Aku merenungi nasibku sekarang, kejadian yang baru saja terjadi amat mengguncang ketenanganku.
Rafik, anakku yang masih berusia satu setengah tahun diculik dari kediamanku ketika hari masih gelap. Azan subuh pun belum berkumandang.
Ketika aku sibuk berkutat dengan setumpuk pekerjaan rumah yang harus aku bereskan sebelum Firman dan Rafik, kedua anakku terbangun dari lelapnya tidur. Aku memilih mengerjakannya dini hari karena ingin ketika kedua anakku yang masih kecil terbangun. Aku sudah siap menemani hari mereka.
Aku tinggalkan Firman dan Rafik yang masih terlelap, beranjak mencuci baju di sumur belakang. Namun ketika aku kembali karena mendengar tangis Rafik, aku hanya melihat Firman yang sedang terduduk bingung dengan mengucek matanya, hanya Firman saja sementara Rafik tidak ada.
'Jaya, pasti dia yang menculiknya' batinku.
Aku menghampiri Firman tergesa dan kemudian menggendongnya. Segera ku langkahkan kaki kecilku memaksa untuk berlari menuju terminal yang tidak jauh dari kediamanku.
Aku sangat berharap jika Rafik belum jauh dibawa oleh Jaya.
Aku tanyakan pada setiap orang yang ada, "Apakah mereka melihat anakku?" tanyaku pada setiap orang.
Kumasuki satu per satu mobil elf yang ada di terminal untuk mencari keberadaan Rafik, nihil. Semua usahaku tidak membuahkan hasil.
Tapi aku tidak berhenti, terus aku mencari Rafik yang hilang dengan menggendong Firman yang cukup berat untuk usia anak 6 tahun.
Adzan subuh berkumandan. Kakiku lemas lututku merosot. Aku terduduk tak beraturan di depan toko emas yang ada disitu, dengan Firman yang masih bingung akan apa yang terjadi.
Aku menangis, menyesali diri karena meninggalkan anakku yang terlelap tidur tanpa pantauan.
Beginikah caramu membalaskan sakit hatimu, Jaya?
Jaya, dia adalah suamiku.Tepatnya mantan suami yang baru dua minggu aku tinggalkan.
Firman dan Rafik memiliki ayah yang berbeda.
Rafik adalah anak dari Jaya, lelaki yang 3 tahun belakangan menjadi suamiku.
Firman adalah anak dari Budi, suamiku sebelum menikah dengan Jaya.
Aku memaksakan kakiku berdiri, menuntun Firman kembali menuju rumah.
Kami berdua berjalan tanpa alas kaki. Aku berjalan sambil menangis menuntun Firman yang menatapku dengan bingung sambil menggenggam kertas di tangannya.
Aku berjongkok untuk melihat kertas apa yang di pegang Firman. Ketika aku mengambil dari tangannya, ternyata uang sebesar 20.000 rupiah.
"Ini, uang dari siapa, Nak?" tanyaku pada Firman.
"Bapak," jawabnya polos.
Berarti benar bahwa Jaya yang menculik Rafik, setidaknya aku tenang karena bukan orang lain yang membawanya melainkan bapaknya sendiri.
Aku kembali menuntun Firman berjalan. Sesampainya dirumah, aku tidak melanjutkan pekerjaanku karena merasa harus segera bertemu kedua orang tuaku mengatakan hal ini.
Kubersihkan Firman, dan memakaikannya baju. Lalu aku juga membersihkan diri dan berganti pakaian, bersiap ke rumah Bapak.
"Assalamualaikum, Mah, Pak," salamku ketika sampai di depan rumah orang tuaku.
"Waalaikumsalam, Mir masuk mamah di dapur," jawab mamah setengah berteriak.
"Loh, kemana Rafik?" tanya bapak yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Rafik diculik, Pak!" ucapku histeris.
"Diculik bagaimana?" tanya bapak tak kalah histerisnya.
Lalu aku menceritakan kejadian yang sudah terjadi pada bapak.
Mamah menghampiri kami dengan sepiring pisang goreng, juga membawa teko berisi teh panas dan gelas kosong.
"Mana Rafik, Mir?" tanya mamah.
"Diculik," ucapku pelan.
Mungkin aku sudah capek, energiku sudah sedikit setelah melewati pagi yang begitu panjang untukku.
Bapak yang kemudian membantuku menjelaskan cerita bagaimana Rafik diculik pada mamah.
"Bukan diculik Amira, dia dibawa sama bapaknya sendiri juga," ucap mamah santai.
"Bagaimana tidak diculik,Mah! Dibawa oleh bapaknya pun kalau tidak seizin yang merawatnya, sama saja diculik toh. Mana hari masih gelap lagi, kasihan anakku," ucapku lesu.
"Sudah, biarkan dulu. Mungkin Jaya ingin bersama anaknya barang sebentar, menurut mamah biarkan Rafik disana untuk beberapa hari, nanti tinggal kita jemput," ucap mamah menenangkan.
Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan mamah, dan menyetujuinya.
Namun aku kembali menangis ketika biasanya jam segini, anakku belum aku mandikan.
Kubiarkan Firman bermain tanah di halaman samping rumah kami, tepatnya rumah kontrakan kami.
Lalu Rafik yang penuh rasa penasaran menghampiri kakaknya dengan berjalan berjinjit-jinjit seakan tidak ingin kakinya yang menggemaskan menapaki tanah.
Mereka bermain sambil menungguku selesai masak, setelah selesai baru aku memandikan kedua anakku berbarengan. Firman kakaknya sudah bisa mandi sendiri, aku lebih fokus memandikan Rafik.
Namun kini aku hanya berdua dengan Firman, merasa kesepian ketika separuh jiwaku pergi.
"Sudah Mir, tidak usah ditangisi. Toh dia pergi bersama bapaknya," ucap Mamah.
"Kapan menjemput Rafik?" tanyaku masih dengan tatapan kosong.
"Bapak sekarang ke pasar dulu, cari orang yang mau mengantar kita ke Sumedang, rumah mantan suamimu," ucap Bapak dingin.
Aku terdiam, hanya bisa menerima semua ini.
Bukan aku tidak percaya pada Jaya, hanya saja jika aku kembali ke rumah itu, seperti membuka luka yang sedang aku sembuhkan perlahan.
Sebenarnya, aku masih menyayangi Jaya. Dia adalah sosok ayah yang baik bagi Firman yang bukan darah dagingnya, terlebih lagi bagi Rafik.
Tapi memang jodoh kami hanya sampai disini, tiga tahun pernikahan.
Aku bertemu dengannya di kota Subang, ketika aku kabur dari Palered karena ada yang selalu menggangguku sejak aku masih sekolah dulu, bahkan dia juga yang menyebabkan keluargaku berantakan.
Hingga akhirnya aku menyerah menghadapinya karena dia mengancam akan terus menggangguku sebelum aku menerima pinangannya.
Berangkatlah aku ke Subang disertai restu Bapak, tujuanku adalah rumah Uwak yang berada di pelosok Subang.
Tak disangka, disana aku bertemu dengan Jaya.
Dia juga pendatang, sebagai ketua grup yang menaungi hiburan layar tancap disana.
Tidak lama, hanya sebulan masa perkenalan kami dia langsung mengajakku menuju hubungan yang serius.
Awalnya aku ragu, karena perbedaan status kami.
Aku seorang janda dengan satu anak, sedang dia masih berstatus bujangan.
Dimanapun aku berada, pastilah statusku mendatangkan masalah.
Entah seorang ibu yang tidak menerima kehadiranku yang dia takutkan akan menggoda suaminya.
Karena pada tahun itu, janda sangat sensitif dengan fitnah dan itu adalah aib.
Maka aku memutuskan menerima pinangan Jaya, disamping menyelamatkanku dari status janda, dia juga terlihat sangat menyayangi Firman.
Awal pernikahan kami, semua berjalan mulus karena kami memulai hidup baru di Subang, tempat dia meraup rupiah.
Namun perkembangan zaman menuntut hidup semakin maju, dan hiburan layar tancap tergeser oleh yang lain.
Menyebabkan Jaya dan anggotanya kehilangan mata pencaharian.
Dengan sisa uang yang ada di tabungan, Jaya berpikir untuk memulai usaha baru tapi tidak di Subang karena biaya kontrakan akan mengurangi modal yang ada.
Akhirnya kami memutuskan untuk hijrah lagi ke kota asal Jaya, yaitu Sumedang.
Jaya bilang, setidaknya di sana kami akan menumpang dirumah orang tuanya, agar mengurangi biaya pengeluaran.
Dengan segala pertimbangan, akhirnya sampailah kami disana.
Sebenarnya keluarga Jaya adalah keluarga besar dan baik.
Diluar dugaan, usaha yang Jaya rintis macet ditengah jalan terkendala biaya.
Disitulah awal mula masalah mencuat ke permukaan.
Aku yang tidak memiliki saudara perempuan awalnya sangat senang ketika Jaya membawaku ke rumahnya. Berharap jika kedua kakak iparku bisa menjadi saudara tanpa ikatan darah. Karena aku adalah anak pertama dan memiliki dua orang adik laki-laki.Seringkali merasa ingin memiliki saudara perempuan, terlebih lagi kakak perempuan.Dalam bayanganku, memiliki kakak perempuan akan membuat hidup lebih menyenangkan. Bisa saling bertukar cerita, saling meminjam pakaian dan barang-barang, atau bahkan membagi tugas rumah. Karena selama gadis, hanya aku dan mamah yang mengerjakan tugas rumah."Kenapa adikku lelaki dua-duanya, Mah?" tanyaku dengan polos sewaktu Dika lahir."Tidak apa Amira, supaya mereka nanti sudah besar bisa jadi pengawal kamu,
Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku meng
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku meng