"Seharusnya aku berbahagia di hari pernikahan ini." Qiara menatap dirinya di depan cermin. "Apa ini adalah keputusan yang tepat?"
Qiara yang begitu cantik mengenakan kebaya berwarna putih yang dipenuhi dengan Payet dan mutiara berkilau. Kebaya itu model kebaya gaun modern yang membuat Qiara seperti seorang princess dari kerajaan. Hijabnya pun telulur sampai ke dada karna Zaydan meminta istrinya memakai hijab pengantin yang menutupi dada.
SAHH ... ALHAMDULILLAH
Terdengar suara dari ruang depan menandakan ijab qobul telah terlaksana. Hal itu membuat Qiara terpaku. Dia menyadari jika saat ini dia telah sah melepas masa lajang.
"Nak, mari ibu bimbing ke depan." Bu Zahra masuk ke dalam kamar Qiara. Perempuan paruh baya itu menggandeng Qiara menuju tempat akad nikah.
Qiara duduk di samping Zaydan. Ia masih menundukkan kepalanya. Jantungnya berdebar tak karuan seakan-akan ingin melompat keluar dari tubuhnya.
Qiara mengulurkan tangan untuk disematkan cincin oleh Zaydan. Perempuan itu mengangkat wajah sehingga tatapannya dan Zaydan bertemu.
Tak berkedip Qiara menatap Zaydan yang semakin tampan dengan kepala ditutupi peci berwarna hitam. Begitupun sebaliknya, Zaydan bahagia melihat perempuan yang dinikahinya begitu cantik dan mempesona.
Zaydan beringsut mendekati Qiara. Ia mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Qiara; Qiara menyambut uluran tangan Zaydan dan menciumnya dengan takzim. Bersamaan dengan itu, Zaydan meraih pucuk kepala Qiara dan mengecup istrinya itu dengan mesra.
Kecupan Zaydan tertahan cukup lama sehingga Qiara memejamkan mata, menikmati degup yang kian bertalu-talu dan mengajak berperang.
"Mulai hari ini, aku adalah imammu. Mari kita arungi bahtera cinta ini dengan tulus," bisik Zaydan di telinga Qiara.
Wajah Qiara bersemu merah merasakan embusan napas Zaydan di telinganya.
Qiara dan Zaydan akhirnya memutuskan untuk menikah setelah mereka ta'aruf selama 1 minggu.
"Menikahlah dengan Qiara, Nak. Umi sudah mengenal dia sejak masih kecil. Umi tahu dia anak yang baik. Umi dan Pak Bustomi yakin, kamu pasti bisa membentuk kepribadian Qiara menjadi perempuan solehah," pinta Umi Zahra ketika Zaydan mengungkapkan keraguannya.
Sementara itu, Qiara juga dibujuk oleh ayahnya yang akhirnya dirawat di rumah sakit karena penolakan Qiara.
"Jangan terlalu larut dalam kisah cintamu yang hancur, Nak. Biarkan Zaydan mengisi kekosongan hatimu dan buktikan pada keluarga Leon bahwa kamu pasti bahagia dengan pernikahanmu," bujuk Pak Bustomi yang akhirnya membuat Qiara luluh.
Acara resepsi yang sangat melelahkan membuat Qiara tertidur tak sadarkan diri, tapi Zaydan membangunkannya dan memintanya melaksanakan ibadah salat isya.
"Aku lagi datang bulan," tolak Qiara ketika Zaydan membangunnya.
Qiara bangun dan menyadari bahwa saat ini dia sedang berada di kamar pengantin dan statusnya sudah menjadi istri Zaydan.
"Ehm, Zay. Boleh aku meminta sesuatu?" Qiara berbicara dengan hati-hati karena takut Zaydan akan marah.
"Bicaralah."
Aku ... belum siap."
"Untuk?"
"Malam pertama."
"Lalu kapan kamu siapnya?" Zaydan berdiri dan mendekati Qiara.
"Kalau aku udah jatuh cinta sama kamu." Qiara mundur beberapa langkah seiring dengan jumlah langkah Zaydan mendekatinya.
"Baiklah, aku akan segera buat kamu jatuh cinta."
"Coba aja kalau bisa," tantang Qiara.
"Kamu janji akan siap memberikan hakku jika sudah jatuh cinta?"
"Aku janji." Qiara menatap Zaydan dengan wajah serius.
"Aku pegang janjimu." Zaydan tersenyum. "Ehm, Qi, bisakah kamu memanggilku dengan sebutan Mas?"
"Aku akan panggil Mas kalau sudah jatuh cinta padamu dan siap menunaikan kewajibanku," sahut Qiara dengan mantap.
"Aku akan menunggu."
***
"Zay, bisa menemaniku menghadiri pesta pernikahan teman?" Qiara menghampiri Zaydan yang sedang menikmati sarapan pagi.
Mereka telah pindah ke rumah pribadi milik Zaydan yang terletak di daerah Pemayung. Tentu saja kepindahan mereka dipenuhi dengan drama Qiara yang tak ingin berpisah dari ayahnya.
Zaydan menghentikan menyuap nasi gorengnya. "Pernikahan siapa?"
"Teman."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki, tapi nanti Amira ikut juga kok."
Zaydan dan Qiara menjemput Amira di rumahnya sebelum mereka berangkat ke tempat resepsi pernikahan.
Qiara sengaja tidak menceritakan kepada Zaydan bahwa yang akan mereka hadiri adalah resepsi pernikahan Leon, mantan kekasihnya karna dia takut Zaydan pasti akan marah.
Di perjalanan menuju gedung tempat resepsi pernikahan, Zaydan menyinggahi Ammar—sahabatnya yang mobilnya sedang mogok di jalan, dan mengantar sahabatnya itu sebelum menuju gedung pernikahan.
"Kok tempat pestanya sepi?" Amira memindai gedung yang dipenuhi bunga-bunga itu dengan seksama.
Salah seorang satpam menghampiri mereka dan memberitahukan bahwa mempelai perempuan mengalami kecelakaan.
Qiara seketika terkejut mendengar istri Leon mengalami kecelakaan. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Leon yang mungkin saat ini merasa terpukul.
"Zay, bisa antar aku ke rumah sakit? Aku mau melihat keadaan Meca," pinta Qiara.
Zaydan menuruti keinginan Qiara untuk mendatangi pengantin ke rumah sakit. Sedikitpun dia tidak menaruh curiga melihat ekspresi wajah Qiara yang begitu cemas.
Langkahn Qiara begitu tergesa-gesa karna dia ingin memberi ketegaran pada Leon agar sabar menghadapi cobaan di hari pernikahan mereka.
Qiara melihat Leon tengah menyeka air matanya. "Leon."
"Qiara?" Leon berhambur memeluk erat tubuh Qiara saat perempuan itu berada di hadapannya.
"Qi, Meca meninggal." Pelukan Leon semakin erat.
"Aku tahu, kamu harus sabar, Leon."
Bugh
"Jangan sentuh istriku!" Zaydan tiba-tiba muncul dan memukul Leon. Lelaki itu melepas pelukan Qiara dengan paksa.
Bugh
Bugh
Bugh
Zaydan membabi buta memukul Leon karena merasa panas hati melihat Qiara dipeluk olehnya.
"Hentikan! Seharusnya anda mengajari istri anda agar tidak ikut campur urusan mantan kekasihnya. Urus istri anda yang murahan itu!" Ayah Leon menahan tangan Zaydan yang hendak memukul putranya.
Darah Zaydan mendidih mendengar ucapan lelaki bermata sipit di hadapannya. Dia pun segera menyeret Qiara pulang dengan keadaan marah. Sementara itu, Amira memilih pulang dengan grab karena tidak ingin menganggu Zaydan yang ingin menyelasaikan masalah dengan Qiara.
Qiara merasa takut melihat wajah Zaydan yang merah padam. Bahkan buku-buku tangan lelaki itu memutih sambil menyetir mobil.
Qiara memiringkan tubuhnya dan berusaha memegang tangan Zaydan. "Zay, dengarkan aku ...."
"Aku tidak butuh penjelasan, Qi. Aku hanya kecewa padamu yang sampai saat ini tak kunjung membuka hati untukku." Zaydan menatap tajam pada Qiara hingga nyali gadis itu seketika menciut.
Zaydan tentu sangat kecewa. Dia sudah berupaya sekuat tenaga untuk belajar menerima perjodohan hingga mencintai Qiara dengan sepenuh hati. Namun ternyata, Qiara malah menyimpan kisah masa lalunya.
Zaydan menyeret Qiara masuk ke dalam kamar saat mereka sudah sampai di rumah. "Lepaskan pakaianmu dan berikan padaku!" perintah Zaydan dengan mata yang masih sangat tajam.
Qiara segera melepas pakaiannya dan memberikannya kepada Zaydan. Seperdetik berikutnya, Zaydan membawa pakaian itu halaman belakang rumah diikuti oleh Qiara.
"Zay, apa yang kamu lakukan?" Qiara terbelalak saat melihat Zaydan menumpuk pakaiannya di atas paving block.
"Kamu adalah istriku. Aku tidak akan membiarkan ada aroma tubuh lelaki lain di sini!" Zaydan menyiram bensin pada tumpukan baju sehingga api berkobar besar.
Qiara histeris melihat pakaiannya yang dimakan kobaran api. "Zaydan, apa kamu sudah gila?!"
***
"Zay, maafin aku ...." Qiara memeluk Zaydan dari belakang. Dia meminta ampun pada lelaki yang berstatus suaminya itu.Zaydan melepas pelukan Qiara di pinggangnya. Hatinya benar-benar terasa sakit melihat Qiara dipeluk oleh lelaki lain. Lebih sakit lagi mendengar hinaan dari ayah Leon. Zaydan merasa harga dirinya sebagai lelaki terkoyak."Zay ...." Qiara merasa sesak di dadanya saat Zaydan memilih tidur di lantai. "Tidurlah, sudah malam."Hati Qiara terasa diiris saat melihat Zaydan meringkuk di bawah selimut. Mereka memang baru seminggu menikah dan belum menunaikan kewajiban sebagai suami istri karena Qiara datang bulan sejak hari resepsi hingga saat ini. Namun, Zaydan selalu memeluknya setiap mereka tidur karena ranjang berukuran sempit yang belum diganti."Zay, seandainya kamu tahu betapa aku sangat menyesali keadaan ini." Qiara hanya menatap Zaydan yang telah tidur dengan pulas.***"Lapar banget, nih." Qiara keluar dari kamar. Dia mencari keberadaan Zaydan, tapi lelaki itu tidak
Zaydan dan Qiara berangkat meninggalkan kota Pemayung menuju danau milik Ayah Qiara yang terletak di salah satu perkebunan. Sepanjang perjalanan, Qiara terus melantunkan lagu-lagu nuansa Islami yang diperdengarkan di dalam mobil tersebut. Zaydan mengulum senyum karena akhirnya Qiara menyukai lagu-lagu islami dan meninggalkan lagu rock kesukaannya. Sebelumnya, mereka sempat berdebat untuk menyetel musik dalam mobil. Qiara yang lebih menyukai musik rock akhirnya memilih memakai headset karena tidak menyukai lagu islami yang diputar oleh Zaydan."Danaunya indah sekali." Zaydan memeluk Qiara dari belakang saat mereka sudah sampai di tepi danau. Dia gemas melihat Qiara yang sedang merentangkan tangannya."Danau ini sangat indah. Dan sengaja kami rawat dengan baik agar jika libur bisa datang kemari."Sepasang suami istri itu kemudian menggelar sebuah tikar yang tadi mereka bawa dan meletakkan aneka makanan di sana. Zaydan mengambil sebuah gitar dan berbaring di atas pangkuan Qiara membuat
"Apa tadi malam kalian berhubungan badan?" Dokter Anisa menatap Zaydan dengan seksama.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Zaydan dihubungi Pak Bustomi yang mengatakan bahwa Qiara dia pindahkan ke Rumah Sakit Mitra Medika Batang Hari karena dia takut Leon yang akan menjadi dokter kandungan Qiara, akan memeriksa Qiara saat itu juga.Saat ini Zaydan dipanggil oleh dokter kandungan untuk membicarakan tentang kondisi Qiara."Pak?" Dokter Anisa kembali bertanya."Benar, Dok.""Sudah saya duga.""Tapi bukankah itu tidak berbahaya, Dok?""Benar, jika kandungan itu normal dan baik-baik saja, tapi ....""Kenapa, Dok?""Kandungan Bu Qiara lemah dan tidak kuat mendapat guncangan dari luar. Bahkan Bu Qiara tidak boleh stres.""Kandungan lemah?""Benar, dan sepertinya ini adalah bawaan dari keturunan."Zaydan merasa bersalah karena tadi malam tidak bisa menahan hasrat kerinduan yang sedang membuncah sehingga dia melepaskan kerinduan itu dengan memasuki Qiara yang sedang hamil muda."Apa yang haru
Pembicaraan Qiara dan Bu Jamilah tertahan karena terdengar suara deru mobil milik Zaydan yang memasuki halaman rumah. Perempuan berbadan dua itupun segera berlari menuju pintu utama karena dia tahu Zaydan sudah pulang dari kampus."Sayang, kamu kok sudah pulang?" Qiara bertanya kepada Zaydan dengan tatapan heran saat melihat suaminya itu sudah pulang kampus padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu dia berangkat."Mas baru tahu kalau ternyata hari ini sedang ada kegiatan lain di kampus, dan Mas rasa Mas tidak perlu ikut kegiatan itu." Zaydan mencium pucuk kepala Kiara dan langsung mengerutkan pening saat melihat kehadiran Bu Jamilah di dalam rumahnya."Ibu jualan kue ke arah sini?" Alis Zaydan saling tertaut karena biasanya Bu Jamilah ditemui oleh Zaidan jika mereka sedang berada di Kota muara Bulian."Iya, Nak. Kebetulan ibu numpang salat Dhuha sekalian di sini," sahut Bu Jamilah dengan terbata-bata karena dia khawatir jika Zaydan tidak menyukai kehadirannya di sana."Nggak apa-apa,
Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya. "Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus. Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut."Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah d
"Iyalah, Mas. Aku kan cengeng, bisa jadi anak kita nanti juga cengeng seperti ibunya. Bukankah biasanya kepribadian anak itu menurun dari ibunya?" Qiara menatap Zaydan lekat-lekat.Zaydan terkekeh mendengar perkataan Qiara. Lelaki itu kembali meremas jari jemari istrinya dengan lembut, lalu mengecup telapak tangan Qiara penuh kasih."Sayang, karakter seorang bayi dibentuk oleh ibunya ketika masih di dalam kandungan. Bayi yang cengeng biasanya berasal dari seorang ibu yang sering menangis ketika sedang mengandung." Zaydan berujar tanpa berhenti mengecupi telapak tangan Qiara."Berarti ketika mengandung aku, ibuku sering menangis dong?" Qiara menatap Zaydan seakan meminta penjelasan.Zaydan merasa terjebak oleh perkataannya sendiri. Dia sedikit mengerti melihat ekspresi Qiara yang tidak biasa."Bisa jadi, Sayang. Bisa jadi ibu selalu menangis karena khawatir kehilangan kamu sebagai bayi kesekian yang dikandungnya," sahut Zaydan."Beneran? Bukan karena Ayah yang menyakitinya?" Qiara meng
Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya. "Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya. Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar. "Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu. Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra. Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasa
"Masa lalu apa yang membuat ibu takut sehingga tidak mau mengakui status ibu yang sebenarnya?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah agar ibu mertuanya itu mengerti bagaimana besarnya cinta Zaydan padanya. Bu Jamilah pun menceritakan kepada Qiara tentang masa lalunya dan meminta Qiara untuk merahasiakan tentang jati dirinya pada Zaydan. "Nggak, Bu. Aku nggak bisa merahasiakan ini dari Mas Zaydan. Bagaimana pun juga Mas Zaydan harus tahu." Qiara menggeleng tidak setuju. "Ibu hanya tidak mau Zaydan nanti akan mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menjebak ibu, dan membuat kami terpisah. Ibu tidak ingin Zaydan mengorbankan keluarga kalian demi menyelidiki masa lalu itu." Qiara terbelalak mendengar ucapan Bu Jamilah. "Bu, Mas Zaydan pasti tahu yang terbaik untuk Ibu. Pokoknya Qiara akan kasih tahu dia tentang jati diri ibu." "Baiklah kalau begitu, ibu akan pergi dari kehidupan kalian." Bu Jamilah hendak pergi. "Bu ...." "Ibu hanya memintamu membiarkan Ibu dekat dengan Zaydan tanpa haru
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang