Aku yang tidak memiliki saudara perempuan awalnya sangat senang ketika Jaya membawaku ke rumahnya. Berharap jika kedua kakak iparku bisa menjadi saudara tanpa ikatan darah. Karena aku adalah anak pertama dan memiliki dua orang adik laki-laki.
Seringkali merasa ingin memiliki saudara perempuan, terlebih lagi kakak perempuan.
Dalam bayanganku, memiliki kakak perempuan akan membuat hidup lebih menyenangkan. Bisa saling bertukar cerita, saling meminjam pakaian dan barang-barang, atau bahkan membagi tugas rumah. Karena selama gadis, hanya aku dan mamah yang mengerjakan tugas rumah.
"Kenapa adikku lelaki dua-duanya, Mah?" tanyaku dengan polos sewaktu Dika lahir.
"Tidak apa Amira, supaya mereka nanti sudah besar bisa jadi pengawal kamu," jawab mamah sambil membelai Dika dalam pangkuannya.
Kedua adikku selalu sibuk bermain. Kurniawan adik pertamaku hanya terpaut 4 tahun. Di usia dia yang seharusnya menginjak jenjang SLTA, dia bahkan belum bisa membaca dan menulis. Entah kenapa dia tidak ingin sekolah sama sekali.
"Ga Mau sekolah, capek ah. Tidak sekolah pun masih bisa makan," ucapnya ketika bermain sendirian sementara temannya bersekolah.
"Tapi Wan, kalau sekolah kan enak bisa bermain sama teman-teman yang lain," bujuk mamah.
"Tidak mau, guru galak," ucapnya meninggalkan mamah yang bingung dengan sikap Kurniawan.
Dibanding bermain dengan teman, dia lebih suka bermain di rumah salah satu saudara dari bapak. Uwak Dadang yang berprofesi sebagai pekerja proyek bagian instalasi kelistrikan, sekarang membuka toko sekaligus jasa yang berkaitan dengan listrik. Entah dia tertarik mengenai listrik atau hanya senang karena selalu dibawa jika uwak berbelanja kebutuhan tokonya ke kota.
Namun memang jika ilmu mengenai listrik dia sudah bisa menanganinya, kalau masalah yang terjadi masih dalam skala kecil seperti kabel yang tersambung di dalam rumah. Cepat dan tanpa ragu dia memotong dan menyambung kabel-kabel itu dengan cekatan.
Berbeda dengan Dika adik bungsuku. Dia sekolah walau sering membantu bapak di peternakan. Memang sejak kecil Dika memiliki ketertarikan terhadap usaha yang ditekuni bapak. Sekarang dia bersekolah di tingkatan SLTP kelas satu. Dika memang termasuk cerewet walaupun dia lelaki, berbeda dengan Kurniawan yang jarang sekali berbicara. Sifat Dika sangat mirip dengan bapak. Berbeda dengan aku dan Kurniawan yang memiliki sifat lebih dominan dari mamah yang tidak banyak bicara.
Dulu sebelum aku menikah, usaha bapak sebagai juragan ayam potong di pasar sangatlah maju. Menjadi satu-satunya kios ayam potong membuat usahanya memiliki penghasilan yang lebih dari cukup.
Namun usaha yang bapak jalani di pasar menghadapi kerugian yang membuat bapak membuka usaha lain. Membangun peternakan ayam di daerah tonggoh. Tanpa diduga, usaha bapak yang merugi adalah sabotase dari seseorang.
Namanya Pak Asep, dia adalah pemilik sebagian besar toko kelontong di Palered dan juga memiliki usaha lain, beberapa kolam pancing dan tambak. Daerah kami yang memang dekat dengan salah satu waduk yang juga menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Waduk yang cukup luas karena berada diantara tiga kabupaten antara lain Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Cianjur. Tidak heran jika tenaga listrik yang dihasilkan menjadi pemasok listrik Jawa dan Bali.
Itu juga yang membuat usaha Pak Asep berkembang pesat, karena pemancingan miliknya selalu ramai pengunjung. Juga penghasilan tambaknya pun melimpah.
Pak Asep melakukan sabotase agar bapak merugi dan bangkrut. Datang menawarkan bantuan seolah-olah dia malaikat penolong.
"Pak Mulyadi, kedatangan saya kemari untuk menawarkan modal pada bapak. Saya dengar bapak ingin membuka usaha peternakan ayam di tonggoh?" ucap Pak Asep kala itu.
"Saya melihat potensi yang cukup menjanjikan dengan rencana yang bapak pikirkan, maka dari itu saya bersedia meminjamkan modal untuk bapak membangun usaha baru," sambungnya.
Alasan dia melakukan itu bukan karena urusan bisnis, karena usaha bapak dan miliknya berada di jalur yang berbeda.
Melainkan dia ingin mengikat bapak dengan hutang dan menjaminkan aku sebagai bayarannya. Sejak gadis sebelum aku menikah, beliau memang seringkali datang kerumah meminta agar aku mau menjadi istrinya.
Selain umur kami yang terpaut jauh, alasan aku tidak menerima pinangannya pun karena aku tidak mau dijadikan istri ketiga kala itu. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.
Pak Asep pula alasan aku kabur ke Kota Subang. Sehari sebelum kepergianku, Pak Asep mengancamku jika tidak menerima pinangannya, dia akan terus menggangguku dan keluarga.
"Bertahun-tahun saya menunggu kesempatan untuk dapat meminang Amira kembali, jika sewaktu gadis dia mempunyai alasan tidak mau menerima saya yang sudah beristri, sekarang dia sudah menjadi janda. Tidak ada salahnya menjadi istriku yang ketiga, bukan?" ucap Pak Asep mampu membuat bapak yang mendengarnya naik darah.
"Dulu dan sekarang tidak ada bedanya, Pak. Amira masih trauma dan tidak ingin menikah dengan bapak," jawab bapak menahan amarah.
"Dasar sombong! Masih saja jual mahal padahal Amira sudah terbuang. Di desa ini saya yakin tidak akan ada yang mau menerima Amira menjadi istrinya selain saya," ucapnya jumawa.
"Ya saya paham betul, karena itu ulah dari Pak Asep 'kan? Saya sudah tahu semua kejadian yang menimpa keluarga saya adalah ulah Pak Asep," teriak bapak sudah tidak mampu menahan emosi.
"Apalagi kalau Pak Mulyadi sudah mengetahui rencana saya. Tidak akan berarti apa-apa jika Pak Mulyadi tahu rencana saya sekarang karena semua sudah berjalan dengan sempurna dan berhasil. Amira sudah melajang kembali, artinya pilihan dia hanyalah satu yaitu menerima takdirnya sebagai istriku," ucapnya lagi.
"Saya semakin muak dengan Anda, Pak. Jika bapak pikir dengan begini saya akan menerima bapak, salah. Jujur saja lebih baik saya sendiri untuk selamanya daripada harus menerima bapak," ucapku dengan tidak sadar sambil menunjuk muka Pak Asep dengan tanpa ragu.
"Ingat Amira, saya tidak akan berhenti mengganggumu setiap hari sampai kamu menyerah," ancamnya sambil berlalu dari hadapan kami.
Posisiku sangat tidak aman kala itu, dengan rencana yang bapak usulkan dan izin dari mamah, aku pun meninggalkan Palered dengan membawa Firman diantar oleh Uwak ketika malam hari.
"Dang, tolong sampaikan pesan saya untuk Elis. Tolong jaga Amira untuk sementara waktu, saya tidak bisa menemaninya kesana. Kamu tahu sendiri Amira tidak aman apabila terus berdiam diri disini," ucap mamah pada Wak Dadang saat aku akan pergi meninggalkannya.
"Tenang saja, Teh. Elis pasti akan senang dengan kedatangan Amira dan Firman. Teteh tahu sendiri beberapa tahun terakhir dia hidup sendiri di Subang sana," jawab Wak Dadang.
"Mah, Amira pamit. Maaf Amira selalu merepotkan," pamitku.
Tidak disangka, belum lama aku tinggal dengan Uwak Elis di Subang, pertemuan dengan Jaya terjadi di sana. Awalnya aku menolak ajakan Jaya untuk menikah karena status kami yang berbeda. Sebagai janda beranak satu, aku tahu betul jika Jaya yang merupakan seorang bujangan memiliki kesempatan untuk meminang seorang gadis. Namun tekad yang kuat ditunjukkan oleh Jaya, sehingga aku luluh dan menerima dia sebagai ayah sambung Firman.
.
Hingga pada saat usaha yang dijalani Jaya mulai redup, kami terpaksa menumpang dirumah orang tua Jaya di Sumedang. Sempat aku tawarkan untuk membantu bapak di peternakan dan kami tinggal di rumahku saja, namun Jaya menolak dengan alasan harga dirinya merasa tercoreng jika harus menumpang di rumah mertua.
"Mir, hiburan sekarang mulai sepi. Banyak orang beralih pada hiburan yang lebih modern. Kamu tidak apa-apa 'kan jika untuk sementara kita tinggal dirumah ibu bapakku?" tanya Jaya saat itu.
"Tidak apa jika keluargamu tidak keberatan," jawabku sambil tersenyum
Tidak disangka, keputusan ini adalah awal dari petaka rumah tangga kami.
Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku meng
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku meng