Pikiran Nengsih mengelana membandingkan ukuran benda yang menonjol di balik celana Hendy dengan milik suaminya dan Andi yang sepertinya jauh berbeda. Usia Hendy memang masih muda, namun dalam balutan pakaian basah yang melekat di tubuhnya, sukses membuat Nengsih berdebar-debar tak menentu. Sementara Hendy pun melihat kerudung dan gamis yang dikenakan Nengsih basah kuyup lengket di tubuhnya. Membentuk bayangan tubuh janda sintal itu lengkap dengan bukit kembarnya yang menonjol ke depan. Hendy berusaha menyembunyikan gejolak jiwanya. Dalam usaha menghindar percikan hujan Hendy dan Nengsih masuk ke sanung dan duduk berdempetan di atas bale-bale bambu yang sempit. Mereka duduk sambil berpelukan untuk membagi kehangatan agar angin yang mendera tidak membuat mereka semakin menggigil kedinginan. Nengih membuka kerudungnya yang basah kuyup, kehangatan itu pun mulai mereka rasakan. Pelukannya kali ini terasa berbeda dengan pelukan saat keduanya berjaln di pematang sawah. Pelukan yang sekara
Ketika Hendy sedang asik mengayuh birahi bersama Nengsih, hati Firda justru sedang diliputi perasaan yang tak menentu. Resah dan gelisah menyelimuti jiwanya. Namun dia tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan perasaannya mendadak berkecamuk dan aneh. Ketika hujan turun membasahi bumi dengan sangat lebatnya, Firda baru tiba di rumahnya. Setelah masuk dia langsung menenggelamkan dirinya di kamar tanpa berganti pakaian. Seraya merebahkan diri dan meluk bantal guling, pikirannya melayang kemana-mana. Sama sekali tak bisa lepas dari bayangan Hendy yang entah mengapa tiba-tiba terlihat sangat mirip Arman. Firda bahkan merasakan senyum khas Hendy yang berlesung pipi itu hilang tergantikan senyum khas Arman yang selalu membuatnya berdebar dan susah move on. Kenangan yang sudah terkubur pun kini kembali bersemi di hatinya. Firda cukup mengenal Arman dan Hendy, walau cukup lama tidak bertemu dengan mereka, bahkan pertemuan terkahir dengan Arman mungkin dua tahun yang lalu. Namun dia tidak perna
“Arman!” seru Firda sesaat setelah menolehkan wajah menatap seorang lelaki muda yang berdiri tersenyum di belakangnya. “Saya Hendy, Bu, hehehe.” Lelaki itu menjawab seraya terkekeh dan berjalan ke arah samping depan motor Firda sehingga kini mereka seperti berhadap hadapan. Namun Firda tetap duduk berdiri di atas motornya. ‘Astaga!’ Firda kembali berseru dalam hati seraya menutup mulutnya yang menganga. Matanya seketika terbelalak dengan wajah yang tampak merah menyala saking malunya dan terkena sinar matahari pagi yang sedang hangat-hangatnya. “Ka..kamu a.. a..da di sini Hen?” tanya Firda gelagapan seraya menatap wajah Hendy yang pada saat pertama tadi dia melihatnya benar-benar menyerupai Arman. “Hehehe, Ibu pasti sedang memikirkan Arman ya? Atau jangan-jangan sedang teringat kembali saat-saat dulu nonton bareng di lapangan ini?” Tebakan Hendy seratus persen benar dan sontak membuat wajah Firda semakin merah tersipu-sipu. “Saya juga tadinya mau ke rumah Ibu, kebetulan ketemu di
Lima belas menit kemudian Firda tiba di kantornya. Terlambat hampir setengah jam dari biasanya, tetapi tidak ada yang mempertanyakan. Semua rekan-rekan termasuk Pak Kades hanya tampak sedikit heran seraya bertanya ‘Tumben?’ mungkin karena biasanya Firda selalu datang lebih pagi. Firda pun hanya dengan senyuman menjawab sapa canda mereka. Tidak mungkin dia menjelaskan jiak keterlambatannya itu akibat terlalu lama ngobrol dengan brondong ganteng yang berujung pada tindak kekerasan. Setelah menyalakan personal computer dan merapikan beberapa berkas kerja di atas mejanya, Firda pun duduk termangu seraya memikirkan kembali apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Hendy. Puluhan pesan dan miss call dari Hendy dia abaikan. Firda bingung harus menjawab apa atas semua chat permintaan maaf Hendy. Sejatinya dia sendiri menyadari jika apa yang dilakukan Hendy sepertinya di luar kendalinya. Tak jauh berbeda dengan dirinya yang terkesima karena saat itu Hendy bahkan seakan berubah menjadi
Tak sampai lima belas menit setelah duduk kembali di kursi kerjanya, Firda mendapatkan pesan dari istrinya Pak Kades alias Bunda Eni. Firda pun berpamitan pada semuanya. Dia tidak akan kembali lagi ke kantor setelah selesai dari menemani Bunda Eni dipijat. Sesungguhnya Firda sangat merasa malas untuk berjumpa dengan Bunda Eni. Apalagi harus menemaninya berlama-lama. Rasa simpati dan resfeknya pada istri kepala desa itu sudah hilang sirna semenjak mendengar berita yang sangat mengejutkannya dari Hendy. Beberapa kali Firda memang pernah mendengar jika wanita berusia lebih dari lima puluh tahun itu sedikit genit. Namun dia tidak menduga jika Bunda Eni yang sudah dianggap orang tuanya itu ternyata naksir Arman. Terlebih lagi Bu Eni pun sudah merenggut keperkaaan Hendy. Firda pun membayangkan bagaimana senjata andalan Hendy yang tadi sempat dia sentuh dan berukuran besar dan panjang itu, dinikmati oleh istrinya Pak Mukhsin. Firda kini bahkan menduga jika bukan hanya Hendy yang keperjaka
“Bukannya Pak Arnadi udah kaya sejak lama, Bun?” Firda kembali bertanya pura-pura polos. “Dulu Pak Arnadi itu hanya punya warung biasa, lebih besar dikit dari warungnya Bu Qosim, tapi beberapa tahun terkahir dia memang maju pesat, sekarang tokonya udah punya lima. Kalau gak salah Arman sama Hendy juga di kasih satu dekat kampusnya.” “Masa sih Bu?” Firda bertanya sekedar memberikan respon, namun demikian jantungnya mulai kembali dag-dig-dug tak karuan. “Anehnya lagi semua orang yang pernah dekat dengan almarhum, didatengin. Kalau gak salah kamu dulu pernah deket sama Arman, beneran kan, Fir?” tanya Bunda Eni penuh selidik. “Eh, enggak Bun. Ya de…de.deket juga cuma pas PKL aja, kan emang saya yang ngebimbing mereka.” Firda menjawab dengan suara yang mulai sedikit bergetar. “Tapi gak papa didatengin juga, katanya sih gak nakut-nakutin. Arwahnya hanya datang buat nyampein pesan pada orang tauanya doang,” sambung Bunda Eni sedikit menenangkan hati Firda. “Nyampein pesan gimana, Bun?”
Setelah Firda benar-benar tidak terlihat, Ipang kembali menatap wajah Bunda Eni yang tersenyum manis ke arhanya. Ipang masih belum mengerti mengapa harus memijat Firda di kamar, padahal bisa di sofa sama seperti dirinya. Kecuali akan massage all body. “Kenapa harus di kamar, Bun?” tanya Ipang pada Bunda Eni. Dia masih tidak percaya Bunda Eni akan mengizinkan dirinya untuk hanya berduaan di kamar tertutup dengan wanita lain. “Sini bentar,” ajak Bunda Eni seraya berjalan ke salah satu ruangan yang ada si samping kamarnya. Ipang pun menyusulnya dengan jantung yang mulai dag-dig-dug tak karuan. Entah mengapa dia merasa pikirannya jadi berkecamuk tak karuan. Perpaduan antara senang dan tidak percaya. Seperti seorang anak yang akan mendapatkan hadiah besar dari ibunya, namun masih tidak tahu apa isi hadiahnya. “Pang, kamu bisa mendeteksi kehamilan seorang wanita kan?” Bunda Eni bertanya dengan nada yang sedikit berbisik saat keduanya sudah berada di ruang sebelah. “Sepertinya saya menger
‘Gila, body belakangnya tak kalah menggirukannya dengan bagian depan. Sepertinya hari ini gua benar-benar akan dapat durian runtuh. Kalau sering-sering dapat klien yang begini sih, gua rela gak dibayar, asal….’ Ipang bermonolog dalam hari, seberkas senyum seringai pun menghiasi wajah tampannya. Kedua bola mata elang Ipang, mendadak berbinar nyaris tak berkedip memandang nanar bagian belakang tubuh seksi dan sintal Firda yang tengkurap mengenakan pakaian seragam PNS lengkap dengan kerudungnya. Kerongkongan dan zakunnya pun beberapa kali bergerak naik turun menelan ludah sendiri. Dengan sangat perlahan Ipang maju beberapa langkah mendekati ranjang. Sebagai terapis yang sudah malang melintang dan berpengalaman dalam menaklukkan cliennya, dia pun sudah menangkap gelagat penolakan keras dari sikap Firda yang sama sekali tidak mempedulikan sarannya. Namun demikian tak sedikit pun Ipang merasa tersinggung denang sikap Firda tersebut. Sebagai terapis yang sudah malang melintang di dunia per
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa
Bagai tersambar petir siang bolong, sekujur tubuh Firda terasa panas membara. Namun juga menggigil kedinginan seperti orang yang terkena demam. Saat ini depan matanya terpampang pemandangan yang sangat mencengangkan. Bunda Eni yang selama ini mengaku sakit diabet ternyata sudah sembuh total.Beliau kini bahkan hanya memakai celana dalam dan bra warna hitam berenda. Tubuhnya yang gempal, montok putih mulus, tampak sangat nyaman duduk mesra di pangkuan lelaki muda berwajah tampan dan bertubuh altelis yang masih berpakaian lengkap. Mereka tampak seperti pasangan ibu dengan anaknya.Seperti itu juga yang seketika Firda bayangkan saat Bunda Eni merenggut keperjakaan Hendy atau lelaki muda lainnya. Beruntung sekali Arman tidak pernah tergoda. Sungguh semua kamuplase yang dilakukan Bunda Eni, benar-benar luar biasa, pikir Firda.Bunda Eni melingkarkan kedua tangannya pada leher Ipang. Mereka berhadap-hadapan dan saling saling berpagutan mesra. Kepala mereka tampak bergerak pelan ke berbagai
Satu jam yang lalu, karena tergesa-gesa untuk segera keluar dari rumah megah nan mewah itu, Firda akhirnya terpaksa harus balik lagi ke lantai dua. Sebenarnya dia sangat enggan untuk kembali bertemu Ipang, namun kunci motornya tertinggal di meja ruang tengah tempat tadi dia menyimpannya.Firda segera kembali naik ke lantai dua. Ketika tiba di sana untuk beberapa saat dia terpaksa harus tergamam tak bisa bergerak. Telinganya dengan sangat jelas menangkap obrolan tak bisada antara Bunda Eni dengan sang terapis. Firda pun segera merapatkan tubuhnya pada dinding dekat pintu masuk. Awalnya dia tidak berniat menguping, namun saat namanya disebut-sebut dalam obrolan itu, jiwa keponya pun meronta-ronta.“Jadi kamu sudah sangat yakin kalau Firda saat ini sedang tidak baik-baik saja, Pang.” Dengan suara yang agak lantang, Bunda Eni melanjutkan obrolannya. “Saya sangat yakin, Bunda. Bu Firda memang sedang didekati arwah penasaran anak itu. Atau setidaknya dia sudah pernah didatangi si Arman it
“Bu Firda kenapa?” tanya Asrul dengan intonasi yang sangat khawatir dan tiba-tiba.“Eh, ke..ke..kenapa, Pak?” Firda yang sedang duduk melamun di dapur kantor pun seketika terperanjat. Karena panik dan gugup dia malah balik bertanya dengan suara yang tergagap.“Lah, kok malah balik tanya. Itu wajah Bu Firda sampai pucat begitu kenapa? keringat lagi. Ibu sakit bukan?” Asrul kembali bertanya, kian tak mengerti dengan sikap Firda yang akhir-alhir dia lihat mudah gugup dan sering melamun. Asrul bahkan menangkap sebuah keganjilan aneh yang menyelimuti Firda.“Aduh, sebentar Pak, saya masih capek!” jawab Firda mencari alasan sekenanya.Tadi ketika berada di dalam ruangan kantor, Asrul melihat Firda baru kembali dari rumah Pak Kades. Saat Firda turun dari motornya, Asrul dengan sangat melihat wajah rekan kerjanya itu dalam keadaan pucat dan tegang. Naluri sebagai rekan langsung berkata jika Firda sedang tidak baik-baik saja. Atau setidaknya ada sesuatu yang tidak beres.Dan ketika Firda tidak