"Permisi, Nona? Apa anda tidak pernah belajar adab makan dan minum?" Seorang lelaki tampan menegur Qiara yang sedang meneguk air minum sambil berjalan.
Qiara menoleh ke sekelilingnya. Ia bingung lelaki itu berbicara dengan siapa karena pandangan lelaki itu tertunduk kebawah. Seolah-olah tidak berbicara dengannya.
"Anda berbicara dengan saya? Haloo ...." Qiara menunjuk dirinya dengan jari telunjuk.
"Emangnya di sini ada orang lain yang minum sambil jalan kaki?" Lelaki itu menyahut tanpa menatap mata Qiara.
Qiara menoleh ke kanan kiri, lalu menoleh lagi ke belakang karena khawatir ada orang lain di sana. Tapi, tidak ada satu orang pun didekatnya. Hanya ada dia dan lelaki aneh yang menegurnya dengan cara yang aneh juga.
Salsa dan Amira—saudara sepupu Qiara yang melihat Pemandangan itu saling pandang. Salsa pun segera menghampiri Qiara.
"Maaf, Ustadz, ini Kakak sepupu saya." Salsa berbicara dengan nada yang sangat sopan.
Lelaki untuk mengalihkan pandangannya pada santri baru yang memegang tangan Qiara. "Tolong ajarkan sepupumu adab makan dan minum seperti yang pernah saya ajarkan di kelas. Paham." Lelaki itu berkata sesaat sebelum meninggalkan Salsa dan Qiara yang terlihat bingung.
Qiara melipat tangannya di dada. "Sombong banget, sih, tuh, orang." Bibirnya mencibir menatap punggung lebar lelaki yang baru saja menegurnya.
"Kak, mari Salsa kasih tahu adab makan dan minum," ujar Salsa dengan nada pelan.
Qiara melotot mendengar ucapan Salsa.
"Apaan, sih?" tepisnya sedikit kasar
Tentu saja Qiara tidak mau dinasehati oleh Salsa yang notebene anak ingusan kemarin sore. Umurnya saja baru 13 tahun, sedangkan Qiara berumur 20 tahun.
"Maaf, Kak. Ustadz Zaydan besok pasti akan mempertanyakan apakah sudah Salsa sampaikan adab ini kepada Kakak atau tidak." Salsa memainkan jarinya di ujung hijab lebar yang dikenakannya.
"Hhhh." Qiara menatap Salsa yang memohon mengajak dia duduk di saung yang mereka tempati tadi untuk diajarkan adab makan dan minum.
***
"Non Qiara, nggak ke kampus?" Mbak Asih membangunkan Qiara yang masih tertidur dengan pulas.
Qiara terbangun karena Mbak Asih membuka tirai dan sinar matahari menerobos masuk menusuk matanya.
Gadis itu terbelalak saat matanya tertuju pada jam dinding. "Astaga. Aku kesiangan!" Dia berlari menyambar handuk dan segera mandi sekedarnya saja.
"Mampus. Hari ini diminta datang cepat sama kosma." Qiara melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Dia menggigit bibir bawahnya saat suasana kampus sudah sepi menandakan kelas sudah dimulai.
"Assalamualaikum," Qiara masuk ke dalam kelas dengan tertunduk.
Seorang lelaki berwajah tampan berdiri dari meja dosen, lalu melangkah menuju tempat Qiara berdiri. Ia menatap Qiara dengan gelengan kepala.
"Apa kamu baru hari ini menginjakkan kaki ke kampus ini?" tanya dosen itu dengan suara bariton.
"Ti-tidak, Pak."
"Lalu, mengapa pakaianmu sedemikan rupa? Apa kamu tidak tahu peraturan kampus?"
"Maaf, Pak. rok saya tertinggal,"
"Rok kamu tertinggal?" Dosen itu bertanya dengan nada tegas.
"Sa-say ...."
"Kamu tahu ini jam berapa?" tanya dosen tersebut dengan suara lantang.
"Jam setengah sembilan, Pak."
"Kamu tahu jadwal masuk jam berapa?"
"Jam setengah delapan, Pak."
"Dan kamu tahu berapa lama kamu terlambat?"
"Satu jam, Pak."
"Oke, silahkan berdiri di ujung kelas dengan membaca buku ini." Dosen itu memberikan sebuah buku kepada Qiara sehingga perempuan Bermata bening itu mendongak dan mereka saling bertatapan.
"Kamu?" Qiara terkejut saat mengetahui bahwa dosen tersebut adalah Ustadz Zaydan—lelaki yang dikenalnya saat bertemu di pondok pesantren.
Sementara itu, Zaydan melipat tangan di dada dan menunjuk ke arah ujung ruangan dengan dagunya.
Qiara menghentakkan kakinya dan berjalan menuju ujung ruangan, lalu berdiri dan membaca buku yang diberikan dosen barunya yang ternyata Ustadz Zaydan yang menurut Qiara Ustadz rese.
Pelajaran hari itu berjalan dengan lancar, mahasiswa antusias menerima materi dari dosen baru itu dan saling berebutan bertanya. Kecuali Qiara.
"Materi sudah selesai dan sampai bertemu esok pagi. Assalamualaikum." Zaydan mengakhiri materinya, lalu menoleh ke arah Qiara.
"Kamu, kemari," panggilnya yang langsung disambut binar bahagia dari Qiara.
Zaydan menatap Qiara sambil menggelengkan kepala. "Saya tidak mau melihat kamu berpakaian seperti itu esok pagi." Dia memberikan buku yang Qiara kembalikan padanya.
"Baca cara berpakaian wanita muslim yang benar di buku itu, lalu tulis dalam bentuk sebuah artikel dan kumpulkan kepada saya esok pagi." Zaydan pergi begitu saja saat Qiara masih ingin bertanya.
Qiara menggemelutukkan giginya dan mengepal tangan sambil menatap Zaydan yang telah menghilang di balik pintu kelas dengan geram."Sok kecakepan banget sih jadi orang!"
"Emang cakep kali, Qi. Dari Kairo pulak." Sayyidah dan Amira memegang pipi mereka yang merona karena begitu terpesona oleh ketampanan Zaydan.
"Cakep dari Hongkong?" Qiara duduk di tempat bangku dengan hati yang masih dipenuhi kekesalan.
***
"Iihhhh. Apa sih maksud tugas tadi?" Qiara meletakkan buku yang diterimanya dari Zaydan dengan kesal.
Gadis itu tidak bisa fokus pada materi dan apa perintah dari Zaydan di kampus tadi karena pikirannya yang kacau.
Pikiran Qiara kacau karena terus-terusan teringat ada kisah cintanya dan Leon yang berakhir kemarin sore. Leon memutuskan hubungan secara sepihak hanya karna tidak ingin dihapus dari waris keluarga.
Meski Ayah Leon seringkali menghina Qiara karena perbedaan kepercayaan dan kasta, tidak menggoyahkan besarnya cinta Qiara, dia tetap bertahan meski hampir setiap hari, hinaan itu dia dapatkan.
Qiara bertahan karena Leon selalu meyakinkannya bahwa mereka bisa melewati badai cinta itu. Namun kenyataannya, Leon juga yang memutuskan untuk memilih perempuan lain yang menurut ayahnya jauh lebih baik. Leon memutuskan Qiara di saat hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan hinaan dari ayah Qiara yang terus-terusan terngiang di telinga Qiara saat ayah Leon mengatakan Qiara perempuan murahan yang rela mempertaruhkan keyakinan demi cinta dan harta.
"Aarrgggh. Mana bisa aku fokus kalau begini." Qiara membuka ponselnya dan memandang Poto dia dan Leon yang tersenyum bahagia. Hatinya masih sangat sakit dengan kenyataan yang ada.
Qiara terkejut saat mendengar pintu kamar diketuk.
"Non Qiara, disuruh Bapak ke ruang tamu pakai pakaian yang rapi dan hijab. Ada tamu yang ingin bertemu." Mbak Asih tersenyum di depan pintu.
Alis Qiara saling tertaut. "Siapa?"
"Umi Zahra."
Qiara segera keluar kamar untuk menemui Umi Zahra setelah memakai hijab dan pakaian rapi. Perempuan itu segera menyalami Umi Zahra yang merupakan teman dekat ayahnya yang memiliki panti asuhan yang ayahnya adalah donatur tetap di sana.
"Pak Zaydan?" Qiara terkejut saat melihat ada Zaydan di samping Umi Zahra.
"Kalian sudah saling mengenal? Baguslah." Pak Bustomi menepuk-nepuk bahu Zaydan dengan suka cita.
Wajah Qiara bingung karena kehadiran Zaydan di rumahnya yang tiba-tiba. "Kenapa ... Pak Zaydan ada di sini?"
"Duduklah, Nak. Kita akan membicarakan pernikahan kalian." Pak Bustomi menarik Qiara agar duduk di sampingnya.
"Per-pernikahan kami?" Qiara terhenyak.
"Iya, Nak. Umi Zahra datang kemari untuk meminang kamu menjadi istri Ustadz Zaydan."
"Kamu mau, kan, Nak?" Umi Zahra tersenyum pada Qiara.
Qiara terkejut karena tidak menyangka kalau Zaydan adalah anak Umi Zahra. "Pak Zaydan anaknya Umi?"
"Tidak, Nak. Zaydan ditinggalkan orang tuanya di panti asuhan tanpa jejak sejak masih bayi. Umi mengasuh Zaydan seperti anak kandung sendiri."
"Ayah, aku tidak mau menikah secepat ini."
"Kenapa, Qi?"
"Aku tidak mencintainya." Qiara menatap tajam pada Zaydan.
Zaydan hanya mengulum senyum mendengar ucapan Qiara, tapi dia juga tidak bisa menghindari perjodohan itu. Baginya, permintaan Umi Zahra tak bisa ditolak dan dia juga yakin, Umi Zahra tidak akan memberikan pilihan yang buruk padanya. Namun, Zaydan pun juga tidak menyangka jika gadis yang akan dijodohkan dengannya itu adalah Qiara—mahasiswa yang tadi membuat ulah di kampus dengan cara berpakaiannya dan keterlambatannya.
"Kalian ta'aruf saja selama 1 minggu ini, bagaimana?" Pak Bustomi menatap Qiara dan Zaydan bergantian.
"Tapi ..." Zaydan dan Qiara menyahut bersamaan.
***
"Seharusnya aku berbahagia di hari pernikahan ini." Qiara menatap dirinya di depan cermin. "Apa ini adalah keputusan yang tepat?"Qiara yang begitu cantik mengenakan kebaya berwarna putih yang dipenuhi dengan Payet dan mutiara berkilau. Kebaya itu model kebaya gaun modern yang membuat Qiara seperti seorang princess dari kerajaan. Hijabnya pun telulur sampai ke dada karna Zaydan meminta istrinya memakai hijab pengantin yang menutupi dada.SAHH ... ALHAMDULILLAHTerdengar suara dari ruang depan menandakan ijab qobul telah terlaksana. Hal itu membuat Qiara terpaku. Dia menyadari jika saat ini dia telah sah melepas masa lajang."Nak, mari ibu bimbing ke depan." Bu Zahra masuk ke dalam kamar Qiara. Perempuan paruh baya itu menggandeng Qiara menuju tempat akad nikah.Qiara duduk di samping Zaydan. Ia masih menundukkan kepalanya. Jantungnya berdebar tak karuan seakan-akan ingin melompat keluar dari tubuhnya. Qiara mengulurkan tangan untuk disematkan cincin oleh Zaydan. Perempuan itu mengan
"Zay, maafin aku ...." Qiara memeluk Zaydan dari belakang. Dia meminta ampun pada lelaki yang berstatus suaminya itu.Zaydan melepas pelukan Qiara di pinggangnya. Hatinya benar-benar terasa sakit melihat Qiara dipeluk oleh lelaki lain. Lebih sakit lagi mendengar hinaan dari ayah Leon. Zaydan merasa harga dirinya sebagai lelaki terkoyak."Zay ...." Qiara merasa sesak di dadanya saat Zaydan memilih tidur di lantai. "Tidurlah, sudah malam."Hati Qiara terasa diiris saat melihat Zaydan meringkuk di bawah selimut. Mereka memang baru seminggu menikah dan belum menunaikan kewajiban sebagai suami istri karena Qiara datang bulan sejak hari resepsi hingga saat ini. Namun, Zaydan selalu memeluknya setiap mereka tidur karena ranjang berukuran sempit yang belum diganti."Zay, seandainya kamu tahu betapa aku sangat menyesali keadaan ini." Qiara hanya menatap Zaydan yang telah tidur dengan pulas.***"Lapar banget, nih." Qiara keluar dari kamar. Dia mencari keberadaan Zaydan, tapi lelaki itu tidak
Zaydan dan Qiara berangkat meninggalkan kota Pemayung menuju danau milik Ayah Qiara yang terletak di salah satu perkebunan. Sepanjang perjalanan, Qiara terus melantunkan lagu-lagu nuansa Islami yang diperdengarkan di dalam mobil tersebut. Zaydan mengulum senyum karena akhirnya Qiara menyukai lagu-lagu islami dan meninggalkan lagu rock kesukaannya. Sebelumnya, mereka sempat berdebat untuk menyetel musik dalam mobil. Qiara yang lebih menyukai musik rock akhirnya memilih memakai headset karena tidak menyukai lagu islami yang diputar oleh Zaydan."Danaunya indah sekali." Zaydan memeluk Qiara dari belakang saat mereka sudah sampai di tepi danau. Dia gemas melihat Qiara yang sedang merentangkan tangannya."Danau ini sangat indah. Dan sengaja kami rawat dengan baik agar jika libur bisa datang kemari."Sepasang suami istri itu kemudian menggelar sebuah tikar yang tadi mereka bawa dan meletakkan aneka makanan di sana. Zaydan mengambil sebuah gitar dan berbaring di atas pangkuan Qiara membuat
"Apa tadi malam kalian berhubungan badan?" Dokter Anisa menatap Zaydan dengan seksama.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Zaydan dihubungi Pak Bustomi yang mengatakan bahwa Qiara dia pindahkan ke Rumah Sakit Mitra Medika Batang Hari karena dia takut Leon yang akan menjadi dokter kandungan Qiara, akan memeriksa Qiara saat itu juga.Saat ini Zaydan dipanggil oleh dokter kandungan untuk membicarakan tentang kondisi Qiara."Pak?" Dokter Anisa kembali bertanya."Benar, Dok.""Sudah saya duga.""Tapi bukankah itu tidak berbahaya, Dok?""Benar, jika kandungan itu normal dan baik-baik saja, tapi ....""Kenapa, Dok?""Kandungan Bu Qiara lemah dan tidak kuat mendapat guncangan dari luar. Bahkan Bu Qiara tidak boleh stres.""Kandungan lemah?""Benar, dan sepertinya ini adalah bawaan dari keturunan."Zaydan merasa bersalah karena tadi malam tidak bisa menahan hasrat kerinduan yang sedang membuncah sehingga dia melepaskan kerinduan itu dengan memasuki Qiara yang sedang hamil muda."Apa yang haru
Pembicaraan Qiara dan Bu Jamilah tertahan karena terdengar suara deru mobil milik Zaydan yang memasuki halaman rumah. Perempuan berbadan dua itupun segera berlari menuju pintu utama karena dia tahu Zaydan sudah pulang dari kampus."Sayang, kamu kok sudah pulang?" Qiara bertanya kepada Zaydan dengan tatapan heran saat melihat suaminya itu sudah pulang kampus padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu dia berangkat."Mas baru tahu kalau ternyata hari ini sedang ada kegiatan lain di kampus, dan Mas rasa Mas tidak perlu ikut kegiatan itu." Zaydan mencium pucuk kepala Kiara dan langsung mengerutkan pening saat melihat kehadiran Bu Jamilah di dalam rumahnya."Ibu jualan kue ke arah sini?" Alis Zaydan saling tertaut karena biasanya Bu Jamilah ditemui oleh Zaidan jika mereka sedang berada di Kota muara Bulian."Iya, Nak. Kebetulan ibu numpang salat Dhuha sekalian di sini," sahut Bu Jamilah dengan terbata-bata karena dia khawatir jika Zaydan tidak menyukai kehadirannya di sana."Nggak apa-apa,
Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya. "Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus. Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut."Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah d
"Iyalah, Mas. Aku kan cengeng, bisa jadi anak kita nanti juga cengeng seperti ibunya. Bukankah biasanya kepribadian anak itu menurun dari ibunya?" Qiara menatap Zaydan lekat-lekat.Zaydan terkekeh mendengar perkataan Qiara. Lelaki itu kembali meremas jari jemari istrinya dengan lembut, lalu mengecup telapak tangan Qiara penuh kasih."Sayang, karakter seorang bayi dibentuk oleh ibunya ketika masih di dalam kandungan. Bayi yang cengeng biasanya berasal dari seorang ibu yang sering menangis ketika sedang mengandung." Zaydan berujar tanpa berhenti mengecupi telapak tangan Qiara."Berarti ketika mengandung aku, ibuku sering menangis dong?" Qiara menatap Zaydan seakan meminta penjelasan.Zaydan merasa terjebak oleh perkataannya sendiri. Dia sedikit mengerti melihat ekspresi Qiara yang tidak biasa."Bisa jadi, Sayang. Bisa jadi ibu selalu menangis karena khawatir kehilangan kamu sebagai bayi kesekian yang dikandungnya," sahut Zaydan."Beneran? Bukan karena Ayah yang menyakitinya?" Qiara meng
Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya. "Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya. Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar. "Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu. Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra. Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasa
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang