enjoy reading ...
Lois marah! Itulah yang terjadi. Entah mengapa tetiba dia marah padaku? Ataukah sebelumnya dia sudah marah dengan Rily namun hal itu terbawa hingga kontrakan dan berimbas padaku? Aku hanya bisa menghela nafas sabar ketika dia bersikap cuek padaku. Bahkan saat dia mengantarku menuju kos Nathasya, betapa ugal-ugalannya Lois ini. Dia mengemudikan motor dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata padahal jalanan sedang ramai. "Lois! Aku belum mau mati!" Bentakanku akhirnya membuat Lois memelankan laju motor hingga sampai di kos Nathasya. Bila biasanya dia akan mengucap salam berpamitan, maka tidak dengan kali ini. Dia langsung melajukan motornya menuju cafe and restaurant tempatnya bekerja dengan gitar andalan. "Kenapa, Ly? Cemberut amat?" tanya Nathasya ketika aku baru membuka pintu kamarnya lalu duduk di sebelahnya. "Lois, entah kerasukan setan apa tuh anak ngebut banget di jalanan! Kalau ada masalah sama Rily kenapa pelampiasannya ke gue?!" gerutuku. "Kak Lois lagi berantem sa
Perang dingin antara aku dan Lois masih berlanjut hingga esok pagi saat aku sudah bersiap akan berangkat bekerja. Biasanya, Lois akan menyiapkan sarapan kecil untukku, tapi tidak dengan kali ini. Dia acuh dan lebih suka memetik senar gitarnya berulang kali dengan memperhatikan cord yang terpampang di ponsel. Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang. “Marah sama siapa? Dilampiasin ke siapa?” gerutuku sambil memperhatikan penampilan di depan kaca cermin rias. “Bodoh amat lah!” Kemudian aku menyambar tas kerja lalu keluar dari kamar. Benar saja, dia masih asyik memetik senar gitar dari kunci salah satu lagu yang tidak kuketahui dengan melakukan sambungan video call. Senyumnya ketika diajak berbicara dengan lawan bicara pun terkembang lembut. Rily kah yang menghubungi? Begitu aku memasuki ruang tamu sambil menenteng tas kerja, dia mendongak menatapku sekilas lalu kembali tersenyum pada layar ponselnya. “Nanti aku telfon lagi. Bye.” Kemudian Lois mengambil headset nirkabel yang te
“Nunggu lama?” Kepalaku menggeleng pelan, “Barusan aja.” Ishak kemudian membukakan pintu mobilnya untukku kemudian kembali ke kursi kemudi. Tidak lupa memberi seulas senyum hingga jantungku berdetak lebih kencang. “Mau makan siang dimana?” tanyanya lagi dengan fokus mengemudi. “Ehm … terserah kamu aja, Shak.” Ya, tadi Ishak menghubungi jika ingin mengajakku makan siang bersama untuk melanjutkan obrolan kami kemarin yang belum usai. Alhasil, acara makan siangku bersama rekan-rekan staff customer service terbatalkan. Ishak menawarkan makan siang dan aku tidak bisa menolak ajakannya. Apalagi kalau bukan karena masih ada cinta dan hati ini terasa berbunga. Bahkan aku tidak lagi fokus dengan ucapan rekan-rekan yang sedang membahas pesona putra Pak Presdir yang kami jumpai di lobby. Lalu mobil Ishak berhenti di café and restaurant tempat kami pertama kali bertemu. Kepalaku langsung menoleh ke arahnya yang lagi-lagi hanya menguarkan senyum indah lalu keluar dari mobil dan membukakan p
Aku mengangsurkan ponsel pada Ishak dengan senang hati. “Silahkan. Terserah kamu mau bicara apa aja sama Vela.” Yang sedang menghubungiku adalah Vela, adikku. Perempuan yang merebut calon tunanganku, Ishak, dengan cara yang tidak bermartabat. Aku ingin tahu sedalam apa Ishak menyatakan ketidaksukaannya pada Vela yang jelas-jelas membuat kami harus terpisah dengan hati yang sama terluka. Dan di depanku, tanpa pergi kemanapun, Ishak mengangkat panggilan Vela dengan tatapan tertuju padaku. Gurat wajah serius dengan menahan amarah tercetak jelas di wajahnya. Mungkin jika mereka bertemu, aku dengan senang hati akan menjadi penonton setia hingga pertikaian usai. Setelah menggeser tombol hijau di layar ponselku, Ishak memperbesar suara panggilan. Dan seketika … “Kak Lilyah! Dimana kamu!?” tetiba saja Vela berteriak marah. Namun Ishak dan aku sepakat tidak bersuara lebih dulu. “Hei! Kamu budek, Kak?! Jawab pertanyaanku, bego!” Mendengar Vela mengumpat sekasar itu padaku, Ishak makin m
"Mau makan dulu, Ly?" tanya Ishak sambil fokus mengemudi. Akhirnya aku menerima tawarannya mengantarkanku pulang dari pada harus memesan ojek online. "Ehm ... nggak usah, Shak. Nanti kemalaman." Pikirku, akan sangat bahaya sekali jika Lois mencurigai kepulanganku yang terlambat. Bagaimanapun aku telah berjanji padanya tidak akan kembali pada Ishak sekalipun ia membatalkan pertunangannya dengan Vela. "Oke. Oh ya, apa Vela tadi ngirim pesan lagi ke kamu?" Kepalaku mengangguk pelan, "Tapi nggak kubalas. Karena isinya pasti cacian dan hinaan." Bibir Ishak berdecak kesal setelahnya, "Anak itu nggak bisa dikasih tahu pakai mulut ternyata!" "Jangan diladenin, Shak. Vela emang anaknya ambisius. Biarin aja." "Kalau ada apa-apa segera bilang aku, Ly." Kepalaku kembali mengangguk lalu detik kemudian, ponselku berdering dan itu berasal dari Mama. Kupikir Lois yang menghubungi tapi ternyata bukan. "Halo, Ma?" "Halo, Ly. Kamu dimana, Nak?" Ekor mataku melirik Ishak yang tetap fokus me
Akhirnya aku mempersilahkan Lois menggunakan kamar mandi lebih dulu karena pertanyaannya membuatku seperti kucing ketahuan mencuri ikan. Ya, aku takut Lois mengetahui hubunganku dengn Ishak yang kini mulai membaik. Apalagi mantan tunanganku itu dengan terang-terangan mengatakan jika ia ingin kembali merajut hubungan lama kami dan bersedia mengambil alih tugas Lois sebagai seorang suami. Alhasil, karena hari juga sudah terlalu malam, akhirnya aku dan Lois memilih melelapkan diri di pembaringan masing-masing. Dengan tersisa tanya di benak ini. Apakah Lois tidak bekerja malam ini? Dari mana kah dia hingga selarut ini? *** Hari masih pagi namun Ishak sudah mengirim pesan yang manis untukku. [Pesan dari Ishak : Ly, mau berangkat ke kantor bareng?] Ya Tuhan, mengapa Ishak memberi penawaran yang membuat hati ini senang sekaligus cemas. Bagaimanapun aku ini masih lah istri Lois. Jika bersama lelaki lain bukankah itu artinya ... selingkuh? Aduh ... bagaimana ini? Ketika aku sudah bersi
"Kalau mau balik sama mantan, seengaknya bicara bak-baik sama cowok lo yang baru kalau hati lo masih buat si mantan. Meski itu bakal nyakitin dia sih, Ly." "Masak sih, Gi?" "Lha terus? Emang selama ini kalian pacaran tanpa cinta gitu? Atau cuma asal bareng aja?" Aku bingung bagaimana menjelaskan pada Gia. Karena baik aku dan Lois sama-sama terikat dalam pernikahan tanpa didasari cinta. Hanya sekedar saling membutuhkan saja. Namun, belakangan ini justru aku yang sangat membutuhkannya, berbanding terbalik dengan dia yang seolah-olah bisa melakukan semua sendiri tanpaku. "Ehm ... aku ... jalan sama dia karena ... " Gia menyela cepat, "Untuk mengisi kekosongan gitu? Pelampiasan sakit hati?" Tebakannya tidak sepenuhnya salah juga tidak sepunuhnya benar. "Nggak gitu juga, Gi. Tahu lah, bingung gue bilangnya." "Tapi maaf-maaf ya, Ly. Mantan kalau udah mantan ya tetep aja mantan. Balikan lagi belum tentu sebaik yang baru. Meski lo butuh waktu untuk nerima yang baru." "Jadi, lo setuju
Sakit rasanya ketika Lois akhirnya memilih meninggalkanku sendirian di kontrakan. Mana mungkin penderita autophobia sepertiku berani melawan ketakutan berada di ruangan seorang diri? Aku pernah mencoba melawan ketakutan itu dulu namun yang ada aku berteriak histeris meminta tolong. Kini, jika Lois meninggalkanku seorang diri, lalu aku harus kemana untuk mencari teman? Meminta Mbak Indri untuk menemaniku lagi itu bukanlah solusi. Ia juga memiliki keluarga untuk diurus, bukan hanya sekedar menemaniku hingga larut malam. "Kamu jahat, Lois," gumamku lalu menyeka air mata. "Kamu nggak bilang apa salahku tapi mainmu jelek kayak gini! Mentang-mentang aku punya autophobia dan biasa tergantung sama kamu, lalu kamu beginiin!" Membiarkan kontrakan tetap gelap, akhirnya aku menghubungi Nathasya, satu-satunya teman yang bisa kuminta perlindungan. Dia tahu jika aku memiliki autophobia. "Halo, Ly? Ada apa?" tanyanya dari sambungan telfon. Namun sepertinya Nathasya sedang berada di tempat yan