Tiba-tiba terdengar suara seseorang menabrak pintu dengan keras, hingga membuat pintu itu terbuka dan rusak.
Arthur tersentak dari aktivitasnya mencumbu Marren. Mereka berdua sama-sama terperanjat melihat tubuh seseorang yang terpelanting menabrak pintu karena sesuatu.Arthur perlahan bangkit dan menjauh dari Marren. Pria berbadan besar itu sedang merapikan celana panjangnya saat tiba-tiba Arsan berlari menyerbu masuk dan menendang Arsan, Mendapat serangan mendadak Arsan langsung terjungkal menabrak meja, menumpahkan segala yang ada di atas meja itu dan membuat Arthur tidak bergerak.Wajah Arsan yang telah menahan amarah makin meradang saat ia menemukan Marren yang menggigil di atas ranjang dengan wajah babak belur dan perban.Apalagi saat ia melihat baju yang dikenakan Marren telah koyak tak karuan. Arsan segera berlari memeluk Marren.''Marren, Sayang..."Arsan memeluk Marren erat-erat. Dan entah bagaimana, Marren membalaMarren terbangun dengan tersentak dari tidurnya, la celingukan melihat ke sekelilingnya. la melihat suasana kamar yang serba putih dan berbau desinfektan. Dan ia baru menyadari punggung tangan kirinya telah terikat oleh selang infus.''Rumah sakit? Apa ini benar di rumah sakit? Oh Arsan, di mana dia? Ke mana orang-orang? Arsan juga, mana dia?" Baru saja Marren bangkit dari tidurnya, ia yang berencana akan beranjak mencari Arsan, tiba-tiba harus kembali duduk karena merasakan kepalanya yang berdenyut-denyut. ''Kenapa kepala Saya? Oh iya benar, kondisi Saya juga sedang kacau. Kemarin habis kecelakaan dan kena culik. Dan Arthur, ya Tuhan... Kenapa dia jadi seperti itu? Atau memang itu sisi dirinya yang sebenarnya yang tidak pernah Saya tahu?'' Gumam Marren setelah teringat serangkaian peristiwa yang mereka alami.Wanita cantik itu menitikkan air matanya saat ia kembali teringat penuturan Arthur tentang semua rahasia di balik pernikahannya dengan Ar
Arsan bergegas bangkit dari ranjang dan mendekati Arland dengan langkah-langkah panjang."Kenapa kau ada di sini? KENAPA?" Arsan menarik kerah kemeja Arland. ''Saya hanya mengantar Mommy Madya. Dia Mommy-nya Marren dan dia berhak tahu, Arsan!" bantah Arland dengan tetap bersikap tenang. Arsan mendorongnya menjauh dengan kesal. "KAU YANG MEMBUATNYA SEPERTI INI! KAU...!'' "CUKUUUUP!" pekik Madya histeris menghentikan pertikaian dua Pria bersaudara itu."Diam atau kalian pergi dari kamar ini! Lihatlah Marren!" lanjutnya di sela isaknya. Kedua Pria itu terdiam walau masih saling menatap penuh dendam. Mereka lebih memilih diam dan kembali mendekati ranjang di mana Marren kembali berbaring. Kedua pria itu berkaca-kaca saat menatap wanita paruh baya itu menciumi wajah pucat Marren yang makin terlihat makin kurus. ''Sayang... bangun, Nak. Ini Mommy, Sayang... Mommy mohon, Nak... Kamu satu-satunya kekuatan Mommy, N
Marren terbangun dari tidurnya karena merasakan getaran yang berasal dari ponsel yang ternyata ada di bawah tangannya. Tanpa sadar ia meraih ponsel itu bahkan sebelum membuka matanya dengan benar. la memencet tombol penerima sambil mengerjap-kerjapkan matanya. "Tuan muda maaf mengganggu waktu Anda, lelaki itu mati Tuan. Kami gagal membuatnya buka mulut," Marren mengerjap lebih cepat dan melongo bengong. "Kabarnya dia bunuh diri Tuan!" ''APA? SIAPA?'' pekik Marren dengan suara bergetar. Seketika telepon tiba-tiba terputus. "Hallo? Hallo? Heiii... Hallooo?" Panggil Marren dan ia baru menyadari saat menatap benda itu baik-baik, rupanya ponsel yang dipegangnya adalah ponsel milik Arsan, yang kini terbangun karena suaranya dan menatapnya dengan wajah tidak bersahabat."Em... Maaf Saya tidak sengaja, Saya tidak tahu..." ucap Marren memberikan ponsel yang ada dalam genggamannya kepada Arsan yang telah mengulurka
"Arsan, bagaimana kamu bisa tahu lokasi penculikan Saya saat itu? Sejak kemarin Saya ingat, saat itu ponsel Saya hilang entah ke mana, dan ya Saya... mulai ingat sedikit demi sedikit tentang apa yang terjadi," tanya Marren yang telah bersiap berjalan-jalan ke pantai pagi itu. "Syukurlah kalau kamu mulai mengingat semuanya tanpa rasa tertekan lagi, ternyata pilihan berlibur berdua ke pantai memang bagus, ya? Ah, dan memang kita belum sempat melakukan honeymoon sejak kita menikah, heeemmm...." Balas arsan antusias serta tersenyum puas menatap Marren yang mengenakan gaun tanpa lengan sepanjang lutut dengan motif pantai."Kamu sangat pas memakai baju itu. Ah tidak! Kamu memang selalu pas. memakai baju model apa pun. Tapi Saya lebih suka membukanya semua..." lanjutnya dengan tawa lepas. "Arsaaaan!" Pekik Marren yang menahan kesal karena pertanyaannya diabaikan oleh suaminya yang lebih fokus dengan poin pembicaraan yang lainnya bahkan mulai berpikir
"Wow, wow, wow! Bukankan ini masih terlalu pagi?" ucap Arland yang berdiri di depan pintu pondok dan membuat aktivitas Marren bersama Arsan terhenti serta membuat Arsan kalang kabut menutupi tubuh telanjang Marren. "BAJINGAN KAU ARLAND! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI? SIALAN!" maki Arsan dengan emosi. ''TAK BISAKAH KAU MENGETUK PINTU? SIALAN!" "Ya maaf saja, pintu terbuka lebar di waktu pagi begini, semua orang juga pasti berpikir kalian sedang sarapan pagi atau berjemur di luar," jawab Arland mengutarakan fakta dengan sikap tidak merasa bersalah sama sekali. Sambil mencebik ia beringsut meninggalkan pintu itu."Maaf mengganggu, lanjutkan saja Saya akan menikmati, ups sorry! Maksud Saya, Saya akan menunggu." Arland membanting pintu pondok hingga tertutup rapat. Sementara Arsan duduk, Marren yang menutupi wajahnya dengan bantal mulai membuka wajahnya perlahan."Oh... Ini memalukan.... Mau ditaruh di mana muka Saya ini? Ooohh..." keluh Marren dengan wajah merah padam. "Kenapa malu, k
Beberapa hari ini Marren merasakan kasih sayang dan rasa cinta Arsan yang berlimpah ruah padanya. Segala perhatian dan hadiah tidak pernah lekang untuk Marren, seolah mereka seperti pasangan yang baru beberapa hari menikah. Walau sempat merasa tidak enak hati, Marren mencoba mengabaikan itu agar ia bisa menaklukkan hati Arsan dan mendapatkan informasi tentang kematian Daddy dan kakeknya diam-diam. Namun sekali lagi rencana yang Marren susun harus tertunda karena ia harus menghadapi sebuah kenyataan yang membuka jati dirinya di muka umum seperti yang terlihat pagi itu. Puluhan wartawan dari berbagai media massa kini berkumpul di depan rumah mereka demi mengejar sebuah berita yang sempat menghebohkan dunia maya dalam sepekan. Marren menghela napas panjang setelah membaca sebuah berita di media sosial yang memajang foto dirinya yang sedang duduk di kursi roda dalam dorongan Axel saat mereka keluar pulau. Berita yang menghebohkan dengan foto-foto dirinya yang beredar, kini menjadi t
Marren terpekik kaget dalam perlindungan Arsan tak kala bongkahan batu yang telah melewati kaca itu menimbulkan kegaduhan dan membuat pecahan kaca itu bererakan di bawah kaki mereka. Arsan langsung memungut bongkahan batu yang dibungkus dengan kertas dan segera membuka kertas itu dengan wajah merah padam setelah membaca tulisan yang tertera di sana. PEMBUNUH! Marren membekap mulutnya dan menatap Arsan yang meremas tulisan itu. Sementara keadaan di luar makin tidak terkendali oleh kegaduhan dan beberapa orang yang berkelahi. Dengan gusar dan berjalan secepat mungkin Arsan menuju luar pagar, namun lagi-lagi di hadang oleh salah satu satpam yang berjaga. "Tuan Muda, sebaiknya jangan keluar, kita tidak tahu apalagi yang mereka bawa, lagi pula si perusuh sudah diringkus oleh pak Juan bersama gabungan sekuriti kompleks, Tuan Muda," sergah Supri melaporkan. "Begitu?" sahut Arsan singkat mendengus kesal. "Baiklah, pelakun
"Tunggu saja kau Ryzadrd!" sambung Pria itu penuh dendam menghadapkan wajahnya lurus-lurus ke kamera seraya menunjuk dengan jari telunjuk seolah ada Arsan di hadapannya, sebelum akhirnya kedua orang itu meninggalkan konferensi pers dengan diapit beberapa pengawal keamanan. Marren menatap segala perubahan raut wajah Arsan yang menghela napas panjang dengan wajah kaku dan dingin. Dengan was-was karena menunggu ledakan amarah dari suaminya seperti yang dulu-dulu sering ia lakukan jika sedikit saja ada sesuatu yang tidak beres. Akan tetapi tidak untuk kali ini. Arwana mematikan televisi dan melemparkan benda kotak pengendali jarak jauh yang digenggamnya ke atas sofa.''Axel? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Marren dengan lembut dan takut-takut. Hal itu membuat Arsan memalingkan wajahnya menatap Marren yang menatapnya dengan tatapan khawatir. Arsan mendekat kepada Marren yang duduk di tepian ranjang. Pria itu menatapnya dalam-dala
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau