Hingga beberapa saat lamanya Hendy dan Firda hanya terdiam. Keduanya asik berkelana dengan pikirannya masing-masing. Firda merenungi banyaknya kejanggalan dalam kematian Arman. Sementara Hendy asik menikmati rokok dan segelas kopinya yang sudah dingin. Isi kepalanya sudah sangat lelah memikirkan yang sedang terjadi.
Sebagai seorang sahabat yang sudah menganggap Arman sebagi saudara kandungnya tentu saja Hendy memiliki beban moral yang lebih dibanding siapapun. Dia sangat mengenal karekater Arman dengan keluarganya, lebih dari siapapun. Kehilangan yang dirasakan oleh orang tua Arman, juga dirasakan olehnya.
“Hen, ibu boleh tanya sesuatu yang sedikit sensitif?” Firda kembali angkat bicara. Tiba-tiba saja dia teringat dengan obrolan emak-emak kemarin sore.
“Silakan Bu. Saya tidak akan menutup-nutupinya,” balas Hendy santun.
“Kamu kenal dengan Mas Andi, tukang gali kuburan?” tanya Firda dengan sangat hati-hati.
“Astagfirullah!” seru Hendy seraya menghentakan punggung pada sandaran kursinya dan mendongak menatap langit-langit. Lalu menarik ke belakang seluruh rambutnya dengan kedua tangannya. Tampaknya dia sangat gusar mendengar nama itu. Dan Firda hanya melongo menatap wajah Hendy yang mendadak berubah merah padam.
“Anjiing! Si Andi, manusia bhangsat! Tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih!” geram Hendy seraya kembali mengubah posisi duduknya seperti semula.
“Kenapa dengan dia, Hen?” Firda mendekatkan wajahnya ke wajah Hendy yang sedang geram menahan emosi. Kedua tangan Hendy pun meremas gelas yang dipegangnya, seolah ingin menghancurkannya.
“Manusia laknat itu menyebarkan fitnah yang ngebuat saya ingin ngebunuhnya sekarang juga. Namun si pengecut itu sudah pergi entah kemana!” geram Hendy penuh dendam.
“Berarti bener dia pindah karena…..” Firda bertanya ragu.
“Maaf Bu, mohon jangan dipercaya fitnah si laknat itu.”
“Emang siapa sebenarnya Mas Andi itu? Kamu kenal dia?” Firda makin penasaran.
“Aslinya dia orang mana saya kurang tahu. Hanya, beberapa tahun yang lalu pernah jadi anak buahnya Pak Arnadi. Dikeluarkan karena tidak jujur dan sedikit kurang ajar karena suka godain Bu Arnadi. Dia akhirnya nganggur dan menjadi penggali kubur.”
“Sudah nikah?” Firda makin penasaran
“Sudah punya anak satu. Keliatan nikah muda. Tapi gak tahu dia nikah dimana dengan orang mana. Mereka tinggal di rumah bekas salah seorang warga yang udah meninggal dan gak ada yang ngisi lagi rumahnya. Saya bertetangga dengan dia, dan saya tahu betul kalau dia penipu dan pembohong berat!”
“Masa sih, Hen?”
“Subuh itu secara gak sengaja saya ngeliat dia bergandengan dengan Mbak Nengsih, salah seorang tetangga saya juga. Janda ditinggal mati suaminya. Mereka bergandengan mesra masuk ke rumah Mbak Nengsih. Bukan suudzon, tapi kan kita bisa menduga, mereka melakukan apa di rumah itu?”
“Kalau tahu dia akan nyebarin firnah, subuh itu sudah saya grebeg saat dia di rumah Mbak Nengsih.”
“Astagfirullah. Kenapa dia melakukan itu?”
“Saya sedang nyelidik, apa motif si Andi menyebar fitnah, terus kabur. Apa juga hubungannya dengan Mbak Nengsih.
“Mengapa orang-orang jadi sebegitu membenci keluarga Pak Arnadi, Hen?”
“Sebanrnya itu masih belum seberapa. Ada lagi yang lebih parah, peristiwa yang terjadi tadi malam,” lanjut Hendy.
“Ada apa lagi, Hen?” Firda kembali menatap wajah manis Hendy yang kian mendung.
“Waktu saya ketemu ibu, kemarin. Ternyata Pak Arnadi kedatangan tamu istimewa. Seorang cewek yang ngaku pacarnya Arman, parahnya lagi cewek itu ngaku-ngaku hamil dan minta pertanggung jawaban dari keluarganya Arman.” Hendy kembali menjeda ucpannya, dia mengalihkan pandangan ke sisi lain, tak kuasa melihat mata Firda yang seketika terbelalak.
“Astagfirullah, terus bagaimana, Hen?” Firda makin penasaran.
“Cewek itu tetep minta biaya dari keluarga Arman. Alasannya Arman waktu itu sudah janji mau menikahinya atau setidaknya ngebiayai hidup cewek itu dengan anak yang dikandungnya. Dia ngotor minta uang dua ratus juta.” Hendy kembali menatap wajah Firda.
“Astagfirullah!” Firda yang terperanjat menutup mulutnya yang menganga, “terus dikasih begitu aja sama Pak Arnadi?” sambungnya.
“Belum. Rencananya Pak Arnadi mau jual mobilnya dulu.” Hendy kembali menunduk.
“Kamu percaya kalau Arman punya pacar dan ngehamilinya?” tanya Firda dengan intonasi yang mendaadak tinggi.
“Sama sekali tidak percaya. Setahu saya Arman hanya punya satu kekasih. Wanita itu sekarang ada di depan saya, Ibu Firda!” balas Hendy tegas.
“Husst, sembarang aja kalau ngomong!” sergah Firda dengan wajah yang mendaadak seperti udang rebus.
“Serius Bu. Arman selalu ngomong begitu. Dan dia tidak pernah merahasiakan apapun pada saya.” Hendy bicara sangat serius.
“Terus, kalau kamu tidak percaya cewek itu pacarnya Arman, kenapa kamu diam aja? Setidaknya kamu kan bisa memberikan kesaksian kalau Arman tidak pacaran dengan dia!” Suara Firda kembali naik oktafnya.
“Awalanya saya sangat tidak percaya, tapi ketika tahu namanya, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi.” Suara Hendy mendadak lemah setengah berbisik.
“Jadi kamu kenal dengan cewek itu? beneran dia pacarnya Arman?” susul Firda tak sabar.
“Sama sekali tidak kenal. Tapi, dua minggu sebelum meninggal, Arman menceritakan pengalamannya yang sangat tidak masuk akal dengan seorang cewek yang namanya sama persis dengan cewek yang datang ke rumah Pak Arnadi itu.” Suara Hendy kini mulai sedikit bergetar.
“Arman mengalami apa dengan wanita itu?”
“Saya gak tahu cewek yang kemarin datang ke rumah Pak Arnadi itu cewek yang sama atau bukan. Hanya yang pasti namanya memang sama. Bisa aja kan kebetulan. Arman mengalami beberapa kejadian yang sampai ini saya sendiri masih belum percaya.”
“Arman menceritakannya sama kamu apa yang dialaminya itu?” Firda makin tidak sabar.
“Kami bahkan menuliskannya jadi sebuah cerita pendek,” jawab Hendy kalem sambil mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya.
“Kalian menuliskannya dalam bentuk cerita?” Firda mengulangi ucapan Hendy dalam bentuk pertanyaan.
“Iya. Arman ingin menuliskannya karena dia merasa kisah itu sangat ganjil dan masih tidak yakin jika dia mengalaminya. Ibu mau baca ceritanya?” tanya Hendy seraya menyodorkan hapenya.
“Astaga, jadi beneran kalian menuliskan cerita itu?” tanya Firda seraya menatap ponsel Hendy yang tersodor depan daadanya.
“Saya yang menulis, Arman yang bercerita. Tapi jangan diketawain karena saya bukan penulis femes. Ini benar-benar sekedar untuk mengenang. Saya tidak menduga proses menulis cerita itu benar-benar menjadi kenangan terakhir buat kami berdua.” Hendy berusaha tenang namun sama sekali tidak terlihat nyaman.
“Gak papa kalau ibu ba..baca cerita ini, Hen?” Firda bertanya untuk memastikan lagi.
“Kemarin saya udah bilang, hanya Ibu yang diizinkan membacanya. Tapi maaf kalau tulisannya masih acak-acakan dan bahasanya rada sedikit vulgar, harap maklum. Tapi apa yang tertulis di situ, itulah yang Arman alami dan ceritakan sama saya. Dia bahkan berani disumpah pocong!” Hendy makin menegasakan.
Firda menatap wajah Hendy yang mendaadak sedikit memerah, seperti menahan malu. Lalu pandangan Firda kembali pada layar ponsel yang memuat sebuah cerita berjudul ‘Aku Dan Cewek Misterius.’
“Sekali lagi mohon maaf kalau bahasanya kurang berkenan di hati Ibu. Saya mohon izin ke belakang. Silakan Ibu baca aja dulu, gak banyak kok, cuma lima bab.” Hendy bicara seraya undur diri dari hadapan Firda, tanpa menunggu jawaban dari sang mantan pembimbing PKLnya.
“Kenapa harus ke belakang, Hen?” tanya Firda dengan suara pelan, hingga Hendy yang sudah berjalan jauh tak mendengarnya.
‘Mengapa harus ngumpet? Adakah sesuatu yang sangat memalukan atau sangat dirahasiakan dalam cerita ini?’ tanya Firda dalam hati.
Entah mengapa baru saja membaca judulnya, jantung Firda terasa langsung berdebar-debar tak menentu. Judul yang teramat biasa, dia bahkan sering membaca cerita yang benar-benar horor, namun baru kali ini tangannya yang memegang hape mendadak sedikit bergetar seperti terkena tremore.
‘Semisterius dan sehoror apakah wanita itu?’ Firda kembali bertanya-tanya dalam hatinya sambil melanjutkan membaca cerita misterius itu.
Aku Dan Cewek Misterius (1) Tok tok tok "Man, kuliah gak lu!" Hendy yang sejak tadi menunggu Arman di luar kamar mandi, berteriak tak sabar. “Bentar, gua lagi nanggung, Nyet!” Arman menjawab sekenanya. “Colay jangan di kamar mandi, Nyet! Ganggu jadwal orang mandi aja!” rutuk Hendy makin kesal. Arman tersenyum puas karena sudah membuat sahabatnya salah persepsi. Dia sama sekali tidak sedang melakukan aktivitas kamar mandi yang menegangkan itu. Dia justru sedang berjongkok menunggu sesuatu yang akan keluar dan terbuang dari dalam tubuhnya. Sementara pikirannya sedang melayang pada peristiwa semalam. Jiltan lidah Firda masih terasa di sekujur tubuhnya. Syaraf-syaraf kenikmatannya kembali menggila dan tersiksa. Perlakuan Firda tadi malam sulit ditebak. Kadang cepat dan kasar, kadang juga lembut penuh perasaan hingga membuat Arman serasa terbang melayang dicabik-cabik badai syahwat birahinya. Firda tiada hentinya memberikan service yang menakjubkan, dia bahkan tidak membiarkan kesemp
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Mas Bayu menjelaskan tentang obsesi dan fantasi dirinya. Mas Bayu mengaku sudah cukup lama memendam hasrat dan terobsesi pada aktivitas seksual yang tak lazim. Dia sangat menginginkan istrinya melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain atas seizin dan sepengetahuannya. Bahkan jika perlu dilakukan di depannya. Atau melakukannya secara bersama-sama dengan mengundang lelaki lain. Menurut Mas Bayu gambar dan film-film itu sengaja dia koleksi untuk memancing libidonya agar bergairah saat menyetubuhiku. Jika suatu saat dia tiba-tiba bersemangat menyetubuhi itu akibat fantasinya sedang tinggi. Imajinasinya sedang bagus membayangkan aku disetubuhi lelaki lain. Dia mengakui juga kalau selama ini fantasinya sering gagal karena lama kelamaan bukan hanya khayalan yang dia butuhkan namun melihatnya secara langsung. Dia juga mengakui sering membayangkan bagaimana liar dan binalnya jika aku melakukan hubungan intim dengan laki-laki muda, gagah dan perkasa.
Entah karena merasa malu atau bersalah, atau sedang membeli hatiku agar mau mengikuti fantasinya, atau ada udang di balik batu lainnya. Beberapa hari kemudian tiba-tiba saja Mas Bayu mengajakku nonton film di bioskop. Padahal sedang tanggung bulan dan bukan jadwal kami untuk belanja bulanan. Ini benar-benar sesuatu yang sangat baru bagi kami. Selama menjadi istrinya, aku belum pernah diajak nonton film di bioskop, jalan-jalan atau rekreasi ke tempat-tempat wisata ternama, apalagi berbulan madu ke Labuhan Bajo dan tempat eksotik lainnya. Paling banter diajak makan di resturant sekitaran mall sambil belanja bulanan. Itu pun kalau dia sempat. Sejauh ini aku lebih sering belanja sendiri di mini market terdekat. Demi menyenangkan hatinya dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya, aku pun langsung menerima ajakannya tanpa banyak pikir. Entah mengapa aku jadi mudah curiga pada suamiku sendiri. Apapun yang dilakukannya terasa tidak tulus lagi, hanya modus dan rekayasa belaka. Dengan be
Aku tidak menceritakan kejadian aneh itu kepada Mas Bayu. Aku tidak ingin mengganggu kenikmatannya menonton. Tapi alasan yang lebih kuatnya, aku justru merasa sangat takut untuk menceritakannya. Ada perasaan Mas Bayu akan marah atau ngamuk pada lelaki itu, sehingga timbul pertengkaran nantinya. Aku berusaha untuk menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana kemari. Ketika pikiranku berputar-putar tak menentu, tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh pundak kananku. Awalnya aku mengira Mas Bayu yang menyentuhku. Tetapi setelah aku perhatikan, tangan dia sama sekali tidak sedang bergerak dan memegangi bungkus pop corn yang sudah habis . Matanya pun sangat serius memperhatikan layar film yang kembali menayangkan adegan seru. Lalu dengan sangat pelan-elan, aku menolehkan pandang ke belakangku. Tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siap karena memang kami duduk di baris paling belakang. Kemduian aku melihat ke sebelah kananku ke arah lelaki ganteng itu. Dan mendapati dia seda
Setelah pertemuan di rumah makan, Firda meminta Hendy untuk mengantarnya ke kantor desa. Hari sudah sore, Firda yakin kantor sudah sepi namun dia terpaksa harus ke kantor lagi karena ada beberapa barang yang harus diambilnya. Bulu kuduknya tak bisa dibohongi, akibat peristiwa kemarin dia mulai sedikit ketar-ketir. “Hen, kapan ya saya bisa bertemu dengan keluarga orang tuanya Arman?” tanya Firda ketika dia sudah berada di atas motornya dan bersiap untuk pulang. Hendy pun sudah di atas motonya, lebih tepatnya motor Arman yang kini menjadi miliki Hendy. “Lebih cepat lebih baik, Bu. kalau mau sekarang jug, boleh. Bisa saya anter.” Hendy menawarkan jasa. “Kalau hari ini kayaknya belum bisa Hen, ibu harus minta izin dulu sama suami.” Firda menimbang-nimbang kebimbangannya. “Terserah Ibu kapan siapanya, hanya saja kalau bukan hari ini mungkin saya gak bisa ngantre atau nemenin Ibu,” sesal Hendy. “Gak masalah, mungkin minta dianter Pak Asrul. Emangnya setelah ini Hendy mau kemana….?” tany
Beberapa hari yang lalu, setelah bercinta dengan Andi, Nengsih sempat menangis tersedu-sedu karena menyesali perbuatannya juga takut peristiwa itu diketahui tetangganya dan bisa menjadi sangat hebob. Nengsih tidak bisa membayangkan betapa kecewanya pada tetangga yang selama ini kerap menilainya baik sebagai istri serta yang shalihah. Nengasih juga merasakan jika bercinta dengan lelaki tua itu hanyalah mimpi belaka, sedangkan dengan Andi, dia melakukannya dengan sangat sadar. Dia sendiri tidak mengerti dengan dirinya yang sebegitu menikmati percintaannya dengan Andi, tetangganya itu. Padahal selama ini dia tidak pernah memikirkan apapun tentang sang penggali kubruan itu. Kepindahan Andi dari kampung yang sangat mendadak itu, membuat Nengsih sedikit dilema. Di satu sisi dia sangat merasa senang, bisa bernapas lega dan tenang. Setidaknya tidak akan bertemu dengan Andi juga tidak akan terlalu merasa dibebani rasa berdosa dan bersalah ketika harus bertemu dengan istri dan anaknya Andi.
Pikiran Nengsih mengelana membandingkan ukuran benda yang menonjol di balik celana Hendy dengan milik suaminya dan Andi yang sepertinya jauh berbeda. Usia Hendy memang masih muda, namun dalam balutan pakaian basah yang melekat di tubuhnya, sukses membuat Nengsih berdebar-debar tak menentu. Sementara Hendy pun melihat kerudung dan gamis yang dikenakan Nengsih basah kuyup lengket di tubuhnya. Membentuk bayangan tubuh janda sintal itu lengkap dengan bukit kembarnya yang menonjol ke depan. Hendy berusaha menyembunyikan gejolak jiwanya. Dalam usaha menghindar percikan hujan Hendy dan Nengsih masuk ke sanung dan duduk berdempetan di atas bale-bale bambu yang sempit. Mereka duduk sambil berpelukan untuk membagi kehangatan agar angin yang mendera tidak membuat mereka semakin menggigil kedinginan. Nengih membuka kerudungnya yang basah kuyup, kehangatan itu pun mulai mereka rasakan. Pelukannya kali ini terasa berbeda dengan pelukan saat keduanya berjaln di pematang sawah. Pelukan yang sekara
Ketika Hendy sedang asik mengayuh birahi bersama Nengsih, hati Firda justru sedang diliputi perasaan yang tak menentu. Resah dan gelisah menyelimuti jiwanya. Namun dia tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan perasaannya mendadak berkecamuk dan aneh. Ketika hujan turun membasahi bumi dengan sangat lebatnya, Firda baru tiba di rumahnya. Setelah masuk dia langsung menenggelamkan dirinya di kamar tanpa berganti pakaian. Seraya merebahkan diri dan meluk bantal guling, pikirannya melayang kemana-mana. Sama sekali tak bisa lepas dari bayangan Hendy yang entah mengapa tiba-tiba terlihat sangat mirip Arman. Firda bahkan merasakan senyum khas Hendy yang berlesung pipi itu hilang tergantikan senyum khas Arman yang selalu membuatnya berdebar dan susah move on. Kenangan yang sudah terkubur pun kini kembali bersemi di hatinya. Firda cukup mengenal Arman dan Hendy, walau cukup lama tidak bertemu dengan mereka, bahkan pertemuan terkahir dengan Arman mungkin dua tahun yang lalu. Namun dia tidak perna
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa
Bagai tersambar petir siang bolong, sekujur tubuh Firda terasa panas membara. Namun juga menggigil kedinginan seperti orang yang terkena demam. Saat ini depan matanya terpampang pemandangan yang sangat mencengangkan. Bunda Eni yang selama ini mengaku sakit diabet ternyata sudah sembuh total.Beliau kini bahkan hanya memakai celana dalam dan bra warna hitam berenda. Tubuhnya yang gempal, montok putih mulus, tampak sangat nyaman duduk mesra di pangkuan lelaki muda berwajah tampan dan bertubuh altelis yang masih berpakaian lengkap. Mereka tampak seperti pasangan ibu dengan anaknya.Seperti itu juga yang seketika Firda bayangkan saat Bunda Eni merenggut keperjakaan Hendy atau lelaki muda lainnya. Beruntung sekali Arman tidak pernah tergoda. Sungguh semua kamuplase yang dilakukan Bunda Eni, benar-benar luar biasa, pikir Firda.Bunda Eni melingkarkan kedua tangannya pada leher Ipang. Mereka berhadap-hadapan dan saling saling berpagutan mesra. Kepala mereka tampak bergerak pelan ke berbagai
Satu jam yang lalu, karena tergesa-gesa untuk segera keluar dari rumah megah nan mewah itu, Firda akhirnya terpaksa harus balik lagi ke lantai dua. Sebenarnya dia sangat enggan untuk kembali bertemu Ipang, namun kunci motornya tertinggal di meja ruang tengah tempat tadi dia menyimpannya.Firda segera kembali naik ke lantai dua. Ketika tiba di sana untuk beberapa saat dia terpaksa harus tergamam tak bisa bergerak. Telinganya dengan sangat jelas menangkap obrolan tak bisada antara Bunda Eni dengan sang terapis. Firda pun segera merapatkan tubuhnya pada dinding dekat pintu masuk. Awalnya dia tidak berniat menguping, namun saat namanya disebut-sebut dalam obrolan itu, jiwa keponya pun meronta-ronta.“Jadi kamu sudah sangat yakin kalau Firda saat ini sedang tidak baik-baik saja, Pang.” Dengan suara yang agak lantang, Bunda Eni melanjutkan obrolannya. “Saya sangat yakin, Bunda. Bu Firda memang sedang didekati arwah penasaran anak itu. Atau setidaknya dia sudah pernah didatangi si Arman it
“Bu Firda kenapa?” tanya Asrul dengan intonasi yang sangat khawatir dan tiba-tiba.“Eh, ke..ke..kenapa, Pak?” Firda yang sedang duduk melamun di dapur kantor pun seketika terperanjat. Karena panik dan gugup dia malah balik bertanya dengan suara yang tergagap.“Lah, kok malah balik tanya. Itu wajah Bu Firda sampai pucat begitu kenapa? keringat lagi. Ibu sakit bukan?” Asrul kembali bertanya, kian tak mengerti dengan sikap Firda yang akhir-alhir dia lihat mudah gugup dan sering melamun. Asrul bahkan menangkap sebuah keganjilan aneh yang menyelimuti Firda.“Aduh, sebentar Pak, saya masih capek!” jawab Firda mencari alasan sekenanya.Tadi ketika berada di dalam ruangan kantor, Asrul melihat Firda baru kembali dari rumah Pak Kades. Saat Firda turun dari motornya, Asrul dengan sangat melihat wajah rekan kerjanya itu dalam keadaan pucat dan tegang. Naluri sebagai rekan langsung berkata jika Firda sedang tidak baik-baik saja. Atau setidaknya ada sesuatu yang tidak beres.Dan ketika Firda tidak