Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya.
"Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya.
Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar.
"Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu.
Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra.
Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasar saling mencintai, bahkan pernikahan Emil dulu ditentang oleh Pak Cipto, ayahnya. Namun ujung-ujungnya Emil menjadi korban KDRT dan suaminya pun menolak untuk menceraikan Emil dengan alasan khilaf. Tentu saja hal itu akan memberatkan Emil di persidangan.
"Kenapa Amira senyum sendiri gitu?" Qiara mengerutkan kening melihat Amira yang datang dengan penampilan anggun.
Saudara sepupu sekaligus sahabat Qiara itu terus-terusan menatap ke arah Ammar yang tengah melantunkan ayat suci Alquran bersama Ahmad dan Zaydan.
Suara Ammar yang begitu merdu membuat Amira merasakan ketenangan yang tak bisa diartikannya. Menyesal Amira karena selama ini menolak permintaan Ammar untuk menjadi calon istrinya.
"Sepertinya ada yang menyesal karena kemarin menolak permintaan Ammar untuk menjadi istrinya." Qiara sedikit penyenggol Amira yang tengah khusuk mendengar Ammar melantunkan ayat suci Alquran dengan merdu.
Amira hanya menggigit Bibir bawahnya karena memang harus dia akui bahwa pada akhirnya dia jatuh cinta pada Ammar setelah merasa patah hati telah kehilangan kesempatan untuk berjodoh dengan Zaydan. Cinta Amira kandas karena ternyata Zaydan telah dijodohkan dengan Qiara sebelum Amira mengungkapkan perasaannya pada Zaydan.
Qiara mengelus perutnya yang ke sedikit berdenyut dengan kedua tangan saat mendengar Zaydan membacakan surah Luqman yang merupakan doa untuk bayi yang berada di dalam kandungannya.
Betapa Qiara merasa teramat sangat beruntung memiliki seorang suami yang menjadi imam terbaik untuknya karena Zaydan selalu mengingatkannya untuk selalu mengajarkan anaknya mengenal Tuhan sejak dalam kandungan.
"Semoga bayi di dalam kandunganmu selalu sehat dan lahir sebagai anak yang sholeh dan sholehah." Bu Jamilah menghampiri Qiara dan mengelus perut Qiara dengan lembut.
Perempuan paruh baya itu datang bersama Pak Budi dan keluarganya sambil membawa kue terlezat yang pernah dia buat untuk Zaydan. Dia ingin membantu menyumbang di moment bahagia Zaydan meskipun anaknya itu tidak tahu kalau Bu Jamilah adalah ibu kandungnya.
"Kamu Kok melamun aja sih?" Qiara mengusap bahu Sayyidah, yang melamun sambil menoleh ke arah Zaidan dan teman-temannya yang tengah membaca ayat suci Alquran.
"Eh nggak apa-apa, Qi." Sayyidah menyahut Seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal membuat Qiara sedikit menyimpan curiga pada sahabatnya itu.
Qiara menatap Sayyidah dan Emil yang sama-sama tengah memandang ke arah Ahmad dengan tatapan heran. Seakan-akan kedua sahabatnya itu menyimpan rasa pada sahabat suaminya yang merupakan ustad gaul di pondok pesantren Ar-Rahim.
"Apa jangan-jangan mereka jatuh cinta pada lelaki yang sama?" Qiara bergumam di dalam hati.
***
Kecurigaan Qiara kepada Bu Jamilah yang memiliki hubungan khusus dengan Zaydan akhirnya terkuak setelah Qiara mengajak Bu Jamilah tinggal bersama di rumahnya. Qiara yang mencurigai tasbih yang sama akhirnya mencari tahu kebenarannya melalui Rangga, putra bungsu Pak Budi yang sebenarnya tidak mengizinkan Bu Jamilah tinggal di Pemayung dan menganggap Bu Jamilah tidak sayang lagi padanya.
