"Apa tadi malam kalian berhubungan badan?" Dokter Anisa menatap Zaydan dengan seksama.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Zaydan dihubungi Pak Bustomi yang mengatakan bahwa Qiara dia pindahkan ke Rumah Sakit Mitra Medika Batang Hari karena dia takut Leon yang akan menjadi dokter kandungan Qiara, akan memeriksa Qiara saat itu juga.
Saat ini Zaydan dipanggil oleh dokter kandungan untuk membicarakan tentang kondisi Qiara.
"Pak?" Dokter Anisa kembali bertanya.
"Benar, Dok."
"Sudah saya duga."
"Tapi bukankah itu tidak berbahaya, Dok?"
"Benar, jika kandungan itu normal dan baik-baik saja, tapi ...."
"Kenapa, Dok?"
"Kandungan Bu Qiara lemah dan tidak kuat mendapat guncangan dari luar. Bahkan Bu Qiara tidak boleh stres."
"Kandungan lemah?"
"Benar, dan sepertinya ini adalah bawaan dari keturunan."
Zaydan merasa bersalah karena tadi malam tidak bisa menahan hasrat kerinduan yang sedang membuncah sehingga dia melepaskan kerinduan itu dengan memasuki Qiara yang sedang hamil muda.
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Saya akan memberikan vitamin untuk menguatkan kandungan Bu Qiara, tapi kalian pun harus mengikuti pantangan yang saya arahkan."
"Kami akan melakukan apapun demi keselamatan bayi kami, Dok."
"Sebaiknya kurangi aktivitas ranjang, jangan biarkan Bu Qiara melakukan pekerjaan berat, dan jangan biarkan Bu Qiara terlalu stres memikirkan sesuatu."
"Akan kami laksanakan, Dok. Kami akan mengingat baik-baik Apa saja larangan yang dokter berikan." Zaydan memantapkan hati untuk menahan dulu hasrat di dalam dadanya.
Pak Bustomi yang sedang menjaga Qiara hanya terduduk lesu di samping brankar putrinya itu. Betapa dia sangat takut jika kandungan putrinya akan bernasib sama dengan kandungan mendiang istrinya dulu.
"Ayah." Zaydan menepuk bahu Ayah mertuanya saat melihat lelaki paruh baya itu melamun seorang diri.
"Bisa Ayah bicara denganmu, Zay?"
"Bisa, Ayah."
"Ayah khawatir Qiara mengalami lemah kandungan seperti mendiang ibunya dulu. Qiara adalah anak ketiga yang akhirnya bisa dilahirkan oleh istriku setelah dua kali mengalami keguguran. Padahal kami sudah melakukan berbagai cara untuk menjaga janin itu untuk tetap bertahan." Air mata meleleh di pipi Pak Bustomi.
"Saya baru tahu kalau ternyata mertua saya sebelumnya juga mengalami hal serupa seperti ibunya Qiara. Ibu Qiara adalah anak ke-4 yang akhirnya berhasil dilahirkan setelah nenek Qiara mengalami keguguran sebanyak tiga kali.
Saya benar-benar khawatir jika Qiara juga akan mengalami nasib yang sama karena bawaan dari keturunan." Pak Bustomi menatap cemas pada Qiara yang masih terpejam.
Zaydan menahan nafasnya dengan berat. Khawatir yang dirasakan oleh Pak Bustomi juga dirasakan olehnya karena dia sendiri sangat mengharapkan Qiara segera melahirkan dan memberikannya keturunan. Namun dia pun tidak bisa berbuat apa-apa jika takdir berkata lain.
"Kita tidak tahu apa yang disembunyikan oleh Allah di balik takdirnya. Tapi Zaydan sangat berharap kandungan Qiara bisa diselamatkan dan dia bisa melahirkan bayi kami seperti harapan," sahut Zaydan dengan penuh keyakinan.
***
"Semua pilihan ada padamu. Mas tidak bisa memaksakan kehendakmu. Jika memang kamu mau terus kuliah, Mas pasti akan jaga kamu dengan baik. Tapi jika memang kamu ingin mengambil cuti terlebih dahulu, Mas pasti juga akan mendukungmu untuk menjalankan proses perkuliahan setelah cuti nanti." Zaydan meremas tangan Qiara yang tengah kebingungan saat tahu dokter menyarankannya untuk tidak mengambil kuliah terlebih dahulu mengingat kandungannya yang cukup lemah.
"Aku sangat mencintainya, Mas. Aku sudah jatuh cinta pada bayi ini. Aku tidak ingin kehilangan dia. Ini adalah bukti cintaku padamu."
"Sayang."
"Aku cinta kamu, Mas. Aku sudah berjanji untuk memberikan yang terbaik padamu."
"Jadi bagaimana keputusanmu?"
"Bismillah, aku akan mengambil cuti kuliah sampai melahirkan. Nanti setelah bayi ini lahir, kita akan menjaga dan merawatnya bersama-sama sambil aku melanjutkan kuliah. Aku 'kan juga ingin jadi dosen seperti kamu."
"Istri pintar." Zaydan menarik Qiara ke dalam dekapannya. Betapa dia merasa bahagia karena akhirnya Qiara mengambil keputusan yang menurutnya paling tepat.
Sepasang suami istri itu mulai merencanakan apa yang harus mereka lakukan setelah Qiara melahirkan nanti, dan bagaimana cara mereka mengasuh bayi tersebut bersama-sama.
Sementara itu, di balik tembok rumah Zaydan yang sangat tinggi, seseorang tengah mengintai aktivitas Zaydan dan Qiara yang sedang duduk di saung di samping rumah mereka dengan bermesraan. Beberapa tetes air mata jatuh membasahi wajah sosok itu. Dia merasakan luka yang teramat sangat.
"Sayang, ayah meminta Mas untuk membawa serta Mbak Asih ke rumah. Ayah khawatir kamu terlalu lelah melakukan pekerjaan rumah meskipun Mas sudah mengatakan bahwa biar semua pekerjaan rumah, Mas saja yang mengerjakan."
"Aku sebenarnya kurang nyaman jika ada orang lain di rumah ini."
"Terus gimana dong?"
"Aku nggak apa-apa kok kalau harus sendirian di rumah."
"Mas nggak akan tenang mengajar Jika kamu sendirian di rumah, Sayang."
"Jadi kita harus menerima kedatangan Mbak Asih di sini?"
"Kamu nggak keberatan, kan? Demi bayi kita."
Qiara menggangguk setuju. Dia tidak ada pilihan lain selain mendatangkan asisten rumah tangga ayahnya di rumah mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
***
"Bu, beli kuenya." Qiara berseru pada penjual kue langganannya.
Penjual kue yang biasa dipanggil Bu Jamilah itu mendekat.
"Kok tumben jualan kuenya agak siang dari biasa?" Qiara bertanya kepada Bu Jamilah Seraya mengambil beberapa kue di dalam keranjang dan memasukkannya ke dalam piring yang diambil oleh Mbak Asih.
"Hari ini Ibu kesiangan."
"Tapi kuenya masih tetap tinggal sedikit kok."
"Alhamdulillah walaupun sudah agak siang datangnya, para pelanggan tetap menunggu."
"Itu karena kue Ibu sangat enak."
Bu Jamilah setiap hari menjajakan kuenya di sekitar rumah Qiara. Dia biasanya datang saat Zaydan belum berangkat ke kampus. Bu Jamilah selalu memberikan bonus kue favorit Zaydan dengan alasan sebagai ucapan terima kasih karena Qiara selalu membeli dalam jumlah yang banyak.
Dikarenakan Setiap hari selalu bertemu dengan Bu Jamilah, terkadang Qiara mengajak Bu Jamilah untuk masuk ke dalam rumahnya jika jualan Bu Jamilah sudah habis.
Zaydan pun bersikap sangat ramah pada Bu Jamilah sehingga perempuan paruh baya itu merasa betah berlama-lama beristirahat di rumah Zaydan dan Qiara.
"Boleh Ibu numpang salat duha, Nak? Karena terlalu buru-buru berangkat jualan, tadi ibu belum sempat melaksanakan ibadah salat Dhuha." Bu Jamilah sedikit sungkan saat bertanya pada Qiara.
"Oh, boleh banget, Bu." Qiara mengajak Bu Jamilah menuju mushola di rumahnya. Sebuah ruangan yang selalu digunakannya untuk beribadah bersama Zaydan. "Kebetulan Qiara juga belum melaksanakan ibadah salat Dhuha."
Mereka berdua pun segera mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah salat Dhuha dengan khusyuk.
"Bu, tasbih ini ibu beli di mana?" Qiara menahan pergerakan tangan Bu Jamilah yang hendak memasukkan tasbih ke dalam tasnya.
"Ini tasbih pemberian suami ibu, Nak."
"Kenapa tasbihnya sangat mirip dengan milik Mas Zaydan?" Qiara bergumam di dalam hati. "Apa Mas Zaydan memiliki hubungan dengan Bu Jamilah?"
Pembicaraan Qiara dan Bu Jamilah tertahan karena terdengar suara deru mobil milik Zaydan yang memasuki halaman rumah. Perempuan berbadan dua itupun segera berlari menuju pintu utama karena dia tahu Zaydan sudah pulang dari kampus."Sayang, kamu kok sudah pulang?" Qiara bertanya kepada Zaydan dengan tatapan heran saat melihat suaminya itu sudah pulang kampus padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu dia berangkat."Mas baru tahu kalau ternyata hari ini sedang ada kegiatan lain di kampus, dan Mas rasa Mas tidak perlu ikut kegiatan itu." Zaydan mencium pucuk kepala Kiara dan langsung mengerutkan pening saat melihat kehadiran Bu Jamilah di dalam rumahnya."Ibu jualan kue ke arah sini?" Alis Zaydan saling tertaut karena biasanya Bu Jamilah ditemui oleh Zaidan jika mereka sedang berada di Kota muara Bulian."Iya, Nak. Kebetulan ibu numpang salat Dhuha sekalian di sini," sahut Bu Jamilah dengan terbata-bata karena dia khawatir jika Zaydan tidak menyukai kehadirannya di sana."Nggak apa-apa,
Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya. "Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus. Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut."Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah d
"Iyalah, Mas. Aku kan cengeng, bisa jadi anak kita nanti juga cengeng seperti ibunya. Bukankah biasanya kepribadian anak itu menurun dari ibunya?" Qiara menatap Zaydan lekat-lekat.Zaydan terkekeh mendengar perkataan Qiara. Lelaki itu kembali meremas jari jemari istrinya dengan lembut, lalu mengecup telapak tangan Qiara penuh kasih."Sayang, karakter seorang bayi dibentuk oleh ibunya ketika masih di dalam kandungan. Bayi yang cengeng biasanya berasal dari seorang ibu yang sering menangis ketika sedang mengandung." Zaydan berujar tanpa berhenti mengecupi telapak tangan Qiara."Berarti ketika mengandung aku, ibuku sering menangis dong?" Qiara menatap Zaydan seakan meminta penjelasan.Zaydan merasa terjebak oleh perkataannya sendiri. Dia sedikit mengerti melihat ekspresi Qiara yang tidak biasa."Bisa jadi, Sayang. Bisa jadi ibu selalu menangis karena khawatir kehilangan kamu sebagai bayi kesekian yang dikandungnya," sahut Zaydan."Beneran? Bukan karena Ayah yang menyakitinya?" Qiara meng
Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya. "Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya. Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar. "Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu. Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra. Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasa
"Masa lalu apa yang membuat ibu takut sehingga tidak mau mengakui status ibu yang sebenarnya?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah agar ibu mertuanya itu mengerti bagaimana besarnya cinta Zaydan padanya. Bu Jamilah pun menceritakan kepada Qiara tentang masa lalunya dan meminta Qiara untuk merahasiakan tentang jati dirinya pada Zaydan. "Nggak, Bu. Aku nggak bisa merahasiakan ini dari Mas Zaydan. Bagaimana pun juga Mas Zaydan harus tahu." Qiara menggeleng tidak setuju. "Ibu hanya tidak mau Zaydan nanti akan mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menjebak ibu, dan membuat kami terpisah. Ibu tidak ingin Zaydan mengorbankan keluarga kalian demi menyelidiki masa lalu itu." Qiara terbelalak mendengar ucapan Bu Jamilah. "Bu, Mas Zaydan pasti tahu yang terbaik untuk Ibu. Pokoknya Qiara akan kasih tahu dia tentang jati diri ibu." "Baiklah kalau begitu, ibu akan pergi dari kehidupan kalian." Bu Jamilah hendak pergi. "Bu ...." "Ibu hanya memintamu membiarkan Ibu dekat dengan Zaydan tanpa haru
"Zay, kamu ada niat poligami?" Ammar bertanya kepada Zaydan membuat Zaydan yang tengah meneguk teh hangat tersedak."Poligami? Apaan sih? Ya nggaklah." Zaydan menepuk bahu Ammar."Habisnya perhatian Bu Jamilah berlebihan banget ke kamu. Masa dia sampai rapiin rambut kamu kayak gitu?" Ammar menatap Zaydan intens.Zaydan menghela napas berat. Dia pun sebenarnya agak keberatan dengan sikap Bu Jamilah yang terlalu perhatian padanya, tapi Qiara terus memaksa agar Zaydan tidak memarahi Bu Jamilah yang perhatian padanya dengan alasan kasihan pada Bu Jamilah yang merindukan anaknya.Zaydan mengalihkan pandangannya pada kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga berwarna-warni warni sejenak, lalu membalas intens tatapan Ammar. "Aku nggak tahu, Qiara memintaku untuk tidak menolak perhatian dari Bu Jamilah," ujar Zaydan."Qiara yang meminta? Aneh banget." Ammar memandang ke arah halaman rumah di mana Qiara dan Bu Jamilah sedang asik berjalan di atas rumput Jepang yang sengaja disiapkan Zaydan u
"Mas kok ngomong gitu sih? Aku nggak ada niat gitu kok, Mas." Qiara terbelalak mendengar perkataan Zaydan dan menatap tajam ada suaminya yang terlihat cemburu."Emang kenyataannya kayak gitu, kan? Kamu tuh sekarang udah beda banget. Dulu kamu selalu pengen dipeluk sama Mas. Kamu selalu pengen melewati waktu untuk bermesraan di rumah. Bahkan kamu menunggu waktu Mas libur di kampus karena nggak mau kalau sampai kita berjauhan. Sekarang? Kayaknya posisi Mas udah digantikan Bu Jamilah." Zaydan hendak masuk ke dalam kamar karena dia merasa tidak ada yang perlu mereka bicarakan di luar.Qiara hendak masuk ke dalam kamar. "Mas, dengerin aku dulu, dong." Namun pintu kamar tertutup rapat dan Zaydan menguncinya dari dalam.Qiara hanya mampu menghela napas panjang melihat sikap Zaydan yang tiba-tiba marah kepadanya. Bisa perempuan itu rasakan Bagaimana marahnya Zaydan melihat sikap Qiara yang memang akhir-akhir ini jauh lebih mengedepankan Bu Jamilah daripada mengedepankan kemesraan mereka berdu
Lagi-lagi Zaydan dan Qiara akhirnya saling diam karena mereka masih disibukkan dengan keegoisan masing-masing. Zaydan tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak ingin rumah tangganya terus-terusan dihadiri oleh Bu Jamilah karena dia memang sudah terbiasa terus bermesraan dengan Qiara. Lelaki itu merasa keberatan melihat sikap Qiara yang dulu selalu ingin bersamanya, tapi akhir-akhir ini sedikit menghindar hanya karena tidak enak dengan Bu Jamilah.Sedangkan Qiara sendiri juga tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin menyakiti hati Bu Jamilah Dengan mengatakan kepada perempuan yang ingin selalu berada di samping anaknya, bahwa Qiara dan Zaydan keberatan dengan kehadirannya."Mas hanya kecewa melihat sikapmu akhir-akhir ini. Mas merasa memiliki istri yang kepribadiannya jauh lebih berbeda dari dahulu. Mas sangat merindukan istri Mas yang setiap saat selalu merindukan pelukan suaminya." Zaydan kemudian keluar dari kamar untuk menenangkan hatinya dan lelaki itu pun akhirnya mengambil remote
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang