"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.
Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.
'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku.
"Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam.
"Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masalah seperti ini lumrah terjadi pada rumah tangga 'kan? Makanya untuk kedepannya, Amira bilang saja pada ibu jika Nina masih mengganggu Amira, ya?" pinta ibu.
Aku tersenyum sinis karena melihat tangan ibu yang mengelus bahu Kak Nina, dan melihat wajah Kak Nina yang tersenyum penuh arti menatapku.
Aku yakin sepulangnya orang tuaku nanti, aku akan menjadi bulan-bulanan iparku itu.
"Lalu bagaimana ini Amira?" tanya bapak padaku.
"Ya sudah Pak. Amira tidak masalah jika sekarang mertua dan Kak Nina sudah mengetahui jika Amira tidak mau diperlakukan seperti itu lagi. Diamnya Amira tolong jangan disalahartikan," ucapku tegas.
Kulihat perubahan wajah ibu mertuaku untuk sepersekian detik, lalu di detik kemudian wajahnya berubah menjadi senyuman yang merekah. Ternyata ibu mertuaku munafik juga.
Terlihat juga Kak Nina akan membuka suara namun tangannya ditahan oleh ibu mertuaku itu,
Ah, aku jadi tidak sabar melihat seberapa besar kemarahan ipar kesayanganku itu.
Aku yakin akan lebih dahsyat dari kemarin-kemarin.
Teringat wejangan bapak sebelum aku menerima lamaran Jaya, bahwa statusku sebagai janda tidak dapat diterima dengan baik oleh semua orang. Terutama sesama wanita.
Sekarang aku percaya ucapan bapak.
Padahal bukan keinginanku menyandang status ini.
Akupun sama dengan perempuan di luar sana yang menginginkan pernikahan yang utuh sekali seumur hidup.
Namun mereka tidak mau tahu dan mencap bahwa janda adalah status yang hina.
Permasalahan memang sangat alot untuk mencapai penyelesaian. Namun pihak keluarga suamiku sangat pintar merayu agar aku memaafkan semuanya.
Andai saja bapak tidak merencanakan sesuatu. Mungkin aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.
Namun untungnya bapak menyadari bagaimana dilemanya berada di posisiku.
"Ya sudah besan, saya anggap masalah ini sudah selesai. Untuk kedepannya saya mohon untuk jaga baik-baik anak perempuan saya," ucap bapak.
"Ya. Jangan khawatir besan," jawab ibu mertuaku.
"Jaya, ingat kamu dulu meminta restu untuk meminang putriku dengan jantan. Jadi sekarang setelah putriku menjadi tanggung jawabmu, jaga dia dengan benar," ucap bapak pada Jaya.
"Iya, Pak. Saya berjanji akan menjaga Amira, Firman dan Rafik supaya tidak ada yang bisa menyakiti mereka," ucap Jaya yakin.
"Ingat Jaya, Kambing yang dipegang ikatan talinya. Lelaki yang dipegang ucapannya. Sampai anakku mengadu lagi, biar tanggung jawabnya kembali lagi padaku!" ucap bapak tegas.
Jaya hanya mengangguk dalam. Mungkin dia tidak tahu bagaimana bapak jika marah.
Lalu kami berbincang ringan sebelum bapak berpamitan pulang.
Terlihat raut wajah bapak mengisyaratkan sesuatu yang aku jawab dengan anggukan.
Aku masih berharap semoga Kak Nina menyadari dan memperbaiki kesalahannya agar aku tidak usah menjadi janda untuk kedua kalinya.
Perih menjalar hatiku ketika membayangkan menyandang status janda, lagi.
Namun lagi-lagi aku hanya bisa pasrah menerima takdir.
Aku harus kuat di segala situasi.
Aku tidak ingin mengalami ini lagi, berpangku tangan menengadah nafkah dari mertua karena suamiku tidak mempunyai pekerjaan.
Ditambah ipar yang selalu menyalahkan apapun yang aku lakukan. Menatapku dengan sinis menganggapku adalah benalu bahkan musuh.
Sungguh sebenarnya aku muak.
Hingga pada akhirnya mobil yang ditumpangi keluargaku melaju perlahan sampai hilang ditelan jalanan. Ibu mertuaku menyuruh Jaya membeli pakan ayam di pasar.
Lalu setelah Jaya pergi sepasang tangan dengan sangat keras menarik rambutku hingga aku terjengkang.
Tangan siapa ini?
"Tidak tahu diri perempuan satu ini," teriak Kak Nina sambil menarik rambut pendekku.
Aku yang tidak siap dengan serangan mendadak seperti ini terjatuh kalah oleh tenaga Kak Nina yang sedang di puncak amarahnya.
Aku berdiri. Melihat Firman dan Rafik dibawa masuk kedalam kamar oleh Kak Dina.
Memang hanya Kak Dina yang terlihat jelas menyayangi Firman dan Rafik.
"Bisanya hanya mengadu saja," kembali Kak Nina berteriak menatapku dengan tatapan nyalang.
"Ibu, apa Ibu diam saja melihat Kak Nina jelas menyerangku?" tanyaku pada ibu mertua yang hanya diam melihat Kak Nina memperlakukanku seperti ini.
"Salah kamu sendiri mengadu pada keluargamu. Sudah mulai berlagak karena merasa mendapat perlindungan?" tanya Ibu mertuaku sinis.
"Jadi tadi Ibu hanya bersandiwara?" tanyaku meyakinkan.
"Kau terlalu berbesar hati Amira! Mana mungkin saya lebih membela menantu yang tidak saya harapkan dibanding anak saya sendiri. Sudah gila pikiranmu," ucap ibu pelan tapi pedas.
"Kamu pikir selama ini Ibu diam akan membelamu? Terlalu naif kamu Amira. Kamu tidak tahu saja sebenarnya ibu tidak menyukaimu. Perempuan tidak tahu malu," ucap Kak Nina.
"Kenapa kalian menerimaku sebagai istri dari Jaya jika kalian tidak menginginkanku?" tanyaku.
"Karena Jaya bodoh mau saja tergoda oleh perempuan murahan. Janda kok mau dinikahi bujang, bukankah tidak tahu diri namanya?" timpal ibu mertuaku.
Laksana pedang tajam yang menghunus dadaku, sakit sekali ketika ibu berkata demikian.
Aku pikir ibu menerimaku, ternyata ibu juga sama seperti Kak Nina yang membenciku karena status jandaku.
"Ini pakan ayamnya, Bu" terdengar suara Jaya datang dengan menenteng kresek berisi pakan ayam pesanan ibu.
"Oh, kemarikan. Jaya ajak istrimu makan, kasihan dia capek sepertinya," ucap ibu dengan ramah.
Oh ternyata Ibu dan Kak Nina ingin bermain-main di belakang Jaya.
Oke kak, Bu. Mari kita bermain.
"Jaya, rasanya aku tidak ingin makan di rumah. Sepertinya bakso enak. Keluar yuk ajak Firman dan Rafik jajan bakso sekali-kali," ucapku pada Jaya dengan lembut.
"Boleh Amira. Bu, bukankah ibu bilang bahwa Amira tanggung jawab ibu juga? Amira ingin makan bakso. Boleh Jaya pinjam dulu uang ibu?" tanya Jaya pada ibunya.
Terlihat raut wajah tidak suka dari wajah Ibu dan Kak Nina, kena kalian.
"Tidak usah Jaya. Aku dibekali uang yang cukup oleh bapak tadi. Bapak bilang untuk makanku dan Firman disini takutnya memang keluargamu tidak menerimaku 'kan. Jadi bapak membekali uang untukku dan Firman. Karena memang hanya kehadiranku dan Firman yang tidak diinginkan di sini, betul 'kan bu?" tanyaku dengan senyuman penuh arti.
Sorot mata ibu tajam menatapku, dia menarik tanganku cukup keras dan mengatakan hal yang membuat Jaya membelanya.
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Aku merenungi nasibku sekarang, kejadian yang baru saja terjadi amat mengguncang ketenanganku.Rafik, anakku yang masih berusia satu setengah tahun diculik dari kediamanku ketika hari masih gelap. Azan subuh pun belum berkumandang.Ketika aku sibuk berkutat dengan setumpuk pekerjaan rumah yang harus aku bereskan sebelum Firman dan Rafik, kedua anakku terbangun dari lelapnya tidur. Aku memilih mengerjakannya dini hari karena ingin ketika kedua anakku yang masih kecil terbangun. Aku sudah siap menemani hari mereka.Aku tinggalkan Firman dan Rafik yang masih terlelap, beranjak mencuci baju di sumur belakang. Namun ketika aku kembali karena mendengar tangis Rafik, aku hanya melihat Firman yang sedang terduduk bingung dengan mengucek matanya, hanya Firman saja sementara Rafik tidak ada.
Aku yang tidak memiliki saudara perempuan awalnya sangat senang ketika Jaya membawaku ke rumahnya. Berharap jika kedua kakak iparku bisa menjadi saudara tanpa ikatan darah. Karena aku adalah anak pertama dan memiliki dua orang adik laki-laki.Seringkali merasa ingin memiliki saudara perempuan, terlebih lagi kakak perempuan.Dalam bayanganku, memiliki kakak perempuan akan membuat hidup lebih menyenangkan. Bisa saling bertukar cerita, saling meminjam pakaian dan barang-barang, atau bahkan membagi tugas rumah. Karena selama gadis, hanya aku dan mamah yang mengerjakan tugas rumah."Kenapa adikku lelaki dua-duanya, Mah?" tanyaku dengan polos sewaktu Dika lahir."Tidak apa Amira, supaya mereka nanti sudah besar bisa jadi pengawal kamu,
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.
"Apakah besan berpikir ini masalah sepele?" tanya bapak sambil menggebrak meja cukup keras. Ternyata bapak peka juga dengan keadaan.Hal sepele? Oh, jadi aku yakin kalau ibu mertua hanya bersandiwara di depan orang tuaku.'Membelaku sampai menampar anaknya sendiri tapi bilang jika ini hanya masalah sepele? Untung saja bapak sudah merencanakan hal lain jadi aku bisa sedikit lega,' batinku."Besan, saya sebagai orang yang melahirkan Amira paham betul bagaimana dia. Sejak kecil dia dididik oleh saya agar menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Jika Amira sudah mengadu pada kami orang tuanya, berarti sudah bukan masalah sepele," ucap mamah dengan sorot mata tajam."Tidak, bukan begitu maksudnya. Ya sebenarnya masal
Namun nyawaku masih tertolong. Bapak mendobrak pintu kamar dan mendapatiku yang sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari pergelangan tanganku.Aku menyesali kebodohanku kala itu, dan itu juga yang membuat aku bangkit kembali.Tidak ingin berlama-lama terjerembap di dalam kubang keputusasaan, karena manik berkilau milik Firman menyadarkanku bahwa hidupku lebih berharga untuk sekedar meratapi diri.Pertemuan singkatku dengan Jaya membuat hidupku kembali berwarna, namun nahas itu juga tidak bertahan lama.Puncaknya ketika kakak iparku mulai mengungkit apa yang telah masuk ke perut aku dan Firman.Ya, selain padaku dia juga bersikap ketus pada Firman, anakku yang bahkan b
Aku mencoba mengikuti keinginan Jaya. Karena kurasa mertua dan iparku bukan orang yang tidak baik. Memang selama tinggal dirumah mertua, akupun tidak ingin berleha-leha seperti di rumah sendiri. Membereskan hampir seluruh bagian rumah juga memasak adalah tugas yang dikerjakan. Agar ibu dan kakak iparku tidak terlalu capek. Ibu tidak banyak bicara, pun dengan Kak Dina. Namun berbeda dengan kakak iparku yang satu lagi. Kak Nina selalu saja membuat kegaduhan di rumah. Awalnya aku tidak terlalu mengambil hati, namun semakin kesini sikap Kak Nina bukan hanya sekedar teriak-teriak mengkritik hasil pekerjaanku yang menurutnya tidak beres. Teriakan itu berubah menjadi makian dan hinaan yang sangat jelas Kak Nina tujukan padaku.Hampir setiap hari aku memeluk anakku sambil menangis mendengar makian dari Kak Nina. Aku tidak ingin melawan, karena aku tidak ingin membuat mertuaku kepikiran. Jika aku meng