dalam balutan kebaya brukat putih.
Cermin yang sudah sejak lama berada di kamarku memang tidak pernah berbohong. Dia selalu mengatakan aku gadis tercantik di kampungku dan sekitarnya. Pantas saja pernah menjadi juara satu Mojang Jajaka tingkat kecamatan.
Dalam balutan kebaya putih ini, aku makin sadar jika penampilanku sangat anggun dan memukau, kupikir nyaris tanpa cela, seperti yang diucapkan oleh eluarga, kerbabat, dan teman-teman dekatku tadi saat berpaspasan sebelum aku masuk kembali ke kamar pribadiku. Beruntung sekali bapakku yang telah lama menghilang bisa datang untuk menjadi wali nikahku.
Tanganku menyusuri baju kebaya berwarna putih mutiara yang melekat indah di tubuhku. Memamerkan setiap lekuk tubuhku yang kuyakini akan memesonakan setiap mata yang memandangnya.
Ingin rasanya mantan-mantanku melihat diriku dalam keadaan seperti saat ini. Dua gunung kembarku yang tampak ranum disangga korset yang kencang. Pinggangku yang ramping semakin langsing karena lilitan stagen yang memperlihatkan lekuk pinggulku yang bahenol.
Kebayanya sangat tidak glamor namun terasa mewah dan gemerlap, apalagi ketika dipadu dengan kain batik yang melilit bagian bawah tubuhku, tentu akan memberi kesan khusus pada siapapun yang memandangku.
Batik tulis warna cokelat dihiasi prada keemasan sangat kontras dengan kebaya putih nan elegan, serta slop warna senada yang kukenakan. Riasan wajahku pun tampak kemilau yang membuat raut wajahku seperti bermandikan cahaya yang penuh pesona dan elok memikat mata.
Seuntai ronce melati menjuntai dari sisi sanggulku melengkapi keindahan dan kemilaunya aksesoris dan kembang goyang yang tersemat di antara sasakan sanggul rambutku. Tak habis-habisnya aku mengagumi semua benda yang kukenakan dalam hari spesialku ini.
Busana pengantin yang kami kenakan adalah hasil rancangan sahabat Mas Bayu yang didatangkan khusus dari kota. Dia juga yang mendadani wajahku. Walau seorang lelaki, namun hasil karyanya benar-benar menakjubkan. Aku yakin, di kampung ini baru aku yang didandani oleh seorang profesional yang bayarannya sukses membuat semua orang kampung tercengang.
“Ini benar-benar maha karya yang sangat adi luhung. Uang memang tidak bisa berbohong.” Aku benar-benar mengagumi segalanya.
Sesungguhnya aku sendiri merasa terkesima saat melihat Mas Bayu. Calon suamiku itu tampak gagah, tampan menawan dalam balutan busana pengantin adat Sunda yang senada dengan yang kukenakan. Mas Bayu yang kesehariannya terkesan kolot, bisa tampil laksana arjuna.
Tenda dan dekorasi pelaminan pun sudah sejak kemarin membuat semua orang terkesima. Mereka pun tak menduga di kampung yang jauh dari kota, akan ada perhelatan yang dibuat semegah dan semewah itu.
Aku juga sangat berterima kasih pada Mas Bayu dan keluarganya yang telah mempersembahkan keindahan yang tak ternilai demi melengkapai kebahagiaanku di hari yang sangat special ini. aku benar-benar rela menjadi bagian keluarga mereka.
Bapakku yang biasanya tidak pedui dan relatif kejam pada istri dan anak-anaknya pun sempat menagis sesenggukan turut bahagia dengan nasib baik yang sedang menaungi kehidupanku.
Ini adalah hari pernikahanku. Hari dimana aku akan melepas masa lajangku. Walau Mas Bayu meruapakn jodoh yang tak terduga, namun aku sudah sangat ikhlas menerimanya dengan lapang dada. Apapun adanya Mas Bayu, aku sudah rela menerimanya karena dia telah sah menjadi suamiku.
Jam sepuluh malam aku meninggalkan pelaminan karena malam pertama kami akan dihabiskan di sebuah villa mewah yang telah dipesan khusus oleh Pak Yusuf, sebagai hadiah pernikahan untuk kami.
Beberapa pasang mata dan olok-olok dari kerabat dan saudara, mengiringi kepergian kami yang akan melaksanan malam pertama dengan dahsyatnya di sebuah tempat yang sangat special. Hari itu aku benar-benar menjadi pusat perhatian sebagai ratu sejagad sehari.
Ada sedikit perasaan jengah dan malu saat semua orang menggodaku. Untung saja mobil yang akan membawa kami sudah standby di depan rumah, sehingga pada saat melewati penonton hiburan dangdut yang membludak, aku dan Mas Bayu sudah berada dalam mobil yang berhiaskan bunga-bunga indah.
Oh begini rasanya akan menjalani malam pertama. Semoga tidak ada sesuatu hal yang bisa mengacaukan segalanya…
Dua puluh menit kemudian, aku dan Mas Bayu tiba di villa. Wangi bunga melati harum semerbak menerpa hidungku saat memasuki kamar pengantin yang dihias dengan sangat cantik, elegan dan menakjubkan.
Seisi kamar dipenuhi aneka bunga dan hiasan kain bernuansa hijau muda dan putih, warna favoritku. Di atas ranjang pengantin full dengan aneka kelopak bunga dengan aneka warna senada. Aku benar-benar serasa sedang berada di surga.
Inikah yang disebut surga dunia itu? atau masih ada kejutan-kejutan lainnya? Jantungku semakin dag-dig-dug tak karuan.
^*^
Hingga beberapa saat lamanya Hendy dan Firda hanya terdiam. Keduanya asik berkelana dengan pikirannya masing-masing. Firda merenungi banyaknya kejanggalan dalam kematian Arman. Sementara Hendy asik menikmati rokok dan segelas kopinya yang sudah dingin. Isi kepalanya sudah sangat lelah memikirkan yang sedang terjadi. Sebagai seorang sahabat yang sudah menganggap Arman sebagi saudara kandungnya tentu saja Hendy memiliki beban moral yang lebih dibanding siapapun. Dia sangat mengenal karekater Arman dengan keluarganya, lebih dari siapapun. Kehilangan yang dirasakan oleh orang tua Arman, juga dirasakan olehnya. “Hen, ibu boleh tanya sesuatu yang sedikit sensitif?” Firda kembali angkat bicara. Tiba-tiba saja dia teringat dengan obrolan emak-emak kemarin sore. “Silakan Bu. Saya tidak akan menutup-nutupinya,” balas Hendy santun. “Kamu kenal dengan Mas Andi, tukang gali kuburan?” tanya Firda dengan sangat hati-hati. “Astagfirullah!” seru Hendy seraya menghentakan punggung pada sandaran kur
Aku Dan Cewek Misterius (1) Tok tok tok "Man, kuliah gak lu!" Hendy yang sejak tadi menunggu Arman di luar kamar mandi, berteriak tak sabar. “Bentar, gua lagi nanggung, Nyet!” Arman menjawab sekenanya. “Colay jangan di kamar mandi, Nyet! Ganggu jadwal orang mandi aja!” rutuk Hendy makin kesal. Arman tersenyum puas karena sudah membuat sahabatnya salah persepsi. Dia sama sekali tidak sedang melakukan aktivitas kamar mandi yang menegangkan itu. Dia justru sedang berjongkok menunggu sesuatu yang akan keluar dan terbuang dari dalam tubuhnya. Sementara pikirannya sedang melayang pada peristiwa semalam. Jiltan lidah Firda masih terasa di sekujur tubuhnya. Syaraf-syaraf kenikmatannya kembali menggila dan tersiksa. Perlakuan Firda tadi malam sulit ditebak. Kadang cepat dan kasar, kadang juga lembut penuh perasaan hingga membuat Arman serasa terbang melayang dicabik-cabik badai syahwat birahinya. Firda tiada hentinya memberikan service yang menakjubkan, dia bahkan tidak membiarkan kesemp
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Mas Bayu menjelaskan tentang obsesi dan fantasi dirinya. Mas Bayu mengaku sudah cukup lama memendam hasrat dan terobsesi pada aktivitas seksual yang tak lazim. Dia sangat menginginkan istrinya melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain atas seizin dan sepengetahuannya. Bahkan jika perlu dilakukan di depannya. Atau melakukannya secara bersama-sama dengan mengundang lelaki lain. Menurut Mas Bayu gambar dan film-film itu sengaja dia koleksi untuk memancing libidonya agar bergairah saat menyetubuhiku. Jika suatu saat dia tiba-tiba bersemangat menyetubuhi itu akibat fantasinya sedang tinggi. Imajinasinya sedang bagus membayangkan aku disetubuhi lelaki lain. Dia mengakui juga kalau selama ini fantasinya sering gagal karena lama kelamaan bukan hanya khayalan yang dia butuhkan namun melihatnya secara langsung. Dia juga mengakui sering membayangkan bagaimana liar dan binalnya jika aku melakukan hubungan intim dengan laki-laki muda, gagah dan perkasa.
Entah karena merasa malu atau bersalah, atau sedang membeli hatiku agar mau mengikuti fantasinya, atau ada udang di balik batu lainnya. Beberapa hari kemudian tiba-tiba saja Mas Bayu mengajakku nonton film di bioskop. Padahal sedang tanggung bulan dan bukan jadwal kami untuk belanja bulanan. Ini benar-benar sesuatu yang sangat baru bagi kami. Selama menjadi istrinya, aku belum pernah diajak nonton film di bioskop, jalan-jalan atau rekreasi ke tempat-tempat wisata ternama, apalagi berbulan madu ke Labuhan Bajo dan tempat eksotik lainnya. Paling banter diajak makan di resturant sekitaran mall sambil belanja bulanan. Itu pun kalau dia sempat. Sejauh ini aku lebih sering belanja sendiri di mini market terdekat. Demi menyenangkan hatinya dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya, aku pun langsung menerima ajakannya tanpa banyak pikir. Entah mengapa aku jadi mudah curiga pada suamiku sendiri. Apapun yang dilakukannya terasa tidak tulus lagi, hanya modus dan rekayasa belaka. Dengan be
Aku tidak menceritakan kejadian aneh itu kepada Mas Bayu. Aku tidak ingin mengganggu kenikmatannya menonton. Tapi alasan yang lebih kuatnya, aku justru merasa sangat takut untuk menceritakannya. Ada perasaan Mas Bayu akan marah atau ngamuk pada lelaki itu, sehingga timbul pertengkaran nantinya. Aku berusaha untuk menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana kemari. Ketika pikiranku berputar-putar tak menentu, tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh pundak kananku. Awalnya aku mengira Mas Bayu yang menyentuhku. Tetapi setelah aku perhatikan, tangan dia sama sekali tidak sedang bergerak dan memegangi bungkus pop corn yang sudah habis . Matanya pun sangat serius memperhatikan layar film yang kembali menayangkan adegan seru. Lalu dengan sangat pelan-elan, aku menolehkan pandang ke belakangku. Tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siap karena memang kami duduk di baris paling belakang. Kemduian aku melihat ke sebelah kananku ke arah lelaki ganteng itu. Dan mendapati dia seda
Setelah pertemuan di rumah makan, Firda meminta Hendy untuk mengantarnya ke kantor desa. Hari sudah sore, Firda yakin kantor sudah sepi namun dia terpaksa harus ke kantor lagi karena ada beberapa barang yang harus diambilnya. Bulu kuduknya tak bisa dibohongi, akibat peristiwa kemarin dia mulai sedikit ketar-ketir. “Hen, kapan ya saya bisa bertemu dengan keluarga orang tuanya Arman?” tanya Firda ketika dia sudah berada di atas motornya dan bersiap untuk pulang. Hendy pun sudah di atas motonya, lebih tepatnya motor Arman yang kini menjadi miliki Hendy. “Lebih cepat lebih baik, Bu. kalau mau sekarang jug, boleh. Bisa saya anter.” Hendy menawarkan jasa. “Kalau hari ini kayaknya belum bisa Hen, ibu harus minta izin dulu sama suami.” Firda menimbang-nimbang kebimbangannya. “Terserah Ibu kapan siapanya, hanya saja kalau bukan hari ini mungkin saya gak bisa ngantre atau nemenin Ibu,” sesal Hendy. “Gak masalah, mungkin minta dianter Pak Asrul. Emangnya setelah ini Hendy mau kemana….?” tany
Beberapa hari yang lalu, setelah bercinta dengan Andi, Nengsih sempat menangis tersedu-sedu karena menyesali perbuatannya juga takut peristiwa itu diketahui tetangganya dan bisa menjadi sangat hebob. Nengsih tidak bisa membayangkan betapa kecewanya pada tetangga yang selama ini kerap menilainya baik sebagai istri serta yang shalihah. Nengasih juga merasakan jika bercinta dengan lelaki tua itu hanyalah mimpi belaka, sedangkan dengan Andi, dia melakukannya dengan sangat sadar. Dia sendiri tidak mengerti dengan dirinya yang sebegitu menikmati percintaannya dengan Andi, tetangganya itu. Padahal selama ini dia tidak pernah memikirkan apapun tentang sang penggali kubruan itu. Kepindahan Andi dari kampung yang sangat mendadak itu, membuat Nengsih sedikit dilema. Di satu sisi dia sangat merasa senang, bisa bernapas lega dan tenang. Setidaknya tidak akan bertemu dengan Andi juga tidak akan terlalu merasa dibebani rasa berdosa dan bersalah ketika harus bertemu dengan istri dan anaknya Andi.
Pikiran Nengsih mengelana membandingkan ukuran benda yang menonjol di balik celana Hendy dengan milik suaminya dan Andi yang sepertinya jauh berbeda. Usia Hendy memang masih muda, namun dalam balutan pakaian basah yang melekat di tubuhnya, sukses membuat Nengsih berdebar-debar tak menentu. Sementara Hendy pun melihat kerudung dan gamis yang dikenakan Nengsih basah kuyup lengket di tubuhnya. Membentuk bayangan tubuh janda sintal itu lengkap dengan bukit kembarnya yang menonjol ke depan. Hendy berusaha menyembunyikan gejolak jiwanya. Dalam usaha menghindar percikan hujan Hendy dan Nengsih masuk ke sanung dan duduk berdempetan di atas bale-bale bambu yang sempit. Mereka duduk sambil berpelukan untuk membagi kehangatan agar angin yang mendera tidak membuat mereka semakin menggigil kedinginan. Nengih membuka kerudungnya yang basah kuyup, kehangatan itu pun mulai mereka rasakan. Pelukannya kali ini terasa berbeda dengan pelukan saat keduanya berjaln di pematang sawah. Pelukan yang sekara
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa
Bagai tersambar petir siang bolong, sekujur tubuh Firda terasa panas membara. Namun juga menggigil kedinginan seperti orang yang terkena demam. Saat ini depan matanya terpampang pemandangan yang sangat mencengangkan. Bunda Eni yang selama ini mengaku sakit diabet ternyata sudah sembuh total.Beliau kini bahkan hanya memakai celana dalam dan bra warna hitam berenda. Tubuhnya yang gempal, montok putih mulus, tampak sangat nyaman duduk mesra di pangkuan lelaki muda berwajah tampan dan bertubuh altelis yang masih berpakaian lengkap. Mereka tampak seperti pasangan ibu dengan anaknya.Seperti itu juga yang seketika Firda bayangkan saat Bunda Eni merenggut keperjakaan Hendy atau lelaki muda lainnya. Beruntung sekali Arman tidak pernah tergoda. Sungguh semua kamuplase yang dilakukan Bunda Eni, benar-benar luar biasa, pikir Firda.Bunda Eni melingkarkan kedua tangannya pada leher Ipang. Mereka berhadap-hadapan dan saling saling berpagutan mesra. Kepala mereka tampak bergerak pelan ke berbagai
Satu jam yang lalu, karena tergesa-gesa untuk segera keluar dari rumah megah nan mewah itu, Firda akhirnya terpaksa harus balik lagi ke lantai dua. Sebenarnya dia sangat enggan untuk kembali bertemu Ipang, namun kunci motornya tertinggal di meja ruang tengah tempat tadi dia menyimpannya.Firda segera kembali naik ke lantai dua. Ketika tiba di sana untuk beberapa saat dia terpaksa harus tergamam tak bisa bergerak. Telinganya dengan sangat jelas menangkap obrolan tak bisada antara Bunda Eni dengan sang terapis. Firda pun segera merapatkan tubuhnya pada dinding dekat pintu masuk. Awalnya dia tidak berniat menguping, namun saat namanya disebut-sebut dalam obrolan itu, jiwa keponya pun meronta-ronta.“Jadi kamu sudah sangat yakin kalau Firda saat ini sedang tidak baik-baik saja, Pang.” Dengan suara yang agak lantang, Bunda Eni melanjutkan obrolannya. “Saya sangat yakin, Bunda. Bu Firda memang sedang didekati arwah penasaran anak itu. Atau setidaknya dia sudah pernah didatangi si Arman it
“Bu Firda kenapa?” tanya Asrul dengan intonasi yang sangat khawatir dan tiba-tiba.“Eh, ke..ke..kenapa, Pak?” Firda yang sedang duduk melamun di dapur kantor pun seketika terperanjat. Karena panik dan gugup dia malah balik bertanya dengan suara yang tergagap.“Lah, kok malah balik tanya. Itu wajah Bu Firda sampai pucat begitu kenapa? keringat lagi. Ibu sakit bukan?” Asrul kembali bertanya, kian tak mengerti dengan sikap Firda yang akhir-alhir dia lihat mudah gugup dan sering melamun. Asrul bahkan menangkap sebuah keganjilan aneh yang menyelimuti Firda.“Aduh, sebentar Pak, saya masih capek!” jawab Firda mencari alasan sekenanya.Tadi ketika berada di dalam ruangan kantor, Asrul melihat Firda baru kembali dari rumah Pak Kades. Saat Firda turun dari motornya, Asrul dengan sangat melihat wajah rekan kerjanya itu dalam keadaan pucat dan tegang. Naluri sebagai rekan langsung berkata jika Firda sedang tidak baik-baik saja. Atau setidaknya ada sesuatu yang tidak beres.Dan ketika Firda tidak