enjoy reading ...
Aku mengangsurkan ponsel pada Ishak dengan senang hati. “Silahkan. Terserah kamu mau bicara apa aja sama Vela.” Yang sedang menghubungiku adalah Vela, adikku. Perempuan yang merebut calon tunanganku, Ishak, dengan cara yang tidak bermartabat. Aku ingin tahu sedalam apa Ishak menyatakan ketidaksukaannya pada Vela yang jelas-jelas membuat kami harus terpisah dengan hati yang sama terluka. Dan di depanku, tanpa pergi kemanapun, Ishak mengangkat panggilan Vela dengan tatapan tertuju padaku. Gurat wajah serius dengan menahan amarah tercetak jelas di wajahnya. Mungkin jika mereka bertemu, aku dengan senang hati akan menjadi penonton setia hingga pertikaian usai. Setelah menggeser tombol hijau di layar ponselku, Ishak memperbesar suara panggilan. Dan seketika … “Kak Lilyah! Dimana kamu!?” tetiba saja Vela berteriak marah. Namun Ishak dan aku sepakat tidak bersuara lebih dulu. “Hei! Kamu budek, Kak?! Jawab pertanyaanku, bego!” Mendengar Vela mengumpat sekasar itu padaku, Ishak makin m
"Mau makan dulu, Ly?" tanya Ishak sambil fokus mengemudi. Akhirnya aku menerima tawarannya mengantarkanku pulang dari pada harus memesan ojek online. "Ehm ... nggak usah, Shak. Nanti kemalaman." Pikirku, akan sangat bahaya sekali jika Lois mencurigai kepulanganku yang terlambat. Bagaimanapun aku telah berjanji padanya tidak akan kembali pada Ishak sekalipun ia membatalkan pertunangannya dengan Vela. "Oke. Oh ya, apa Vela tadi ngirim pesan lagi ke kamu?" Kepalaku mengangguk pelan, "Tapi nggak kubalas. Karena isinya pasti cacian dan hinaan." Bibir Ishak berdecak kesal setelahnya, "Anak itu nggak bisa dikasih tahu pakai mulut ternyata!" "Jangan diladenin, Shak. Vela emang anaknya ambisius. Biarin aja." "Kalau ada apa-apa segera bilang aku, Ly." Kepalaku kembali mengangguk lalu detik kemudian, ponselku berdering dan itu berasal dari Mama. Kupikir Lois yang menghubungi tapi ternyata bukan. "Halo, Ma?" "Halo, Ly. Kamu dimana, Nak?" Ekor mataku melirik Ishak yang tetap fokus me
Akhirnya aku mempersilahkan Lois menggunakan kamar mandi lebih dulu karena pertanyaannya membuatku seperti kucing ketahuan mencuri ikan. Ya, aku takut Lois mengetahui hubunganku dengn Ishak yang kini mulai membaik. Apalagi mantan tunanganku itu dengan terang-terangan mengatakan jika ia ingin kembali merajut hubungan lama kami dan bersedia mengambil alih tugas Lois sebagai seorang suami. Alhasil, karena hari juga sudah terlalu malam, akhirnya aku dan Lois memilih melelapkan diri di pembaringan masing-masing. Dengan tersisa tanya di benak ini. Apakah Lois tidak bekerja malam ini? Dari mana kah dia hingga selarut ini? *** Hari masih pagi namun Ishak sudah mengirim pesan yang manis untukku. [Pesan dari Ishak : Ly, mau berangkat ke kantor bareng?] Ya Tuhan, mengapa Ishak memberi penawaran yang membuat hati ini senang sekaligus cemas. Bagaimanapun aku ini masih lah istri Lois. Jika bersama lelaki lain bukankah itu artinya ... selingkuh? Aduh ... bagaimana ini? Ketika aku sudah bersi
"Kalau mau balik sama mantan, seengaknya bicara bak-baik sama cowok lo yang baru kalau hati lo masih buat si mantan. Meski itu bakal nyakitin dia sih, Ly." "Masak sih, Gi?" "Lha terus? Emang selama ini kalian pacaran tanpa cinta gitu? Atau cuma asal bareng aja?" Aku bingung bagaimana menjelaskan pada Gia. Karena baik aku dan Lois sama-sama terikat dalam pernikahan tanpa didasari cinta. Hanya sekedar saling membutuhkan saja. Namun, belakangan ini justru aku yang sangat membutuhkannya, berbanding terbalik dengan dia yang seolah-olah bisa melakukan semua sendiri tanpaku. "Ehm ... aku ... jalan sama dia karena ... " Gia menyela cepat, "Untuk mengisi kekosongan gitu? Pelampiasan sakit hati?" Tebakannya tidak sepenuhnya salah juga tidak sepunuhnya benar. "Nggak gitu juga, Gi. Tahu lah, bingung gue bilangnya." "Tapi maaf-maaf ya, Ly. Mantan kalau udah mantan ya tetep aja mantan. Balikan lagi belum tentu sebaik yang baru. Meski lo butuh waktu untuk nerima yang baru." "Jadi, lo setuju
Sakit rasanya ketika Lois akhirnya memilih meninggalkanku sendirian di kontrakan. Mana mungkin penderita autophobia sepertiku berani melawan ketakutan berada di ruangan seorang diri? Aku pernah mencoba melawan ketakutan itu dulu namun yang ada aku berteriak histeris meminta tolong. Kini, jika Lois meninggalkanku seorang diri, lalu aku harus kemana untuk mencari teman? Meminta Mbak Indri untuk menemaniku lagi itu bukanlah solusi. Ia juga memiliki keluarga untuk diurus, bukan hanya sekedar menemaniku hingga larut malam. "Kamu jahat, Lois," gumamku lalu menyeka air mata. "Kamu nggak bilang apa salahku tapi mainmu jelek kayak gini! Mentang-mentang aku punya autophobia dan biasa tergantung sama kamu, lalu kamu beginiin!" Membiarkan kontrakan tetap gelap, akhirnya aku menghubungi Nathasya, satu-satunya teman yang bisa kuminta perlindungan. Dia tahu jika aku memiliki autophobia. "Halo, Ly? Ada apa?" tanyanya dari sambungan telfon. Namun sepertinya Nathasya sedang berada di tempat yan
“Lois, berhenti disini!” Akibat perintah mendadakku itu, Lois langsung menarik rem tangannya hingga membuat tubuhku terhuyung ke depan. Mau tidak mau dadaku menyentuh punggung Lois lalu aku memukul pelan pundaknya. “Kamu sengaja ya ngerem kenceng? Biar aku jadi maju gitu?” “Nah? Siapa juga yang bilang berhenti mendadak?” Aku kemudian menghela nafas dan memasang wajah salah tingkah sambil memundurkan pantat. “Ngapain kita berhenti disini? Rumah orang tuamu masih di depan sana, Ly.” Kemudian mataku menatap buah tangan yang tadi sempat kami beli. Lois sengaja membeli buah yang disusun indah di dalam sebuah keranjang. “Dih, malah bengong.” “Lois, aku takut kalau … kembali diusir. Aku takut … dicaci maki Papa lagi.” Lois memutar tubuh lebih banyak hingga matanya bisa menatap wajahku. “Kan ada aku,” ucapnya kemudian tersenyum tipis. “Selama kamu diusir, siapa yang jagain kalau bukan aku? Siapa yang menghibur kalau bukan aku juga? Kalau sekarang kamu diusir lagi, ya tinggal pergi a
"Ly, maafin Papa ya, Nak?" Permintaan maaf dari bibir Papa terucap begitu lirih dengan sorot sendu yang membuat hatiku mengiba. Aku sadar betul jika kesalahan yang Papa perbuat itu tidak sebanding dengan pengorbanan beliau membesarkanku. Lagi pula, jelas sekali jika yang membuat ikatan kekeluargaan di rumah ini hancur adalah Vela, adikku. Anak kedua Papa. "Kenapa kamu diam aja? Apa Papa nggak dimaafin?" Aku meremas kedua tangan yang berada di atas paha dengan perasaan campur aduk. "Aku ... udah maafin, Pa." Kedua mata Papa dan Mama berbinar bahagia mendengar aku memberi maaf. Ekspresi sendu yang tadi tercetak, kini menghilang sempurna. "Makasih, Ly." Kemudian Papa mendekat dan memelukku erat lalu tangis harunya membuatku ikut menitikkan air mata. Bahwa tidak akan usai sebuah perdebatan keluarga jika tidak ada salah satu yang mengalah. Dan aku cukup sadar diri untuk menjadi anak yang berbakti. Setelah momen kami saling berurai air mata, Papa bersikap sangat ramah padaku. S
“Jadi, maksudnya, Om minta saya menceraikan Lilyah sekarang juga? Di depan Om dan Tante?” tanya Lois dengan ekspresi tenang. Kepala Papa mengangguk dengan tatapan intens memandang wajah Lois. “Sekarang juga.” “Kalau boleh saya tahu, apa alasan Om ingin menikahkan Lilyah dengan Ishak?” “Aku nggak mau jawab. Nanti dikira aku ini orang tua yang nggak tahu terima kasih sama kamu.” Lois tersenyum miring lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Saya sudah kenyang dihina kalau Om belum tahu.” “Apapun itu alasannya, itu privasiku, Lois. Kamu cukup ngikuti apa yang aku suruh.” “Sayangnya, perjanjian kita cuma sampai saya membawa Lilyah pergi dari rumah ini. Bukan menuruti perintah Om hingga sejauh ini. Apalagi mengikuti keinginan Om untuk menceraikan Lilyah.” Papa memasang wajah kesal karena Lois mendebatnya dengan cara yang santai dan tenang. Bagaimana bisa, seniman recehan seperti dirinya bisa setenang ini menghadapi perdebatan dengan Papa. Apakah sebelumnya dia sering berdebat
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.