Ketika Hendy sedang asik mengayuh birahi bersama Nengsih, hati Firda justru sedang diliputi perasaan yang tak menentu. Resah dan gelisah menyelimuti jiwanya. Namun dia tidak tahu pasti, apa yang menyebabkan perasaannya mendadak berkecamuk dan aneh. Ketika hujan turun membasahi bumi dengan sangat lebatnya, Firda baru tiba di rumahnya. Setelah masuk dia langsung menenggelamkan dirinya di kamar tanpa berganti pakaian. Seraya merebahkan diri dan meluk bantal guling, pikirannya melayang kemana-mana. Sama sekali tak bisa lepas dari bayangan Hendy yang entah mengapa tiba-tiba terlihat sangat mirip Arman. Firda bahkan merasakan senyum khas Hendy yang berlesung pipi itu hilang tergantikan senyum khas Arman yang selalu membuatnya berdebar dan susah move on. Kenangan yang sudah terkubur pun kini kembali bersemi di hatinya. Firda cukup mengenal Arman dan Hendy, walau cukup lama tidak bertemu dengan mereka, bahkan pertemuan terkahir dengan Arman mungkin dua tahun yang lalu. Namun dia tidak perna
“Arman!” seru Firda sesaat setelah menolehkan wajah menatap seorang lelaki muda yang berdiri tersenyum di belakangnya. “Saya Hendy, Bu, hehehe.” Lelaki itu menjawab seraya terkekeh dan berjalan ke arah samping depan motor Firda sehingga kini mereka seperti berhadap hadapan. Namun Firda tetap duduk berdiri di atas motornya. ‘Astaga!’ Firda kembali berseru dalam hati seraya menutup mulutnya yang menganga. Matanya seketika terbelalak dengan wajah yang tampak merah menyala saking malunya dan terkena sinar matahari pagi yang sedang hangat-hangatnya. “Ka..kamu a.. a..da di sini Hen?” tanya Firda gelagapan seraya menatap wajah Hendy yang pada saat pertama tadi dia melihatnya benar-benar menyerupai Arman. “Hehehe, Ibu pasti sedang memikirkan Arman ya? Atau jangan-jangan sedang teringat kembali saat-saat dulu nonton bareng di lapangan ini?” Tebakan Hendy seratus persen benar dan sontak membuat wajah Firda semakin merah tersipu-sipu. “Saya juga tadinya mau ke rumah Ibu, kebetulan ketemu di
Lima belas menit kemudian Firda tiba di kantornya. Terlambat hampir setengah jam dari biasanya, tetapi tidak ada yang mempertanyakan. Semua rekan-rekan termasuk Pak Kades hanya tampak sedikit heran seraya bertanya ‘Tumben?’ mungkin karena biasanya Firda selalu datang lebih pagi. Firda pun hanya dengan senyuman menjawab sapa canda mereka. Tidak mungkin dia menjelaskan jiak keterlambatannya itu akibat terlalu lama ngobrol dengan brondong ganteng yang berujung pada tindak kekerasan. Setelah menyalakan personal computer dan merapikan beberapa berkas kerja di atas mejanya, Firda pun duduk termangu seraya memikirkan kembali apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Hendy. Puluhan pesan dan miss call dari Hendy dia abaikan. Firda bingung harus menjawab apa atas semua chat permintaan maaf Hendy. Sejatinya dia sendiri menyadari jika apa yang dilakukan Hendy sepertinya di luar kendalinya. Tak jauh berbeda dengan dirinya yang terkesima karena saat itu Hendy bahkan seakan berubah menjadi
Tak sampai lima belas menit setelah duduk kembali di kursi kerjanya, Firda mendapatkan pesan dari istrinya Pak Kades alias Bunda Eni. Firda pun berpamitan pada semuanya. Dia tidak akan kembali lagi ke kantor setelah selesai dari menemani Bunda Eni dipijat. Sesungguhnya Firda sangat merasa malas untuk berjumpa dengan Bunda Eni. Apalagi harus menemaninya berlama-lama. Rasa simpati dan resfeknya pada istri kepala desa itu sudah hilang sirna semenjak mendengar berita yang sangat mengejutkannya dari Hendy. Beberapa kali Firda memang pernah mendengar jika wanita berusia lebih dari lima puluh tahun itu sedikit genit. Namun dia tidak menduga jika Bunda Eni yang sudah dianggap orang tuanya itu ternyata naksir Arman. Terlebih lagi Bu Eni pun sudah merenggut keperkaaan Hendy. Firda pun membayangkan bagaimana senjata andalan Hendy yang tadi sempat dia sentuh dan berukuran besar dan panjang itu, dinikmati oleh istrinya Pak Mukhsin. Firda kini bahkan menduga jika bukan hanya Hendy yang keperjaka
“Bukannya Pak Arnadi udah kaya sejak lama, Bun?” Firda kembali bertanya pura-pura polos. “Dulu Pak Arnadi itu hanya punya warung biasa, lebih besar dikit dari warungnya Bu Qosim, tapi beberapa tahun terkahir dia memang maju pesat, sekarang tokonya udah punya lima. Kalau gak salah Arman sama Hendy juga di kasih satu dekat kampusnya.” “Masa sih Bu?” Firda bertanya sekedar memberikan respon, namun demikian jantungnya mulai kembali dag-dig-dug tak karuan. “Anehnya lagi semua orang yang pernah dekat dengan almarhum, didatengin. Kalau gak salah kamu dulu pernah deket sama Arman, beneran kan, Fir?” tanya Bunda Eni penuh selidik. “Eh, enggak Bun. Ya de…de.deket juga cuma pas PKL aja, kan emang saya yang ngebimbing mereka.” Firda menjawab dengan suara yang mulai sedikit bergetar. “Tapi gak papa didatengin juga, katanya sih gak nakut-nakutin. Arwahnya hanya datang buat nyampein pesan pada orang tauanya doang,” sambung Bunda Eni sedikit menenangkan hati Firda. “Nyampein pesan gimana, Bun?”
Setelah Firda benar-benar tidak terlihat, Ipang kembali menatap wajah Bunda Eni yang tersenyum manis ke arhanya. Ipang masih belum mengerti mengapa harus memijat Firda di kamar, padahal bisa di sofa sama seperti dirinya. Kecuali akan massage all body. “Kenapa harus di kamar, Bun?” tanya Ipang pada Bunda Eni. Dia masih tidak percaya Bunda Eni akan mengizinkan dirinya untuk hanya berduaan di kamar tertutup dengan wanita lain. “Sini bentar,” ajak Bunda Eni seraya berjalan ke salah satu ruangan yang ada si samping kamarnya. Ipang pun menyusulnya dengan jantung yang mulai dag-dig-dug tak karuan. Entah mengapa dia merasa pikirannya jadi berkecamuk tak karuan. Perpaduan antara senang dan tidak percaya. Seperti seorang anak yang akan mendapatkan hadiah besar dari ibunya, namun masih tidak tahu apa isi hadiahnya. “Pang, kamu bisa mendeteksi kehamilan seorang wanita kan?” Bunda Eni bertanya dengan nada yang sedikit berbisik saat keduanya sudah berada di ruang sebelah. “Sepertinya saya menger
‘Gila, body belakangnya tak kalah menggirukannya dengan bagian depan. Sepertinya hari ini gua benar-benar akan dapat durian runtuh. Kalau sering-sering dapat klien yang begini sih, gua rela gak dibayar, asal….’ Ipang bermonolog dalam hari, seberkas senyum seringai pun menghiasi wajah tampannya. Kedua bola mata elang Ipang, mendadak berbinar nyaris tak berkedip memandang nanar bagian belakang tubuh seksi dan sintal Firda yang tengkurap mengenakan pakaian seragam PNS lengkap dengan kerudungnya. Kerongkongan dan zakunnya pun beberapa kali bergerak naik turun menelan ludah sendiri. Dengan sangat perlahan Ipang maju beberapa langkah mendekati ranjang. Sebagai terapis yang sudah malang melintang dan berpengalaman dalam menaklukkan cliennya, dia pun sudah menangkap gelagat penolakan keras dari sikap Firda yang sama sekali tidak mempedulikan sarannya. Namun demikian tak sedikit pun Ipang merasa tersinggung denang sikap Firda tersebut. Sebagai terapis yang sudah malang melintang di dunia per
Firda keluar dari kamar mandi dengan gerakan yang beringsut menutupi terbukanya sebagian auratnya, Firda melihat Ipang memandangnya dengan ternganga. Matanya seakan mau melompat dari kelopaknya dan zakunnya terus bergerak-gerak menelan ludahnya sendiri.Betapa malunya hari Firda. Dipandangi oleh lelaki semuda dan segagah Ipang dalam keadaan setengah telanjang. Walaupun hanya sesaat, Firda bisa merasakan ketakjuban luar biasa dari sorot mata Ipang atas dirinya.Namun anehnya, dalam waktu bersamaan Firda pun merasa tersanjung dan senang menerima tatapan penuh kaguman dari lelaki yang sesungguhnya pantas menjadi adiknya.Sesaat kemudian Firda baru menyadari jika pintu kamar telah tertutup rapat sehingga tak ada sedikit pun celah dari luar yang bisa melihat ke dalam. Pendingin ruangan pun ternyata telah dinyalakan dalam suhu yang sangat sedang."Silakan tengkurap lagi, Mbak!" Instruksi Ipang membuyarkan lamunan Firda.Bagai seekor kerbau betina yang sudah dicucuk hidungnya, walau dengan p