"Zay, maafin aku ...." Qiara memeluk Zaydan dari belakang. Dia meminta ampun pada lelaki yang berstatus suaminya itu.
Zaydan melepas pelukan Qiara di pinggangnya. Hatinya benar-benar terasa sakit melihat Qiara dipeluk oleh lelaki lain. Lebih sakit lagi mendengar hinaan dari ayah Leon. Zaydan merasa harga dirinya sebagai lelaki terkoyak.
"Zay ...." Qiara merasa sesak di dadanya saat Zaydan memilih tidur di lantai.
"Tidurlah, sudah malam."
Hati Qiara terasa diiris saat melihat Zaydan meringkuk di bawah selimut. Mereka memang baru seminggu menikah dan belum menunaikan kewajiban sebagai suami istri karena Qiara datang bulan sejak hari resepsi hingga saat ini.
Namun, Zaydan selalu memeluknya setiap mereka tidur karena ranjang berukuran sempit yang belum diganti.
"Zay, seandainya kamu tahu betapa aku sangat menyesali keadaan ini." Qiara hanya menatap Zaydan yang telah tidur dengan pulas.
***
"Lapar banget, nih." Qiara keluar dari kamar. Dia mencari keberadaan Zaydan, tapi lelaki itu tidak ada di rumah.
Qiara memutuskan untuk membeli mie instan dan memasaknya untuk mengisi perutnya yang kosong. Namun, dia bingung karena tidak tahu cara memasak mie instan sehingga mencari tutorialnya di YouTube.
"Nggak enak banget didiemin kayak gini." Qiara melamun di depan kompor. Dia merasa sedih karena sudah hampir dua hari Zaydan tak menyapanya.
Gadis itu merasa sangat merindukan Zaydan yang selama seminggu ini setiap pagi mengajarkannya membuat teh hangat, atau memeluk erat tubuhnya dari belakang. Atau sekedar mengecup pipinya dan mengucapkan kata cinta.
Hari-hari Qiara yang biasanya penuh dengan keceriaan karena sikap manis Zaydan berubah muram.
"Ternyata masak mie instan gampang banget." Qiara mengangkat panci tanpa memakai sarbet.
"Aaww panas!" Panci pun terlepas dari genggaman Qiara yang mengenai kompor sehingga api menyala dengan besar.
"Api! Api!" Qiara ketakutan dan mencoba memadamkan api, tapi api tersebut semakin besar sehingga Qiara ketakutan dan akhirnya pingsan.
***
"Sayang, maafin aku." Zaydan mengecup kening Qiara berkali-kali setelah Qiara di bawa ke ruang rawat inap di rumah sakit.
Zaydan menyesal karena mendiamkan Qiara selama dua hari dan membiarkan istri kesayangannya itu memasak mie instan seorang diri. Dia menyesal karena keluar rumah tanpa pamit pada Qiara sehingga Qiara nekad masak mie instan karena lapar.
"Sakit banget, Zay ...." Qiara merengek memperlihatkan luka bakarnya yang memerah.
"Aku tahu, Sayang. Aku tiupin, ya." Zaydan tanpa henti meniup luka bakar Qiara dengan penuh kasih. Rasa menyesal tak henti bertahta di dalam hatinya. Dia menyesal tidak bisa menepati janji untuk menjadi suami yang baik untuk Qiara.
"Zay, maafin aku. Maaf karna aku berbohong tentang pesta yang kita kunjungi. Maaf karena aku telah membuatmu malu di hadapan keluarga Le ...."
Cup
Qiara belum selesai menyelesaikan kalimatnya ketika Zaydan langsung membungkam bibirnya dengan lembut.
"Jangan dibahas lagi."
"Tapi, Zay."
"Aku bilang jangan dibahas ya jangan dibahas. Masih ngeyel?"
"Nggak."
"Gitu, dong. Kan aku senang melihatnya."
Qiara merasa ada kupu-kupu berterbangan di atas perutnya saat Zaydan dengan mesra membelai pipinya dan berkali-kali mengecup telapak tangannya.
"Zay, aku sungguh tidak menyimpan nama Leon di hatiku." Qiara membingkai wajah Zaydan dan menatap lekat manik mata teduh itu.
"Benarkah?"
"Iya."
"Terus, siapa yang namanya kamu simpan di hati?"
"Hmmm."
"Siapa?"
"Seseorang yang selama seminggu ini selalu memeluk dan mengucapkan cinta padaku."
"Siapa dia?"
"Rahasia." Qiara memunggungi Zaydan dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Tak bisa dia pungkiri, kehadiran Zaydan benar-benar membuatnya merasa bahagia. Dia tidak menyangka, lelaki yang selama ini sangat killer di kampus, ternyata sangat romantis di rumah.
Namun seberapa kagumnya Qiara pada Zaydan, dia tetap ingin terlihat biasa-biasa saja karena memang dia masih ingin melihat sejauh mana besarnya cinta Zaydan padanya.
Sementara itu, Zaydan merasa lega karena Qiara telah membuka hati untuknya, meskipun tidak mengucapkan kata cinta, setidaknya Qiara merasa nyaman tidur di pelukannya setiap malam. Dan Zaydan bisa melihat percikan cinta dari tatapan dan gestur tubuh Qiara.
***
"Zay, kamu ngapain sih meladeni mahasiswa ganjen itu di kampus?" Qiara menyambut Zaydan yang baru saja pulang dari kampus.
Zaydan meletakkan tas kerjanya dan menghampiri Qiara yang berkacak pinggang. "Ya ampun, Qi. Ganjen gimana?"
"Nih, liat." Qiara memperlihatkan ponselnya pada Zaydan yang memperlihatkan postingan seseakun sebuah Poto dirinya bersama Zaydan sedang berbincang di depan kelas.
"Dosen killer, tapi cakepnya bikin kelepek-kelepek." Caption yang ditulis akun itu.
"Harusnya kamu kasih tahu dong ke mereka kalau kamu nggak bisa ngobrol sama mereka dengan leluasa karna udah punya istri!" Qiara kesal melihat ekspresi wajah datar Zaydan.
"Qiara, aku nggak bisa kayak gitu, dong. Mereka mahasiswaku dan mereka nanyain materi yang nggak dia tahu. Masa aku tolak?"
"Masa aku tolak? Ya harus kamu tolak, dong. Aku istri kamu, Zay. Nggak bisakah kamu mengerti perasaanku?" Air mata Qiara tak kuasa ia bendung.
"Sayang, kamu dengerin dulu penjelasan aku." Zaydan meraih tangan Qiara dan hendak memeluk istrinya.
"Aku hanya butuh dihargai, Zay. Apa salah kalau aku ingin kamu hanya menjadi milikku?"
"Tapi aku dosen, Sayang. Mereka butuh aku."
"Kamu jahat!" Qiara melepaskan diri dari pelukan Zaydan dan masuk ke dalam kamar. Perempuan itu menumpahkan kesedihannya hingga tertidur.
Zaydan sengaja memberi luang pada Qiara agar istrinya itu memahami bahwa pemikirannya salah. Lelaki itu memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya di saung di samping rumahnya hingga dia yakin Qiara sudah tenang.
Zaydan masuk ke dalam kamar dan duduk di samping istrinya yang tertidur dengan pulas.
"Semakin tidur Kamu terlihat semakin cantik, Qi." Zaydan mendekatkan wajahnya dan mencium kening Qiara dengan mesra. Ditatapnya wajah Qiara lekat-lekat.
"Cantik." Zaydan memuji.
"Baru tahu?"
Zaydan terkejut karena ternyata Qiara tidak tidur.
"Nggak, bahkan sejak pertama bertemu, aku udah terpesona pada kecantikanmu." Zaydan menyahut seraya mengungkung Qiara.
"Bohong. Kalau terpesona, kenapa suka marah-marah?"
"Aku hanya melakukan tugasku sebagai dosen, Sayang."
"Alasannya itu terus. Bikin kesal."
"Kesal atau cemburu?"
"Cemburu? Nggak. Aku cuma pengen kamu mengingat status kamu sebagai suami orang, jadi nggak usah sok cari perhatian.
"Qi ...."
"Pokoknya aku bakalan terus ngambek kalau kamu ladeni mahasiswa itu," ancam Qiara.
***
Malam itu, Zaydan dan Qiara melaksanakan ibadah salat magrib berjamaah. Zaydan meminta Qiara untuk melafalkan surat Al-Waqi'ah.
Qiara membaca surat itu dengan sedikit terbata hingga akhirnya dibantu oleh Zaydan.
"Zay, Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat." Qiara meletakkan mukena di tempatnya dan menatap Zaydan yang masih memegang tasbih miliknya.
"Ke mana?"
"Ke danau yang terletak di perkebunan Ayah."
"Ngapain kita pergi ke danau, Qi?"
"Aku mau kita berbulan madu di sana?"
"Bulan madu?"
"Iya."
"Itu artinya aku sudah boleh menuntut hakku sebagai suami? Dan itu artinya kamu akan segera memanggilku dengan sebutan Mas?"
"Emangnya setiap momen bulan madu harus selalu ada adegan pemberian hak untuk seorang suami?"
"Kalau tidak menunaikan hak, ngapain kita kesana?" Zaydan menarik Qiara sehingga terjelembab duduk di pangkuannya.
"Aku ...."
"Aku menunggumu, Qi. Kalau kamu butuh pengakuan di depan semua mahasiswa, maka aku butuh pengakuan di hatimu."
***
Zaydan dan Qiara berangkat meninggalkan kota Pemayung menuju danau milik Ayah Qiara yang terletak di salah satu perkebunan. Sepanjang perjalanan, Qiara terus melantunkan lagu-lagu nuansa Islami yang diperdengarkan di dalam mobil tersebut. Zaydan mengulum senyum karena akhirnya Qiara menyukai lagu-lagu islami dan meninggalkan lagu rock kesukaannya. Sebelumnya, mereka sempat berdebat untuk menyetel musik dalam mobil. Qiara yang lebih menyukai musik rock akhirnya memilih memakai headset karena tidak menyukai lagu islami yang diputar oleh Zaydan."Danaunya indah sekali." Zaydan memeluk Qiara dari belakang saat mereka sudah sampai di tepi danau. Dia gemas melihat Qiara yang sedang merentangkan tangannya."Danau ini sangat indah. Dan sengaja kami rawat dengan baik agar jika libur bisa datang kemari."Sepasang suami istri itu kemudian menggelar sebuah tikar yang tadi mereka bawa dan meletakkan aneka makanan di sana. Zaydan mengambil sebuah gitar dan berbaring di atas pangkuan Qiara membuat
"Apa tadi malam kalian berhubungan badan?" Dokter Anisa menatap Zaydan dengan seksama.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Zaydan dihubungi Pak Bustomi yang mengatakan bahwa Qiara dia pindahkan ke Rumah Sakit Mitra Medika Batang Hari karena dia takut Leon yang akan menjadi dokter kandungan Qiara, akan memeriksa Qiara saat itu juga.Saat ini Zaydan dipanggil oleh dokter kandungan untuk membicarakan tentang kondisi Qiara."Pak?" Dokter Anisa kembali bertanya."Benar, Dok.""Sudah saya duga.""Tapi bukankah itu tidak berbahaya, Dok?""Benar, jika kandungan itu normal dan baik-baik saja, tapi ....""Kenapa, Dok?""Kandungan Bu Qiara lemah dan tidak kuat mendapat guncangan dari luar. Bahkan Bu Qiara tidak boleh stres.""Kandungan lemah?""Benar, dan sepertinya ini adalah bawaan dari keturunan."Zaydan merasa bersalah karena tadi malam tidak bisa menahan hasrat kerinduan yang sedang membuncah sehingga dia melepaskan kerinduan itu dengan memasuki Qiara yang sedang hamil muda."Apa yang haru
Pembicaraan Qiara dan Bu Jamilah tertahan karena terdengar suara deru mobil milik Zaydan yang memasuki halaman rumah. Perempuan berbadan dua itupun segera berlari menuju pintu utama karena dia tahu Zaydan sudah pulang dari kampus."Sayang, kamu kok sudah pulang?" Qiara bertanya kepada Zaydan dengan tatapan heran saat melihat suaminya itu sudah pulang kampus padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu dia berangkat."Mas baru tahu kalau ternyata hari ini sedang ada kegiatan lain di kampus, dan Mas rasa Mas tidak perlu ikut kegiatan itu." Zaydan mencium pucuk kepala Kiara dan langsung mengerutkan pening saat melihat kehadiran Bu Jamilah di dalam rumahnya."Ibu jualan kue ke arah sini?" Alis Zaydan saling tertaut karena biasanya Bu Jamilah ditemui oleh Zaidan jika mereka sedang berada di Kota muara Bulian."Iya, Nak. Kebetulan ibu numpang salat Dhuha sekalian di sini," sahut Bu Jamilah dengan terbata-bata karena dia khawatir jika Zaydan tidak menyukai kehadirannya di sana."Nggak apa-apa,
Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya. "Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus. Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut."Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah d
"Iyalah, Mas. Aku kan cengeng, bisa jadi anak kita nanti juga cengeng seperti ibunya. Bukankah biasanya kepribadian anak itu menurun dari ibunya?" Qiara menatap Zaydan lekat-lekat.Zaydan terkekeh mendengar perkataan Qiara. Lelaki itu kembali meremas jari jemari istrinya dengan lembut, lalu mengecup telapak tangan Qiara penuh kasih."Sayang, karakter seorang bayi dibentuk oleh ibunya ketika masih di dalam kandungan. Bayi yang cengeng biasanya berasal dari seorang ibu yang sering menangis ketika sedang mengandung." Zaydan berujar tanpa berhenti mengecupi telapak tangan Qiara."Berarti ketika mengandung aku, ibuku sering menangis dong?" Qiara menatap Zaydan seakan meminta penjelasan.Zaydan merasa terjebak oleh perkataannya sendiri. Dia sedikit mengerti melihat ekspresi Qiara yang tidak biasa."Bisa jadi, Sayang. Bisa jadi ibu selalu menangis karena khawatir kehilangan kamu sebagai bayi kesekian yang dikandungnya," sahut Zaydan."Beneran? Bukan karena Ayah yang menyakitinya?" Qiara meng
Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya. "Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya. Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar. "Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu. Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra. Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasa
"Masa lalu apa yang membuat ibu takut sehingga tidak mau mengakui status ibu yang sebenarnya?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah agar ibu mertuanya itu mengerti bagaimana besarnya cinta Zaydan padanya. Bu Jamilah pun menceritakan kepada Qiara tentang masa lalunya dan meminta Qiara untuk merahasiakan tentang jati dirinya pada Zaydan. "Nggak, Bu. Aku nggak bisa merahasiakan ini dari Mas Zaydan. Bagaimana pun juga Mas Zaydan harus tahu." Qiara menggeleng tidak setuju. "Ibu hanya tidak mau Zaydan nanti akan mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menjebak ibu, dan membuat kami terpisah. Ibu tidak ingin Zaydan mengorbankan keluarga kalian demi menyelidiki masa lalu itu." Qiara terbelalak mendengar ucapan Bu Jamilah. "Bu, Mas Zaydan pasti tahu yang terbaik untuk Ibu. Pokoknya Qiara akan kasih tahu dia tentang jati diri ibu." "Baiklah kalau begitu, ibu akan pergi dari kehidupan kalian." Bu Jamilah hendak pergi. "Bu ...." "Ibu hanya memintamu membiarkan Ibu dekat dengan Zaydan tanpa haru
"Zay, kamu ada niat poligami?" Ammar bertanya kepada Zaydan membuat Zaydan yang tengah meneguk teh hangat tersedak."Poligami? Apaan sih? Ya nggaklah." Zaydan menepuk bahu Ammar."Habisnya perhatian Bu Jamilah berlebihan banget ke kamu. Masa dia sampai rapiin rambut kamu kayak gitu?" Ammar menatap Zaydan intens.Zaydan menghela napas berat. Dia pun sebenarnya agak keberatan dengan sikap Bu Jamilah yang terlalu perhatian padanya, tapi Qiara terus memaksa agar Zaydan tidak memarahi Bu Jamilah yang perhatian padanya dengan alasan kasihan pada Bu Jamilah yang merindukan anaknya.Zaydan mengalihkan pandangannya pada kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga berwarna-warni warni sejenak, lalu membalas intens tatapan Ammar. "Aku nggak tahu, Qiara memintaku untuk tidak menolak perhatian dari Bu Jamilah," ujar Zaydan."Qiara yang meminta? Aneh banget." Ammar memandang ke arah halaman rumah di mana Qiara dan Bu Jamilah sedang asik berjalan di atas rumput Jepang yang sengaja disiapkan Zaydan u
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang