Marren terbangun dari tidurnya karena merasakan getaran yang berasal dari ponsel yang ternyata ada di bawah tangannya.
Tanpa sadar ia meraih ponsel itu bahkan sebelum membuka matanya dengan benar. la memencet tombol penerima sambil mengerjap-kerjapkan matanya."Tuan muda maaf mengganggu waktu Anda, lelaki itu mati Tuan. Kami gagal membuatnya buka mulut," Marren mengerjap lebih cepat dan melongo bengong."Kabarnya dia bunuh diri Tuan!"''APA? SIAPA?'' pekik Marren dengan suara bergetar.Seketika telepon tiba-tiba terputus."Hallo? Hallo? Heiii... Hallooo?"Panggil Marren dan ia baru menyadari saat menatap benda itu baik-baik, rupanya ponsel yang dipegangnya adalah ponsel milik Arsan, yang kini terbangun karena suaranya dan menatapnya dengan wajah tidak bersahabat."Em... Maaf Saya tidak sengaja, Saya tidak tahu..." ucap Marren memberikan ponsel yang ada dalam genggamannya kepada Arsan yang telah mengulurka"Arsan, bagaimana kamu bisa tahu lokasi penculikan Saya saat itu? Sejak kemarin Saya ingat, saat itu ponsel Saya hilang entah ke mana, dan ya Saya... mulai ingat sedikit demi sedikit tentang apa yang terjadi," tanya Marren yang telah bersiap berjalan-jalan ke pantai pagi itu. "Syukurlah kalau kamu mulai mengingat semuanya tanpa rasa tertekan lagi, ternyata pilihan berlibur berdua ke pantai memang bagus, ya? Ah, dan memang kita belum sempat melakukan honeymoon sejak kita menikah, heeemmm...." Balas arsan antusias serta tersenyum puas menatap Marren yang mengenakan gaun tanpa lengan sepanjang lutut dengan motif pantai."Kamu sangat pas memakai baju itu. Ah tidak! Kamu memang selalu pas. memakai baju model apa pun. Tapi Saya lebih suka membukanya semua..." lanjutnya dengan tawa lepas. "Arsaaaan!" Pekik Marren yang menahan kesal karena pertanyaannya diabaikan oleh suaminya yang lebih fokus dengan poin pembicaraan yang lainnya bahkan mulai berpikir
"Wow, wow, wow! Bukankan ini masih terlalu pagi?" ucap Arland yang berdiri di depan pintu pondok dan membuat aktivitas Marren bersama Arsan terhenti serta membuat Arsan kalang kabut menutupi tubuh telanjang Marren. "BAJINGAN KAU ARLAND! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI? SIALAN!" maki Arsan dengan emosi. ''TAK BISAKAH KAU MENGETUK PINTU? SIALAN!" "Ya maaf saja, pintu terbuka lebar di waktu pagi begini, semua orang juga pasti berpikir kalian sedang sarapan pagi atau berjemur di luar," jawab Arland mengutarakan fakta dengan sikap tidak merasa bersalah sama sekali. Sambil mencebik ia beringsut meninggalkan pintu itu."Maaf mengganggu, lanjutkan saja Saya akan menikmati, ups sorry! Maksud Saya, Saya akan menunggu." Arland membanting pintu pondok hingga tertutup rapat. Sementara Arsan duduk, Marren yang menutupi wajahnya dengan bantal mulai membuka wajahnya perlahan."Oh... Ini memalukan.... Mau ditaruh di mana muka Saya ini? Ooohh..." keluh Marren dengan wajah merah padam. "Kenapa malu, k
Beberapa hari ini Marren merasakan kasih sayang dan rasa cinta Arsan yang berlimpah ruah padanya. Segala perhatian dan hadiah tidak pernah lekang untuk Marren, seolah mereka seperti pasangan yang baru beberapa hari menikah. Walau sempat merasa tidak enak hati, Marren mencoba mengabaikan itu agar ia bisa menaklukkan hati Arsan dan mendapatkan informasi tentang kematian Daddy dan kakeknya diam-diam. Namun sekali lagi rencana yang Marren susun harus tertunda karena ia harus menghadapi sebuah kenyataan yang membuka jati dirinya di muka umum seperti yang terlihat pagi itu. Puluhan wartawan dari berbagai media massa kini berkumpul di depan rumah mereka demi mengejar sebuah berita yang sempat menghebohkan dunia maya dalam sepekan. Marren menghela napas panjang setelah membaca sebuah berita di media sosial yang memajang foto dirinya yang sedang duduk di kursi roda dalam dorongan Axel saat mereka keluar pulau. Berita yang menghebohkan dengan foto-foto dirinya yang beredar, kini menjadi t
Marren terpekik kaget dalam perlindungan Arsan tak kala bongkahan batu yang telah melewati kaca itu menimbulkan kegaduhan dan membuat pecahan kaca itu bererakan di bawah kaki mereka. Arsan langsung memungut bongkahan batu yang dibungkus dengan kertas dan segera membuka kertas itu dengan wajah merah padam setelah membaca tulisan yang tertera di sana. PEMBUNUH! Marren membekap mulutnya dan menatap Arsan yang meremas tulisan itu. Sementara keadaan di luar makin tidak terkendali oleh kegaduhan dan beberapa orang yang berkelahi. Dengan gusar dan berjalan secepat mungkin Arsan menuju luar pagar, namun lagi-lagi di hadang oleh salah satu satpam yang berjaga. "Tuan Muda, sebaiknya jangan keluar, kita tidak tahu apalagi yang mereka bawa, lagi pula si perusuh sudah diringkus oleh pak Juan bersama gabungan sekuriti kompleks, Tuan Muda," sergah Supri melaporkan. "Begitu?" sahut Arsan singkat mendengus kesal. "Baiklah, pelakun
"Tunggu saja kau Ryzadrd!" sambung Pria itu penuh dendam menghadapkan wajahnya lurus-lurus ke kamera seraya menunjuk dengan jari telunjuk seolah ada Arsan di hadapannya, sebelum akhirnya kedua orang itu meninggalkan konferensi pers dengan diapit beberapa pengawal keamanan. Marren menatap segala perubahan raut wajah Arsan yang menghela napas panjang dengan wajah kaku dan dingin. Dengan was-was karena menunggu ledakan amarah dari suaminya seperti yang dulu-dulu sering ia lakukan jika sedikit saja ada sesuatu yang tidak beres. Akan tetapi tidak untuk kali ini. Arwana mematikan televisi dan melemparkan benda kotak pengendali jarak jauh yang digenggamnya ke atas sofa.''Axel? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Marren dengan lembut dan takut-takut. Hal itu membuat Arsan memalingkan wajahnya menatap Marren yang menatapnya dengan tatapan khawatir. Arsan mendekat kepada Marren yang duduk di tepian ranjang. Pria itu menatapnya dalam-dala
"Marren.... Sayang?"Marren tersentak kaget bukan kepalang karena melihat Arsan yang tiba-tiba berdiri di depan pintu ruangan. Jantung karena serasa berhenti berdetak untuk sesaat."Arsan?" sahut Marren tersentak kaget seraya meletakkan tumpukan kertas yang berserakan di tangannya."Sayap sedang bosan saja!" lanjutnya menutupi gugup dengan mengendikan bahunya. Arsan mendekat dan meraih kertas-kertas yang berserakan di meja. Setelah membaca sepintas ia kembali meletakkannya dalam tumpukan yang di buat Marren. ''Berkas pajak yang sudah tidak terpakai," gumam Arsan mengernyitkan wajahnya. "Saya tidak tahu, aku hanya bosan lalu ingin kemari untuk menemukan buku. bacaan, saat Saya duduk di sini dan membuka laci semua berhamburan begitu saja, benar-benar merepotkan. Apa sekretaris kantormu tidak bisa melakukannya dengan benar? Oh, rasa-rasanya Saya selalu ada waktu jika sekedar membersihkan lembaran-lembaran tidak terpakai
"Dia... Icha?" Marren mendekat memastikan, "Arsan, apa yang telah kamu lakukan? Apa dia mati? Arsaaaan!" pekik Marren panik bukan kepalang. Arsan dengan anggukan kepalanya memerintahkan seorang pengawal Pria yang berjaga di situ untuk membangunkan Icha yang tertidur. Pria berjas hitam itu bergegas mendekati Icha dan menepuk-nepuk pundak gadis itu agar ia terbangun. Tidak lama Icha terbangun dengan wajah mengernyit bingung dan wajahnya berubah syok saat melihat dua sosok berdiri di hadapannya. ''Aaah... Arsan, Sayang...! Marren... tolong aku!" pekik Icha dengan wajah memelas memohon-mohon. Namun hanya disambut tatapan dingin oleh Arsan. "Tenang saja, Saya akan melepaskanmu jika kamu mengakui semua perbuatanmu di hadapan istri Saya," ucap Arsan bersedekap dengan sikap tegas dan antipati. ''Ada apa ini?" tanya Marren dengan wajah tercekat menatap Arsan dan Icha bergantian. Arsan menganggukkan kepalanya pad
"Marren...!" pekik Arsan melihat Marren tertimpa tubuh Icha yang masih terikat pada kursi kayu dan kesakitan. Spontan seoarang pengawal yang tersisa menyeret lengan Icha menjauh dari Marren dan mendudukkan wanita itu dengan kasar. Sementara Arsan menolong Marren dari rebahnya dan melihat pipi tembem Marren yang berdarah tergores gigi Icha."DASAR RUBAH BETINA TIDAK TAHU DIRI!" Amuk Arsan sangat marah dan menampar Icha dengan keras. "AAGHK!" pekik Icha kesakitan. Darah segar mengucur di sudut bibir wanita itu dan membuatnya memekik kesakitan. "AKU BENCI KAU MARREN! AKU BENCIIIII...! KENAPA KAU HARUS HIDUP! KENAPA KAU HARUS ADA...!" raung Icha dengan histeris. "Sumpal mulutnya, jangan beri dia makan sampai Polisi datang menjemputnya!" ucap Arsan dengan geram pada pengawalnya. Prua tampan itu sangat geram hingga ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Kalau kau bukan perempuan sudah Saya hancurkan wajahmu yang menyebalkan itu, kau tahu!" geram Arsan menepuk-nepuk kepala Icha dan mem