"Rangga benci sama lelaki yang menjadi anak kandung Bu Jamilah di Pemayung. Dia yang sudah mengambil kasih sayang Bu Jamilah yang dulu sepenuhnya untuk Rangga." Ucapan Rangga itu tentu saja membuat Qiara serasa disambar petir karena dia sangat yakin bahwa lelaki yang dimaksud oleh Rangga adalah Zaydan.
"Rangga dipaksa Papa untuk merahasiakan tentang anak kandung Bu Jamilah. Katanya takut Bu Jamilah bersedih jika sampai anaknya itu menjauhinya. Tapi papa nggak pernah memikirkan Bagaimana kesedihan Rangga. Setiap hari Rangga selalu ditinggal oleh Bu Jamilah demi anak kandungnya itu." Tangis Rangga pecah bersamaan dengan tubuhnya yang berguncang karena merasa sakit hati selama satu bulan terakhir Bu Jamilah terus-terusan meninggalkannya untuk pergi ke pemayung menemui anak kandungnya.
"Aku sangat yakin kalau anak kandung Bu Jamilah yang di pemayung itu adalah Mas Zaydan. Tapi kenapa Bu Jamilah merahasiakannya dari kami? Apa sebenarnya tujuan Bu Jamilah?" Qiara tak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengungkap kebenaran itu. Dia ingin Zaydan tahu bahwa Bu Jamilah adalah ibu kandungnya. Mengingat Zaydan pernah menceritakan tentang kerinduannya pada sosok ibu ketika masih kecil.
Qiara segera pulang ke rumah dan hendak menyampaikan berita itu kepada Zaydan, tapi dia urungkan karena dia tidak ingin jika perkiraannya ternyata salah. Dia pun memutuskan untuk menanyakan hal itu terlebih dahulu kepada Bu Jamilah secara langsung.
***
"Sayang, ayah minta aku untuk jadi pemegang laporan bulanan di perkebunan." Zaydan memeluk Qiara yang sedang membuat teh hangat untuknya.
"Bagus, dong. Bukannya Mas bilang semester depan mau ambil kuliah lagi supaya jadi dosen tetap?" sahut Qiara sambil membelai rambut tebal suaminya.
Qiara didudukkan Zaydan dipangkuannya. Lelaki itu mengusap perut buncit istrinya sambil tanpa henti menciumi perut dengan gemas.
"Udah, dong, Mas. Geli tahu." Qiara menahan kepala Zaydan yang kembali hendak mencium perutnya.
"Kalau nggak boleh cumbu dedek, cumbu ... Umi-nya aja deh." Kecupan demi kecupan Zaydan labuhkan di pipi Qiara membuat wajah Qiara merona.
Kemesraan itu terhenti saat tiba-tiba pintu rumah diketuk dan Zaydan yakin Bu Jamilah yang datang.
"Tuh Bu Jamilah udah datang. Mas berangkat dulu, ya." Zaydan mengecup bibir Qiara sekilas dan mencium punggung tangan Bu Jamilah dengan takzim.
Kedua perempuan beda generasi itu melambaikan tangan saat Zaydan menghilang di balik pintu pagar.
Qiara langsung mengajak Bu Jamilah melaksanakan ibadah salat duha karena nanti dia meminta diajarkan membuat puding cokelat.
"Bu, mengapa ibu merahasiakan semua ini dari kami?" Qiara menahan Bu Jamilah saat perempuan itu hendak memasukkan tasbihnya ke dalam tas.
"Apa maksudmu, Qiara?"
"Ibu adalah ibu kandung Mas Zaydan kan?" Air mata Qiara bercucuran.
"Ngaco kamu, Qiara."
"Ini apa, Bu?" Qiara mengambil tasbih milik Zaydan di saku baju kokonya. "Ini tasbih milik Mas Zaydan yang dimasukkan ibunya ketika menitipkan Mas Zaydan di panti asuhan." Qiara meletakkan tasbih tersebut ke telapak tangan Bu Jamilah yang tengah memegang tasbihnya sendiri.
Bu Jamilah terperangah saat melihat tasbih milik Zaydan yang berada di tangannya.
"Tasbih ini dibuat oleh Pak Zulfikar untuk istri dan anak yang masih berada di dalam kandungan. Dengan harapan anaknya kelak menjadi pemuka agama. Tasbih ini dia buat dengan sepenuh cinta. Sebesar cinta suamiku padamu, Bu. Lalu kenapa? Kenapa ibu tidak mau mengakui Mas Zaydan sebagai anak ibu?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah dengan kuat.
"Apa karena aku? Iya, Bu? Ibu tidak Sudi bermenantukan aku?"
"Qiara ... Ibu tidak bermaksud seperti itu." Bu Jamilah berusaha mendekati Qiara yang memegangi perutnya.
"Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tahu tentang dirinya, tapi tidak dengan ibu. Bahkan ibu rela berpura-pura menjadi asisten rumah tangga. Katakan kalau aku yang menjadi penyebab ini semua. Maka aku akan pergi dari Mas Zaydan." Qiara hendak bangkit dari tempat duduknya.
"Nak, ibu mohon dengar dulu. Ibu sayang sama kalian. Ibu melakukan ini semua karena dosa di masa lalu." Ucapan Bu Jamilah seketika membuat Qiara terbelalak.
Hallo pembaca semua. Terima kasih selalu setia mengikuti cerita ini. Untuk bab berikutnya Nisa kunci, ya. Bab baru bagaimana tanggapan Zaydan saat tahu Bu Jamilah adalah ibunya. Yuk, baca terus sampai tamat ya. Jangan lupa beri bintang 5, komentar, dan vote juga. Terima kasih. Salam sayang Althafunnisa
"Masa lalu apa yang membuat ibu takut sehingga tidak mau mengakui status ibu yang sebenarnya?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah agar ibu mertuanya itu mengerti bagaimana besarnya cinta Zaydan padanya. Bu Jamilah pun menceritakan kepada Qiara tentang masa lalunya dan meminta Qiara untuk merahasiakan tentang jati dirinya pada Zaydan. "Nggak, Bu. Aku nggak bisa merahasiakan ini dari Mas Zaydan. Bagaimana pun juga Mas Zaydan harus tahu." Qiara menggeleng tidak setuju. "Ibu hanya tidak mau Zaydan nanti akan mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menjebak ibu, dan membuat kami terpisah. Ibu tidak ingin Zaydan mengorbankan keluarga kalian demi menyelidiki masa lalu itu." Qiara terbelalak mendengar ucapan Bu Jamilah. "Bu, Mas Zaydan pasti tahu yang terbaik untuk Ibu. Pokoknya Qiara akan kasih tahu dia tentang jati diri ibu." "Baiklah kalau begitu, ibu akan pergi dari kehidupan kalian." Bu Jamilah hendak pergi. "Bu ...." "Ibu hanya memintamu membiarkan Ibu dekat dengan Zaydan tanpa haru
"Zay, kamu ada niat poligami?" Ammar bertanya kepada Zaydan membuat Zaydan yang tengah meneguk teh hangat tersedak."Poligami? Apaan sih? Ya nggaklah." Zaydan menepuk bahu Ammar."Habisnya perhatian Bu Jamilah berlebihan banget ke kamu. Masa dia sampai rapiin rambut kamu kayak gitu?" Ammar menatap Zaydan intens.Zaydan menghela napas berat. Dia pun sebenarnya agak keberatan dengan sikap Bu Jamilah yang terlalu perhatian padanya, tapi Qiara terus memaksa agar Zaydan tidak memarahi Bu Jamilah yang perhatian padanya dengan alasan kasihan pada Bu Jamilah yang merindukan anaknya.Zaydan mengalihkan pandangannya pada kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga berwarna-warni warni sejenak, lalu membalas intens tatapan Ammar. "Aku nggak tahu, Qiara memintaku untuk tidak menolak perhatian dari Bu Jamilah," ujar Zaydan."Qiara yang meminta? Aneh banget." Ammar memandang ke arah halaman rumah di mana Qiara dan Bu Jamilah sedang asik berjalan di atas rumput Jepang yang sengaja disiapkan Zaydan u
"Mas kok ngomong gitu sih? Aku nggak ada niat gitu kok, Mas." Qiara terbelalak mendengar perkataan Zaydan dan menatap tajam ada suaminya yang terlihat cemburu."Emang kenyataannya kayak gitu, kan? Kamu tuh sekarang udah beda banget. Dulu kamu selalu pengen dipeluk sama Mas. Kamu selalu pengen melewati waktu untuk bermesraan di rumah. Bahkan kamu menunggu waktu Mas libur di kampus karena nggak mau kalau sampai kita berjauhan. Sekarang? Kayaknya posisi Mas udah digantikan Bu Jamilah." Zaydan hendak masuk ke dalam kamar karena dia merasa tidak ada yang perlu mereka bicarakan di luar.Qiara hendak masuk ke dalam kamar. "Mas, dengerin aku dulu, dong." Namun pintu kamar tertutup rapat dan Zaydan menguncinya dari dalam.Qiara hanya mampu menghela napas panjang melihat sikap Zaydan yang tiba-tiba marah kepadanya. Bisa perempuan itu rasakan Bagaimana marahnya Zaydan melihat sikap Qiara yang memang akhir-akhir ini jauh lebih mengedepankan Bu Jamilah daripada mengedepankan kemesraan mereka berdu
Lagi-lagi Zaydan dan Qiara akhirnya saling diam karena mereka masih disibukkan dengan keegoisan masing-masing. Zaydan tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak ingin rumah tangganya terus-terusan dihadiri oleh Bu Jamilah karena dia memang sudah terbiasa terus bermesraan dengan Qiara. Lelaki itu merasa keberatan melihat sikap Qiara yang dulu selalu ingin bersamanya, tapi akhir-akhir ini sedikit menghindar hanya karena tidak enak dengan Bu Jamilah.Sedangkan Qiara sendiri juga tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin menyakiti hati Bu Jamilah Dengan mengatakan kepada perempuan yang ingin selalu berada di samping anaknya, bahwa Qiara dan Zaydan keberatan dengan kehadirannya."Mas hanya kecewa melihat sikapmu akhir-akhir ini. Mas merasa memiliki istri yang kepribadiannya jauh lebih berbeda dari dahulu. Mas sangat merindukan istri Mas yang setiap saat selalu merindukan pelukan suaminya." Zaydan kemudian keluar dari kamar untuk menenangkan hatinya dan lelaki itu pun akhirnya mengambil remote
Qiara yang mendengar ucapan Zaydan langsung mengerucutkan bibir. Perempuan itu sedikit menjauhkan kepala Zaydan dengan cara menarik kepala itu dengan lengannya.Namun ternyata Apa yang dia lakukan malah membuat Zaydan menempel di dadanya sehingga Zaydan langsung melakukan kecupan di dadanya, sehingga Qiara tidak bisa menghindari sengatan listrik yang mengaliri tubuhnya dikarenakan Zaydan mencumbunya dengan penuh cinta."Mas, ini udah sore loh. Sebentar lagi juga matahari mau tenggelam." Qiara berkata dengan lembut kepada Zaydan karena dia tahu arah ke mana Zaydan akan membawanya sesaat lagi."Baru jam 05.00 sore, Sayang. Mau ya." Zaydan terus membujuk Qiara agar istrinya itu bersedia menerima permohonannya kali ini dengan alasan bayinya Rindu Untuk dibesuk oleh Abi nya."Kasihan lho, Sayang. Bayi kita kayaknya kangen banget sama Abi nya. Emangnya kamu nggak bisa ngerasain perasaan dia ketika kamu kangen sama Mas? Bukannya kalau kamu kangen sama Mas, kamu selalu minta dibesuk sama Mas?
Binar bahagia terbit di wajah Rangga saat dia melihat Bu Jamilah yang pagi ini tidak bersiap-siap berangkat ke pemayung. Anak kecil itu langsung berhambur memeluk baby sitter yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri karena memang hanya Bu Jamilah lah yang bisa mengerti Rangga dan menurut Rangga Bu Jamilah adalah orang yang paling paham dengan semua keinginannya."Mbok nggak pergi ke rumah anak Mbok kan?" Rangga berkata dengan wajah penuh harap agar keinginannya untuk bisa bersama Bu Jamilah hari ini terlaksana.Perempuan paruh baya itu mengangguk dan segera menyisir rambut Rangga dengan rapi. Sebenarnya Bu Jamilah sangat sedih ketika menerima panggilan telepon dari Qiara ketika dia baru saja selesai melaksanakan ibadah salat subuh.Qiara mengatakan kalau hari ini Bu Jamilah tidak perlu datang ke rumahnya dikarenakan dia dan Zaydan ingin pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran Qiara dan merilekskan kandungan Qiara.Betapa Bu Jamilah ingin mempertanyakan ke mana kiranya Qiara
Qiara tergelak mendengar perkataan Zaydan. Perempuan yang tengah memakai hijab instan berwarna navy itu akhirnya mendekatkan tubuhnya ke arah Zaydan sehingga mereka saling berhadapan. Qiara menggigit ujung bagian roti dan menahannya dengan tangan, lalu dia meminta Zaydan untuk menggigit ujung roti yang lainnya sehingga dia bisa melepaskan bagian tengah roti itu dari tangannya.Zaydan tersenyum ketika dia tahu apa maksud Qiara yang ingin saling menyuapi roti tersebut.Zaydan mulai menggigit roti sedikit demi sedikit hingga akhirnya sampai ke bagian tengah bersamaan dengan Qiara. Sedangkan di bagian pinggir lainnya mereka pegang dengan tangan masing-masing."Cerdas." Zaydan langsung membersihkan sisa selai di bibir istrinya dengan memakai bibirnya. Begitupun dengan Qiara sehingga akhirnya keduanya saling membersihkan selai yang menempel di bibir pasangan dengan bibir mereka masing-masing.Zaydan kemudian menyuapi Qiara dan Qiara pun menyuapi Zaydan dengan roti yang berada di tangan mere
Zaydan membelai pucuk kepala istrinya dengan lembut. Dia bisa memahami jika orang hamil memang banyak memiliki keinginan dan dia merasa sedikit lega karena Qiara tidak memiliki banyak keinginan ketika hamil dan mengidam.Walau sebenarnya Zaydan sendiri tidak yakin apakah dia bisa memenuhi semua yang diidamkan oleh istrinya, tetap saja dia harus berharap jika istrinya itu bisa mengatakan kepadanya apa saja yang diminta oleh istrinya yang sedang mengidam dan saat ini sudah hamil besar.Namun sepertinya Qiara memang tidak menginginkan apa-apa, terbukti dengan Qiara yang tidak pernah meminta dibelikan apa-apa oleh Zaydan."Kita ketemuan di cafe aja. Mas juga nggak enak kalau harus pulang ke rumah ayahnya Ammar. Kebetulan Mas memang ingin mengajak kamu makan di Cafe yang menunya sangat enak." Zaydan kemudian merogoh ponselnya di dalam saku celana dan dia pun segera menghubungi Ammar untuk memastikan Di mana keberadaan Ammar saat itu."Aku lagi berada di pondok nih Zay. Rencananya besok sor
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang