enjoy reading ...
"Ly, maafin Papa ya, Nak?" Permintaan maaf dari bibir Papa terucap begitu lirih dengan sorot sendu yang membuat hatiku mengiba. Aku sadar betul jika kesalahan yang Papa perbuat itu tidak sebanding dengan pengorbanan beliau membesarkanku. Lagi pula, jelas sekali jika yang membuat ikatan kekeluargaan di rumah ini hancur adalah Vela, adikku. Anak kedua Papa. "Kenapa kamu diam aja? Apa Papa nggak dimaafin?" Aku meremas kedua tangan yang berada di atas paha dengan perasaan campur aduk. "Aku ... udah maafin, Pa." Kedua mata Papa dan Mama berbinar bahagia mendengar aku memberi maaf. Ekspresi sendu yang tadi tercetak, kini menghilang sempurna. "Makasih, Ly." Kemudian Papa mendekat dan memelukku erat lalu tangis harunya membuatku ikut menitikkan air mata. Bahwa tidak akan usai sebuah perdebatan keluarga jika tidak ada salah satu yang mengalah. Dan aku cukup sadar diri untuk menjadi anak yang berbakti. Setelah momen kami saling berurai air mata, Papa bersikap sangat ramah padaku. S
“Jadi, maksudnya, Om minta saya menceraikan Lilyah sekarang juga? Di depan Om dan Tante?” tanya Lois dengan ekspresi tenang. Kepala Papa mengangguk dengan tatapan intens memandang wajah Lois. “Sekarang juga.” “Kalau boleh saya tahu, apa alasan Om ingin menikahkan Lilyah dengan Ishak?” “Aku nggak mau jawab. Nanti dikira aku ini orang tua yang nggak tahu terima kasih sama kamu.” Lois tersenyum miring lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Saya sudah kenyang dihina kalau Om belum tahu.” “Apapun itu alasannya, itu privasiku, Lois. Kamu cukup ngikuti apa yang aku suruh.” “Sayangnya, perjanjian kita cuma sampai saya membawa Lilyah pergi dari rumah ini. Bukan menuruti perintah Om hingga sejauh ini. Apalagi mengikuti keinginan Om untuk menceraikan Lilyah.” Papa memasang wajah kesal karena Lois mendebatnya dengan cara yang santai dan tenang. Bagaimana bisa, seniman recehan seperti dirinya bisa setenang ini menghadapi perdebatan dengan Papa. Apakah sebelumnya dia sering berdebat
“Lho? Ngapain kita ke sini, Lois?” Bukan kontrakan tempat Lois menurunkan penyangga motornya, melainkan di sebuah taman yang berdekatan dengan waduk di tengah kota di daerah Pulo Gadung. Meski jarum jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam, tapi taman ini tidak benar-benar sepi. Kebanyakan sejoli muda memilih menghabiskan malamnya disini. Tangan Lois bergerak menarik pergelangan tanganku lalu kami melangkah bersama hingga ke tepi danau. Sepintas hembusan angin malam itu lembut menyapu wajah kami berdua kemudian duduk di atas rerumputan tanpa alas. “Ngapain kamu ngajak aku kemari?” “Jenuh di kontrakan,” ucapnya sambil menatap jauh ke depan. Kedua tangannya ditumpukan memanjang ke depan di atas kedua lutut. Berulang kali pula Lois menghela nafas panjang dengan ekspresi kesal. Aku tahu ini pasti ada hubungannya dengan ucapan Papa tadi. “Lois, maafin Papaku ya? Kata-katanya tadi benar-benar kasar.” “Aku heran, dimana rasa terima kasihnya Papamu itu ke aku. Padahal selama ini aku
Bukannya menjawab untaian kata rindu yang Ishak ucapkan, namun aku justru teringat dengan apa yang Papa katakan semalam. Tentang Ishak yang berniat akan menikahiku kembali. Aku ingin sekali mengetahui segalanya. "Oke, nanti kita makan siang bareng, Shak."Terdengar helaan nafas senang dari suara Ishak. "Oke, Ly. Kamu yang tentuin restaurantnya juga boleh.""Oke, Shak. Ya udah aku mau kerja dulu.""I miss you, Ly."Aku canggung harus menjawab apa ungkapan rindu Ishak itu namun akan lebih baik jika tidak tergesa-gesa. Jadi, lebih baik aku berucap ..."Kabari aku kalau udah di depan kantor."***Jantungku masih sama berdetak tidak karuannya seperti awal bertemu Ishak. Tidak ada yang berubah sebenarnya tentang kadar cinta ini padanya andai tidak ada Lois disisiku.Tapi entah mengapa jika Lois berada di dekatku, perasaan cinta untuk Ishak selalu berkurang drastis. Seakan-akan Lois menyerapnya begitu saja dan membuangnya. "Maaf, Shak, lama. Tadi ada sedikit kendala di kantor," ucapku pad
"Kok nggak dihabisin roti bakarnya? Apa nggak enak?" Aku menggeleng pelan lalu memilih mengambil secangkir teh tidak terlalu manis buatan Lois yang tersaji di atas meja kayu kecil pendek ini. Meneguk teh itu hingga tandas lalu mengusap sudut bibir dengan tisyu. Kemudian bangkit dari duduk bersila di atas karpet hijau yang melapisi lantai ruang tamu kontrakan kami. "Bisa berangkat sekarang, Lois?" Lois yang masih duduk beralaskan karpet hijau itu kemudian meraih sisa roti bakarku yang tersisa setengah lalu memakannya begitu saja. Aku sedikit tergelak dengan sikapnya namun Lois mengunyahnya dengan seksama tanpa mempedulikan keterkejutanku. Kemudian kepalanya mendongak menatapku, "Enak sih menurutku, Ly. Nggak manis banget. Tapi kenapa kamu nggak habisin?" "Udah deh, Lois. Aku mau berangkat sekarang." Lois tetap menatapku hingga ia bangkit berdiri tinggi menjulang di hadapanku. Kedua sorot matanya memindai ekspresi wajahku lekat-lekat tapi aku memilih berlalu keluar kontrakan. Alas
"Lois brengsek!" umpatku sambil berjalan dan mengusap air mata yang meleleh tak karuan di pipi. Emosi yang tadi terpendam kini berubah menjadi isakan kecil tertahan begitu melenggang keluar dari kontrakan. Bahkan aku lupa memesan ojek online untuk mengantarku menuju kantor karena sibuk menguras habis emosi ini. Ciumannya di bibir masih terasa bebal meski berulang kali telah kuusap dengan tisyu hingga membuat hilang lipstick yang terpoles. Tidak ada rasa bahagia dicium suami sendiri, melainkan merasa sangat jijik. Maklum tidak ada cinta dihatiku untuk Lois.Hingga langkahku terhenti begitu melihat Ishak berdiri di dekat mobilnya yang gagah sambil menatap ke arahku. Sejak kapan dia berada di depan minimarket tempat biasanya ia menurunkanku? Dan mengapa dia ada disana?Apakah dia memiliki urusan dengan orang lain atau denganku?Ah ... mengapa aku besar rasa dengan menganggap Ishak datang untukku? Belum tentu ia datang untukku kan?!Toh sedari kemarin hingga pagi tadi ia tidak menghubung
Gia dan Nina menatapku dengan sorot terkejut begitu langkah cepat dan lebar kakiku menapaki lantai ruangan khusus staf customer service. Kemudian Gia menatap jam di pergelangan tangannya dan menatapku dengan sorot keheranan."Ly, lo telat setengah jam. Lo bangun kesiangan?" tanya Gia, teman satu staf customer service.Aku bergegas duduk di kursi kerja lalu menyalakan laptop kantor dengan cepat dan memasang headset. "Tapi, kok lo tetep bisa masuk kantor, Ly? Gue dulu ketinggalan lima menit aja nggak bisa masuk kantor lalu disuruh pulang. Besoknya kena tegur dan gaji dipotong," Nina menambahi.Aku menoleh lalu menatap keduanya bergantian degan sorot keheranan dan terkejut."Yang bener lo, Nin? Masak telat lima menit nggak dibolehin masuk?" Kepalanya menggeleng tegas. "Nggak sama sekali, Ly. Dan gue sekarang bingung kenapa lo yang telat setengah jam malah bisa masuk kantor?!" Tadi, setelah Ishak menurunkanku di depan pintu pagar kantor yang sudah dijaga dua satpam, tetiba saja mereka
Melawan restu itu perbuatan nekat! Dan belum tentu aku bisa meraih kebahagiaan selayaknya mereka yang mendapat restu. “Ly, kok bengong? Ada apa?” Kini Ishak tengah mengantarku pulang ke kontrakan usai bertamu dari rumah kedua orang tuaku. “Shak, apa kamu yakin hubungan pernikahan tanpa restu itu akan menemui kebahagiaan?” Dia tidak serta merta langsung menjawab namun ada jeda berpikir sejenak dengan tetap fokus mengemudikan mobil. “Kita cuma perlu berjuang bersama, Ly. Soal restu orang tua, biar itu jadi urusanku. Kamu nggak usah khawatir. Yang penting itu orang tuamu ngasih restu karena Papamu yang bakal jadi wali nikah.” Lalu ia tersenyum padaku namun tidak membuat hati ini melega. Masih saja ada ganjalan yang membuat aku meragu. “Shak, bukankah restu orang tua itu penting? Sekalipun kedua orang tuamu bukan jadi wali nikah, tapi nggak ada ceritanya pernikahan tanpa restu akan berakhir bahagia.” “Lalu, kalau kita saling mencintai, apa iya harus berpisah masalah restu yang alas
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.