Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.
Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku mengadu dan mengeluh pada Jaya, dia hanya bilang jika Kak Nina iri padaku. Aku percaya saja dengan jawaban yang Jaya berikan. Usia ku dan Kak Nina terpaut cukup jauh. Aku yang berumur 20 tahun sudah memiliki anak dari pernikahan pertamaku. Sedangkan dia yang saat ini usianya menginjak 30 tahun belum menikah apalagi mempunyai anak. Padahal menurutku itu bukan alasan yang bisa dibenarkan dengan tindakan dia selama ini padaku.
Jika bisa mengulanginya, aku ingin memperbaiki hidupku. Aku ingin melewati proses kedewasaanku seperti yang lainnya. Bermain dan tertawa lepas bahkan merasakan hasil dari pendidikan sekolahku dengan bekerja mencari uang sendiri. Namun apa yang bisa aku lakukan? Semua sudah terjadi. Pernikahan dengan Budi yaitu bapak dari Firman berakhir tidak baik. Padahal akupun sama dengan perempuan lain yang mendambakan pernikahan bahagia sekali seumur hidup. Hanya saja aku tidak seberuntung itu. Aku harus merelakan Budi pergi dari hidupku dan menikah dengan gadis lain. Luka yang ditorehkan teramat dalam. Sejujurnya cintaku pada Budi masih sangat besar, namun aku selalu menepis perasaan itu. Budi sudah bahagia dengan pilihannya.
"Amira, tadi teman Akang ada yang menawarkan pekerjaan dengan upah yang cukup besar. Namun pekerjaannya berada di luar pulau, jika lolos seleksi akan dikontrak 2 tahun di sana. Apa kamu mengizinkan?" tanya Kang Budi kala itu.
'Tidak,' batinku. Seharusnya aku jawab tidak agar aku tidak berpisah dengannya. Agar tidak ada perceraian atau bahkan aku harus bertemu lagi dengan lelaki lain dan menikah. Tapi semua sudah lewat.
Aku sudah menikah dengan Jaya, aku juga harus mengikutinya. Kemana pun Jaya membawaku dan Firman. Namun tidak disangka jika kehadiranku dan Firman menjadi hal yang membuatku menelan pil pahit dari hinaan dan makian.
Nina, kakak iparku mulai menunjukan gelagat tidak menyukai kehadiran kami. Terlebih ketika aku mengabarkan jika tengah mengandung anak dari Jaya.
Sementara yang lain bahagia, dia tetap memasang muka masam bahkan lebih terang-terangan menunjukkannya.
"Mungkin Kak Nina iri, Mir," jawab Jaya kala itu.
"Kak Dina tidak ada ganggu kamu kan?" tanya Jaya.
Memang selain Kak Nina, aku memiliki ipar lain bernama Kak Dina dan satu adik lelakinya.
Ya, dia selalu bilang jika Kak Nina iri padaku.
Karena aku yang masih berusia 20 tahun sudah menikah dua kali bahkan mempunyai anak, tetapi Kak Nina yang usianya sudah menginjak 30 tahun belum diberikan rezeki menikah apalagi mempunyai anak.
Aku tidak tahu apakah itu benar atau hanya hiburan dari Jaya agar aku bisa bertahan.
Setiap apapun yang aku lakukan, pasti komentar pedasnya selalu terdengar jelas di telingaku.Contohnya jika aku mencuci pakaian siang hari ketika selesai membereskan rumah.
"Bagaimana sih Amira! Kenapa hasil pekerjaanmu tidak ada yang beres! bisa mencuci tidak sih?" tanya Kak Nina dengan suara melengking membuatku harus menutup mulut sejenak.
"Kenapa, Kak?" tanyaku bingung dimana salahku.
"Makanya mikir! Lain kali kerja yang becus, sayang air nyuci kalau tidak beres," ucapnya sambil berlalu tanpa memperlihatkan letak salahku.
Sewaktu gadis aku selalu diajarkan mengerjakan urusan rumah dengan baik dan jika salah mamah akan menegur dengan pelan, tidak pernah sampai membentak padaku. Dia berkomentar jika aku pemalas karena mencuci siang hari.
Aku mengerjakannya saat semua orang masih terlelap, lalu menjemurnya langsung sebelum membereskan pekerjaan rumah lainnya.
Kukira dia tidak akan berkomentar lagi namun sialnya aku salah. Dia dengan pedasnya berkata bahwa aku mengganggu waktu istirahat orang lain karena mencuci pakaian saat orang lain tidur. Bahkan tidak hanya berbicara, dia juga mengomel sambil menjatuhkan alat dapur dengan sengaja membuat semua orang teralihkan kegiatannya dan tertuju padanya.
"Orang pada tidur, ini berisik satu cuci baju subuh-subuh. Ga Tau aturan emang dasar, aneh juga masih kecil udah nikah. Gini nih jadinya gak becus ngurus rumah juga," makinya kala itu membuatku menangis dalam diam.
Aku tergugu di dalam kamar, meratapi takdir yang selalu mempermainkanku.
Rasanya sudah tidak betah sekali tinggal satu atap dengan kakak iparku, namun Jaya selalu menghiburku agar aku tidak terpengaruh oleh kelakuan kakaknya itu.
Akhirnya aku tetap bertahan kala itu, demi janin yang hidup didalam rahimku.
Mencoba bertahan menghadapi sikap kakak ipar yang jelas terlihat tidak menyukai keberadaanku sungguh tidaklah mudah.
Menutup rapat-rapat telinga disaat dia berteriak menyalahkan apapun yang aku lakukan.
Juga menutup mulut agar tidak mengeluarkan kata yang akan membuat pertikaian ini semakin memanas juga sangat sulit.
Tapi aku bisa apa? sadar diri saja karena memang aku hanyalah menantu yang menumpang hidup dengan mertua.
***
"Neng, maafkan ibu ya kalau perkataan ibu menyakiti hati Neng," bujuk Kang Budi kala itu ketika aku salah menyiapkan makanan untuk ibu.
Ternyata ibu mertua tidak boleh mengkonsumsi garam seperti biasa, harus sedikit sekali dikarenakan penyakit darah tinggi yang diderita ibu sudah cukup mengkhawatirkan.
"Tidak, Kang. Bahkan ibu tidak marah pada Amira. Hanya saja dia meminta Amira untuk membuatkan makanan baru untuk ibu saja," ucapku santai.
"Akang takut jika ibu atau bapak menyakiti Neng," ucapnya menatap lekat mataku.
Secerca kenangan dengan Kang Budi tiba-tiba saja terlintas. Seringkali aku merindukan masa dimana pernikahanku dengan Budi.
Kami memang saling mencintai, orang tua Budi pun sangat menyayangiku. Terlebih karena Budi adalah anak tunggal, jadi jauh dari masalah menghadapi ipar karena memang tidak mempunya ipar.
Hidup kami pun terjamin walaupun pekerjaan Budi hanya sebagai tukang ojek, namun semua kebutuhanku dan Firman selalu terpenuhi.
Bahkan kami sudah memiliki rumah sendiri sebelum mempunyai Firman.
Namun karena pria yang terobsesi ingin memilikiku, kami terpisah.
Pria tua bernama Asep yang aku tidak mau sebut dengan panggilan hormat bapak dan sebagainya. Saking aku membencinya, membuat keluargaku dan keluarga Budi hancur.
Mengatur rencana yang membuat usaha yang dijalani merugi, dan dia datang seolah-olah pahlawan menawarkan bantuan
Padahal di balik itu semua, dia memintaku sebagai jaminan untuk uang yang telah dikeluarkan.
Karena tidak ingin orang tuanya terjerat hutang pada pria itu, Budi memilih menjual rumah yang kami tempati dan pindah ke rumah orang tuaku.
Kami hanya bertahan beberapa bulan di sana, hingga akhirnya Budi tertarik oleh salah satu tawaran dari kawannya untuk mengadu nasib sebagai buruh tanam sawit di Sumatera dengan imbalan yang besar.
Dengan berat hati aku mengijinkannya.
Tidak disangka, disana dia terpikat oleh rayuan kehangatan gadis setempat.
Dia mengabarkan bahwa dia menikah lagi, dan juga menjatuhkan talak untukku.
Duniaku hancur seketika. Aku merasa tidak mempunyai sandaran untuk sekedar mencerna apa yang terjadi, membuatku nyaris gila dan memutus urat nadiku dengan serpihan kaca dari cermin yang aku hancurkan. Cairan merah yang bercucuran dari pergelangan tanganku membuat nyawaku nyaris lepas dari raga.
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku meng