“Halo, maaf ini siapa ya?” Aku menyapa seseorang di ujung telepon sana yang nomornya sama sekali tidak kukenal. “Siska, ini gua, Alex!” jawabnya singkat. Seketika detak jantungku terasa berhenti, lalu berdebar-debar tak karuan. Sekujur tubuhku serasa mati rasa, kaku laksana tersambar petir di siang bolong. “Iya Bang, ada apa ya?” tanyaku agak gemetar setelah terdiam beberapa saat. “Nanti jam satu malam, datang ke rumah gua lewat belakang. Datang dalam keadaan telanjang bulat. Saat gua ngeliat lu keluar dari pintu belakang rumah, harus udah bugil. Kalau lu gak mau, maka nyawa suami lu jadi taruhannya!” ancam Alex setelah itu menutup teleponnya. Aku masih ternganga. Terbayang harus berjalan menyeberangi pekarangan belakang rumah sejauh dua puluh meteran dalam keadaan bugil di tengah malam buta. Preman kampung super bejad ini benar-benar sudah gila! Ingin rasanya aku memaki dan menolaknya. Namun aku sangat takut dengan ancamannya. Alex punya banyak teman sesama preman yang bringas d
Entah ilmu apa yang dimiliki Alex, hingga tak ada seorang pun yang berani menghentikan aksi tengil dan kesewenang-wenangannya itu. Para aparat maupun pihak berwajib setempat pun seolah tinduk pada kearoganan seorang Alex. Mungkin hanya Tuhan yang bisa menghentikannya kelak. Sepertinya Alex mempunya rekam jekak yang sangat mengerikan hingga semua orang lebih memilih diam daripada berurusan dengannya yang besar kemungkinan menjadi korban berikutnya. Menurut bisik-bisik tetangga, sebenarnya Alex sudah sering keluar masuk penjara karena berbagai tindak kriminalnya. Bahkan dia pernah terlibat dalam perampokan dan pembunuhan sadis satu keluarga. Namun anehnya dia bisa lolos dari jerat hukum. Jika masuk jeruji besi,, hitungannya hanya beberapa hari saja. Sungguh sakti sekali manusia bernama Alex ini. Pantas saja dia semakin semean-mena. Jangan-jangan dia memang dibacking oleh oknum-ioknum aparat yang tidak bertanggung jawab? pikirku. Sejak peristiwa itu, Alex semakin menjadi-jadi dan seri
“Fir, bapak pulang duluan ya. Kamu kenapa belum pulang? Emang lagi ngerjain apa?” tanya seorang lelaki berseragam putih-putih khas seorang kepala desa pada seorang staf wanita yang masih duduk serius depan layar komputernya. “Eh iya, Pak. Sebentar lagi saya juga mau pulang. Ini baru selesai nginput RAB CV Mandiri, Pak,” jawab wanita yang berkerudung warna senada dengan pakaian seragam ASN-nya itu penuh rasa hormat. “Kamu kok betah amat tinggal di kantor, Fir. Proyeknya masih lama, mendingan istirahat dulu. Orang-orang udah pada pulang dari tadi.” Pak Mukhsin atau yang biasa disapa Pak Kades kembali mengingatkan anak buahnya. “Iya, Pak. ini juga sedang shoot down komputernya. Silakan Bapak duluan aja.” Firda sedikit membungkukkan badan serta menganggukkan kepala pertanda hormat kepada atasan yang sudah dianggapnya sebagai bapak kandungnya sendiri. “Oh iya Fir, lusa Bapak sama Yulia ada kegiatan di kecamatan, tolong disiapkan semuanya!” Lelaki berusia enam puluh tiga tahun itu member
“Neng… Neng Firda kenapa?” Kembali Pak Hanan bertanya dan tangannya terus dikibas-kibaskan depan wajah Firda. “Eh, maaf Pak. Saya ke warung Bu Qosim dulu sebentar,” jawab Firda sambil melangkah meninggalkan Pak Hasan yang masih melongo. Tak mengerti dengan sikap Firda yang dirasanya sangat aneh. Firda mempercepat langkahnya dengan pandangan yang tak sedikit pun lepas dari warung Bu Qosim yang berjarak kurang lebih lima puluh meteran dari kantor desa. Warung tempat hampir semua staf desa biasa nongkrong sambil ngopi, makan siang dan sebagainya. “Eh, Neng cantik, tumben jam segini belum pulang. Ibu kira udah gak siapa-siapa di kantor.” Sang pemilik warung menyapa renyah, ketika Firda datang dengan wajah yang terlihat melongo dan tampak ragu-ragu. “Mau cari apa Neng? Mau makan, Sayang?” Bu Qosim kembali bertanya dengan sapaan khasnya. Firda sama sekali tidak merespon ucapan Bu Qosim. ‘Tumben Neng Firda jadi aneh begini, sampai-sampai gak bales sapaanku, padahal biasanya dia yang nyap
Setelah melewati jembatan yang melintasi sungai besar pembelah desa, Firda mulai sedikit menurunkan kecepatan laju motornya. Beberapa puluh meter kemudian, dia pun menghentikan motornya, lalu memarkirkannya di pinggir jalan yang bersebelahan dengan lapangan desa. Lapangan sepak bola itu selalu ramai karena menjadi salah satu sarana rekreasi dan olah raga hampir seluruh warga desa. Tak jarang remaja-remaja dari desa sebelah pun main ke sana. Lapangan sepak bola yang menjadi kebanggaan semua warga itu, merupakan hibah dari Pak Kades. Kedermawanan Pak Kades telah membuat dirinya kembali menjabat kepala desa untuk ketiga kalinya. Andai jabatan kepala desa tidak dibatasi undang-undang, mungkin beliau akan jadi orang nomor satu di desanya seumur hidup. Semua warga sangat mencintai Pak Mukhsin, sebagai pribadi juga sebagai kepala desa. Semua orang memprediksi akan sulit menemukan penggantinya kelak, kecuali Yulia, anak kedua Pak Kades. Namun sayang, sejak dulu Yulia sudah menolaknya karena
“Pesan rahasia apa, Hen. Kamu jangan bikin ibu deg-degan dong!” Firda sedikit nyolot terbawa perasaannya yang sudah benar-benar sangat tegang. “Lima hari sebelum meninggal, Arman memaksa saya untuk menemui Ibu di kantor. Namun saat itu saya sedang sibuk di toko. Lantas malamnya seusai Salat Isya, kami mendatangi rumah ibu.” Hendy bicara dengan sangat hati-hati, sementara Firda masih melongo menunggu kelanjutan ceritanya. “Namun ternyata rumah Ibu sudah pindah ke BTN Antiex. Lalu kami pulang lagi karena sudah terlalu malam. Walau pada awalnya Arman maksa untuk tetap menemui Ibu. Tapi saya mencegahnya karena tidak enak kalau ke rumah ibu udah terlalu malam. Lagian dia kan betemunya tidak mau kalau ada Bapak.” Hendy kembali terdiam. “Terus?” Firda mulai terbawa cerita. “Akhirnya kami sepakat untuk menemui ibu di kantor desa beberapa hari kemudian. Seharusnya hari ini. Namun ternyata rencana hanya tinggal rencana, Arman telah pergi sebelum bisa bertemu dengan Ibu.” Unruk sementara Hend
Firda hampir terpancing emosinya. Namun dia pun sadar tidak mudah menyangkal gosip tanpa didukung bukti-bukti otentik. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata pun dalam kenyataannya orang-orang lebih mudah percaya pada hoax. Firda hanya bisa geleng-geleng kepala seraya pergi pulang setelah membeli beberapa kebutuhan hariannya. Namun gosip tentang Arman sepertinya masih akan tetap berlanjut hingga mereka bosan sendiri membicarakannya. ‘Gila, tidak salah yang dikatan Hendi. Ternyata ada gosip yang sangat edan di kalangan warga. Aku tak menduga sudah sejauh itu gpsip tentang Arman. Tapi benarkah semua itu?’ rutuk Firda dalam hati. Namun diakui atau tidak, sesungguhnya dia pun mulai sedikit terpengaruh dengan berita-berita yang masuk ke telinganya. Akhirnya Firda sampai di rumahnya. Baru lima bulan dia dan suaminya menempati rumah di kompleks BTN Antiex. Nama sebenarnya BTN Sindang Sari. Namun karena hampir 80% penghuninya berstatus karyawan PT. Textile Antiex, perumahan itu pun ser
Setelah melaksanakan Shalat Maghrib, bayangan Alex dan sosok ganjil yang menyerupai Alex dan mengerikan itu pun menguap dari pikiran dan bayangan Firda. Saat suaminya pulang kerja, semua sudah kembali seperti sedia kala. Firda pun merasa apa yang dilihat dan dialaminya hanya halusinasi, hingga dia memutuskan untuk tidak menceritakan itu pada suaminya. Hari berikutnya Firda sampai di kantornya jam setengah tujuh pagi. Sengaja dia berangkat lebih pagi karena ingin segera bertemu dengan Pak Hasan untuk menanyakan banyak hal tentang Arman. Namun dia harus kecewa karena ternyata Pak Hasan tidak masuk kerja tanpa alasan jelas. Akhirnya Firda hanya duduk termangu di meja kerjanya seraya menunggu yang lain dan memikirkan semua yang telah dialaminya dipadu dengan semua info yang masuk ke telinganya. Keyakinan Firda mulai sedikit goyah. Ada sebersit perasaan dalam hatinya yang mengatakan jika Arman memang menjadi tumbal pesugihan dan kini arwahnya gentayangan. Sebenarnya Firda juga ingin
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa
Bagai tersambar petir siang bolong, sekujur tubuh Firda terasa panas membara. Namun juga menggigil kedinginan seperti orang yang terkena demam. Saat ini depan matanya terpampang pemandangan yang sangat mencengangkan. Bunda Eni yang selama ini mengaku sakit diabet ternyata sudah sembuh total.Beliau kini bahkan hanya memakai celana dalam dan bra warna hitam berenda. Tubuhnya yang gempal, montok putih mulus, tampak sangat nyaman duduk mesra di pangkuan lelaki muda berwajah tampan dan bertubuh altelis yang masih berpakaian lengkap. Mereka tampak seperti pasangan ibu dengan anaknya.Seperti itu juga yang seketika Firda bayangkan saat Bunda Eni merenggut keperjakaan Hendy atau lelaki muda lainnya. Beruntung sekali Arman tidak pernah tergoda. Sungguh semua kamuplase yang dilakukan Bunda Eni, benar-benar luar biasa, pikir Firda.Bunda Eni melingkarkan kedua tangannya pada leher Ipang. Mereka berhadap-hadapan dan saling saling berpagutan mesra. Kepala mereka tampak bergerak pelan ke berbagai
Satu jam yang lalu, karena tergesa-gesa untuk segera keluar dari rumah megah nan mewah itu, Firda akhirnya terpaksa harus balik lagi ke lantai dua. Sebenarnya dia sangat enggan untuk kembali bertemu Ipang, namun kunci motornya tertinggal di meja ruang tengah tempat tadi dia menyimpannya.Firda segera kembali naik ke lantai dua. Ketika tiba di sana untuk beberapa saat dia terpaksa harus tergamam tak bisa bergerak. Telinganya dengan sangat jelas menangkap obrolan tak bisada antara Bunda Eni dengan sang terapis. Firda pun segera merapatkan tubuhnya pada dinding dekat pintu masuk. Awalnya dia tidak berniat menguping, namun saat namanya disebut-sebut dalam obrolan itu, jiwa keponya pun meronta-ronta.“Jadi kamu sudah sangat yakin kalau Firda saat ini sedang tidak baik-baik saja, Pang.” Dengan suara yang agak lantang, Bunda Eni melanjutkan obrolannya. “Saya sangat yakin, Bunda. Bu Firda memang sedang didekati arwah penasaran anak itu. Atau setidaknya dia sudah pernah didatangi si Arman it
“Bu Firda kenapa?” tanya Asrul dengan intonasi yang sangat khawatir dan tiba-tiba.“Eh, ke..ke..kenapa, Pak?” Firda yang sedang duduk melamun di dapur kantor pun seketika terperanjat. Karena panik dan gugup dia malah balik bertanya dengan suara yang tergagap.“Lah, kok malah balik tanya. Itu wajah Bu Firda sampai pucat begitu kenapa? keringat lagi. Ibu sakit bukan?” Asrul kembali bertanya, kian tak mengerti dengan sikap Firda yang akhir-alhir dia lihat mudah gugup dan sering melamun. Asrul bahkan menangkap sebuah keganjilan aneh yang menyelimuti Firda.“Aduh, sebentar Pak, saya masih capek!” jawab Firda mencari alasan sekenanya.Tadi ketika berada di dalam ruangan kantor, Asrul melihat Firda baru kembali dari rumah Pak Kades. Saat Firda turun dari motornya, Asrul dengan sangat melihat wajah rekan kerjanya itu dalam keadaan pucat dan tegang. Naluri sebagai rekan langsung berkata jika Firda sedang tidak baik-baik saja. Atau setidaknya ada sesuatu yang tidak beres.Dan ketika Firda tidak