enjoy reading ...
“Jadi, maksudnya, Om minta saya menceraikan Lilyah sekarang juga? Di depan Om dan Tante?” tanya Lois dengan ekspresi tenang. Kepala Papa mengangguk dengan tatapan intens memandang wajah Lois. “Sekarang juga.” “Kalau boleh saya tahu, apa alasan Om ingin menikahkan Lilyah dengan Ishak?” “Aku nggak mau jawab. Nanti dikira aku ini orang tua yang nggak tahu terima kasih sama kamu.” Lois tersenyum miring lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Saya sudah kenyang dihina kalau Om belum tahu.” “Apapun itu alasannya, itu privasiku, Lois. Kamu cukup ngikuti apa yang aku suruh.” “Sayangnya, perjanjian kita cuma sampai saya membawa Lilyah pergi dari rumah ini. Bukan menuruti perintah Om hingga sejauh ini. Apalagi mengikuti keinginan Om untuk menceraikan Lilyah.” Papa memasang wajah kesal karena Lois mendebatnya dengan cara yang santai dan tenang. Bagaimana bisa, seniman recehan seperti dirinya bisa setenang ini menghadapi perdebatan dengan Papa. Apakah sebelumnya dia sering berdebat
“Lho? Ngapain kita ke sini, Lois?” Bukan kontrakan tempat Lois menurunkan penyangga motornya, melainkan di sebuah taman yang berdekatan dengan waduk di tengah kota di daerah Pulo Gadung. Meski jarum jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam, tapi taman ini tidak benar-benar sepi. Kebanyakan sejoli muda memilih menghabiskan malamnya disini. Tangan Lois bergerak menarik pergelangan tanganku lalu kami melangkah bersama hingga ke tepi danau. Sepintas hembusan angin malam itu lembut menyapu wajah kami berdua kemudian duduk di atas rerumputan tanpa alas. “Ngapain kamu ngajak aku kemari?” “Jenuh di kontrakan,” ucapnya sambil menatap jauh ke depan. Kedua tangannya ditumpukan memanjang ke depan di atas kedua lutut. Berulang kali pula Lois menghela nafas panjang dengan ekspresi kesal. Aku tahu ini pasti ada hubungannya dengan ucapan Papa tadi. “Lois, maafin Papaku ya? Kata-katanya tadi benar-benar kasar.” “Aku heran, dimana rasa terima kasihnya Papamu itu ke aku. Padahal selama ini aku
Bukannya menjawab untaian kata rindu yang Ishak ucapkan, namun aku justru teringat dengan apa yang Papa katakan semalam. Tentang Ishak yang berniat akan menikahiku kembali. Aku ingin sekali mengetahui segalanya. "Oke, nanti kita makan siang bareng, Shak."Terdengar helaan nafas senang dari suara Ishak. "Oke, Ly. Kamu yang tentuin restaurantnya juga boleh.""Oke, Shak. Ya udah aku mau kerja dulu.""I miss you, Ly."Aku canggung harus menjawab apa ungkapan rindu Ishak itu namun akan lebih baik jika tidak tergesa-gesa. Jadi, lebih baik aku berucap ..."Kabari aku kalau udah di depan kantor."***Jantungku masih sama berdetak tidak karuannya seperti awal bertemu Ishak. Tidak ada yang berubah sebenarnya tentang kadar cinta ini padanya andai tidak ada Lois disisiku.Tapi entah mengapa jika Lois berada di dekatku, perasaan cinta untuk Ishak selalu berkurang drastis. Seakan-akan Lois menyerapnya begitu saja dan membuangnya. "Maaf, Shak, lama. Tadi ada sedikit kendala di kantor," ucapku pad
"Kok nggak dihabisin roti bakarnya? Apa nggak enak?" Aku menggeleng pelan lalu memilih mengambil secangkir teh tidak terlalu manis buatan Lois yang tersaji di atas meja kayu kecil pendek ini. Meneguk teh itu hingga tandas lalu mengusap sudut bibir dengan tisyu. Kemudian bangkit dari duduk bersila di atas karpet hijau yang melapisi lantai ruang tamu kontrakan kami. "Bisa berangkat sekarang, Lois?" Lois yang masih duduk beralaskan karpet hijau itu kemudian meraih sisa roti bakarku yang tersisa setengah lalu memakannya begitu saja. Aku sedikit tergelak dengan sikapnya namun Lois mengunyahnya dengan seksama tanpa mempedulikan keterkejutanku. Kemudian kepalanya mendongak menatapku, "Enak sih menurutku, Ly. Nggak manis banget. Tapi kenapa kamu nggak habisin?" "Udah deh, Lois. Aku mau berangkat sekarang." Lois tetap menatapku hingga ia bangkit berdiri tinggi menjulang di hadapanku. Kedua sorot matanya memindai ekspresi wajahku lekat-lekat tapi aku memilih berlalu keluar kontrakan. Alas
"Lois brengsek!" umpatku sambil berjalan dan mengusap air mata yang meleleh tak karuan di pipi. Emosi yang tadi terpendam kini berubah menjadi isakan kecil tertahan begitu melenggang keluar dari kontrakan. Bahkan aku lupa memesan ojek online untuk mengantarku menuju kantor karena sibuk menguras habis emosi ini. Ciumannya di bibir masih terasa bebal meski berulang kali telah kuusap dengan tisyu hingga membuat hilang lipstick yang terpoles. Tidak ada rasa bahagia dicium suami sendiri, melainkan merasa sangat jijik. Maklum tidak ada cinta dihatiku untuk Lois.Hingga langkahku terhenti begitu melihat Ishak berdiri di dekat mobilnya yang gagah sambil menatap ke arahku. Sejak kapan dia berada di depan minimarket tempat biasanya ia menurunkanku? Dan mengapa dia ada disana?Apakah dia memiliki urusan dengan orang lain atau denganku?Ah ... mengapa aku besar rasa dengan menganggap Ishak datang untukku? Belum tentu ia datang untukku kan?!Toh sedari kemarin hingga pagi tadi ia tidak menghubung
Gia dan Nina menatapku dengan sorot terkejut begitu langkah cepat dan lebar kakiku menapaki lantai ruangan khusus staf customer service. Kemudian Gia menatap jam di pergelangan tangannya dan menatapku dengan sorot keheranan."Ly, lo telat setengah jam. Lo bangun kesiangan?" tanya Gia, teman satu staf customer service.Aku bergegas duduk di kursi kerja lalu menyalakan laptop kantor dengan cepat dan memasang headset. "Tapi, kok lo tetep bisa masuk kantor, Ly? Gue dulu ketinggalan lima menit aja nggak bisa masuk kantor lalu disuruh pulang. Besoknya kena tegur dan gaji dipotong," Nina menambahi.Aku menoleh lalu menatap keduanya bergantian degan sorot keheranan dan terkejut."Yang bener lo, Nin? Masak telat lima menit nggak dibolehin masuk?" Kepalanya menggeleng tegas. "Nggak sama sekali, Ly. Dan gue sekarang bingung kenapa lo yang telat setengah jam malah bisa masuk kantor?!" Tadi, setelah Ishak menurunkanku di depan pintu pagar kantor yang sudah dijaga dua satpam, tetiba saja mereka
Melawan restu itu perbuatan nekat! Dan belum tentu aku bisa meraih kebahagiaan selayaknya mereka yang mendapat restu. “Ly, kok bengong? Ada apa?” Kini Ishak tengah mengantarku pulang ke kontrakan usai bertamu dari rumah kedua orang tuaku. “Shak, apa kamu yakin hubungan pernikahan tanpa restu itu akan menemui kebahagiaan?” Dia tidak serta merta langsung menjawab namun ada jeda berpikir sejenak dengan tetap fokus mengemudikan mobil. “Kita cuma perlu berjuang bersama, Ly. Soal restu orang tua, biar itu jadi urusanku. Kamu nggak usah khawatir. Yang penting itu orang tuamu ngasih restu karena Papamu yang bakal jadi wali nikah.” Lalu ia tersenyum padaku namun tidak membuat hati ini melega. Masih saja ada ganjalan yang membuat aku meragu. “Shak, bukankah restu orang tua itu penting? Sekalipun kedua orang tuamu bukan jadi wali nikah, tapi nggak ada ceritanya pernikahan tanpa restu akan berakhir bahagia.” “Lalu, kalau kita saling mencintai, apa iya harus berpisah masalah restu yang alas
"Shak, aku takut," gumamku lirih begitu menatap pagar rumah orang tua Ishak. Ishak tersenyum tipis lalu mengambil tangan kananku dan meremasnya lembut. Seakan mengirimkan pesan dan semangat jika semua bisa dilalui bersama. "Nggak apa-apa, Ly. Ada aku. Kita cuma perlu yakin kalau bisa melalui ini semua dengan baik." Dua hari setelah pergi dari kontrakan yang biasa kutinggal bersama Lois, aku telah memutuskan untuk kembali tinggal bersama Mama dan Papa di rumah. Tanpa Vela diantara kami. Namun selama dua hari itu pula, aku tidak pernah sekalipun melupakan Lois. Semua hal yang dilakukan lelaki itu ketika tinggal bersamaku, masih terekam jelas dan hafal sekali alurnya. Rasa bersalah ini pun masih mendominasi tapi aku sadar diri bahwa kini kami tak ubah seperti orang lain. Lalu sekarang, Ishak mengajakku bertemu kedua orang tuanya tanpa membuat janji. Dengan alasan memberi kejutan. Padahal kedua orang tuanya tidak mau bertemu denganku karena pintu restu mereka untuk anak-anak Papa tida